C. SORPSI ISOTHERMIS
4 Model Sorpsi Isothermis
jumlah terbatas. Pada tipe 2 merupakan kurva isothermis berbentuk sigmoid yang bersifat asimtot dengan mendekatnya nilai aw ke 1. Kemudian tipe 3 merupakan isothermis Flory-Huggins, yaitu adsorpsi dari pelarut atau plasticizer seperti gliserol yang terjadi di atas suhu transisi
glass. Sementara itu, tipe 4 merupakan kurva isothermis yang
menggambarkan proses adsorpsi oleh padatan hidropilik sampai hidratasi maksimal. Selanjutnya, pada tipe 5 merupakan isothermis adsorpsi multilayer BET, yang menunjukkan adsorpsi uap air terhadap arang (charcoal).
Menurut Arslan dan Togrul (2005), kurva sorpsi isothermis terbagi ke dalam tiga daerah menurut keadaan air dalam bahan pangan. Daerah pertama merupakan daerah yang mempunyai aktivitas air sampai 0,3 yang disebut dengan monolayer dimana air diikat pada posisi polar yang memiliki energi yang relatif tinggi. Daerah kedua merupakan daerah yang mempunyai kisara aw dari 0,3-0,7 yang disebut dengan air multi-layer. Daerah kedua terdiri dari beberapa lapis air yang terikat pada lapis pertama dengan ikatan hidrogen. Selanjutnya daerah ketiga, merupakan daerah aw
yang mempunyai nilai di atas 0,7 dan air relatif bebas. Kadar air monolayer penting untuk stabilitas kimia dan fisik produk pangan kering.
4. Model Sorpsi Isothermis
Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model isothermis produk tersedia, tetapi tidak ada satu pun model isothermis yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model isothermis terhadap isothermis produk pangan bergantung kepada kisaran aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut. Menurut Khalloufi, Giasson dan Ratti (2000), model-model sorpsi isothermis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu model teoritis dan model empiris. Nilai dari suatu model sorpsi isothermis tergantung pada dua hal yaitu :1) kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isothermis dan 2) kemampuan
tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Menurut Labuza seperti yang dikutip oleh Kumendong (1996), menyatakan bahwa kegunaan suatu model sorpsi isothermis tergantung pada tujuan pemakai. Pemakai yang menginginkan kemulusan kurva yang tinggi tidak begitu menganggap penting terhadap penggunaan model teoritis. Model yang lebih sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapan yang dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya.
Banyak model matematika yang mengambarkan sorpsi isothermis produk pangan, salah satunya yang diakui secara internasional adalah model isothermis GAB (Guggenheim, Andersen dan de Boer) yang direkomendasikan oleh European Project Group COST 90 untuk menggambarkan sorpsi isothermis produk pangan yang bisa digunakan pada kisaran aw yang luas yaitu 0.05 < aw < 0.9 (Spiess dan Wolf, 1987; Timmermann, 2003). Menurut Kapsalis (1987), persaman isothermis GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isothermis pada sebagian besar produk makanan. Adapun model sorpsi isothermis GAB dapat dilihat pada persamaan 6.
( Ka
w)(
mKa
wwCKa
w)
CKa
X
M
+
−
−
=
1
.
1
... (6)Keterangan :
M = kadar air (basis kering,%) aw = aktivitas air
Xm = kadar air monolayer (%) K = konstanta
C = konstanta Energi
Model sorpsi isothermis lain yang digunakan untuk menggambarkan sorpsi isothermis adalah produk pangan kering seperi kraker adalah model Hasley (Robertson, 1993). Menurut Chrife dan Iglesias seperti yang dikutip oleh Fasina (2005), Hasley mengembangkan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer.
Persamaan Hasley dapat digunakan untuk produk makanan dengan kelembaban realtif antara 10–81%. Adapun model sorpsi isothermis Hasley dapat dilihat pada persamaan 7 :
]
)
(
)
1
(
exp[
P(2) wMe
P
a −
=
... (7) Keterangan:Me = kadar air setimbang (basis kering,%) aw = aktivitas air
P(1),P(2) = konstanta D. UMUR SIMPAN
1. Accelerated Shelf Life Testing
Menurut Institute of Food Technology seperti dikutip oleh Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap umur simpan suatu produk pangan adalah pengemasan, kondisi penyimpanan, bahan baku dan kondisi pengolahan.
