• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mikroskopik Kultur

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus yang ditumbuhkan pada media AEMP memiliki penampakan koloni yang berbeda dengan media AEM (Tabel 1). Penampakan koloni pada media AEMP pada umumnya membentuk struktur plumose dan selebihnya membentuk pulverulent, silky, dan concentric cottony. Pada media AEM, penampakan kultur masing-masing isolat Lentinus berubah kecuali isolat LC6 dan LSC7 yang memiliki penampakan sama, plumose dan LSC1 yaitu pulverulent. Isolat yang lain membentuk penampakan kultur silky, woolly bagian pinggir, concentric silky, appressed, dan plumose. Tampilan gambar dan penjelasan istilah penampakan koloni disajikan pada Lampiran 2 dan 3.

etanol absolut 2X volume dan disimpan di dalam freezer selama 30 menit. Kemudian sampel disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 5 menit. Larutan etanol absolut di dalam tabung Eppendorf dibuang dan diganti dengan larutan etanol 70% sebanyak 400 µl. Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13000 rpm selama 3 menit dan larutan etanol 70% dibuang. Setelah tahapan ini akan terbentuk endapan putih yang merupakan ekstrak DNA. Ekstrak DNA kemudian dikeringanginkan selama 30 menit hingga dinding bagian dalam Eppendorf kering. Setelah itu, ekstrak DNA ditambah larutan TE (tris-EDTA buffer) sebanyak 50-100 µl dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit. Sampel ekstrak DNA lalu di simpan di dalam freezer.

Ekstrak DNA yang dihasilkan dari masing-masing sampel diuji kemurnian dan kualitasnya dengan menggunakan 1.2 % gel agarosa elektroforesis pada voltase 85 Volt selama 45 menit di dalam larutan penyangga 1 x TBE (TrisBoric EDTA) kemudian diamati dan difoto dengan menggunakan alat UV-transiluminator.

Analisis PCR-RAPD. Analisis PCR-RAPD mengikuti metode Williams et al. (1990). Ekstrak DNA diamplifikasi dengan menggunakan 2 primer acak tunggal 10-mer: RP1 dan RP3 dengan bantuan mesin PCR (Gene Amp PCR System 2400 Perkin-Elmer). Volume campuran untuk amplifikasi adalah sebanyak 50μ l dengan kandungan: 34.75μ l akuabides, 5 μ l Buffer amplifikasi 10x (20mM Tris-HCl pH8, 100mM KCl, 0.1 mM EDTA, 50% gliserol), 3 μ l (25mM) MgCl2, 1.0 μ l dNTP, 4.0 μ l primer RP1 atau RP3, 0.25 μ l (1 unit/reaksi) Taq polymerase. Campuran dibuat di dalam tabung Eppendorf 0.2 ml.

Amplifikasi DNA dengan mesin PCR melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: tahap pertama, pra-amplifikasi selama 3 menit pada temperatur 94oC; tahap kedua, yaitu pemisahan utas DNA genom (denaturasi) pada temperatur 94oC selama 45 detik yang berlangsung sebanyak 35 siklus selanjutnya penempelan primer (annealing) pada temperatur 37oC selama 1 menit, elongasi pada temperatur 72oC selama 1.5 menit; dan tahap ketiga pasca amplifikasi pada

temperatur 72oC selama 5 menit. Hasil amplifikasi DNA akan dilanjutkan dengan tahap elektroforesis pada gel agarose dengan konsentrasi 1.2% pada voltase 85 Volt selama 45 menit di dalam larutan penyangga 1 x TBE kemudian diamati dan difoto dengan menggunakan alat UV-transiluminator.

Analisis Mo le kular. Data dianalisis berdasarkan hasil pemotretan gel berupa pola pita DNA, kemudian diterjemahkan ke dalam bilangan biner. Setiap pita dianggap mewakili satu karakter dan diberi nilai 1 bila pita ada dan 0 bila pita tidak ada. Penentuan dilakukan dengan mengambil garis lurus secara horisontal dengan membandingkan masing-masing fragmen DNA hasil PCR. Bilangan biner lalu dirubah menjadi urutan nukleotida. Pengelompokkan data disusun berdasarkan matrik kesamaan secara berpasangan (cluster analysis) dan pembuatan pohon kekerabatan dilakukan dengan metode parsimoni maksimum dengan program MEGA versi 4.1. Konsistensi pohon kekerabatan diuji dengan melakukan uji Bootstrap dengan 1000 ulangan.

HASIL

Pe nampakan Koloni dan Sifat Mikroskopik Kultur

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus yang ditumbuhkan pada media AEMP memiliki penampakan koloni yang berbeda dengan media AEM (Tabel 1). Penampakan koloni pada media AEMP pada umumnya membentuk struktur plumose dan selebihnya membentuk pulverulent, silky, dan concentric cottony. Pada media AEM, penampakan kultur masing-masing isolat Lentinus berubah kecuali isolat LC6 dan LSC7 yang memiliki penampakan sama, plumose dan LSC1 yaitu pulverulent. Isolat yang lain membentuk penampakan kultur silky, woolly bagian pinggir, concentric silky, appressed, dan plumose. Tampilan gambar dan penjelasan istilah penampakan koloni disajikan pada Lampiran 2 dan 3.

