• Tidak ada hasil yang ditemukan

Narasi Tempat dan Identitas Kultural Orang Sabu Diaspora

Dalam dokumen T2 752015025 BAB III (Halaman 31-35)

Dalam pemahaman orang Sabu diaspora, tempat asal mereka adalah pulau Sabu. Tempat asal menjadi tempat dimana seseorang dilahirkan. Bagi orang Sabu diaspora, ketika seseorang dilahirkan di pulau Sabu maka ia akan dibuatkan ritus agar tidak melupakan pulau Sabu sebagai

tanah tuak dan gula. Ritus yang dilakukan ketika seseorang anak baru dilahirkan yaitu hapo ana.

Hapo ana adalah ritus menyambut kelahiran seorang bayi dalam keluarga. Selain itu, terdapat beberapa ritus yaitu ritus pengguntingan rambut, pesta baptisan dan pemberian nama. Ritus pengguntingan rambut dilaksankan setelah tiga hari dari kelahiran si bayi. Semua anggota

69

(penjau) jagung dan beras harus dipersiapkan. Bidan yang menolong persalinan harus hadir

dalam pesta itu untuk menerima upahnya.48 Pesta ini diadakan siang hari. Setelah semua peserta

ambil bagian dalam acara makan, mulailah pengguntingan rambut bayi untuk pertama kali. Pengguntingan itu terjadi dua kali. Nenek si bayi membawa keluar dari dalam rumah. Dia duduk di atas tikar yang dekat dengan pintu masuk rumah. Salah satu orang yang memiliki rambut lebat

maju ke depan. Di tangannya ada pisau yang sangat tajam dan sebuah mangkuk berisi air (‘wo

daba). Dia membasahi kepala si bayi dengan air dalam mangkuk. Selanjutnya dia mencukur semua rambut di kepala bayi tadi. Kali kedua, semua rambut dicukur, kecuali rambut yang terletak dibagian depan kepala.

Ritus pesta baptisan (titu ‘daba) adalah ritus baptisan untuk seorang anak dalam

kebiasaan orang Sabu kafir beralngsung pada bulan ‘dabba, yakni sekitar bulan Mei. Si ibu

mengisi sebuah mangkuk besar (kedula) dengan air. Si anak kemudian dimasukkan dalam air itu.

Si anak dicelupkan ke dalam air tiga kali berturut-turut. Selanjutnya, si ibu mengunyah sirih-pinang. Dengan air ludah yang sudah berwarna merah si ibu membuat tanda salib di dahi

anaknya, juga di kedua pipi kiri dan kanan.49 Ritus yang ketiga adalah ritus pemberian nama.

Segera setelah tali pusat dipotong, si anak menerima nama dari orang tuanya (pehuni ngara).

Pemberian nama yang dilakukan oleh orang Sabu dilakukan dengan metode perdukunan yang

terkenal di residen Timor yaitu nama si anak diminta dari para leluhur (ama appu).50

Selanjutnya anak-anak ini merantau dan bahkan menetap di tanah rantau. Oleh karena itu, ketika mereka ada di negeri perantuan mereka tidak boleh lupa terhadap pulau Sabu. Hal itu dapat dilihat nilai-nilai kehidupan yang tetap terjaga dan dianut oleh anak-anak yang berada

48 Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, 176.

49 Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, 178.

70

diperantauan. Nilai-nilai kehidupan tersebut seperti nilai cinta kasih, persaudaraan, solidaritas, dll yang masih dipegang erat oleh mereka yang berada di tanah perantauan. Penggambaran orang Sabu tentang pulau Sabu itu sendiri tergambar dari lirik lagu Elemoto yang menggambarkan pulau Sabu sebagai sinar bintang indah dan terang. Lagu ini sebenarnya mau mengingatkan bahwa anak-anak Sabu yang telah mengalami kesuksesan di tanah perantauan agar tidak bleh lupa dengan kampung halaman berserta dengan adat-istiadatnya. Hal ini juga terlihat dalam

kehidupan keluarga dan anak-anak yang melaksanakan ritual pebale rau kattu do made.