Untuk mempersingkat waktu penentuan umur simpan (selama 3-4 bulan) dapat digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) yaitu dengan mengkondisikan tempat penyimpanan dengan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat cepat lebih rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan. Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Penggunaan uji akselerasi tersebut dapat diaplikasikan pada produk kering jika secara kontinyu kadar air produk berubah selama penyimpanan dan jika kecepatan kerusakan hanya tergantung pada kadar air dan suhu.
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada metode akselerasi dapat menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kadar air kritis dan pendekatan semiempiris (Arpah, 2001).
2. Pendekatan kadar air Kritis
Menurut Arpah (2001), pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi merupakan suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa. Pada pendekatan ini kondisi lingkungan penyimpanan memiliki kelembaban relatif yang ekstrim. Produk pangan kering yang disimpan pada kondisi ini akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Untuk menggambarkan laju penyerapan uap air suatu produk pangan biasanya menggunakan alat bantu berupa persamaan matematika yang diharapkan bisa memprediksi umur simpan suatu produk pangan tertentu.
Menurut Labuza (1982), pada pendekatan kadar air kritis, model-model persamaan matematikanya yang digunakan untuk menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan persamaan 8 .
A(P
outP
in)
x
k
dt
dw = −
... (8) keterangan:dw : sejumlah air yang terserap per hari (gram/hari) dt
k : permeansi uap air (g/hari/m2/mmHg) x
A : luas permukaan (m2)
Pout : Tekanan uap di luar pengemas (mmHg) Pin : Tekanan uap di dalam pengemas (mmHg)
)
)(
)(
(
)
ln(
)
(
Ws
Po
Ws
A
x
k
Mc
Me
Mi
Me
t −
−
=
Berdasarkan persamaan 8, Labuza (1982) berhasil merumuskan persamaan umur simpan dengan memperhitungkan faktor lingkungan, pengemas dan sifat fisik produk yang dapat dilihat pada persamaan 9.
Umur simpan ... (9)
Keterangan : t = waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air
kritis (hari)
Me = kadar air kesetimbangan produk (%bk) Mi = kadar air awal produk (%bk)
Mc = kadar air kritis (%bk)
k/x = permeansi uap air kemasan (gram/hari/m2/mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
b = kemiringan kurva isothermik
Menurut Arpah (2001), persamaan umur simpan Labuza memiliki beberapa asumsi dasar yaitu :
a. Laju penetrasi uap air berlangsung dalam keadaan steady-state b. Pengemasan dengan bantuan permeabilitas merupakan faktor
resistensi utama penyerapan uap air pada produk.
c. Laju penetrasi uap air sebanding dengan perbedaan tekanan uap air parsial
d. Laju transfer uap air berlangsung homogen e. Pengemas sempurna dan tidak memiliki kebocoran
3. Pendekatan Semiempiris
Menurut Labuza (1982), pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan Arrhenius merupakan suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika perubahan mutu yang dapat dirumuskan pada persamaan matematika seperti pada persamaan 10.
n kA dt dA = ... (10) Keterangan:
A = faktor mutu yang diukur
t = waktu
n = ordo reaksi
k = konstanta laju reaksi
Berdasarkan persamaan 10, laju reaksi perubahan mutu pada produk pangan umumnya mempunyai ordo reaksi nol (n=0) yang disebut sebagai
zero order reaction. Pada kondisi zero order, laju perubahan atau
penurunan mutu bersifat konstan pada suhu dan aw yang tetap. Dengan menggunakan persamaan zero order, maka dapat ditentukan umur simpan suatu produk pangan dengan mengatahui konsentrasi kritis suatu mutu pada produk pangan yaitu ketika pengaruhnya terhadap mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat diterima oleh konsumen (Arpah, 2001). Adapun persamaan umur simpan zero order reaction dapat dilihat pada persamaan 11.
At = Ao – k.t ... (11) Keterangan :
At = konsentrasi mutu saat kritis(jumlah air(g) pada kadar air kritis) Ao = konsentrasi mutu awal (jumlah air (g) pada kadar air awal) k = konstanta laju reaksi (g/hari)
IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wafer stick produksi PT Arnott’s Indonesia, garam NaOH, K2CO3, KI, NaCl, KCl dan BaCl2.2H2O yang digunakan untuk mengkondisikan kelembaban udara, kemasan fleksibel OPP20/VMOPP20, aluminium foil, OPP20/PP20, silika gel dan aquades.
Alat yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah inkubator, desikator, aw-meter, pengukur-RH (logger), termometer, wadah gelas yang telah dimodifikasi, timbangan analitik, penutup kemasan (foot sealer), peralatan logam dan peralatan gelas.
