• Tidak ada hasil yang ditemukan

MTCR, LAPAN, dan Kebijakan Pemerintah Indonesia

Dalam dokumen Buletin LAPAN Vol 4 No 1 (Halaman 52-56)

Zakaria Masyarakat pecinta ilmu pengetahuan

dan teknologi antariksa, khususnya teknologi roket, wajib mengetahui tentang informasi he Missile Technology Control Regime (MTCR). Apa itu MTCR? Manfaatnya apa? Lalu bagaimana dengan Indonesia?

MTCR

merupakan sebuah asosiasi informal, sukarela dari negara-negara yang memiliki tujuan yang sama. Asosiasi ini bertujuan untuk membatasi dan mengawasi alih teknologi (termasuk di dalamnya teknologi antariksa) yang dapat berperan dalam teknologi misil, senjata pemusnah massal, dan teknologi guna ganda (untuk sipil dan militer).

Kegiatan tersebut untuk melakukan non-proliferasi sistem pesawat tanpa awak dan teknologi misil. Sedang senjata pemusnah massal yang digunakan yaitu tenaga nuklir, kimia, dan senjata biologis. MTCR dikatakan sebagai rezim pengendalian teknologi rudal yang mampu menjangkau lebih dari 300 kilometer dan bermuatan 500 kilogram.

Asosiasi ini berdiri lantaran adanya beberapa kekhawatiran Amerika Serikat (AS). Antara lain terhadap uji coba misil balistik Korea Selatan (1987), upaya Irak membeli roket-roket bertingkat (yang tidak digunakan lagi) dari Italia (1979), uji coba Satellite Launch Vehicle-3 (SLV-3) oleh India (1980), dan uji coba roket oleh perusahaan milik Jerman Barat di Lybia (1981).

MTCR dibentuk pada tahun 1987 oleh beberapa negara maju seperti AS, Kanada, Jerman Barat, Perancis, Italia, Jepang, dan Inggris, yang dimotori oleh AS. Kini, anggotanya sudah mencapai sejumlah 34 negara. Anggota MTCR berhak memperoleh kemudahan alih teknologi di antara sesama anggotanya. Hal tersebut tidak diperoleh oleh negara non anggota MTCR.

Demikian ikatan dari keanggotaannya. Jadi negara yang berminat mengajukan keanggotaan, harus melalui keputusan secara konsensus negara-negara anggota MTCR. Apakah mereka akan mengakui pemohon atau tidak.

Sejak berdiri, MTCR berhasil membantu memperlambat dan menggagalkan misi beberapa negara dalam mengembangkan program rudal balistik. Contohnya, sebagaimana pernyataan he Arms Control Association, bahwa Argentina, Mesir, dan Irak meninggalkan program rudal balistik bersama penyapu ranjau Condor II. Sementara Brasil, Afrika Selatan, dan Taiwan juga menunda atau menghapuskan program peluncuran rudalnya. Beberapa negara Eropa Timur, seperti Polandia dan Republik Ceko menghancurkan rudal balistik mereka. Kemudian, Oktober 1994 ada kebijakan “no undercut”. Artinya, satu anggota tidak menjual teknologi, sementara anggota lainnya harus mematuhinya

Namun pada kenyataannya, tidak semua negara yang memiliki kemampuan dalam pengembangan teknologi rudal balistik mematuhi MTCR. Beberapa negara yang telah diketahui melanggar peraturan MTCR secara sembunyi-sembunyi antara lain China, Israel, Korea Selatan, dan Pakistan.

Mereka terus melanjutkan program rudal bekerja sama dengan berbagai negara. Caranya dengan penyaluran bantuan dari luar negeri. Kegiatannya, pengembangan rudal balistik jarak menengah yang dapat menempuh jarak lebih dari 1.000 kilometer dengan rentang yang jauh lebih besar.

