• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.3. Tinjauan Pustaka

2.3.4. Model Program Linkage pada Lembaga Keuangan

umum syariah kepada lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) dalam bentuk pembiayaan sebagai upaya untuk meningkatkan kegiatan usaha mikro dan kecil (UMK). Arsitektur Perbankan Indonesia (API, 2010) mengeluarkan generic model program linkage yang berisi aturan-aturan pelaksanaan program linkage antara bank umum dan lembaga keuangan mikro sehingga penerapan program linkage semakin jelas dan terarah. Salah satu aturannya adalah ditetapkannya tiga skim dalam melaksanakan program linkage, yaitu executing, channeling dan joint financing.

Dalam pola executing, bank syariah memberikan pembiayaan kepada LKMS untuk diteruskan kepada UMK. LKMS diberikan kewenangan untuk memutuskan calon mitra yang akan mendapat fasilitas pembiayaan dan sebagai konsekuensinya risiko juga ditanggung oleh pihak BPR, serta untuk pencatatan di bank umum sebagai pembiayaan ke LKMS.

Pada pola channeling, bank syariah memberikan pembiayaan secara langsung kepada UMK sebagai end user melalui LKMS yang bertindak sebagai wakil dari bank tersebut (API, 2010). Dalam pola ini, risiko ditanggung oleh bank sehingga LKMS tidak memiliki kewenangan memutus pembiayaan kecuali setelah mendapatkan surat kuasa dari bank umum dan pencatatan di bank umum sebagai pembiayaan ke UMK, sedangkan di LKMS dicatat pada off balance sheet. Pada bank syariah, akad yang digunakan antara bank syariah dan LKMS adalah wakalah.

Selanjutnya, dalam pola joint financing, pembiayaan dilakukan bersama antara bank syariah dan LKMS dalam membiayai UMK, serta risiko ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sesuai porsinya masing-masing sehingga kewenangan memutus pembiayaan ada pada bank umum dan LKMS, serta untuk pencatatan di bank umum sebagai pembiayaan ke UMK, sedangkan pencatatan di LKMS pada off balance sheet. Akad yang digunakan antara bank syariah dan LKMS adalah musyarakah.

Program linkage merupakan kerja sama yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Bagi bank yang memiliki keterbatasan jaringan dan infrastruktur, dengan adanya program linkage dapat menjangkau usaha mikro dan kecil yang terbukti tahan terhadap krisis ekonomi. Sedangkan bagi lembaga keuangan mikro yang memiliki dana terbatas akan sangat terbantu dengan adanya program linkage ini sehingga LKM dapat menyalurkan pembiayaan kepada usaha mikro dan kecil. Program ini juga menguntungkan bagi UMKM yang umumnya kesulitan dalam mendapatkan dukungan dana dari bank umum karena termasuk dalam kategori unbankable (Euis Amalia, 2009). Dari uraian tersebut, terlihat keterkaitan satu sama lain yang menguntungkan.

Program linkage sejatinya sudah ada sejak 2001, tetapi karena aturan dalam pelaksanaannya masih belum jelas maka program linkage belum dapat terealisasi dengan optimal. Kondisi tersebut bertahan hingga pada 2004 Arsitektur Perbankan Indonesia (API, 2010) mengeluarkan generic model program linkage yang menjadikan aturan dalam menjalankan program linkage lebih jelas dan terarah. Prinsip bank syariah yang berbeda

dengan bank konvensional membuat aturan linkage pada generic model program linkage-nya pun berbeda, di sini penulis akan memaparkan aturan yang dimuat dalam generic model program linkage antara bank syariah dan LKM, di antaranya distribusi pendapatan.

Pada pola executing, distribusi pendapatan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati antara bank syariah dan LKM. Sedangkan pada pola channeling, bank syariah mendapatkan pendapatan dari nisbah bagi hasil/margin yang telah disepakati dengan UMK, serta LKM mendapatkan upah yang besarnya disepakati antara bank syariah dengan LKM. Dalam pola joint financing, bank syariah juga mendapatkan pendapatan dari nisbah bagi hasil/margin yang disepakati dengan UMK dan pembagian pendapatan antara bank syariah dengan LKM sesuai dengan porsi yang telah disepakati.

Program linkage adalah program pembiayaan yang bersifat kemitraan. Pembiayaan ini disalurkan lewat perusahaan mitra (Kasmir 2005: 71). Linkage tidak dikenal dalam literatur Islam, tetapi dilihat dari maknanya, yaitu mengaitkan dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan dengan cara sharing resource maka linkage memiliki kedekatan dengan pengertian ukhuwah yang artinya persaudaraan (Streets, dkk. 2003). Untuk melihat apakah sistem kerja sama tersebut berjalan dengan baik atau tidak dapat dilihat dari sustainabilitas LKMS.

Keberlangsungan program linkage memiliki kode etik yang harus dipatuhi para pihak yang terlibat (Sutopo, 2005). Kode etik tersebut meliputi: (1) BUS/UUS yang melakukan kerja sama program linkage dengan BPRS, tidak diperbolehkan mengambil alih pembiayaan terhadap

nasabah BPRS yang sedang dibiayai melalui program linkage dan atau masih menjadi nasabah BPRS. (2) Bagi nasabah BPRS yang telah naik kelas (dari nasabah mikro menjadi kecil) dan memerlukan dana pembiayaan yang lebih besar, tetapi BPRS tidak mampu membiayai karena kendala BMPK maka BUS/UUS dapat membiayai nasabah BPRS dimaksud. (3) BUS/UUS yang melakukan program linkage dengan BPRS, tidak diperbolehkan mengambil sumber daya manusia BPRS. BUS/UUS dan BPRS harus transparan dalam memberikan dan menyampaikan informasi yang terkait dengan program linkage sejauh tidak melanggar ketentuan yang berlaku (seperti laporan keuangan struktur pendanaan dan company profile). (4) Bagi BPRS, satu jaminan hanya dijaminkan kepada satu shohibul maal mitra pembiayaan (BUS/UUS). (5) BUS/UUS tidak diperkenankan untuk memanfaatkan data nasabah pembiayaan dan BPRS untuk kepentingan di luar program linkage. (6) BUS/UUS dan BPRS yang melaksanakan program linkage dengan pola joint financing dan channeling, tidak diperkenankan membebani nasabah pembiayaan dengan margin/nisbah bagi hasil yang lebih tinggi dari harga pasar untuk sektor usaha UMK yang dibiayai. (7) BUS/UUS yang melakukan program linkage dengan BPRS, tidak diperkenankan meminta laporan hasil pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. (8) BPRS yang mengikuti program linkage harus memelihara tingkat kesehatannya. (9) Setiap pelanggaran kode etik di atas oleh BUS/UUS/BPRS dilaporkan kepada Bank Indonesia oleh pihak yang merasa dirugikan.

Lebih lanjut, bank umum tidak harus selalu menjalankan gagasan atau usulan mengenai produk baru perbankan dari pemerintah maupun Bank Indonesia (API, 2010). Bank umum harus mempelajari dulu gagasan tersebut dan mempertimbangkan keuntungan serta kerugian yang mungkin timbul akibat program tersebut.