• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasionalisme dan Bangsa

Bangsa, Negara dan Rakyat

1. Nasionalisme dan Bangsa

Apa itu ‘nasionalisme’ adalah belantara definisi. Ia adalah isme tentang natio (bangsa). Tidak mungkin memahami nasionalisme tanpa memahami gagasan tentang natio, sebuah rimba definisi lain. Ambillah beberapa contoh pohon konseptual dalam belantara definisi itu.

Bagi Ernest Renan, misalnya, ‘bangsa’ ialah prinsip dan entitas spiritual-kolektif yang terbentuk oleh kesamaan pengalaman masa lalu, kesamaan pengalaman sekarang, dan keinginan bersama untuk menghidupi keduanya ke masa depan. Bangsa ialah “solidaritas agung yang terbentuk oleh pengalaman penderitaan bersama yang telah terjadi,” dan pengalaman itu diproyeksikan pada tata-komunitas hari ini dan ke depan.

Pada hemat saya, definisi itu terlalu memuja tradisi Romantisisme abad 19 yang tidak bisa menjawab pertanyaan berikut: mengapa pengalaman spiritual-kolektif itu mengarah pada bentuk ‘bangsa’, dan bukan ‘suku’ atau ‘kelompok agama’? Rasa kebersamaan yang terbangun oleh penderitaan bersama tidak dengan sendirinya membentuk nasionalisme dan bangsa, karena ikatan oleh penderitaan bersama juga bisa bermuara pada pembentukan kelompok-kelompok lain dengan berbagai bentuk perlawanannya.

Meskipun sudah lebih menghormati faktor-faktor lain, perspektif Romantik itu juga yang ada di dalam definisi Anthony Smith: ‘bangsa’ ialah penjelmaan (avatar) moderen dari sentimen etnis yang tersembunyi dalam sejarah. Sebagai penjelmaan, ‘bangsa’ didorong oleh sentimen komunal-etnis (push factor) dan sekaligus ditarik oleh industrialisasi dan munculnya birokrasi moderen (pull factor). Nasionalisme ialah gerak-berayun antara pencarian identitas serta asal-muasal kolektif ke masa lalu dan pencarian arah kolektif dalam rentang sejarah ke depan. Akar-akar etnis masa lalu punya peran yang lebih sentral ketimbang faktor birokrasi moderen dan industrialisasi. Karena itu, kunci pembuka untuk memahami pembentukan bangsa dan nasionalisme ialah nilai, mitos kepahlawanan, dan simbol-simbol etnis.

Yang baru dalam penjelasan tersebut ialah masuknya birokrasi moderen dan industrialisasi sebagai faktor pembentuk sebuah bangsa, meskipun statusnya terlalu fungsional. Tetapi substansi definisinya ditunjuk lewat pelacakan asal-muasal (genealogi) sebuah gejala yang disebut ‘bangsa’. Istilah ‘asal-asal-muasal’ bisa berarti titik-berangkat, tetapi bisa juga berarti awal yang menyebabkan. Kelemahan definisi seperti itu ialah mencampur-adukkan perbedaan antara genealogi (pelacakan asal-muasal) dan eksplanasi (penjelasan). Kecenderungan lain ialah mencampur-adukkan ‘nasionalisme sebagai gejala’ dan ‘historiografi

nasionalis sebagai bentuk pemujaan-diri’ (nasionalisme-dilihat-oleh-dirinya-sendiri). Kecenderungan demikian merupakan kelemahan yang sering tersembunyi dalam pendekatan sejarah.

Sendainyapun masalah rumit keilmuan itu sementara diabaikan, tetap saja definisi di atas lemah di hadapan pertanyaan berikut. Dalam konteks Indonesia, misalnya, mengapa kesamaan-etnis ras Melayu di Indonesia, Malaysia dan Filipina hidup secara terpisah dalam bentukan bangsa dan negara yang berbeda? Juga, mengapa perbedaan-etnis ras Melanesia di timur serta Melayu di barat hidup dalam satuan yang diandaikan sebagai bangsa dan negara Indonesia?