Tabel 1 Penampakan koloni isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM

Sifat mikroskopik kultur setiap isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus yang ditumbuhi di media AEMP dan AEM pada minggu ke-2 dan ke-4 memiliki struktur yang sama (Tabel 2). Isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus berubah menjadi hifa yang terwarnai (staining hyphae) setelah dilakukan pewarnaan larutan eosin. Struktur sambungan apit (clamp connection) ditemui hampir pada seluruh isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus kecuali isolat LC4 dan LSC1. Sebagian besar isolat membentuk modifikasi hifa berupa sel gembung (swollen cell), ujung hifa gembung (swollen hyphal tip), hifa besar dan berdinding tipis (large thin-walled hyphae). Struktur klamidospora hanya terbentuk pada isolat LC4 dan LSC1. Sedangkan artrospora hanya dibentuk oleh isolat LU3 dan LSC7. Isolat HS memiliki

struktur modifikasi hifa berupa konidiofor dan konidia yang terletak diantara sambungan apit. Seluruh isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus membentuk kristal (crystal) setelah penambahan larutan KOH dan pewarnaan eosin.

Hasil pohon kekerabatan berdasarkan penampakan mikroskopik kultur menunjukkan bahwa isolat JTP terpisah dari kelompok A. Pada kelompok A terbagi menjadi dua cabang yaitu isolat HS yang mengelompok sendiri dari kelompok Lentinus dan kelompok B, C, dan D (LP9, LSC1, LC4, LC6, LU10, LSC7, LU3). Nilai Konsistensi terbesar berada pada pangkal cabang kelompok B sebesar 94 % sedangkan nilai terkecil terdapat pada pangkal cabang kelompok D, yaitu 10 % (Gambar 1).

No Isolat Media

AEMP AEM

1 LU3 Plumose Silky

2 LU10 Plumose Lateral wolly 3 LC4 Plumose Concentric silky 4 LC6 Plumose Plumose 5 LSC1 Pulverulent Pulverulent 6 LSC7 Plumose Plumose 7 LP9 Silky Appressed 8 HS Concentric cottony Plumose 9 JTP Concentric cottony Plumose

Gambar 1 Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat mikroskopik kultur. Angka pada setiap kelompok merupakan nilai konsistensi (%) yang diuji dengan uji Bootstrap 1000 ulangan melalui metode parsimoni maksimum.

LU3 LSC7 LU10 LC6 LC4 LSC1 LP9 HS JTP 68 40 20 10 69 94 A C B D

Tabel 2 Sifat mikroskopik kultur isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM pada minggu ke-2 dan 4 (Davidson et al. 1945)

Keter angan :

Tanda + : memiliki sifat mikroskopik kultur Tanda - : tidak memiliki sifat mikroskopik kultur Tanda ¹ : pertumbuhan miselium di dalam media agar

Tanda ² : pertumbuhan miselium di atas permukaan media agar Analisis PCR-RAPD

Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan teknik PCR-RAPD ternyata dapat menghasilkan lebih dari satu fragmen DNA di setiap isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus (Gambar 2). Metode ini dilakukan dengan menggunakan dua macam primer, yaitu RP1 dan RP3. Kedua primer ini berhasil mengamplifikasi seluruh isolat Lentinus, HS dan Pleurotus.

Hasil pohon filogenetik yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat JTP memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan isolat-isolat pada kelompok A. Kelompok A dapat

terbagi menjadi dua cabang, yaitu isolat HS yang mengelompok sendiri di luar dari isolat Lentinus lainnya dan cabang lainnya, yaitu kelompok B, C, D (LP9, LSC1, LSC7, LC6, LU10, LC4, LU3).

Kelompok B mencakup dua cabang, yaitu kelompok yang terdiri dari LSC1 dan LP9 dan kelompok C, D (LSC7, LC6, LU10, LC4, LU3). Tingkat konsistensi tertinggi sebesar 89% dan nilai paling kecil adalah 20% (Gambar 3). Hasil data biner dan pengelompokkan matrik kesamaan disajikan pada Lampiran 4.

No Penampakan mikroskopik Isolat

LU3 LU10 LC4 LC6 LSC1 LSC7 LP9 HS JTP

1 Sambungan apit + + - + - + + + +

2 Klamidospora - - + - + - - - -

3 Konidia dan konidiofor - - - + -

4 Oidia - - - - 5 Basidia - - - - 6 Basidiospora - - - - 7 Seta - - - - 8 Sel veskikular - - - - 9 Cabang stag-horn - - - -

10 Hifa terwarnai eosin + + + + + + + + + 11 Hifa tidak terwarnai eosin - - - -

12 Submerged ¹ - - - -

13 Superficial ² + + + + + + + + + 14 Hifa incrusted - - - -

15 Kristal + + + + + + + + + 16 Sel gembung + + + + + + + - - 17 Ujung hifa gembung + + + + + + - - -

18 Hifa besar dan berdinding tipis + + + + + + + - - 19 Artrospora + - - - - + - - -

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 2 Hasil amplifikasi DNA isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP) dengan metode PCR-RAPD dengan menggunakan primer RP1 (a) dan RP3 (b). Ket : 1: LU3, 2: LU10, 3: LC4, 4: LC6, 5: LSC1, 6: LSC7, 7: LP9, 8: HS, 9: JTP.

Gambar 3 Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat molekular. Angka pada setiap kelompok merupakan nilai konsistensi (%) yang diuji dengan Bootstrap 1000 ulangan melalui metode parsimoni maksimum.

PEMBAHASAN

Dokumen terkait