• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5 Myofascial Pain Syndrome

2.5.1 Definisi Myofascial Pain Syndrome

Myofascial pain syndrome adalah suatu keadaan yang menimbulkan nyeri lokal dan menjalar yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaknormalan pada motoris (taut band yang keras di dalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris (nyeri tekan dan nyeri menjalar). Myofascial pain syndrome dikarakteristikkan sebagai nyeri musculosceletal yang bersifat akut atau kronis. Hal ini bisa menyebabkan timbulnya nyeri lokal, atau gangguan sekunder yang terjadi sebagai akibat dari beberapa kondisi. Ketika myofascial menjadi kronis, tidak cukup untuk diobati dengan teknik injeksi, namun membutuhkan perhatian postural, ergonomi, dan faktor – faktor struktural (Gerwin et al., 2004). Myofascial pain syndrome

biasanya berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri tekan (tenderness pain).

Myofascial pain syndrome sering terjadi pada area yang memiliki sistem transportasi metabolisme yang kurang baik. Daerah tersebut merupakan titik – titik nyeri (trigger points) yang mudah terangsang oleh sisa metabolisme (Ladopurab, 2012).

Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dikarakteristikkan dengan kondisi otot yang sakit bersifat kronis yang hypersensitive

jika diberikan penekanan. Tipe dari nyeri ini pada umumnya bersifat dalam (deep) dan tumpul, terasa nyeri pada otot yang terkena dan jika dilakukan palpasi, maka nyerinya sering menyebar ke area nonspesifik disekitar otot. Sekelompok otot yang mengalami ketegangan dan dapat diraba ini disebut dengan trigger point. Taut band

ketika diberikan penekanan tepat pada titik nyeri tersebut, maka penderita akan merasakan nyeri yang tajam. Nyeri yang dirasakan oleh penderita tidak akan terasa hingga ke persendian akan tetapi lingkup gerak sendi akan menjadi berkurang akibat dari otot penggeraknya yang mengalami masalah (Werenski, 2011).

Kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan dari trigger point. Ketika akut

trigger point menjadi kronis maka lama kesembuhan yang didapatkan pasien menjadi lebih lama. Akut trigger point terjadi karena adanya cedera secara langsung dan menjadi kronis akibat adanya trauma dalam jangka waktu yang panjang. Fisiologi yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome ini tidak dapat dipahami dengan jelas. Beberapa mekanisme telah disampikan dalam literatur-literatur tentang penyebab akut ataupun kronis. Adanya retikulum sarkoplasma yang mengalami perobekan sehingga akan melepaskan kalsium. Pelepasan kalsium dan ATP menyebabkan sarkomer mengalami kontraksi yang lebih pendek pada daerah yang terdapat taut band. Hal tersebut akan meningkatkan aktivitas metabolik, adanya iskemik dan adanya pelepasan zat tersebut menyebabkan iritasi yang berlebihan pada ujung saraf sensorik dan akhirnya menimbulkan nyeri (Simons et al., 1999).

Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial trigger point

(Fernandez et al., 2005). Komponen klinis utama pada nyeri myofascial, yang terpenting adalah adanya titik picu (trigger points), taut band, dan local twitch response (Simons et al., 1999).

27

Trigger point adalah suatu nodul hipersensitive yang terdapat dalam taut band

pada otot skeletal. Karakteristik utama dari trigger points yaitu adanya nodul pada

taut band. Nodul ini menyebabkan hyperalgesia yang merupakan respon nyeri yang berlebihan ketika diberikan suatu rangsangan normal dan adanya allodynia yang merupakan persepsi nyeri dalam menanggapi rangsangan normal (Gerwin,1999).