B. METODE PENELITIAN
1. Rancangan Percobaan
Kegiatan magang-penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu mengevaluasi permeansi uap air kemasan dan metode penentuan umur simpan. Pada evaluasi permeansi uap air kemasan dilakukan lima perlakuan yang berbeda terhadap permeansi uap air kemasan yaitu luas permukaan, bobot produk terkemas, suhu, kelembaban udara dan jenis kemasan seperti yang terlihat pada persamaan umur simpan Labuza.
Pada perlakuan luas permukaan terhadap permeansi uap air, dilakukan lima perlakuan luas kemasan OPP20/VMOPP20 yang berbeda yaitu 0,02, 0,04, 0,05, 0,07 dan 0,08 m2 yang disimpan dalam inkubator pada suhu 37 °C dan RH 80% dengan bobot silika gel yang tetap yaitu 20 gram. Sementara itu, pada perlakuan bobot produk terhadap permeansi uap air, dilakukan tujuh perlakuan bobot silika gel yang berbeda yaitu 5, 10, 15, 40, 60, 80 dan 100 gram yang disimpan dalam inkubator pada suhu 37 °C dan RH 80% dengan luas permukaan kemasan OPP20/VMOPP20 yang tetap yaitu 0,04 m2.
Selanjutnya pada perlakuan suhu terhadap permeansi uap air, untuk setiap ulangannya dilakukan tiga perlakuan suhu berbeda yaitu dengan
mengatur suhu inkubator pada suhu 31, 37, dan 49 °C pada RH 87% dengan luas permukaan kemasan OPP20/VMOPP20 sebesar 0,02 m2 dan bobot silika gel sebesar 30 gram. Sedangkan pada pengaruh kelembaban udara terhadap permeansi uap air untuk setiap ulangannya dilakukan dengan lima perlakuan RH yang berbeda yaitu 13, 46, 67, 81, dan 93% pada suhu 28 °C dengan bobot silika gel sebesar 20 gram dan luas permukaan kemasan OPP20/VMOPP20 sebesar 0,01 m2. Selanjutnya, pada pengaruh jenis kemasan terhadap permeansi uap air, untuk setiap ulangannya dilakukan dengan menggunakan tiga jenis kemasan fleksibel yang berbeda yaitu OPP20/VMOPP20, aluminium foil dan OPP20/PP20 yang disimpan dalam inkubator pada suhu 37 °C dan RH 87% dengan luas permukaan kemasan OPP20/VMOPP20 sebesar 0,02 m2 dan bobot silika gel 30 gram.
Pada evaluasi metode penentuan umur simpan wafer stick digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kadar air kritis dan pendekatan semiempiris. Pada pendekatan kadar air kritis diperlukan kurva isothermis yang bisa diperoleh melalui penyimpanan sampel dalam desiktor berlarutan garam dan melalui aw-meter. Kurva isothermis wafer stick dapat didekati dengan model isothermis Hasley dan model isothermis GAB. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan umur simpan Labuza dapat diketahui umur simpan wafer stick. Sedangkan untuk pendekatan semiempiris dalam penetapan umur simpannya memerlukan persamaan umur simpan zero order. Selanjutnya nilai umur simpan dari masing-masing metode penentuan umur simpan dibandingkan dengan umur simpan aktual yang disimpan pada suhu 28 °C dan RH 67 %. Kemudian dengan menggunakan metode yang terdekat dengan kondisi aktual dapat dperkirakan umur simpan wafer stick yang menggunakan kemasan baru.
