• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Tata Ruang

2.3.1. Konsep Analisis Keruangan

Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Analisis keruangan atau spatial analysis mempelajari perbedaan lokasi dalam hal sifat-sifat pentingnya. Dalam analisis ini data yang digunakan disebut data spasial yang pemanfaatannya meliputi data titik (point data) dan data bidang (areal data). Analisis spasial merupakan metode kuantitatif untuk melihat keragaman sesuatu secara spasial. Sistem informasi geografis merupakan sistem automatisasi untuk menangani data spasial. Sistem ini dapat merangkum intelegensi informasi secara geografis (keruangan). Dalam sistem informasi geografis, objek yang ada dalam ruang geografis ditunjukan oleh dua jenis informasi. Pertama, berkaitan dengan lokasi yang disebut dengan data spasial, dan yang kedua berkaitan dengan identitas dari karakter dari objek tersebut yang disebut dengan data atribut (Unwin 1981).

Data spasial merupakan penggambaran objek dalam ruang. Objek dalam ruang tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu titik, garis, area dan permukaan. Data atribut dapat ditunjukan dengan nominal, ordinal, interval dan skala rasio. Gambar 4 berikut ini menggambarkan jenis data spasial.

Informasi geografis tentang lingkungan disajikan dalam bentuk peta, analog dan digital. Peta analog merupakan penggambaran secara nyata dari kondisi dunia. Kualitas fisik dari garis dan area (panjang, tebal, warna dan sebagainya) digunakan untuk menggambarkan kondisi feature dari alam. Lokasi absolut dari ruang didefinisikan dalam sistem koordinat (x,y) yang tidak berkaitan dengan objek yang dipetakan.

Dalam pembuatan peta, perlu diperhatikan unsur-unsur skala, proyeksi dan simbol. Dalam peta analog ketiga unsur ini sudah tetap. Hal ini berbeda dengan peta digital yang tidak tetap, sehingga proyeksi, skala dan simbol dengan mudah diubah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dimungkinkan dengan manipulasi matematis. Sebagai ilustrasi untuk melihat perbedaan peta analog dan digital adalah pada informasi jalan. Dalam versi analog, jalan ini digambarkan dengan

skala dan proyeksi yang sudah tetap, simbol yang digunakan adalah garis merah yang lebarnya menggambarkan lebar jalan. Perubahan peta hanya dapat dilakukan dengan survey dan pencetakan peta ulang. Dalam bentuk digital jalan tersebut digambarkan oleh suatu seri koordinat, dan data atribut tentang nama jalan, lebar dan sebagainya (Martin 1991).

Kelas Objek TITIK GARIS AREA PERMUKAAN

DIMENSI 0 1 2 3

Contoh Titik Patok

+ Titik 6188

Ruas Jalan Kavling lahan Penampakan fisik wilayah

Dalam pemodelan spasial, terdapat dua kategori struktur data dari area yaitu vektor dan raster. Vektor merupakan struktur data yang berdasarkan pada koordinat, sedangkan raster merupakan struktur data yang berdasarkan pada sel. Gambar 5 berikut ini adalah penggambaran dari suatu bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor.

Plot 25 B2120 DAS 3A vektor raster

Gambar 4 Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991)

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi tertentu. Secara harfiah sistem informasi geografis mengandung tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografis. Sistem mengandung arti suatu lingkungan tempat data untuk dikelola dan ditanyai. Informasi, berarti ada kemungkinan untuk menggunakan sistem untuk menanyakan pertanyaan data basis geografis, dan memperoleh informasi dunia geografis. Geografis berarti sistem yang digunakan berkaitan erat dengan ukuran dan skala geografis, dan merujuk pada sistem koordinat dari lokasi dari permukaan bumi.

Hampir semua penelitian atau penyajian informasi yang bersifat keruangan (spasial) menggunakan teknik sistem informasi geografis. Penentuan lokasi yang terbaik untuk suatu kegiatan tertentu, penentuan persebaran atau distribusi suatu unit kegiatan, dan penentuan pola jaringan adalah merupakan cotoh penggunaan atau aplikasi dari SIG.