Trigger point dapatdiklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aktif trigger point

dan pasif trigger point. Aktif trigger point terjadi ketika pasien mengalami nyeri spontan pada saat pasien istirahat yang dapat memicu adanya reffered pain ketika diberikan suatu penekanan. Pasif trigger point terjadi ketika pasien tidak mengalami nyeri secara spontan tetapi dapat menyebabkan adanya keterbatasan gerakan dan kelemahan otot, tapi ketika trigger point tersebut mendapat penekanan maka pasien akan merasakankan nyeri pada daerah yang diberikan penekanan. Pasif trigger point

dapat menjadi aktif jika adanya stimulasi seperti posture tubuh yang tidak benar, penggunaan otot secara berlebihan tanpa adanya istirahat dan dengan posisi statik, ergonomi tubuh yang tidak benar ketika melakukan pekerjaan (Werenski, 2011).

Gambar 2.5 Trigger Point Complex

Taut band merupakan satu bendel muscle belly yang mengeras, kaku dan ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Adanya taut band

dalam otot akan mengakibatkan penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot tersebut. Adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan

myofilament dalam sarcomer taut band maka akan terjadi peningkatan konsentrasi secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate tautband. Perlengketan ini menyebabkan sirkulasi darah pada otot menjadi berkurang sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang (Gerwin et al., 2004).

Local Twitch Response (LTR) merupakan tekanan mendadak yang terasa mengejutkan atau tertusuk jarum dan sel otot berkontraksi dalam taut band. Elektrik pada LTR terjadi secara spontan dalam taut band tanpa adanya stimulasi saraf motorik disebut end plate noise yang terdapat pada ujung saraf yang dekat dengan zona trigger point. Pelepasan elektrik terjadi dengan frekuensi 10-100 kali lebih dari potensial elektrik motor end plate normal. Sehingga merupakan aktivasi saraf simpatik yang mempengaruhi pelepasan secara spontan Ach karena aktivitas adreno reseptors dari ujungsaraf motorik (Mc Partland, 1996).

2.5.2 Tanda dan gejala Myofascial Pain Syndrome

Menurut Azizah dan Hardjono, 2006 tanda dan gejala yang menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius yaitu:

29

2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar

(connective tissue).

3. Nyeri yang menjalar umumnya dengan pola yang dapat di prediksi.

4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang disebut sebagai trigger point/jump sign.

5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi.

6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat dari penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit.

7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan di sepanjang area reffered pain.

Gambar 2.6 Reffered pain otot upper trapezius

2.5.3 Penyebab Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Myofascial pain syndrome dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu (Azizah dan Hardjono, 2006):

1. Postur tubuh

Pada postur tubuh yang tidak bagus dapat menyebabkan stress dan strain

pada otot upper trapezius seperti forward head posture yaitu posisi seseorang yang melakukan posisi kerja statis terus menerus pada saat aktivitas dalam posisi duduk atau berdiri.

2. Ergonomi kerja yang buruk

Ergonomi tubuh yang tidak baik seperti penggunaan otot yang berlangsung lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan beban kerja otot upper trapezius lebih berat, posisi tempat kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi.

3. Trauma pada jaringan myofascial

Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma mikro. Trauma makro yaitu suatu cidera yang mengenai otot atau fasia. Ketika jaringan myofascial mengalami cidera maka akan terjadi proses inflamasi, ketegangan serabut kolagen, dan pemendekan serabut kolagen. Ketika serabut kolagen mengalami pemendekan menyebabkan tekanan pada jaringan myofascial akan meningkat. Sedangkan trauma mikro merupakan suatu cidera yang berulang (repetitive

31

injury) akibat dari suatu kerja dalam jangka waktu lama dan dengan beban yang berlebih.

4. Usia

Myofascial pain syndrome kebanyakan terjadi pada orang dewasa pada usia pertengahan karena kemampuan otot pada usia muda lebih baik dalam menangani stress mekanikal. Pada usia dewasa ke atas, telah terjadi penurunan fungsi akibat dari degenerasi jaringan sehingga otot akan menjadi sulit dalam menangani stress.

