• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam

5.3.1. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan mengandung arti bahwa secara spasial sumberdaya alam yang ada, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa mengurangi daya dukung alamiah, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pada bagian ini akan dibahas strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi adalah jurus atau cara atau teknik yang taktis dalam mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut sebelumnya telah dilakukan penelitian-penelitian yang meliputi analisis deskripsi regulasi tata ruang, pemodelan spasial untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada time frame 20 tahun mendatang, dan analisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah.

Pemodelan spasial dengan CLUE-S untuk wilayah Kabupaten Bandung memberikan hasil pada penggunaan lahan yang masih menggambarkan kondisi paling ideal adalah skenario ketiga, keempat dan keenam. Hasil simulasi dengan skenario-skenario ini, sampai dengan tahun ke 20 masih mengandung semua jenis penggunaan lahan. Dari ketiga skenario ini, terpilih skenario keenam sebagi skenari terbaik. Skenario keenam ini mensyaratkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan eksiting dan adanya larangan alih fungsi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

Kondisi keberlanjutan pembangunan Kabupaten Bandung berdasarkan indeks kesejahteraan manusia dan ekosistem ada posisi di tengah. Untuk kesejahteraan manusia levelnya berada pada hampir tidak berkelanjutan dan untuk ekosistem berada pada hampir berkelanjutan. Artinya, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai kondisi keberlanjutan yang sedang. Hal ini berdasarkan pada kesejahteraan ekosistem yang hampir berkelanjutan, dan kesejahteraan manusia pada level hampir tidak berkelanjutan.

Pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan dilakukan lokakarya analisis prospektif yang melibatkan stakeholder pakar yang terlibat di wilayah penelitian. Identifikasi

faktor-faktor yang ada adalam strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung disajikan pada pada Tabel 23.

Tabel 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Hasil analisis)

Faktor Karakteristik Jenis Tanah Geologi Elevasi Aspek Geofisik Slope Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan

Rasio Guru/ Murid (Sekolah Dasar) Sosial

Tingkat putus sekolah dasar Kondisi Tempat Tinggal

Persentase tenaga kerja di bidang pertanian Produksi pertanian

Listrik tersedia/ kebutuhan Tingkat pendapatan masyarakat Ekonomi

Status kepemilikan lahan Jalan Raya

Jarak ke pusat kota Aksesibilitas

Persentase jalan yang baik terhadap panjang jalan yang ada Persentase areal budidaya dari seluruh lahan pertanian Ekologi Persentase kawasan lindung yang dikelola dengan baik Iklim Jumlah curah hujan tahunan

Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah (peraturan) Kebijakan

Perencanaan tata ruang

Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel pengaruh langsung antar faktor. Para peserta lokakarya memberikan nilai pengaruh langsung antar faktor pada tabel tersebut. Kemudian direkapitulasi pengaruh antar faktor dari masing-masing peserta lokakarya untuk dilakukan penggabungan. Hasil penggabungan pengaruh langsung antar faktor berupa grafik/ diagram pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi dikategorikan sebagai faktor kunci. Faktor kunci

adalah faktor yang berada di variabel penentu dan variabel penghubung (Gambar 28).

Hasil identifikasi faktor-faktor tampak bahwa faktor kunci yang berperan penting karena pengaruh dan ketergantungan antar faktor cukup tinggi pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk Kabupaten Bandung adalah : (1) kepadatan penduduk; (2) tingkat pendidikan; (3) perencanaan; (4) tingkat pendapatan masyarakat; (4) status kepemilikan lahan; (5) kebijakan pemerintah; (6) alokasi dana pembangunan

Hasil penyusunan keadaan atau state dari ketujuh faktor kunci tersebut adalah faktor kapadatan penduduk dan kebijakan pemerintah memiliki dua keadaan. Sedangkan tingkat pendidikan, perencanaan, status kepemilikan lahan dan alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan atau state dari kepadatan penduduk ada dua kondisi. Pertama, kepadatan penduduk dimasa datang relatif tetap seperti kondisi saat ini (1A). Keadaan kedua adalah kepadatan

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

- Status kepemilikan lahan Tingkat pendapatan masyarakat Perencanaan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah

Persentase jalan raya baik Kondisi tempat tinggal

Tingkat pendidikan

Jenis tanah

Tenaga kerja pertanian

Kepadatan penduduk Geologi Elevasi Slope Aspek Tingkat aksesibilitas

Rata-rata curah hujan Produksi pertanian

Rasio guru muridTingkat putus SD Listrik tersedia - 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 Ketergantungan P e ng a ruh

Gambar 28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan

penduduk dimasa datang menjadi lebih tinggi dari sekarang, hal ini berarti jumlah penduduk semakin besar tetapi luasan lahan tetap (1B).

