• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ENAM PRINSIP DASAR KEPEMIMPINAN POLITIK

B. Prinsip Dasar dalam Kepemimpinan Politik Menurut

4. Musyawarah

Pengertian musyawarah menurut KBBI ialah perundingan, rapat perundingan.66 Artinya, musyawarah adalah pembahasan bersama yang bertujuan untuk mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang penting bagi kehidupan manusia, juga salah satu alat yang mampu mempersatukan sekelompok orang atau umat serta sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih baik. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Ali Imrân [3]: 159;































































“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”67

Asbâb an-Nuzûl pada ayat di atas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah “Karena rahmat Allah engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut kepada mereka.” Kemudian, Hasan al-Bashri berkata “Yang

66 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 788.

67

demikian itu merupakan akhlak Nabi Muhammad Saw. yang dengannya Allah mengutusnya.”68

Ayat di atas termasuk ayat madaniyyah, ayat yang berbicara dalam konteks perang Uhud dimana umat Islam mengalami kekalahan, serta menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi untuk memaafkan atas kesalahan mereka terhadap Nabi karena telah meninggalkan tanggung jawab yang diberikan Nabi. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah Swt. memerintahkan Nabi untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah Swt. setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.

“Mangka kalawan rahmat ti Allah karena leleus maneh ka eta mikanyaah sakabeh jalma jeung lamun aya maneh beungis keras hate mangka tangtu berat jauh sakabeh jalma tina sakuriling maneh mangka kudu ngahampura maneh ti sakabeh jalma jeung kudu mangnyuhunkeun hampura maneh eta sakabeh jalma jeung kudu musyawarah maneh serta eta sakabeh jalma dina perkara anu penting, mangka satiba nggeus „Azam maneh kana hiji perkara mangka kudu tawakkal maneh ka Allah karena saenya-enyana Allah eta mikaasih Allah ka sakabeh jalma anu tawakkal.”69

“Maka dengan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut, sayang terhadap mereka dan sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu, karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan yang penting, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.”

68 Ibnu Kaṡîr, Lubâb at-Tafsîr min Ibnu Kaṡîr, terj: M. Abdul Ghoffar, jil. 2, h. 221.

69

Pada penafsiran Ahmad Sanusi dengan perkata tersebut, ia kemudian menambahkan penjelasan tentang maksud ayat di atas, ayat di atas mengisyaratkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki seseorang ketika melakukan musyawarah. Yaitu, pertama ulah bedegong, keras hate, kudu leleus hate (jangan sombong, keras hati dan harus lemah lembut). Kedua, kudu loba ngahampura jeung mintakeun hampura buat batur-batur (harus banyak memaafkan dan meminta maaf atas segala kesalahan untuk teman-teman atau orang lain). Ketiga, sagala perkara anu kudu cukup dimusyawarahkeun jeung batur-batur (segala perkara harus dimusyawarahkan dengan teman-teman atau orang lain). Keempat, dimana ngamaksud hiji perkara kudu tawakkal kepada Allah (jika ada sesuatu „azam atau maksud harus bertawakkal kepada Allah).70

Penafsiran dalam tafsir Rawḍatul „Irfân di atas, ditegaskan juga dalam tafsir Malja‟ al-Ṭâlibîn. Pada tafsir Malja‟ al-Ṭâlibîn, Ahmad Sanusi mencantumkan hadis untuk menguatkan bahwa “Nabi Muhammad Saw. tara ngajalankeun hiiji perkara anging kedah musyawarah” (Nabi Muhammad Saw. tidak pernah melakukan sesuatu kecuali dengan musyawarah). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Siti „Aisyah sebagai berikut:

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِبَِّنلا َنِم ِلاَجِّةلِل َةَراَشَتْشِإ َةَ ثْكَأ ًلًُجَر ُتْيَأَر اَم