2.5.4 Mekanisme Myofascial Pain Syndrome

Pada myofascial pain syndrome terdapat taut band yang didalamnya berisi

trigger point. Taut band dalam otot ini dapat menyebabkan penurunan dari tingkat fleksibilitas dan ekstensibilitas otot. Adanya perlengketan ini dapat berdampak pada penurunan sirkulasi darah sehingga menyebabkan kebutuhan akan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokontriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al., 2004).

Otot upper trapezius merupakan otot tipe 1 (slow twitch) atau postural yang berfungsi sebagai stabilisator scapula ketika lengan beraktivitas, mempertahankan posisi kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan otot gravitasi. Dilihat dari fungsinya yaitu sebagai otot stabilitator, apabila terjadi suatu patologis

otot ini mudah sekali terjadi gangguan berupa thigtness dan kontraktur. Kerja otot ini akan semakin memburuk apabila adanya postur yang buruk, penggunaan otot dalam kondisi statis lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibat yang dapat ditimbulkan yaitu adanya fase kompresi dan ketegangan lebih lama daripada rileksasi yang menyebabkan otot cepat mengalami kelelahan (Sherwood, 2006).

Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus menerus, maka akan menurunkan mobilitas dari jaringan myofascial sehingga juga akan mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen dan menimbulkan stres mekanis. Jika ketegangan otot tersebut terjadi dalam waktu yang lama maka akan menstimulasi nociceptor yang terdapat di dalam otot. Semakin sering dan kuat

nociceptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat pula aktivitas refleks dari ketegangan otot tersebut, akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga akan menimbulkan iskemia pada jaringan

myofascial. Ketika adanya iskemia maka aliran darah yang menuju jaringan akan terhambat, jaringan yang mengalami iskemia beberapa menit saja dapat menimbulkan nyeri yang sangat dalam (Guyton and Hall, 2008).

Selain itu, jaringan myofascial akan berkontraksi, sehingga akan merangsang substansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen

berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat meningkatkan sensitivitas nyeri (Guyton and Hall, 2008). Proses radang dapat juga menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami kerusakan otot tersebut, sehingga timbullah viscous circle of pain, yaitu spasme

33

menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan spasme dan seterusnya (Guyton and Hall, 2008).

Pada umumnya ketika ada rasa nyeri, pasien tidak mau menggerakan bagian tersebut (immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk

taut band dan trigger point Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi immobilisasi untuk beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu ikatan melintang dapat terbentuk di antara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen adalah unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (crossbinding) ini akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara lembaran fasia. Ketika jaringan ikat dalam keadaan immobilisasi maka akan terjadi perubahan pada substansi dan serabut kolagen. Protein-karbohidrat kompleks dalam substansi dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel yang tidak berbentuk (water binding complex mucopolysacharides) atau lebih dikenal dengan glikosaminoglikans

(Guyton and Hall, 2008).

Dalam kondisi immobilisasi kandungan air akan berkurang dan bagian terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen yang lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fasia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fasia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan imobilisasi dari jaringan myofascial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomi yang jelek,

dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblas dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross links). Cross links kolagen akan secara fisiologis timbul perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area tersebut. Aliran darah pada area tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya nyeri (Guyton and Hall, 2008).

Traktus paleospinotalamikus merupakan sistem yang menjalarkan rasa nyeri terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer. Walaupun jaras ini juga menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe Aδ juga. Serabut-serabut perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu dorsalisnya sebelum memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini neuron-neuron terakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat (Guyton and Hall, 2008).

Ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula spinalis kemungkinan mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter substansi P. Transmiter glutamat

bekerja secara cepat dan hanya berlangsung beberapa milidetik. Substansi P

dilepaskan jauh lebih lambat. Inilah mengapa seseorang bisa merasakan nyeri ganda. Lokalisasi nyeri yang dijalarkan lewat jalur jaras paleospinotalamikus bersifat buruk,

35

sehingga seringkali pasien memiliki kesulitan dalam melokalisasikan sumber beberapa nyeri jenis kronik (Guyton and Hall, 2008).

Dokumen terkait