• Tidak ada hasil yang ditemukan

NO NEGARA JUMLAH (US$) 23 Kenya 507

so certain, they’re coming no matter what, and we’ll just have to learn to live with them and adjust our behavior accordingly.

NO NEGARA JUMLAH (US$) 23 Kenya 507

24. Georgia 465.594 25. Romania 449.086 26. Paraguay 418.831 27. Kolombia 387.494 28. Ekuador 376.197 29. Lebanon 375.806 30. Nepal 316.858 31. Tanzania 310.062 32. Peru 309.800 33. Guatemala 285.525 34. Cile 259.715 35. Kamboja 208.144 36. Burkina Faso 192.452 37. Ghana 183.137 38. Moldova 160.720 39. Kosta Rika 145.645 40. Zambia 130.420 41. Mauritius 130.000 42. Azerbaijan 116.109 43. Kazakhstan 106.000 44. Madagaskar 96.669 45. Niger 94.900 46. Togo 90.000 47. Mozambique 50.000 48. Guyana 32.414 49. Malaysia 19.200 50. Honduras 7.308

Sumber: Diolah dari situs resmi

Selain kegiatan yang dikelola oleh lima mitra utama tersebut, Bloomberg Initiative juga membuka pendaftaran (call for entry) setiap tahun, untuk mengajukan proposal program kegiatan pengendalian tembakau. Kriteria proposal yang diajukan adalah program yang bertujuan khusus terkait regulasi anti-tembakau di suatu negara. Lembaga-lembaga penerima dana Bloomberg Initiative tersebut akan melakukan pendampingan kepada lembaga-lembaga negara strategis untuk membentuk regulasi anti-tembakau. Selain itu juga kegiatan litigasi yang mendukung implementasi kebijakan anti-tembakau.

Tentu keterlibatan dan dukungan Bloomberg secara finansial yang angkanya sangat fantastis itu menimbulkan pertanyaan: Apa motif Bloomberg yang sesungguhnya? Pertanyaan ini penting, karena Bloomberg tidak hanya mengambil peran dalam peperangan tembakau bagi warga New York dan Amerika, tapi juga secara global. Padahal sebelumnya, kiprah Bloomberg dalam gerakan anti- tembakau tidak begitu signifikan.

Itu berbeda dengan Bill Gates, yang keikutsertaannya dalam agenda global perang anti-tembakau telah memunculkan kritik dari beberapa pihak. Sebuah artikel berjudul “Global Health Philanthropy and Institutional Relationships: How Should Conflicts of Interest Be Addressed?” yang dipublikasikan plosmedicine.org 12 April 2011, mengkritik keterlibatan Bill Gates dalam kampanye anti-tembakau karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan korporasi besar lewat platform investasi.

Dana yang digunakan dalam operasi Bill & Melinda Gates Foundation berasal dari kekayaan pribadi Bill Gates dan saham di Berkshire Hathaway atas pemberian Warren Buffet. Tidak tanggung- tanggung, pada 2006, Warren Buffet memberikan seluruh kepemilikan sahamnya di Berkshire Hathaway kepada Gates Foundation. Lalu, pada 2010, ditambahkan lagi sebanyak 24,7 miliar saham. Jadi, Gates Foundation memiliki 10 persen hak kepemilikan dari Berkshire

Hathaway. Selain itu, pada akhir 2008, dana yang dikelola manajemen Gates Foundation mencapai nilai US$ 26,9 miliar. Dana ini tersebar di beberapa platform investasi, yaitu US$ 13,5 miliar di saham korporasi, US$ 1,8 miliar di surat utang korporasi, US$ 6,1 miliar di surat utang pemerintah Amerika, dan US$ 8,2 miliar dalam bentuk tanah, saham jangka pendek, serta investasi lain.

Daftar Investasi Bill & Melinda Gates Foundation

Sumber: plosmedicine.org/article/slideshow.action?uri=info:doi/10.1371/journal.pmed. 1001020&imageURI=info:doi/10.1371/journal.pmed.1001020.t003

Memotret jejaring relasi Gates Foundation dengan korporasi besar dan metode pengelolaan sumber daya keuangan yang digunakan untuk operasi kegiatan filantropinya memberikan sebuah perspektif terhadap bagaimana sebuah kegiatan filantropi dijalankan. Definisi “sumbangan” dalam konteks kegiatan amal dari sebuah gerakan filantropi tidaklah semata-mata “sumbangan”. Lebih jauh, ini bisa diartikan sebagai sebuah investasi. Layaknya investasi, dengan logika

bisnis sederhana, tentu ada ekspektasi terhadap pengembalian investasi (return on investment atau ROI). Sebagai sebuah lembaga nonprofit, ekspektasi ROI dari kegiatan investasi tentu bukan semata-mata keuntungan finansial. Selain aktivitas investasi tersebut menjadi sebuah pola dalam menjaga kontinuitas dan pertumbuhan skala sumber daya keuangan untuk operasinya, dampak dari operasi filantropi yang dilakukan tentu memiliki nilai strategis bagi kepentingan yang terasosiasi.

Mengacu pada pemahaman tersebut, muncul pertanyaan apakah kegiatan-kegiatan filantropi yang dilakukan orang-orang kaya tersebut bebas nilai? Terkait topik pembahasan, apakah sepak terjang Bloomberg dalam kegiatan filantropinya tidak memiliki motif-motif kepentingan lain?