Dengan kata lain, kalau sentimen kelompok etnis merupakan akar dari bangsa, maka Indonesia secara normatif sudah menjadi dua, tujuh ataupun duapuluh-tujuh bangsa, sebanyak jumlah kelompok etnis dan ras yang ada di Indonesia. Agenda bagi kemurnian (purity) etnis atau agamis dalam sebuah bangsa memang merupakan gagasan gila yang menyimpan lumuran darah totalitarianisme, arogansi-chauvinis, fanatisme ras dan agama, serta pembunuhan etnis (ethnocide). Gejala seperti itulah yang mungkin juga sedang tersembunyi dalam rentetan peristiwa brutal belakangan ini. Pada tataran logika yang paling sederhana pun, gagasan ‘bangsa’ sebagai komunitas homogen etnis atau agamis adalah gagasan tidak masuk akal.

Tetapi mengapa bangsa lahir dalam sejarah? Benedict Anderson mengajukan gagasan yang, pada hemat saya, mengawinkan tradisi Romantik dan perspektif material-moderen: ‘bangsa’ ialah komunitas direka-bayangkan (imagined community) yang pembentukannya dimungkinkan oleh munculnya media-cetak, anak kandung kapitalisme-cetak (print-capitalism). Siapa pelaku imaginasi kolektif itu? Mereka ialah anak-anak didik sistem persekolahan kolonial yang, misalnya, mulai ada di Batavia dan Bandung pada awal abad 20.

Tetapi tetap ada pertanyaan yang memburu: mengapa imaginasi kolektif itu mengarah pada pembentukan ‘bangsa’, dan bukan pada pembentukan ‘kelompok kedaerahan’ yang juga merupakan imagined community? Bahwa imaginasi itu mengarah pada pembentukan bangsa (dan bukan pembentukan kelompok lain) diterangkan oleh Anderson lewat faktor kemarahan kolektif terhadap rasisme kolonial dan mobilitas-sosial yang diblokir. Artinya, karena eselon birokrasi kolonial dari-tengah-ke-atas diduduki oleh orang-orang asing, para lulusan sekolah kolonial tidak mungkin naik jenjang. Ditambah, warna kulit kita yang coklat punya arti bahwa kita ialah warga negara kelas dua dalam masyarakat kolonial.

Dalam penjelasan itu segera terlihat sebuah lobang konseptual: dari mana pengertian dan pengalaman kolektif atas blokade mobilitas-jenjang itu muncul? Pengertian dan pengalaman kolektif atas mobilitas-sosial yang diblokir dan rasisme kolonial hanya mungkin terjadi dalam bingkai birokrasi ‘negara’ kolonial yang ada pada waktu itu. Hal itu mengisyaratkan bahwa ‘negara’ (kolonial maupun non-kolonial) merupakan faktor penjelas (explanans) yang tidak bisa diandaikan begitu saja bagi munculya nasionalisme dan bangsa.

Mirip dengan Anderson, almarhum Ernest Gellner melihat pentingnya industrialisasi dan kapitalisme sebagai penjelas munculnya nasionalisme dan bangsa. Selain itu, secara lebih eksplisit Gellner menempatkan faktor ‘negara’ dalam pemikirannya: bangsa ialah produk dan konsekuensi transisi masyarakat, dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Sebagai seorang fungsionalist, Gellner melihat industrialisasi sebagai keniscayaan historis. Industrialisasi mensyaratkan dan membawa serta bentuk baru pengorganisasian masyarakat yang bersandar pada ‘kultur seragam’. Nasionalisme dan penyeragaman “high culture” bagi industrialisasi merupakan dua gejala yang tak terpisah:

“Nasionalisme bukanlah bangkitnya kekuatan masa-lalu yang laten atau

tertidur, meskipun punya klaim seolah-olah demikian. Dalam

kenyataannya, nasionalisme merupakan konsekuensi dari bentuk baru pengorganisasian masyarakat yang bersandar pada budaya-tinggi yang dibentuk oleh persekolahan, dan dijaga oleh negara. [B]angsa sebagai komunitas alamiah adalah sebuah mitos...”