Tingkat pendidikan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama tingkat pendidikan menjadi semakin buruk, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk tidak terdidik, peningkatan jumlah tuna aksara (2A). Hal ini dimungkinkan terjadi bila biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Keadaan kedua, tingkat pendidikan masyarakat relatif tetap seperti kondisi saat ini (2B). Keadaan ketiga, tingkat pendidikan masyarakat menjadi semakin baik, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk terdidik dan masa sekolah masyarakat semakin lama (2C). Hal ini dimungkinkan bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun benar-benar terlaksana dan biaya pendidikan tinggi semakin terjangkau oleh masyarakat.

Keadaan atau state perencanaan memiliki tiga keadaan kondisi perencanaan semakin kurang aplikatif dan kondusif, dalam arti peraturan sebagai acuan yang ada tidak berdasarkan pada aturan/ kebijakan yang lebih tinggi (3A). Keadaan kedua, kondisi perencanaan stabil, dalam arti peraturan sebagai acuan tidak tegas berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi tetapi tidak terdapat sangsi terhadap pelanggaran dari perencanaan yang telah ditetapkan (3B). Keadaan ketiga, kondisi perencanaan semakin kondusif dan aplikatif, terdapat aturan yang jelas yang mengacu pada aturan yang lebih tinggi dan ada sangsi terhadap pelanggaran (3C).

Keadaan atau state tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan pertama, tingkat pendapatan masyarakat menjadi semakin kecil (4A). Keadaan kedua, tingkat pendapatan masyarakat relatif tetap (4B). Keadaan ketiga, tingkat pendapatan masyarakat semakin besar tetapi nilainya tetap (4C). Keadaan keempat, tingkat pendapatan masyarakat dalam arti nilai yang semakin besar (4D).

Status kepemilikan lahan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama, status kepemilikan lahan perseorangan semakin tinggi, dalam arti persentase status kepemilikan lahan makin lebih banyak dimiliki oleh perseorangan (pribadi atau institusi) daripada milik negara (5A). Keadaan kedua, status kepemilikan lahan perseorangan relatif tetap (5B). Keadaan ketiga, status kepemilikan lahan

perseorangan semakin rendah, dalam arti persentase kepemilikan lahan makin banyak dimiliki oleh negara (5C).

Terdapat dua keadaan dari kebijakan pemerintah. Kedaan pertama adalah kebijakan pemerintah relatif tetap (6A). Keadaan kedua, kebijakan pemerintah semakin baik dalam arti semakin kondusif dan aplikatif serta transparan (6B). Alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama adalah alokasi dana pembangunan semakin kecil (7A). Keadaan kedua, alokasi dana pembangunan relatif tetap (7B). Keadaan ketiga, alokasi dana pembangunan semakin besar (7C). Secara ringkas ketujuh faktor kunci dan keadaannya ditampilkan pada Tabel 24.

Tabel 24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan

Faktor Keadaan

1 A 1 B

Kepadatan penduduk

Tetap Makin tinggi (makin padat)

2 A 2 B 2 C

Tingkat pendidikan

Makin buruk Tetap Makin baik

3 A 3 B 3C

Perencanaan

Makin kurang aplikatif

Stabil Makin aplikatif dan kondusif

4 A 4 B 4C 4D

Tingkat pendapatan

masyarakat Makin kecil Tetap Makin besar jumlahnya tetapi nilai tetap Jumlah dan nilai makin besar 5 A 5 B 5 C Status kepemilikan lahan Persentase kepemilikan perseorangan makin kecil Persentase kepemilikan perseorangan tetap Persentase kepemilikan perseorangan makin besar 6 A 6 B Kebijakan pemerintah

tetap Makin kondusif dan transparan

7A 7B 7C Alokasi dana

Tabel 25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung

No Skenario Urutan Faktor

1 Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5A-6B-7C 2 Optimis (berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5B-6B-7C 3 Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan

usaha yang keras)