“Henteu nenjo kaula hiji lelaki anu luwih loba musyawarahna ka lalaki-lalaki tibanan kanjeng Nabi.” (Aku tidak pernah melihat lelaki yang

70

lebih banyak musyawarahnya daripada lelaki-lelaki yang lain kecuali Nabi Muhammad Saw.).71

Kemudian, ia juga menambahkan penjelasan bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan musyawarah itu bukan untuk kebutuhan dalam melakukan perjalanan kehidupan. Sebab, petunjuk untuk perjalanan dalam melakukan kehidupan sehari-hari sudah cukup dengan wahyu (al-Qur‟an dan hadis), untuk maksud dari loba musyawarah adalah supaya Nabi Muhammad Saw. menjadi tauladan untuk para umat-umatnya jika terdapat perkara yang tidak ada dalil dalam al-Qur‟an dan hadis.72

Jadi, pada intinya penulis memahami bahwa seorang yang melakukan musyawarah harus memiliki kesiapan mental untuk berhadapan dengan banyak opini atau pandangan yang mungkin bertentangan dengan apa yang diyakininya. Kedua, memberi maaf dan jika ada kesalahan tidak malu untuk meminta maaf. Kesiapan diri untuk memberi maaf dan meminta maaf harus dimiliki oleh seorang yang melakukan musyawarah. Karena orang yang melakukan musyawarah tidak boleh menyimpan kebencian dan dendam, dan jika tidak demikian maka keputusan yang akan dihasilkan akan tidak adil dan baik.

Sikap sabar, menerima, tulus, lemah lembut, tidak sombong, dan banyak memafkan, mutlak dimiliki oleh orang yang menjadi pemimpin. Ahmad Sanusi menjelaskan dalam tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn bahwa orang yang menjadi pemimpin dari sekian banyak orang itu harus

71 Ahmad Sanusi, Malja‟ al-Ṭâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-„Âlamîn, jil. 1, no. 8, h. 353.

72

memiliki dua sifat. Pertama, memiliki sifat murah tangan. Artinya, orang yang menjadi pemimpin harus memiliki sifat yang suka memberi dalam hal kebaikan. Kedua, memiliki sifat ḥulum (tidak lekas menyiksa atau lemah lembut).73

Manusia atau dalam konteks kepemimpinan yaitu seorang pemimpin mungkin tidak dapat menghindari dosa, maka sebagai jalan keluarnya ia harus banyak beristighfar, sebagaimana disarankan pada ayat di atas. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyerahkan semua hasil keputusan kepada Allah. Penyerahan diri kepada Allah ini penting untuk menghindari kekecewaan yang mungkin ada dalam pikiran dan hati orang yang pendapatnya tidak disetujui karena tidak didasarkan pada pikiran dan argumentasi yang matang, atau merasa bahwa pendapatnya itu yang terbaik. Namun yang harus diingat adalah bahwa apa yang terbaik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, demikian juga apa yang buruk belum tentu buruk bagi Allah. Karena bisa jadi sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 216.





















































“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal

73 Ahmad Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-„Âlamîn, jil. 3, no. 36, h. 1144.

ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”74

Sifat-sifat di atas, selain harus dimiliki oleh seorang pemimpin sifat tersebut juga harus dimiliki oleh orang yang bermusyawarah. Karena musyawarah adalah sebuah upaya mencari jalan keluar (jika ditemukan tidak ada dalil dlam al-Qur‟an dan hadis), dengan akal pikiran, untuk mendapatkan petunjuk dari Allah.75

Hidayah adalah hasil akhir dari proses pencarian yang terbaik dalam musyawarah. Masing-masing orang boleh dan bisa memiliki pandangan dan argumen yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Namun dengan hidayah Allah, argumen dan pandangan yang didasarkan dari pengalaman dan paradigma yang berbeda-beda itu akan dapat disatukan dalam sebuah rumusan hasil yang diterima oleh semua pihak yang berbeda.76

Dokumen terkait