Negara-negara seperti Israel, India, korea, dan China membuat misi khusus he Submarine Launched Cruise Missile (SLCM) dan Inter Continental Ballistic Missile (ICBM) berhulu ledak nuklir. Negara-negara tersebut juga menjadi penjual senjata. Korea Utara misalnya, dipandang sebagai sumber utama proliferasi rudal balistik di dunia saat ini. Cina telah memasok rudal balistik dan teknologi ke Pakistan. Cina juga memasok roket rudal balistik jarak menengah berbahan bakar cair dan Inter Mediate Range Ballistic Missile (IRBM) ke Arab Saudi. Iran telah memasok teknologi rudal ke Suriah. Israel mengekspor sistem peluncuran antariksa Shavit ke pelanggan asing. Meskipun pada tahun 1994, AS melarang hal tersebut, akan tetapi tahun 2002 akhirnya diizinkan.

Tahun 1994, China mematuhi pedoman dan membangun pernyataan bersama mengenai Nonproliferasi rudal. Tahun 2004, China mendatar untuk bergabung dengan MTCR. Masuknya China menumbuhkan kekhawatiran anggota lainnya lantaran standar kontrol ekspor China. Menyusul Israel, Rumania, dan Slovakia yang sepakat secara sukarela mengikuti peraturan ekspor MTCR, meski belum menjadi anggota. Rezim ini memiliki keterbatasan dalam mengontrol MTCR, karena masih terjadi pelanggaran peraturan secara sembunyi-sembunyi.

India juga mengajukan keanggotaan MTCR. Ia bergabung dengan MTCR pada tanggal 27 Juni 2016, setelah mendapat keputusan konsensus dari anggota.

Banyak keuntungan yang diperhitungkannya. Asosiasi ini membuka jalan bagi India untuk membeli teknologi rudal kelas atas. India juga berpeluang membeli pesawat pengintai mutakhir seperti Predator AS. Ia juga dapat meningkatkan kerja sama dengan Rusia di bidang teknologi roket, khususnya pengembangan mesin cryogenic untuk eksplorasi antariksa dan misi antar planet. India dapat menjual Indo-Russian Supersonic Cruise Missile (BrahMos) ke Vietnam.

Negara ini juga berpeluang masuk ke kelompok pemasok nuklir, Nuclear Suppliers roup (NSG) yang beranggotakan 48 negara. Kelompok ini diproyeksikan membantu India melakukan perdagangan secara lebih efektif di bidang teknologi nuklir. India dapat mengembangkan Ballistic Missile System dan membeli misil arrow II milik Israel. Dengan menjadi anggota MTCR, maka memudahkan ISRO dalam pengadaan komponen dan bahan bakar roket. Hal ini akan meningkatkan frekuensi bisnis peluncuran roket PSLV ISRO.

Besar manfaatnya dengan bergabung dalam keanggotaan MTCR. Namun sampai saat ini Indonesia belum bisa meratiikasi keputusannya untuk mengajukan keanggotaan di MTCR. Sehingga untuk memperoleh alih teknologi dari negara-negara yang maju di bidang keantariksaan masih jauh dari angan. Sedangkan, program keantariksaan belum menjadi program prioritas Pemerintahan Indonesia.

Keputusan tersebut terus dikaji oleh Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa (KKPA) LAPAN. Sementara Indonesia sebagai negara besar sangat membutuhkan teknologi antariksa. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan tahun 2016-2040.

Saat ini, LAPAN sedang berupaya menjalankan program dan kegiatan untuk mendukung upaya kemandirian dalam penguasaan iptek penerbangan dan antariksa. Masih banyak hal pula yang dapat dijadikan jalan keluar menuju tercapainya Indonesia yang maju dan mandiri. Untuk menempuh alih teknologi dari negara lain, juga butuh tekad yang kuat negara ini dalam mengintegrasikan program prioritas pemerintah di bidang keantariksaan. Sinergitas antar institusi menjadi pondasi yang kuat untuk mencapainya.

Pada saat ini, LAPAN sedang mengembangkan teknologi roket sipil untuk keperluan Roket Pengorbit Satelit (RPS) yang mampu meluncurkan satelit ke orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO). Perkembangan teknologi roket LAPAN di masa mendatang secara tidak langsung bergantung pada kekuatan hubungan kerja sama internasional, termasuk kemungkingan keanggotaan MTCR. Siapkah Indonesia bergabung dengan MTCR? Kita ikuti terus perkembangannya yang menjadi bagian ‘Pekerjaan Rumah’ LAPAN untuk mewujudkannya. Bravo LAPAN!

Dalam dokumen Buletin LAPAN Vol 4 No 1 (Halaman 52-56)