1B-2C-3C-4C-5B-6B-7C 4 Kondisi tetap seperti saat ini 1B-2B-3B-4B-5B-6A-7B 5 Kondisi semakin buruk (semakin tidak

berkelanjutan)

1B-2A-3A-4A-5C-6A-7A

Tabel 26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung

Skenario Jumlah Persen

Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 17 13,1

Optimis (berkelanjutan) 18 13,8

Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha

yang keras) 38 29,3

Kondisi tetap seperti saat ini 29 22,3

Kondisi semakin buruk (semakin tidak

berkelanjutan) 28 21,5

Total 130 100.0

Skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis untuk berkelanjutan (29,3%). Skenario ini mempunyai keadaan sebagai berikut: kepadatan penduduk semakin tinggi, tingkat pendidikan makin baik; perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif; tingkat pendapatan masyarakat makin besar dalam jumlah tetapi nilai tetap; persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap; kebijakan pemerintah makin kondusif dan transparan; alokasi dana untuk pembangunan makin besar.

5.3.2. Implikasi skenario dan rekomendasi pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung

Hasil lokakarya analisis prospektif adalah ditemukannya tujuh faktor kunci yang paling berpangaruh pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci tersebut adalah kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, persentasi kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan.

Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan penduduk meningkat.

Tingkat kependidikan menjadi faktor kunci berikutnya pada analisis prospektif. Hal ini dibuktikan pada hasil regresi logistik. Peluang terdapatnya hutan dan kawasan terbangun meningkat dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor pula dalam tingkat keberlanjutan (Omar 2003, Prescott-Allen 2001). Pada Lampiran 14 ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, yaitu rasio guru dan murid cukup baik.

Perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif menjadi faktor kunci. Faktor ini ditetapkan berdasarkan hasil lokakarya analisis prospektif. Saat ini perencanaan lebih menitik beratkan pada bagaimana membuat rencana. Hanya sedikit perhatian diberikan pada kontrol terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Selain itu, perencanaan yang tepat adalah suatu rencana guna lahan yang dapat mengantisipasi perubahan yang sangat cepat (Akbar 2001).

Tingkat pendapatan masyarakat sebagai faktor kunci berkaitan dengan keadaan bahwa tingkat pendapatan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam. Tingkat

pendapatan dapat berpenganruh positif dan negatif terhadap penataan ruang. Semakin tinggi tingkat pendapatan akan meningkatkan tingkat atau standar kehidupan yang membutuhkan sumberdaya dan energi serta lahan (Hall 2006).

Persentase kepemilikan lahan antara kepemilikan pribadi atau swasta dengan negara merupakan faktor kunci yang ditetapkan berdasarkan analisis prospektif. Kepemilikan lahan pribadi atau swasta memberikan peluang yang lebih tinggi untuk terjadinya konversi penggunaan lahan. Kepemilikan lahan harus didefiniskan dengan jelas yang meliputi batasan, jumlah dan kualitas sumberdaya bersama publik, dan semi publik. Pendefinisian penting untuk pengendalian pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi sumberdaya (Nugroho dan Dahuri 2004).

Kebijakan pemerintah makin kondusif berkaitan dengan kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang merupakan faktor kunci. Saat ini terdapat adanya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan tata ruang yaitu antara Undang- undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Alokasi dana pembangunan merupakan faktor kunci hasil analisis prospektif. Jumlah dana dialokasikan untuk pembangunan mempengaruhi pembangunan, yang berakibat pada penataan ruang. Alokasi dana pembangunan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penggunaan lahan (Lambin et al. 2003).

Dari ketujuh faktor kunci tersebut, faktor yang tinggi pengaruhnya dan tetapi ketergantungannya relatif rendah adalah kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Keadaan kepadatan penduduk ada dua keadaan yaitu tetap dan makin tinggi atau makin padat. Keadaan tetap relatif lebih sulit untuk dicapai, jadi keadaan kepadatan yang makin tinggi akan terjadi. Sementara tingkat pendidikan terdapat tiga keadaan yaitu makin buruk, tetap dan makin baik. Jadi, tingkat pendidikan dapat dianggap faktor kunci yang paling penting. Hal ini sejalan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi peluang untuk terdapatnya jenis penggunaan lahan hutan, jenis penggunaan lahan lainnya dan kawasan terbangun. Selain itu, pada penilaian tingkat keberlanjutan tingkat

pendidikanpun memberikan kontribusi yang tinggi pada level keberlanjutan pembangunan wilayah.