2. Metode Analis
1.1 Pemeabilitas uap air (Moyls, 1998)
Berdasarkan ASTM D895-79 (whole bag desiccant method), desikan (silika gel) pertama-tama dikeringkan dalam oven 105 °C
selama tiga jam, kemudian didinginkan dalam desikator. Silika gel kemudian dimasukkan ke dalam kemasan plastik yang telah diketahui luasnya lalu di-seal menggunakan foot sealer. Selanjutnya disimpan dalam inkubator bersuhu 38 °C dan mempunyai RH 90%. Kemudian ditimbang setiap hari selama 14 hari sehingga dapat diperoleh slope yang merupakan jumlah air terserap per hari dari kurva hubungan bobot dangan waktu (hari). Selanjutnya nilai permeansi uap air kemasan (k/x) dapat dihitung dengan rumus :
Permeansi Keterangan :
k/x : permeansi uap air(g/hari/m2/mmHg) n/t : jumlah uap air terserap per hari(g/hari) A : luas permukaan(m2)
RHout : RH di luar pengemas(%) Rhin : RH di dalam pengemas(%)
Po : Tekanan uap air jenuh pada suhu pengujian(mmHg)
1.2. Penentuan Sorpsi Isothermis
a. Nilai aktivitas air ditentukan oleh ERH larutan garam (Cepeda et al., 1999)
Pertama-tama dilakukan preparasi larutan garam jenuh. Sejumlah garam ditimbang dan dimasukan ke dalam wadah gelas yang telah dimodifikasi sebagai desikator. Lalu sambil diaduk ditambahkan sejumlah air sampai jenuh dan berlebih untuk menjaga kejenuhan larutan sehingga kelembaban udara yang dihasilkan tetap dan tidak mempengaruhi sorpsi. Kemudian wadah gelas tersebut ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi suhu 30 °C. Nilai kelembaban udara setimbang (ERH) dari setiap larutan yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan
Logger dapat dilihat pada Tabel 1.
o in out
RH P
RH
A
t
n
x
k
)
(
)
(
−
=
Tabel 1. Nilai ERH larutan pada wadah gelas Jenis Larutan ERH (%)
NaOH 13 K2CO3 46 KI 67 NaCl 75 KCl 81 Bacl2 2H2O 87 Aquades 93
Kemudian sampel wafer stick dimasukan ke dalam wadah gelas yang mempunyai cawan sebagai tempat sampel. Wadah gelas kemudian disimpan pada kondisi suhu 28 °C dan RH 46% yaitu pada lingkungan ruang Lab RND PT Arnott’s. Contoh kondisi wadah gelas yang menyimpan wafer stick dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Wadah gelas yang menyimpan sampel wafer stick Sampel dalam cawan kemudian ditimbang secara periodik sampai diperoleh bobot konstan yang berarti kadar air kesetimbangan tercapai. Menurut Bisquet dan Labuza seperti yang dikutip oleh Krotcha, Baldwin, dan Carriedo (1994), penentuan kadar air setimbang ditentukan ketika perbedaan bobot bahan kurang dari 0,001 gram.
b. Nilai aktivitas air ditentukan oleh aw-meter
Metode penentuan kurva isothermis dengan menggunakan aw
-meter merupakan metode baru yang ingin dikembangkan terus-menerus menuju penyempurnaan. Metode ini dilakukan dengan menyimpan sampel dalam desikator yang mempunyai kelembaban udara sebesar 93% pada suhu 28 °C. Pada saat pertama kali, sebelum sampel wafer stick dimasukkan ke dalam cawan aw-meter, ditentukan terlebih dahulu kadar air awal sampel ditetapkan dengan metode oven. Selanjutnya selama 21 hari, setiap hari diukur aw-nya dan ditetapkan kadar airnya. Data aw dan kadar air yang diperoleh, dapat digunakan dalam membentuk kurva isothermis wafer stick. Gambar aw-meter dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. aw-meter
1.3. Kadar air, metode oven (Apriyantono et. al., 1989)
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (untuk cawan aluminium didinginkan selama 10 menit dan cawan porselin didinginkan selama 20 menit). Kemudian sampel ditimbang sejumlah kurang lebih 5 gram dengan cepat. Angkat tutup cawan dan tempatkan cawan beserta isi dan tutupnya di dalam oven selama 6 jam. Hindarkan kontak dengan dinding oven. Pindahkan cawan ke dalam desikator untuk didinginkan, setelah dingin ditimbang kembali. Kemudian keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat konstan.
Cara perhitungan : W1 = berat sampel (g)
W2 = berat sampel setelah dikeringkan (g) W3 = W1-W2 = Kehilangan berat (g) % kadar air (dry basis) = W3 x 100 % W2
% kadar air (wet basis) = W3 x 100 % W1
1.4. Kadar Air Kritis (Azanha, B. A. dan J. A. Faria, 2005)
Penentuan kadar air kritis dilakukan dengan cara menyimpan sampel biskuit pada kondisi RH rendah yaitu 43% pada suhu 28 °C. Setiap jam sampel dicoba kerenyahan dan dihitung kadar airnya. Sampel yang dinyatakan telah ditolak kereyahannya oleh panelis secara organoleptik dan dinyatakan sebagi kadar air kritis
1.5. Uji Organoleptik (Soekarto,1988)
Untuk mengetahui penerimaan konsumen, sampel yang telah diberikan perlakuan waktu penyimpan ketika penentuan kadar air krtitis, diuji kerenyahannya secara organoleptik dengan metode uji perbandingan jamak (multiple comparison test). Pada pengujian ini, dua contoh atau lebih disajikan secara bersamaan untuk kemudian dibandingkan dengan contoh baku. Panelis membedakan seberapa jauh perbedaan kerenyahan sampel terhadap contoh baku dengan skala 1 sampai 9, yaitu dari dari amat sangat renyah sampai amat sangat kurang renyah
1.6. Uji ketepatan Model (Rahayu, W. P., M. Arpah, dan E. Diah, 2005)
Untuk menguji ketapatan suatu persaman sorpsi isothermis digunakan mean relative determination (MRD).
