• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. Hasil dan Pembahasan

4.4. Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang

Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar dari 8% (bk) hingga 15% (bk) (Gambar 15), lebih tinggi daripada kadar pati resisten kontrol (tanpa otoklaf), yaitu sebesar 6.38% (bk). Kadar pati resisten tertinggi dihasilkan oleh pemanasan otoklaf berulang dua siklus yaitu sebesar 15.90% (bk), dimana terjadi peningkatan sebesar 9.52% dibandingkan kadar pati resisten kontrol (6.38%).

Gambar 15 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang

Peningkatan kadar pati resisten berhubungan dengan peningkatan kadar amilosa (Gambar 17) yang berasal dari bagian rantai pendek lurus amilopektin. Wen et al. (1996) melaporkan bahwa amilopektin dapat terdegradasi oleh perlakuan fisik seperti pemanasan menjadi beberapa bagian rantai pendek lurus a(1,4) glukan yang mana dapat meningkatkan kadar pati resisten. Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) otoklaf dua siklus lebih tinggi daripada

0 2 4 6 8 10 12 14 16

kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus 6.38 0.06a 11.26 0.01c 15.90 0.07d 8.10 0.63b Kadar p ati resisten (%bk)

TPM hasil otoklaf satu siklus yaitu 11.26 % (bk) sedangkan pada TPM otoklaf tiga siklus, kadar pati resisten menurun menjadi 8.1% (bk) (Gambar 15).

Penurunan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) perlakuan otoklaf tiga siklus berhubungan dengan terjadinya sedikit penurunan pada kadar amilosanya (Gambar 17), dimana kadar amilosa pada TPM tiga siklus otoklaf masih relatif tinggi tetapi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Pembentukan pati resisten oleh proses pemanasan dan pendinginan dipengaruhi oleh proses kristalisasi amilosa. Jika kadar amilosa yang tersedia mengalami perubahan, maka kadar pati resisten yang terbentuk juga akan mengalami perubahan.

Penambahan jumlah pengulangan siklus pemanasan otoklaf memiliki pengaruh yang berbeda di dalam meningkatkan kadar pati resisten. Peningkatan kadar pati resisten di dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Hickman et al. (2009), dimana perlakuan otoklaf tiga kali pada tepung jagung dan gandum memberikan dampak peningkatan pati resisten dari 11% menjadi 13.3% untuk tepung jagung sedangkan pada tepung gandum peningkatan yang terjadi hanya dari 9.1% menjadi 10.9%. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa pemanasan otoklaf berulang memberikan peningkatan kadar pati resisten pada TPM yang berbeda nyata dengan kadar pati resisten kontrol (Lampiran 25).

4.4.2. Kadar Pati

Pati merupakan komponen utama dari tepung pisang yang belum matang (63.50-74.65%) (Pacheco-Delahaye et al. 2008). Kadar pati tepung pisang modifikasi setelah pemanasan berulang (satu sampai dengan tiga kali) berkisar pada 70.92-76.02% (bk) (Gambar 16), dimana berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05) kadar pati tepung pisang setelah perlakuan satu, dua dan tiga kali siklus pemanasan tidak tidak berbeda nyata dengan kontrol (70.93% bk) (Lampiran 26). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kadar pati dari pati garut termodifikasi dimana pemanasan otoklaf dan pendinginan yang diulang sebanyak tiga hingga lima siklus tidak mempengaruhi kadar pati (Pratiwi 2008).

Gambar 16 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati tepung pisang

Pengukuran kadar pati dilakukan dengan menggunakan metode hidrolisis oleh asam kuat. Asam kuat akan menghidrolisis seluruh pati (struktur yang kompleks) termasuk pati resisten menjadi bentuk gula pereduksi. Kadar pati dihitung melalui konversi jumlah gula. Irisan pisang yang diberi perlakuan otoklaf dan pendinginan (suhu 4ºC, selama 24 jam) satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang yang tidak mengalami perubahan kadar patinya (pati tidak mengalami penguraian). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terukurnya pati resisten sebagai bagian dari pati selain amilosa dan amilopektin. Peningkatan kadar pati resisten (Gambar 15) dan amilosa (Gambar 17) menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Selain amilosa dan amilopektin, pati modifikasi (pati resisten) juga termasuk komponen pati (Pratiwi 2008). 4.4.3. Kadar Amilosa

Kadar amilosa dari tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar antara 40.41-45.30% (bk) (Gambar 17). Perlakuan pemanasan berulang satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang dengan kadar amilosa yang lebih tinggi atau cenderung konstan jika dibandingkan kadar amilosa kontrol (36% bk). Berdasarkan hasil analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan (a=0.05), terjadi peningkatan kadar amilosa tepung pisang modifikasi

0 10 20 30 40 50 60 70 80

kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus 71.97 3.18a 75.11 0.54a 76.02 2.21a 70.93 0.51a

Kadar

hasil siklus pemanasan berulang yang berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol (Lampiran 27).