Bangsa, nasionalisme dan negara hanyalah konsekuensi dari gerak industrialisasi. Karena itu, bagi Gellner, gagasan ‘bangsa’ dan ‘nasionalisme’ menyimpan agenda yang instrumental-manipulatif. Meskipun hanya sebagai produk dari proses historis tersebut, ‘negara’ merupakan penyangga dan penjaga agenda instrumental-manipulatif itu. Apa saja yang membantu proses legitimasi akan dinobatkan sebagai “nasional”: dari tembang suku sampai makanan dari zaman kerajaan, dari jenis binatang sampai tarian suku dari zaman batu. Eric Hobsbawm, sejarawan besar itu, bahkan melangkah lebih jauh lagi: bangsa ialah satu dari sekian banyak tradisi rekaan (invented tradition). Bagi Gellner, para inteligentsia menjadi pelaku tindakan instrumental-manipulatif itu. Bagi Hobsbawm, dengan setia pada tradisi Marxist, para borjuis merupakan pelaku utama penciptaan ‘bangsa’.

Dalam konseptualisasi tersebut, lenyaplah dimensi komunitas seturut tradisi Klasik-Romantik. Dalam gagasan ‘bangsa’ dan ‘nasionalisme’ seperti itu, hilanglah “dimensi makna kolektif yang juga terlibat dalam nasionalisme moderen: yaitu, bukan fungsinya bagi industri, melainkan pemenuhannya bagi identitas.” Dengan mengandaikan sentralnya faktor modernitas industri sekalipun, gagasan “persatuan bangsa” tentu melibatkan kadar tertentu kehendak kolektif, entah terungkap dalam ‘membayangkan bersama’ (collective imagining) ataupun ‘persaudaraan’ (sorority-fraternity). Tetapi refleksi materialis tentang bangsa, nasionalisme dan negara seperti di atas juga jauh lebih relevan bagi situasi kita belakangan ini. Relevansi itu terletak dalam keharusan untuk mengakui bahwa gagasan ‘bangsa’ menyimpan proses politik yang sering brutal, terutama dalam hubungan-segitiga antara negara, bangsa dan rakyat.

Dalam refleksi Gellner, misalnya, gagasan ‘bangsa’ selalu cenderung membuat ‘rakyat’ sekedar menjadi sekawanan massa yang diseret oleh rekayasa penyeragaman “kultur” dan “bahasa” bagi industrialisasi. Proses produksi industrial menuntut agar setiap orang bisa saling ditukar satu sama lain (interchangeable). Karena itu harus dididik dalam bahasa-teknis industrial yang

seragam. Dan ‘negara’ ialah agen instrumental yang menjadi pelaksana proyek penyeragaman kultur dan bahasa industrial tersebut. Gellner bukan seorang Marxist, melainkan liberal-fungsionalis. Hobsbawm melangkah lebih jauh lagi untuk mengingatkan brutalitas hubungan bangsa, negara dan rakyat. ‘Bangsa’ merupakan rekayasa kaum borjuis dalam geraknya untuk menjadi kelas dominan dalam sejarah moderen. Dan ‘rakyat’ ialah kerumunan makhluk yang membentuk massa dalam berbagai ritual ‘ke-bangsa-an’ yang diorganisir oleh institusi legal dan koersif bernama ‘negara’.

Pada hemat saya, mengakui sifat problematis (dan mungkin brutal) dari hubungan-segitiga antara bangsa, negara dan rakyat tidak harus dilakukan lewat ekstrapolasi (peng-ektrem-an) logika. Logika memang digerakkan oleh pencarian ketajaman berpikir, tetapi sangat jarang hidup yang semrawut ini digerakkan pertama-tama oleh konsistensi logika.

Beberapa contoh konseptualisasi di atas tentu terlalu ringkas, dan samasekali belum mencakup pemikir penting lain seperti Stalin, Kedourie, Cobban, Bhabha, Giddens, Connor, Greenfeld, dll. Tetapi sketsa eksemplar tersebut mungkin sudah cukup berguna sebagai latar-belakang ringkas untuk memahami bagaimana hubungan-segitiga yang problematis antara bangsa, negara dan rakyat sudah berakar pada gagasan ‘nasionalisme’. Bukan bahwa nasionalisme merupakan satu-satunya akar dari hubungan-segitiga yang problematis itu, melainkan bahwa akar hubungan problematis tersebut sudah dapat ditemukan dalam gagasan ‘nasionalisme’ yang kita anggap sebagai keramat (sacrosanct). Dan catatan kritis demikian bisa diajukan lepas dari penilaian apakah ‘bangsa’, ‘nasionalisme’ dan ‘negara’ merupakan hal yang “baik” atau “tidak-baik”. Soal itu mungkin akan makin jelas dalam lanjutan sketsa berikut ini.

Dokumen terkait