Von Thunnen adalah ilmuwan pertama pada tahun 1926 mengamati dan membuat konsep tentang wilayah pertanian di Jerman dalam aspek keruangan. Aspek yang menjadi perhatiannya adalah pola keruangan (persebaran) dari komoditas pertanian dan lokasi pasar, sehingga diperoleh model umum penggunaan lahan di wilayah pedesaan yang menggambarkan wilayah-wilayah penghasil produk pertanian yang mengelilingi pasar. Model ini menggambarkan pola spasial yang paling efisien dari berbagai jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan. Von Thunen mengemukakan bahwa harga sewa lahan hanya bergantung pada faktor jarak (Nugroho & Dahuri 2004).

Struktur spasial suatu wilayah secara teoritis dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah adalah pengelompokan dari lokasi jasa atau industri tertier termasuk administrasi, keuangan, perdagangan eceran dan grosir serta jasa sejenis, yang cenderung memusat dalam menjadai kelompok-kelompok homogen dan menyebar secara merata di bentang alam yang memberikan akses terhadap populasi pasar yang terluas. Tipe kedua, merupakan persebaran lokasi dari industri yang terspesialisasi seperti manufaktur, pertambangan dan rekreasi, yang cenderung menjadi mengelompok atau aglomerasi berdasar pada lokasi-lokasi sumberdaya fisik seperti timah, dan kondisi fisik seperti sungai dan pantai. Tipe ketiga berupa pola dari rantai transportasi, seperti jalan dan kereta api yang

mengakibatkan pertumbuhan pemukiman secara linier (Glasson 1974, Nugroho & Dahuri 2004).

2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang

Menurut Sandy (1999), penggunaan ruang adalah sama dengan penggunaan tanah. Istilah penataan ruang sama dengan penataan penggunaan tanah, tata ruang adalah sama dengan tata guna tanah. Tetapi ruang tidak bisa dilekati dengan hak, tanah yang dapat dilekati oleh hak, jadi terdapat hak atas tanah. Sedangkan menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataaan Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.

Dalam aplikasinya Djoekardi & Ardiputra (2003) mengungkapkan awal penyusunan Undang-undang Penataan Ruang. Terdapat dua kelompok yang mengusulkan rancangan undang-undang. Kelompok pertama adalah Direktorat Jenderal Agraria, Departeman Dalam Negeri yang mengusulkan rancangan undang-undang tata guna tanah. Kelompok kedua adalah Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum yang mengusulkan rancangan undang-undang bina kota. Kedua kelompok ini dianggap sama-sama mengusulkan masalah tata ruang. Sehingga, untuk mengakomodasi kedua kelompok ini, ditetapkan menjadi undang-undang penataan ruang. Substansi penataan ruang pun diperjelas. Sebelumnya, penataan ruang dianggap sama dengan perencanaan tata ruang. Berdasarkan undang-undang tersebut, penataan ruang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Soefaat (2003) mengungkapkan lembaga penataan ruang yang pertama di Indonesia adalah Balai Tata Ruangan dan Pembangunan (BTRP) yang didirikan pada tahun 1947. Lembaga penataan ruang kemudian berubah menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah (1960an), kemudian menjadi Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah kemudian mejadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Kemudian tahun 1994 menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP). Pada tahun 2003 menjadi Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.

Secara umum, terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata-ruang di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak pihak yang berpendapat bahwa undang-undang pokok-pokok agraria ini sudah saatnya direvisi. Salah satu yang telah melakukan kajian adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang telah melakukan diskusi pertanahan nasional dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan Nasional. Undang-undang pokok-pokok agraria ini memberikan kewenangan yang besar kepada negara (pemerintah) yang dapat disalahgunakan; adanya hak ulayat tidak mendapat kepastian hukum, hak atas tanah amat dibatasi pada hak hak perseorangan. Perusahaan dan kelompok masyarakat tidak berhak memiliki tanah. Demikian pula dengan adanya paradigma baru pada pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah dengan UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dibutuhkan perubahan peraturan, kebijakan dan administrasi pertanahan, termasuk penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah (Renyansih & Budisantoso 2003).

Menurut Haeruman (2004) pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut selama ini cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunan/perencanaan dibanding sebagai subjek pembangunan/perencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan

yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: (1) Kerangka sistem perencanaan; (2) Prinsip, tujuan, kebijakan strategis; (3) Panduan penataan ruang kabupaten/kota; (4) Institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; (5) Peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; (6) Strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); (7) Indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang.

Dokumen terkait