Gambar 17 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar amilosa tepung pisang

Peningkatan kadar amilosa pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang merupakan indikasi terjadi pemutusan sebagian dari ikatan cabang amilopektin. Perolehan kadar amilosa yang lebih tinggi pada pati pisang yang diberi perlakuan otoklaf dibandingkan yang tidak diberi perlakuan mengindikasikan terjadinya debranching sebagian pada amilopektin (Aparicio- Saguilan et al. 2005).

Kadar amilosa yang meningkat pada tepung pisang modifikasi menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi memiliki potensi yang baik sebagai prebiotik. Pati yang kaya amilosa setelah mengalami proses gelatinisasi dan retrogradasi berpotensi menghasilkan pati resisten, dimana pati resisten tersebut apabila dapat melewati usus halus akan menjadi substrat untuk mendukung pertumbuhan probiotik (Sajilata et al. 2006).

4.4.4. Daya Cerna Pati In Vitro

Tepung pisang yang diberi pemanasan otoklaf satu kali, dua kali dan tiga kali memiliki daya cerna pati in vitro masing-masing adalah 44.94% (bk), 41.35% (bk) dan 52.60 % (bk) (Gambar 18). Hasil analisis ragam dan uji lanjut

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus 35.68 2.89a 45.30 1.63b 43.03 1.28b 40.41 1.74ab Kadar amilosa (%bk)

Duncan (a=0.05) menunjukkan bahwa daya cerna pati in vitro tepung pisang hasil otoklaf tiga kali siklus berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol, sedangkan tepung pisang hasil otoklaf satu dan dua siklus tidak berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 28).

Gambar 18Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap daya cerna pati tepung pisang

Peningkatan nilai daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi tiga siklus otoklaf kemungkinan disebabkan oleh adanya penguraian sebagian dari oligosakarida dan karbohidrat sederhana lain selain pati resisten yang terdapat di dalam tepung pisang akibat proses otoklaf berulang sehingga terukur sebagai karbohidrat yang dapat dicerna. Selain itu, peningkatan daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi (TPM) hasil tiga siklus otoklaf juga berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar pati resisten pada TPM tersebut (Gambar 15).

Daya cerna pati digunakan sebagai parameter awal untuk mengindikasikan terjadinya peningkatan kadar pati resisten TPM, karena TPM dengan daya cerna yang lebih rendah kemungkinan memiliki kandungan pati resisten yang lebih besar. Peningkatan kadar pati resisten dapat menurunkan daya cerna pati in vitro karena pati resisten dapat terukur sebagai serat pangan yang tidak larut (Ranhotra et al. 1991). 0 10 20 30 40 50 60

kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus 40.15 0.51a 44.94 1.48

a

41.35 2.93a

52.61 3.87b

4.4.5. Kadar Serat Pangan Total

Serat pangan dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu serat larut dan serat tidak larut. Kadar serat pangan total adalah jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Pemanasan otoklaf berulang satu, dua dan tiga siklus menghasilkan kadar serat pangan total 7.61% (bk), 8.2% (bk) dan 8.17% (bk) (Gambar 19). Berdasarkan hasil analisis analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), kadar serat pangan total kontrol (7.36%) berbeda nyata dengan serat pangan total pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf satu, dua dan tiga siklus (Lampiran 29).

Gambar 19Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar serat pangan total tepung pisang

Pemanasan otoklaf berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total dari tepung pisang modifikasi (TPM) yang dihasilkan (Gambar 19). Peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang modifikasi (TPM) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar pati resisten yang terukur sebagai serat pangan tidak larut. Hasil serupa juga ditemukan pada pati garut yang dimodifikasi dengan pemanasan otoklaf dimana kadar serat pangan meningkat setelah pemanasan akibat terbentuknya pati resisten (Sugiyono et al. 2009).

