• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasionalisme Sedang Meranggas

Dalam dokumen publikasi icw (Halaman 185-190)

Sejak masyarakat kita mendengar kata "global", saat itu pula semakin banyak orang yang yakin bahwa nasionalisme sudah usang. Nasionalisme hanya untuk mereka yang ketinggalan zaman, tinggal di udik, dan globalisasi adalah untuk mereka yang modern, kaum kosmopolit.

186

Dikatakan, sebagai akibat dunia yang semakin mengglobal, maka dengan sendirinya "nation state" kian kehilangan gigi. Lalu, jika kita hendak menjadi modern, pilihan tunggal untuk semua orang hanya satu: semua orang harus mampu bersaing di pasar global!

Semboyan zaman sekarang bukan lagi seperti semboyan zaman tujuh-

belas-agustusan, "merdeka atau mati" (nasionalisme), tetapi "global atau ketinggalan zaman". Pasang Surut

Seperti dicatat sejarah, nasionalisme bukan barang yang jatuh dari langit. Nasionalisme adalah proses sejarah. Sehingga kita dapat mengatakan, nasionalisme berawal saat pemerintah kolonial menjalankan politik etik, di awal abad XX, yang salah satu kebijakannya adalah menyediakan pendidikan untuk kaum bumiputra.

Segera saja kebijakan itu membuahkan hasil. Di satu sisi dikarenakan oleh semakin banyaknya anak negeri yang bersekolah, khususnya mereka yang sekolah tinggi. Maka sejak tahun 1924, sejumlah mahasiswa bumiputra di Belanda memaklumkan

perhimpunan mereka di Belanda sebagai "Perhimpunan Indonesia" dan bukan lagi Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia-Belanda). Sebagai akibat riak politik, sayap kiri gerakan bumiputra pada tahun 1924 sudah membangun sebuah partai politik (yang dilarang masuk Indonesia), di Bangkok, Thailand. Partai politik itu diberi nama Partai Republik Indonesia (PARI), dan Tan Malaka adalah pencetusnya.

Tahun 1930, Soekarno diadili lalu masuk bui, dan terkenal dengan pleidoinya "Indonesia Menggugat". Tak lama setelah itu, gelora nasionalisme segera padam karena tindakan pemerintah kolonial yang keras untuk menumpasnya. Para tokoh nasionalis seperti Hatta dan Sjahrir dibuang ke pengasingan.

Karena itu pula, ketika pemerintah kolonial membuat analisis gerakan politik bumiputra tahun 1940di bawah sebuah komisi yang disebut "commisie tot bestudiering van

staatrechteleijke hervorming" atau komisi untuk mempelajari reformasi hukum

ketatanegaraandalam laporan, akhirnya Anda tidak akan lagi menemukan gelora dan api nasionalisme yang ciri khasnya adalah gerakan nonkooperasi alias Indonesia Merdeka.

Komisi yang terkenal sebagai "komisi Visman" itu hanya melaporkan tokoh-tokoh Indonesia kooperatif dengan Belanda. Artinya, babak pertama nasionalisme yang bermula tahun 1924 sudah surut dan meranggas di tahun-tahun menjelang kedatangan Jepang.

Kini bisa dilihat, komisi Visman, 66 tahun silam, mempunyai peran yang sama dengan aneka macam pidato globalisasi sekarang. Hanya saja komisi Visman dilakukan penjajah, sedangkan pidato globalisasi dilakukan awak negeri sendiri.

187

Di zaman Orde Baru, sesaat menjelang keruntuhannya tahun 1998, kita masih menemukan catatan mengenai sedang lahirnya apa yang waktu itu disebut sebagai nasionalisme baru. Tahun 1997 semua fundamental ekonomilaju pertumbuhan, cadangan devisa, neraca perdagangan, inflasi, dan anggaran Negaradalam keadaan menggembirakan. Disangka kebijakan konglomerasi sedang akan menuju babak akhir dari tinggal landasnya, maka kelompok perusahaan yang dimiliki pengusaha terbesar Liem Swie Liong segera mulai ekspansi bisnis ke pasar internasional.

Terhadap kenyataan tersebut sebagian orang mengatakan, sebuah pelarian modal (capital flight) sedang terjadi, tetapi para menteri ekonomi dan sekretaris negara melukiskan tindakan pengusaha itu sebagai nasionalisme "baru". Modal Indonesia harus "go global", karena nasionalisme tidak boleh hanya jago kandang.

Tidak selang lama nasionalisme baru ini berkumandang di udara, tiba- tiba baht Thailand dilanda krisis nilai tukar. Krisis pasar uang menjalar ke seluruh sudut dunia, termasuk Indonesia. Rupiah bukan hanya didevaluasi, tetapi hancur berkeping. Bersamaan dengan hancurnya rupiah oleh pasar uang global, pembawa obor

nasionalisme baru itu mendapatkan BLBI tak kurang dari Rp 50 triliun! Ini adalah ironi nasional hingga hari ini. Katanya globalisasi adalah soal peluang usaha dan bukan sumber malapetaka.