∑
=−
=
n iMi
Mpi
Mi
n
MRD
1100
Keterangan : n = Jumlah dataMi = kadar air hasil percobaan Mpi = kadar air hasil perhitungan
Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isothermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Apabila MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
1.7. Persamaan Umur Simpan Labuza (Labuza, 1982)
Umur simpan
Keterangan :
t = waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air
kritis (hari)
Me = kadar air kesetimbangan produk (%bk) Mi = kadar air awal produk (%bk)
Mc = kadar air kritis (%bk)
k/x = permeansi uap air (g/hari/m2/mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
b = kemiringan kurva isothermis
)
)(
)(
(
)
ln(
)
(
Ws
Po
Ws
A
x
k
Mc
Me
Mi
Me
t −
−
=
1.8. Persamaan Umur Simpan Labuza yang disubstitusi oleh Model Isothermis GAB (Li Xiong, 2002).
Umur simpan
di mana :
t = umur simpan (hari)
⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ − − + − = ) 2 2 ln( 2 WmC Mi WmC Mf WmC Mf Mi H ε ε ε
]
2
)
2
)[(
1
( − −
= C Ka
woε
xWs
C
K
AkPo
)
1
(
2 −
=
ϕ
Keterangan :Mf = kadar air saat mencapai kadaar air kritis (%) Mi = kadar air awal (%)
Wm = kadar air pada saat daerah momolayer (%) C = konstanta energi
K = konstanta
A = luas permukaan (m2)
awo = kelembaban udara pada saat penyimpanan (%) k/x = permeansi uap air (g/hari/m2/mmHg)
Po = tekanan uap air jenuh pada saat penyimpanan (mmHg)
Wd = bobot kering produk pangan (gram) 1.9. Persamaan umur simpan zero order reaction (Labuza, 1982)
Persamaan umur simpan zero order seperti, dibawah ini : At = Ao – k.t
Keterangan :
At = konsentrasi mutu saat kritis(jumlah air(g) pada kadar air kritis) Ao = konsentrasi mutu awal (jumlah air (g) pada kadar air awal) k = konstanta laju reaksi (g/hari)
εϕ
H
t) =
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERMEANSI UAP AIR KEMASAN
1. Pengaruh Luas Permukaan terhadap Permeansi Uap Air
Pada pengaruh luas permukaan terhadap permeansi uap air, dilakukan lima perlakuan luas pemukaan yang berbeda yaitu 0,02, 0,04, 0,05, 0,07, dan 0,08 m2 yang disimpan pada suhu 37 °C dan RH 80% serta dikemas dengan kemasan OPP20/VMOPP20 dengan bobot silika gel yang tetap yaitu 20 gram. Selama 14 hari pengamatan dilakukan penimbangan sampel untuk melihat hubungan bobot produk dengan waktu sehingga dihasilkan jumlah uap air terserap per harinya yang diperoleh dari kemiringan kurva hubungan antara perubahan bobot produk dengan hari, contoh penetapan jumlah uap air per hari dapat dilihat pada Lampiran 1. Data jumlah uap air terserap per hari dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah uap air terserap per hari setiap luas kemasan Area (m2) Jumlah uap air terserap (g/hari)
0,02 0,0022 0,04 0,0046 0,05 0,0057 0,07 0,0075 0,08 0,0090
Selanjutnya, nilai jumlah uap air terserap per hari dibagi dengan perbedaan tekanan antara dalam dan luar pengemas yang diperoleh dari perbedaan RH silka gel (0%) dan RH aquades (80%) yang dikali dengan tekanan uap jenuh uap air pada suhu 37 °C, nilai itulah yang disebut dengan permeansi uap air. Contoh perhitungan permeansi uap air dapat dilihat pada Lampiran 2. Data permeansi uap air untuk setiap perlakuan luas kemasan dapat dilhat pada Tabel 3.