Pemanasan otoklaf tiga siklus tidak lagi menghasilkan peningkatan kadar serat pangan total (tidak berbeda nyata dengan TPM hasil dua siklus otoklaf) pada tepung pisang. Hasil ini sesuai dengan kadar pati resisten TPM tiga siklus otoklaf

0 1 2 3 4 5 6 7 8

kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus 7.36 0.08a 7.61 0.04b 8.2 0.01c 8.17 0.04c S erat pangan total (%bk)

yang mengalami penurunan (Gambar 15), sedangkan daya cernanya mengalami peningkatan (Gambar 18).

4.5. Viabilitas Bakteri Asam Laktat Pada Tepung Pisang Modifikasi

Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan probiotik. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini adalah BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus plantarum sa28k dan Lactobacillusfermentum 2B4. Pengujian ini menggunakan media m-MRSB sebagai kontrol untuk melihat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai oleh bakteri asam laktat kandidat probiotik yang diujikan di dalam uji ini.

Sel hidup dihitung setelah waktu inkubasi 24 jam. Jumlah kultur awal yang diinokulasikan dalam uji viabilitas adalah 6.30 log cfu/ml (L. acidophillus), 6.18 log cfu/ml (L. plantarum sa28k) dan 6.48 log cfu/ml (L. fermentum 2B4). Tepung pisang modifikasi (TPM) yang digunakan adalah tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus otoklaf (TPMFO) dan tepung pisang hasil satu siklus otoklaf tanpa fermentasi (TPMO) yang kedua TPM tersebut sudah dihilangkan kandungan gula-gula sederhananya.

4.5.1. Lactobacillus acidophillus sp.

Pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media air+TPMFO adalah sebanyak 1.41 log cfu/ml sedangkan pada media air+TPMO sebanyak 1.04 log cfu/ml (Gambar 20). Media air digunakan untuk dapat mengamati pengaruh TPM secara khusus dalam membantu meningkatkan pertumbuhan L. acidophillus sp., sehingga dapat menunjukkan sifat prebiotik suatu bahan yang ditambahkan ke dalam media karena hanya bahan tersebut yang dapat digunakan sebagai sumber karbon (nutrisi).

Gambar 20 Viabilitas L. acidophillus sp.pada beberapa media TPM Peningkatan pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media m- MRSB+TPMFO cukup baik yaitu sebanyak 2.51 log cfu/ml dan pada media m- MRSB+TPMO yaitu sebanyak 2.34 log cfu/ml. Akan tetapi, jika kita mengamati selisih pertumbuhan L. acidophillus sp. antara media m-MRSB sebagai media kontrol dengan media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan yang terjadi relatif kecil yaitu antara 0.34-0.51 log cfu/ml (Gambar 20).

4.5.2. Lactobacillus plantarum sa28k

Uji viabilitas Lactobacillus plantarum sa28k menunjukkan bahwa

peningkatan pertumbuhan pada media air+TPMFO adalah sebanyak 0.54 log cfu/ml dan pada media air+TPMO adalah sebanyak 1.14 log cfu/ml

(Gambar 21). Berdasarkan jumlah peningkatan pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media air yang ditambahkan TPM, dapat disimpulkan bahwa TPMO lebih membantu pertumbuhan dari L. plantarum sa28k dibandingkan TPMFO.

Respon pertumbuhan pada media air+TPMFO yang berbeda antara L. acidophillus (1.41 log cfu/ml) dengan L. plantarum sa28k (0.54 log cfu/ml) menunjukkan bahwa setiap strain memiliki skor aktivitas prebiotik yang berbeda. Interaksi prebiotik dengan probiotik sangat tergantung pada strain bakteri (bersifat spesifik), bukan hanya berdasarkan pada spesies (Artanti 2009).

0 2 4 6 8 10

m-MRSB m-MRSB+TPMO m-MRSB+TPMF0 Air+TPM0 Air+TPMF0

8.30 8.64 8.81

7.34 7.71

Gambar 21 Viabilitas L. plantarum sa28k pada beberapa media TPM Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-MRSB+TPMFO sangat baik yaitu sebesar 2.63 log cfu/ml, sangat berbeda dengan pertumbuhannya pada media air+TPMFO yang hanya mengalami peningkatan 0.54 log cfu/ml. Perbedaan ini menunjukkan bahwa L. plantarum sa28k sangat membutuhkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhannya. Media m-MRSB merupakan media bebas gula (sumber karbon) yang masih mengandung pepton dan ekstrak khamir (sumber

nitrogen) serta mineral. Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-MRSB+TPMO adalah sebanyak 2.57 log cfu/ml. Selisih peningkatan

pertumbuhan yang terjadi antara media m-MRSB sebagai media kontrol dengan media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan adalah antara 0.45- 0.51 log cfu/ml (Gambar 21).