Bila skenario agak optimis ini terjadi pada 20 tahun mendatang dengan keadaan kepadatan penduduk makin tinggi, tingkat pendidikan makin baik, perencanaan wilayah makin aplikatif, tingkat pendapatan masyarakat makin besar, persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap, kebijakan makin kondusif, alokasi dana pembangunan makin besar; maka faktor yang harus didorong adalah tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dalam grafik hasil analisis prospektif (Gambar 28) berada pada tingkat ketergantungan dibawah satu, tetapi tingkat penaruhnya cukup tinggi yaitu diatas satu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perlu didorong. Dorongan terhadap faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi faktor lainnya.

Secara umum tingkat pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian UNESCO-UIS/OECD (2005) yang melakukan analisis tren tingkat pendidikan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara yang diamati adalah Argentina, Brazil, Chile, China, Mesir, India, Indonesia, Jamaika, Jordania, Malaysia, Paraguay, Peru, Philippines, Federasi Rusia, Srilanka, Thailand, Tunisia, Uruguay dan Zimbabwe. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara WEI (World Education Indicator). Indikator tingkat pendidikan yang digunakan dalam WEI adalah harapan bersekolah, tingkat kelulusan dari SLTA, rasio murid dan guru SLTA, biaya per murid di SLTA, persentase murid pada SLTA swasta. Angka harapan bersekolah di Indonesia adalah 11.9 tahun, dan merupakan angka terendah bila dibandingkan dengan negara WEI lainnya, dengan rata-rata adalah 13.5 tahun untuk negara dengan PDB rendah dan 17.3 tahun untuk PDB tinggi. Tingkat kelulusan SLTA adalah 41% sementara negara dengan PDB rendah adalah 57.7% dan negara dengan PDB tinggi adalah 78%. Biaya untuk pendidikan tingka SLTA adalah PPP$ 379 merupakan sepertiga dari negara WEI lain dengan PDB rendah.

Sementara itu sesuai dengan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG) yang terdiri dari delapan tujuan, yaitu (1) pengentasan kemiskinan dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3)

peningkatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) pengurangan kematian anak, (5) perbaikan kesehatan ibu, (6) perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan dan (8) pengembangan kerjasama global untuk pembangunan (United Nation 2006). MDG ini berasal dari deklarasi milenium PBB (United Nation Millenium Declaration) pada tahun 200 yang diadopsi oleh 189 negara. Target yang ditetapkan sebagain besar ingin dicapai pada tahun 2015 berdasarkan situasi global tahun 1990an.

Indonesia sendiri telah menyusun MDG (Bappenas 2005), pada tujuan kedua, yaitu pencapaian pendidikan dasar, sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar (sembilan tahun), yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP/MTs sebesar 90 persen paling lambat pada tahun 2008. Di Kabupaten sendiri komponen pendidikan pada Indeks Pembangunan Manusia, yang diwakili oleh angka melek huruf dengan nilai 97.5% dan rata-rata lama sekolah 7.7 tahun (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Dari angka tersebut tampak bahwa kebijakan penetapan wajib belajar untuk pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai.

Berdasarkan keadaan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut diatas, tingkat pendidikan perlu didorong untuk lebih baik sesuai dengan target tujuan MDG Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan langkah-langkah kebijakan meliputi: meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan (Bappenas 2006).

Lima penyebab dari perubahan penggunaan diungkapkan oleh Lambin et al. (2003) yaitu kelangkaan sumberdaya; aspek ekonomi akibat pasar; adanya intervensi kebijakan; meningkatnya kerentanan karena berkurangnya kemampuan beradaptasi; perubahan organisasi sosial dan perilaku. Bila kelima alasan ini

dihubungkan dengan implikasi dari skenario agak optimis maka dua penyebab perubahan penggunaan lahan yaitu intervensi kebijakan dan perubahan organisasi sosial dan perilaku, akan memperoleh dampak positif dari skenario ini.