Dengan kejatuhan Orde Baru, bukannya pemerintah reformasi menjadi lebih waspada pada dahsyatnya pukulan globalisasi, justru sebaliknya. Pemerintah reformasi semakin kecanduan globalisasi itu. Dan di Indonesia bentuk kebijakannya tak lain ada dua jurus. Pertama, cabut subsidi untuk kebutuhan pokok rakyat dan agar pasar semakin terbebas dari campur tangan negara. Kedua, privatisasi perusahaan negara agar bisnis dapat semakin efisien dan mendatangkan untung.

Di tengah keadaan seperti inilah, seperti Perhimpunan Indonesia di Amsterdam tahun 1924, 80 tahun kemudian (tahun 2004), warga Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengeluarkan seruan yang disebut Deklarasi Bulak Sumur.

Ada dua pasal yang dapat dicamkan dari deklarasi universitas kampoeng, yang

dibangun Bung Karno tahun 1948 ini. Begini bunyinya, pertama, reformasi tetap berpijak pada semangat percaya diri dan semangat kebangsaan Indonesia berdasar Pancasila. Marak dan berkembangnya neoliberalisme, neokapitalisme, dan neoimperialisme adalah tantangan terhadap semangat kebangsaan.

Kedua, reformasi menuntut penguatan jati diri dan moral bangsa dengan penataan ulang kelembagaan dan hukum berkeadilan.

Bahwa deklarasi semacam itu lahir dari Yogyakarta dapatlah dimengerti karena tak kurang dari separuh penduduk daerah ini, yang sekitar 3,7 juta itu, tetap berada di bawah garis kemiskinan.

188

Ironi bangsa Indonesia yang mencapai usia 61 tahun ini adalah justru karena

pemerintah dan struktur politik secara formal prosedural sudah 100 persen demokratis, tetapi secara nyata dalam praktik kian jauh mereka terbang dari aspirasi dan kebutuhan nyata orang banyak.

Tragedi nasionalisme Indonesia adalah bahwa dalam kurun waktu lebih dari 70 tahunjika dihitung dari pasang naik nasionalisme tahun 30- an, nasib rakyat tetap bergeming dari kemiskinan ke kemelaratan. Lalu, bagaimana pedoman masa depan yang benar?

Ada baiknya dikutip pidato seorang pemuda dari tanah Pasundan, tahun 1924, atau 82 tahun silam. Dia adalah ketua IV Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, yakni Raden Iwa Kusumasumantri. Beliau berucap dalam pidatonya seperti ini.

"Masa depan bangsa Indonesia semata-mata dan hanya terletak dalam

kelembagaan dari bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti sebenarnya. Untuk tujuan tersebut setiap orang Indonesia harus berjuang sekuat tenaga dengan kemampuan dan kekuatannya sendiri dan bebas dari bantuan asing. Setiap penyelewengan dari kekuatan Indonesia, dalam bentuk apa pun, amat dicela karena hanya kerja paling kuat dari putra-putra Indonesialah

yang dapat membawa pencapaian tujuan bersama itu."

Sungguh di luar dugaan, sejarah politik kenegaraan kita di awal abad XXI ini berulang kembali. Nasionalisme terus meranggas sampai hari ini, dan belum ada petunjuk tumbuhnya tunas baru. Padahal, nasionalisme hanya boleh surut jika kutukan kolonial yang mengatakan, Indonesia adalah sebuah negeri di mana "nie-mand nagenoeg iets bezit" (negeri di mana tak seorang pun berkecukupan) sudah silam. Artinya, selama mayoritas rakyat masih minimumlijdster (sekadar bertahan hidup), selama itu juga nasionalisme harus dijaga dan dijalankan kembali dalam gerakan politik.

Nasionalisme memang bisa meranggas, tetapi selama kemiskinan dirasakan sebagai kesewenang-wenangan masih amat meluas, dengan sendirinya perasaan nasib bersama akan bangkit lagi.

Bahan dikutip dan diedit dari:

Judul suratkabar : KOMPAS, Rabu, 16 Agustus 2006

Penulis : Emmanuel Subangun

Topik

TOPIK ICW EDISI 1077 dan 1078

ICW Edisi 1077 akan mengangkat topik tentang humor, sedangkan ICW Edisi 1078 mengulas tentang musik.

189

Bagi Anda yang mengetahui atau mengelola situs yang membahas dan menyediakan informasi tentang situs humor dan situs musik, baik dari dalam maupun luar negeri, silakan mengirim info maupun reviewnya ke Redaksi ICW melalui e-mail ke: < staf-icw(at)sabda.org >

190

Dalam dokumen publikasi icw (Halaman 185-190)