4.5.3 Lactobacillus fermentum 2B4

Peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media air+TPMFO adalah sebanyak 1.63 log cfu/ml, sedangkan pada media air+TPMO adalah sebanyak 1.8 log cfu/ml (Gambar 22). Pertumbuhan L. fermentum 2B4 (1.63- 1.8 log cfu/ml) pada media air+TPM jika dibandingkan dengan pertumbuhan L acidophillus sp. (1.04-1.41 log cfu/ml) dan L. plantarum sa28k (0.54-1.14 log cfu/ml) relatif lebih tinggi. Perbedaan jumlah peningkatan pertumbuhan pada media air+TPM juga menunjukkan perbedaan kemampuan suatu BAL probiotik dalam memanfaatkan sumber nutrisi (fermentasi prebiotik) yang ada pada media pertumbuhannya. 0 2 4 6 8 10

m-MRSB m-MRSB+TPMO m-MRSB+TPMF0 Air+TPM0 Air+TPMF0

8.3 8.75 8.81

7.32

6.72

Gambar 22 Viabilitas L. fermentum 2B4 pada beberapa media TPM Uji viabilitas L. fermentum 2B4 menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media m-MRSB+TPMFO adalah sebanyak 2.52 log cfu/ml, sedangkan pada media air+TPMO adalah sebanyak 2.29 log cfu/ml. Selisih pertumbuhan L. fermentum 2B4 antara media m-MRSB sebagai media kontrol dengan media m-MRSB+TPM sebagai media pertumbuhan adalah antara 0.41-0.64 log cfu/ml (Gambar 22).

Hasil uji viabilitas terhadap ketiga BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus sp., L. plantarum sa28k dan L. fermentum 2B4 yang ditumbuhkan pada media TPM bebas gula menunjukkan hasil bahwa TPM hasil otoklaf baik dengan dikombinasi fermentasi (TPMFO) maupun tanpa fermentasi (TPMO) memiliki potensi dalam membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar amilosa pada (TPMO) dan (TPMFO) dimana keduanya memiliki kadar amilosa dan kadar pati resisten yang relatif tinggi (Gambar 10 dan Gambar 12).

Topping et al. (1997) melaporkan bahwa pati resisten dari pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki granula-granula pati yang membentuk suatu pola permukaan bagi probiotik untuk melekat pada usus bagian atas, sehingga dapat meningkatkan viabilitas probiotik. TPM sebagai sumber nutrisi masih mengandung banyak karbohidrat dari pati yang bersifat tidak resisten, sehingga menyebabkan lebih mudah untuk dicerna dan dimetabolisme oleh probiotik. Pengujian viabilitas probiotik pada TPM masih perlu dikonfirmasi dengan hanya menggunakan pati resistennya saja, bukan dalam bentuk tepung (TPM).

0 2 4 6 8 10

m-MRSB m-MRSB+TPMO m-MRSB+TPMF0 Air+TPM0 Air+TPMF0

8.36 8.77 9 8.28 8.11

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Keempat jenis pisang yaitu pisang kepok, siam, uli dan tanduk memiliki potensi sebagai sumber pati resisten karena kandungan pati dan amilosanya yang relatif tinggi. Fermentasi spontan irisan pisang tanduk melibatkan tiga kelompok mikroorganisme yang berperan selama fermentasi yaitu amilolitik, mesofilik dan bakteri asam laktat. Upaya peningkatan kadar pati resisten melalui proses fermentasi irisan pisang terlebih dahulu dilanjutkan dengan pemanasan otoklaf dipengaruhi oleh lama fermentasi dan jumlah siklus pemanasan otoklaf.

Fermentasi spontan 24 jam merupakan lama fermentasi terbaik dalam meningkatkan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi yang dihasilkan, karena pada lama fermentasi tersebut terjadi pembentukan asam laktat (penurunan pH) dan enzim amilase dalam jumlah tertentu. Fermentasi selama 24 jam dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan otoklaf mampu meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang tanduk dari 6.38% (bk) menjadi 15.24% (bk). Peningkatan kadar pati resisten yang sama (15.90%) juga dapat diperoleh bila pisang tidak difermentasi tetapi diberi pemanasan otoklaf sebanyak dua siklus.