Implikasi dari skenario optimis berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Seperti diungkapkan oleh Munasinghe (1993) pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan ekonomi yaitu adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Dengan keadaan peningkatan alokasi dana pembangunan, diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada aspek ekologi, skenario agak optimis berdampak positf dengan adanya perencanaan dan kebijakan yang transparan yang karena terjadinya peningkatan pendidikan.

5.3.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Sesuai dengan Gambar 1 (Kerangka Pikir) pada Bab I, model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan ini mengandung tiga komponen utama yaitu model perubahan penggunaan lahan, komponen pembangunan wilayah berkelanjutan, komponen penataan ruang. Hasil ketiga komponen ini merupakan umpan balik untuk Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah atau akan disusun. Klasifikasi dari jenis- jenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik (Eriyatno 1999).

Model perubahan penggunaan lahan CLUE-S merupakan input dalam penataan ruang. Model dengan CLUE-S dapat memprediksikan perubahan penggunaan lahan sampai 20 tahun mendatang. Hasil prediksi berupa peta penggunaan lahan yang diperoleh dengan menetapkan skenario perubahan penggunaan lahan. Skenario yang terpilih adalah skenario keenam yaitu laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan ada larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

Sebagaimana dijelaskan oleh Forrester (1995) yang menganalisis dinamika perkotaan atau wilayah, meskipun termasuk sistem dinamis masalah penataan

ruang termasuk sistem sosial. Model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan, menetapkan laju perubahan penggunaan lahan perlu diturunkan. Penurunan laju perubahan penggunaan lahan dapat diatur oleh regulasi. Faktor kunci dan penurunan laju perubahan penggunanaan lahan saling berpengaruh. Faktor perencanaan untuk menetapkan penurunan laju perubahan penggunaan lahan, bila ditetapkan dengan regulasi, dapat mencapai tujuan penataan ruang yang berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan (sustainability), dapat diperoleh oleh ekosistem dengan spatial policy (model perubahan penggunaan lahan) dengan melarang konversi lahan pada wilayah tertentu.

Pembangunan wilayah berkelanjutan mengandung aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah, atau menurut Munasinghe (1993) mengandung aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara menurut konsep dalam analisis keberlanjutan dengan Wellbeing Index (WI) terdapat dua kelompok saja yaitu manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001). Aspek manusia dalam konsep WI mengandung lima unsur yaitu kesehatan dan kependudukan; kemakmuran, pengetahuan dan kebudayaan, masyarakat, persamaan. Aspek ekosistem mengandung lima unsur yaitu lahan, air, udara, spesies dan diversias genetik, dan penggunaan sumberdaya. WI cukup memberikan informasi keberlanjutan pembangunan wilayah. Indikator dari keberlanjutan meliputi buruk (0-20), miskin (20-40), sedang (40-60), memadai (60-80), baik (80-100). Sementara kondisi keberlanjutan meliputi buruk (tidak berkelanjutan), miskin (hampir tidak berkelanjutan), sedang, hampir berkelanjutan dan berkelanjutan. Pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, informasi WI pada wilayah yang dikaji cukup memadai. Informasi nilai WI digunakan untuk menetapkan skenario dan strategi.

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian

pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (UU No. 24 Tahun 1992).

Hasil dari model perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S adalah peta penggunaan lahan masa mendatang berdasarkan skenario. Skenario yang sesuai dipilih untuk penyusunan perencanaan tata ruang. Skenario perubahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak disesuaikan. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor kunci hasil temuan analisis prospektif. Perencanaan yang disusun selain berdasarkan pada kebutuhan penduduk di masa datang (antroposentris) perlu didampingi oleh keterbatasan wilayah tersebut. Jadi hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai batas atau dari wilayah yang tidak dapat dikembangkan lagi.

Aspek pemanfaatan ruang berdasar pada RTRW yang telah disusun dan pembiayaan yang diperlukan. Aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci yang diperoleh yaitu alokasi dana pembangunan. Berdasarkan skenario terpilih maka alokasi dana pembangunan diperkirakan akan meningkat. Karena itu, pembiayaan untuk pemanfaatan ruang diperkirakan meningkat. Bila pemanfaatan ruang telah merujuk pada perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sejalan dengan kegiatan pembangunan. Aspek pengendalian menjadi sangat penting dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Aspek pengawasan dan penertiban berdasar pada regulasi yang ada.

Tahapan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten meliputi persiapan penyusunan; peninjauan kembali RTRW

Dokumen terkait