Anak-anak dari keluarga yang melaksAnak-anakan ritual ini datang dan memberi dirinya sebagai sumber daya untuk membangun kampung halamannya sesuai dengan talenta setelah melihat kampung halamannya dari dekat.

Narasi tempat bagi orang Sabu diaspora yang telah meninggal adalah mereka ingin meninggal dalam persekutuan keluarga, rumah dan kampung halamannya. Setiap orang Sabu yang telah merantau ke luar Sabu pasti memiliki kerinduan untuk pulang dan berkumpul bersama dengan keluarganya dalam sebuah rumah. Dalam kehidupan ini, kita memiliki kerinduan untuk kembali ke rumah masa kecil di kampung halaman, merangkai setiap kenangan masa kecil di kampung halaman, kadang rindu untuk berziarah lagi tertanam dalam jiwa. Dalam pengalaman

ada waktu-waktu tertentu dalam diri seseorang untuk kembali ke tempat-tempat masa kecilnya.51

Kerinduan untuk pulang dalam keadaan hidup untuk beristirahat di tengah keluarga dan kampung halaman, tetapi siapa yang tahu akan terjadi sesuatu di masa yang akan datang? Jika tak kembali dalam keadaan masih hidup atau dalam keadaan meninggal secara fisik di Sabu, rindunya tetap membara untuk kembali ke rumah. Rindu untuk berada di tengah keluarga di hari

tua dan akhir hidup dinyatakan melalui ritual pebale rau kattudo made.

71

Identitas kultural orang Sabu diaspora yang hidup adalah ketika mereka berada jauh dari

pulau Sabu maka mereka akan membentuk komunitas yang rapat yaitu komunitas “kampung Sabu”. Tujuan pembentukkan komunitas kampung Sabu ini adalah untuk menjaga kesatuan identitas. Kelompok “kampung Sabu” ini kemudian digambarkan sebagai kelompok minoritas. Sebagai kelompok minoritas, mereka hidup dengan cara mereka sendiri, memegang teguh adat-istiadat mereka dan menjaga nilai-nilai kehidupan yang dijunjung tinggi dalam kebersamaan mereka. Dalam penggambaran sebagai masyarakat minoritas maka mereka juga hidup dalam suatu kehidupan solidaritas yang tinggi antara satu dengan yang lain.

Identitas kultural orang Sabu disapora yang telah meninggal adalah ketika keluarga

melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Alasan keluarga melaksanakan ritual ini adalah

untuk menegaskan sekalipun seseorang telah meninggal di rantau tetapi identitas sebagai orang Sabu tidak akan pernah hilang. Identitas orang Sabu itu tertanam dalam diri orang Sabu diaspora sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal.

Kesimpulan

Ritual pebale rau kattu do made adalah suatu ritual yang masih terus dijalankan oleh

masyarakat Sabu hingga saat ini. Dalam pelaksanaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Sabu, ada 3 (tiga) versi yang dijalankan oleh masyarakat. Versi Kristen adalah satu versi yang masih terus dilaksanakan oleh orang yang beragama Kristen Protestan yang tetap menghormati budaya yang ada di Sabu. Pelaksanaan ritual ini berdasarkan versi Kristen ini diterima oleh gereja bukan karena untuk melaksankan praktek agama suku, namun nilai-nilai yang terkandung dalam ritual ini sangat kaya dan bermanfaat untuk hidup dalam sebuah kekerabatan dan persaudaraan.

72

Pada awalnya, ritual pebale rau kattu do made ini hanya dipahami sebagai sebuah

identitas dari seorang Sabu diaspora. Ketika seorang Sabu merantau ke luar pulau Sabu, ia ingin pulang dan berkumpul bersama dengan keluarga di tanah leluhur atau tempat asal. Namun, dalam perkembangannya ritual ini menjadikan pulau Sabu memiliki makna yang sangat mendalam yaitu sebagai rumah, rahim ibu dan tempat dimana banyak deposito memori kehidupan.

Dalam dokumen T2 752015025 BAB III (Halaman 31-35)

Dokumen terkait