Penambahan siklus pemanasan otoklaf menjadi tiga siklus tidak lagi meningkatkan kadar pati resisten bahkan menurunkannya, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan daya cerna pati. Kedua proses modifikasi terbaik juga menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan kadar serat pangan total yang tinggi (7.7-8.2%) dan mendukung pertumbuhan probiotik (1-2 log cfu/ml) yang mengindikasikan potensinya sebagai kandidat prebiotik.

5.2. Saran

Uji viabilitas dari tepung pisang tanpa modifikasi (native) perlu dilakukan sebagai data pembanding dengan hasil uji viabilitas probiotik tepung pisang modifikasi. Disamping itu, diperlukan pengujian lebih lanjut dari alternatif proses kombinasi terbaik hasil penelitian ini untuk meningkatkan pati resisten, yaitu kombinasi fermentasi spontan 24 jam dengan dua siklus pemanasan otoklaf.

DAFTAR PUSTAKA

Adams KL. 2004. Food dehydration options. Value Added Technical Note. www.attra.org/attra.pub/PDF/dehydrate.pdf (08/28/2007).

Adeniji TA, Barimalaa IS, Achinewhu SC. 2006. Evaluation of bunch characteristics and flour yield potential in black sigatoka resistant plantain and banana hybrids. Glob. J. Pure Appl. Sci. (NGA)12: 41-43. Aini, N. 2009. Pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih

varietas lokal (Zea mays L.) terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan. Disertasi. Pascasarjana IPB. Bogor. Álvarez EE dan Sánchez PG. 2006. Dietary Fibre. J. Nutr. Hosp. 21 (Supl. 2)

60-71.

Anderson AK, Guraya HS, Jame C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting temperature (Tm). J. Starch/Starke 54: 401-409

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemists. Inc., Washington D.C.

Aparicio-Saguilan A, E. Flores-Huicochea, Juscelino. T, F. Garcia-Suarez, F. Gutierrez-Meraz, L. A. Bello-Perez. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J. Starch/Starke 57, 405-412. Willey-VCH Verlag GmbH& Co.

Apata, David F. 2008. Effect of cooking methods on available and unavailable carbohydrates of some tropical grain legumes. African J. Biotech vol. 7 (16), pp. 2940-2945

Aremu CY, Udoessien EI. 1990. Chemical estimation of some inorganic elements in selected tropical fruits and vegetables. Food Chem. 37: 229-240. Artanti, A. 2009. Pengaruh prebiotik inulin dan fruktooligosakarida (FOS)

terhadap pertumbuhan tiga jenis probiotik. Skripsi. Fateta-IPB.

Asp, N. G., I, Bjorck. 1992. Resistant starch. Trends in Food Sci. Technol, 3:111- 114

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Bacteriological Analytical Manual Chapter 3: Aerobic plate count. U.S. Food and Drug Administration.www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethod s/BacteriologicalAnalyticalManualBAM/ucm063346.htm [30 Juni 2009] Behall KM, Scholfield DJ, Hallfrisch JG, Liljeberg Elmstahl HGM. 2006. Consumption of both resistant starch and ß glucan improves postprandial plasma glucose and insulin in women. Diabetes care 29 : 976 981.

Bolognani F, Rumney CJ, Pool-Zobel BL, Rowland IR. 2001. Effect of lactobacilli, bifidobacteria and inulin on the formation of aberrant crypt foci in rats. J. Nutr 40: 293-300.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi buah-buahan indonesia. http://www.bps.go.id

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1997. Tepung pisang. Standar Nasional Indonesia [SNI 01-3841-1995]. 1995. ICS 67.080.10. Jakarta.

Carvalho, E. P., Canhos, V.P., Asquier, I., Vilela, E.R., Carvalho, E. R. 1999. Determinacion de la flora microbiana de la fecula de yuca fermentada (Polvilho Azedo) durante las diferentes etapas de procesamiento. Alimentaria 8, 97-103

Cherbuy C, Andrieux C, Honvo-Houeto E, Thomas M, Ide C, Druesne N, Chaumontet C, Darey Vrillon B, Duee PH. 2004. Expression of mitochondrial HGMCoA synthase and glutaminase in the colonic mucosa is modulated by bacterial species. Eur J Biochem 271, 87-96 Crowther, P. C. 1979. The Processing of Banana Products for Food Use. Tropical

Product Institute.

C.S. Berry. 1986. Resistant Starch: formation and measurement of starch that survives exhaustive digestion with amylolytic enzymes during the determination of dietary fiber. J. Cereal Sci. 4, 301-314

[DP Lumajang] Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang. 2009. Pemerintah Kabupaten Lumajang. www.lumajang.go.id/pertanian.php

Eerlingan RC, Delcour JA. 1995. Formation, analysis, structure and properties of Type III enzyme resistant starch. J. Cereal Sci 22:129 138.