Tabel 3. Permeansi uap air setiap luas kemasan Luas (m2) Permeansi (g/h/m2/mmHg) 0,02 0,0029 0,04 0,0030 0,05 0,0030 0,07 0,0028 0,08 0,0030
Berdasarkan data pada Tabel 3, maka dapat diketahui bahwa nilai permeansi uap air untuk kisaran luas yang diteliti bersifat tetap. Hal ini disebabkan perubahan jumlah uap air terserap itu bersifat linear terhadap luas permukaan, seperti terlihat pada persamaan 8.
A(P
outP
in)
x
k
dt
dw = −
... (8)Dengan demikian, apabila nilai jumlah uap air terserap per hari dimasukkan ke dalam rumus penetapan permeansi uap air seperti terlihat pada persamaan 12 akan menghasilkan nilai permeansi yang konstan untuk setiap perlakuan luas.
Permeansi ... (12)
Keterangan :
k/x : permeansi uap air(g/hari/m2/mmHg) n/t : jumlah uap air terserap per hari(g/hari) A : luas permukaan(m2)
RHout : RH di luar pengemas(%) RHin : RH di dalam pengemas(%)
Po : Tekanan uap air jenuh pada suhu pengujian(mmHg)
Akan tetapi berdasarkan data pada Tabel 2, untuk kisaran luas yang diteliti menunjukkan hasil dengan semakin meningkatnya luas permukaan kemasan maka akan meningkatkan jumlah uap air terserap per hari seperti yang terlihat pada persamaan 8. Selanjutnya, Penulis membuat persamaan
Po
RH
RH
A
t
n
x
k
in out)
(
)
(
−
=
regresi antara hubungan luas permukaan dengan jumlah uap air terserap per hari, yang dapat dilihat pada Gambar 8.
y = 0.1109x + 5E-05 R2 = 0.9944 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 0.008 0.009 0.01 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 Luas Ju ml ah u a p ai r t e rserap p e r h a ri
Gambar 8. Kurva regresi linear luas permukaan dengan jumlah uap air terserap per hari
Berdasarkan Gambar 8, Penulis dapat mengetahui bahwa hubungan antara luas permukaan dengan jumlah uap air terserap per hari adalah berbanding lurus karena hubungannya dapat didekati dengan persamaan regresi linear yaitu Y = 0.1109X + 5 x 10-5 dengan nilai koefisien determinasi (R2= 0,9944) yang mendekati +1, artinya persamaan regresi linear dapat menggambarkan data yang ada dengan mewakili 99% data hubungan antara jumlah uap air terserap per hari dengan luas permukaan. Dengan demikian untuk kisaran luas permukaan 0,02-0,08 m2, semakin bertambahnya luas permukaan maka laju penyerapan uap air akan bertambah pula.
Apabila dihubungkan dengan teori transfer uap air ke dalam kemasan, maka dengan semakin meningkatnya luas permukaan kemasan maka akan memperluas bidang kontak antara uap air (sorbate) dengan kemasan sehingga akan meningkatkan proses kelarutan dan difusi uap air ke dalam kemasan yang mengakibatkan jumlah uap air terserap per hari semakin besar dengan bertambahnya luas permukaan.
2. Pengaruh Bobot Produk terhadap Permenasi Uap Air
Pada penelitian ini, Penulis ingin melihat pengaruh bobot produk terhadap permeansi uap air dengan melakukan beberapa perlakuan bobot berbeda yang disimpan pada suhu 37 °C dan RH 80% dengan luas permukaan yang tetap yaitu 0,04 m2 dengan kemasan fleksibel OPP20/ VMOPP20. Selama 14 hari pengamatan dilakukan penimbangan sampel, untuk melihat hubungan jumlah uap air terserapnya dengan waktu sehingga untuk setiap perlakuan bobot dihasilkan jumlah uap air terserap per harinya yang diperoleh dari kemiringan kurva hubungan antara perubahan bobot produk dengan hari.
Pada penelitian pendahuluan, diperoleh hasil bahwa pengaruh bobot produk terhadap permeansi uap air tidak konsisten (fluktuatif) sehingga tidak dapat diperoleh kesimpulan yang pasti. Oleh karena itu, Penulis melakukan penelitian berikutnya dengan perlakuan bobot 5, 10, 15, 40, 60, 80 dan 100 gram silika gel. Setelah 14 hari penimbangan, Penulis memperoleh permeansi uap air seperti terlihat pada Tabel 4. Data