Ketika Bloomberg mencalonkan diri sebagai wali kota New York pada 2001, salah satu isu kampanyenya adalah aspek kesehatan publik. Platform itu juga sejalan dan didukung penuh oleh almamaternya, JHU, yang menjadi mitra utamanya dalam Bloomberg Initiative. Dukungan itu terlihat ketika pada tahun yang sama mereka memberikan anugerah kehormatan dengan menambahkan nama Bloomberg untuk menamai salah satu lembaga bidang kesehatan publik: Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health. Penganugerahan tersebut tentu saja memberikan legitimasi yang kuat terhadap pencitraan Bloomberg sebagai seorang pejuang kesehatan publik dan terhadap platform kebijakannya yang didukung sebuah lembaga besar sekelas JHU.

Dalam siaran persnya, 21 April 2001, JHU menyebutkan keputusan menggunakan nama Bloomberg tidak lepas dari dana ratusan juta dolar yang didonasikan oleh Bloomberg. Faktanya, pada 1995, Bloomberg menyumbangkan US$ 100 juta untuk JHU dan disusul US$ 45 juta pada tiga tahun berikutnya. Bloomberg juga mendukung program riset yang terkait dengan pengembangan bio-medikal, salah satunya

program embryonic stem cell research yang dilakukan JHU dengan mendonasikan dana senilai US$ 100 juta. Majalah Forbes menulis, dana yang disumbangkan oleh Bloomberg untuk JHU mencapai US$ 300 juta. Sebagai wali kota New York, dia juga meneruskan jejak pendahulunya Rudolph Giuliani, dengan menyediakan lahan seluas lebih dari 8 juta hektare untuk pengembangan laboratorium dan investasi baru bagi perusahaan bio-tech.

Menarik ditelusuri peran JHU sebagai salah satu lembaga riset dan pendidikan di bidang medis dan kesehatan publik, yang ternyata memiliki peran penting dalam kampanye global anti-tembakau. Awalnya adalah gagasan mengenai sebuah hukum internasional pengendalian tembakau yang muncul pada pertengahan 1990-an. Ide ini berasal dari empat orang akademisi dan aktivis anti-tembakau, antara lain Ruth Roemer, Allyn Taylor, Derek Yach, dan Judith Mackay. Kecuali Mackay, tiga orang lainnya memiliki hubungan dengan JHU. Ruth Roemer adalah profesor dari UCLA School of Public Health, istri dari Milton Roemer yang memiliki kedekatan khusus dengan Henry Sigerist, profesor bidang sejarah medis di JHU. Taylor adalah profesor bidang hubungan internasional di JHU, Paul H. Nitze School of Advanced International Studies. Ada pun Derek Yach, alumnus JHU Bloomberg School of Public Health. Saat ini dia juga tercatat sebagai Senior Vice President Global Health Policy Pepsi Co. dan sebelumnya menjabat Ketua Global Health at the Rockefeller Foundation.

Lalu sejak 1998, JHU mendirikan sebuah lembaga yang bernama Institute for Global Tobacco Control yang berpusat di Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health. Peran dari lembaga ini adalah menghasilkan, mensintesis, dan menerjemahkan bukti- bukti ilmiah yang kemudian digunakan untuk mendukung dan memengaruhi kebijakan, program, dan kegiatan pengendalian tembakau global. Pada 1998, ketika WHO fokus kepada tembakau sebagai masalah kesehatan dunia lewat Free Tobacco Initiative,

lembaga ini dipimpin Gro Harlem Brundtland, alumnus JHU. Bahkan, lahirnya FCTC juga tidak lepas dari sepak terjang tokoh-tokoh yang terkait langsung dengan JHU.

Salah satu catatan yang mendokumentasikan kiprah Bloomberg dalam gerakan anti-tembakau sebelum periode politiknya, ketika dia tercatat sebagai salah satu peserta undangan pertemuan antara Komite Tembakau JHU dan Philip Morris bersama beberapa alumni lain. Antara lain H. Furlong Baldwin (Chairman of Mercantile Bankshares Corporation, Baltimore), Andre W. Brewster (General Partner Piper & Marbury, Baltimore), Robert D.H. Harvey (Former Chairman Maryland National Bank, Baltimore), Alan P. Hoblitzell Jr. (MNC Financial Inc., Baltimore), dan George G. Radcliffe (Baltimore Life Insurance Company, Baltimore). Bloomberg adalah satu-satunya yang berasal dari luar Baltimore.

Pertemuan pada 10 Desember 1990 itu membicarakan proyek divestasi saham tembakau. Saat itu JHU, seperti yang dilaporkan Los Angeles Times 23 Februari 1991, akan menjual kepemilikan sahamnya di perusahaan-perusahaan tembakau (terkait proyek divestasi tembakau) senilai US$ 5,3 juta. Pada laporan yang sama tersebut, Carl A. Latkin, seorang mahasiswa pasca-doktoral yang dalam forum fakultas-mahasiswa membahas isu itu sebelumnya— menyatakan 1,5 persen dari total portofolio investasi JHU senilai US$ 700 juta, atau lebih dari US$ 10 juta diinvestasikan ke perusahaan tembakau. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan, ketika ditanyakan ada perbedaan nilai yang signifikan antara Latkin dan O’Shea, perbedaan itu terjadi karena nilai portofolio tersebut terus berubah secara konstan.

Maka ketika Bloomberg memprakarsai Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use, bukan sesuatu yang mengejutkan bila JHU menjadi mitra utama pengelola dana hibah yang disediakannya bersama keempat lembaga lain. Jelas sekali peran JHU dalam proyek perang global anti-tembakau ini sangat dominan dan besar. Pertanyaannya

kemudian, siapa yang sesungguhnya memiliki kepentingan terhadap agenda perang global anti-tembakau? Bloomberg atau Johns Hopkins University? Lalu, apa kepentingan mereka?

Johns Hopkins University,