Eggleston G, Swennen R, Akoni S. 1992. Physicochemical studies on starch isolated from plantain cultivars, plantain hybrids and cooking banana. Starch/Starke 44: 121-128.

Elliot Hickman, B. Srinivas Janaswamy, dan Yuan Yao. 2009. Autoclave and ß- amylolysis led to reduced in vitro digestibility of starch. J. Agric. Food Chem. 57, 7005-7012.

Emaga Happi T, Herinavalona Andrianaivo R, Wathelet B, Tchango Tchango J, Paquot M. 2007. Effects of the stage of maturation and varieties on the chemical composition of banana and plantain peels. Food Chem. 103: 590-600.

Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eur J. Clinical Nutr 46 :533 550.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical Meeting On Prebiotics.http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meetin g_ Report.pdf [22 Nov 2008].

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi pangan I. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Gonzales RA et al. 2004. Resistant starch made from banana starch by

autoclaving and debranching. J Starch. 56: 495 – 499.

Greenhill AR et al. 2008. Spontaneous fermentation of traditional sago starch in Papua New Guinea. Food Microbiol xxx 1-6.

Haralampu SG. 2000. Resistant starch – A review of the physical properties and biological impact of RS3. J.Carb Polym, 41, 285–292.

Hardiman. 1982. Tepung pisang, cirri, jenis, cara pembuatan, resep penggunaan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Higgins JA, Higbee DR, William T. Donahoo WT, Brown IL, Bell ML, Bessesen DH. 2004. Resistant starch consumption promotes lipid oxidation. J.Nutr and Metabolism 1:8.

Institute of Medicine. 2002. Dietary, functional and total fiber. Dietary Reference Intakes: Proposed Definition of Dietary Fiber. P19-20.

Jenie BSL, Nurwitri CC, Nurjanah S, Firlieyanti AS. 2006. Pengembangan produk pangan tinggi serat dan sumber prebiotik dari resistant starch umbi umbian (Laporan Research Grant Program Hibah Kompetisi B). Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jenkins DJA et al. 1998. Physiological effects of resistant starches on fecal bulk, short chain fatty acids, blood lipids and glycemic index. J. Amer College of Nutr 17:609 616.

Johansson ML, Sanni A, Lonner C, Mollin G. 1995. Phenotypically based taxonomy using API 50 CH of Lactobacilli from Nigeria ogi, and the occurrence of starch fermenting strains. Int J. food microbiol 25:159-168 Juárez-García E, Agama-Acevedo E, Sayago-Ayerdi SG, Rodríguez-Ambriz SL, Bello-Pérez LA (2006) Composition, digestibility and application in breadmaking of banana flours. Plant Foods Hum. Nutr. 61: 131-137. Judoamidjojo, R. M dan Nani Lestari. 2002. Studi Rendemen dan Karakterisasi

Tepung Pisang Nangka, Siam dan Oli dengan Penundaan Kematangan oleh KMNO4. J. Teknol Industri Pertanian. Vol. 3 (1).

Juliano BO. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. J. Cereal Sci (16) : 334-336

Kahlon,TS dan Smith GE. 2007. In vitro binding of bile acids by bananas, peaches, pineapple,grapes,pears, apricots and nectarines. Food Chem. 101:1046-1051

Kim JH et al. 2008. Characterization of gene encoding amylopullulanase from plant originated lactic acid bacterium, Lactobacillus plantarum L137. J. Biosci and Bioengine 106 : 449 459.

Kim JH et al. 2009. Characterization of the C terminal truncated form of amylopullulanase from Lactobacillus plantarum L137. J. Biosci and Bioengine 107:124 129.

Kin Y-I. 2000. Aga technical review: Impacto of dietary fiber on colon cancer occurrence. Gastroenterology 118:1235-1257.

Lacerda, Inayara C.A, Rose L.M, Beatriz M.B, Alvaro C.N, Regina MDN, Marc- Andre L, Carlos A.R. 2005. Lactic acid bacteria and yeast associated with spontaneous fermentations during the production of sour cassava starch in Brazil. IntJ. Food Microbiol 105:213-219

Lehmann, U.,G. Jacobasch, dan D. Schmiedl. 2003. Characterization of resistant starch type III from banana (Musa Acuminata). J. Agri and Food Chem. Lehninger. 1993. Dasar-dasar biokimia. PT. Gramedia Pustaka.

Dokumen terkait