• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Otoritas Bertingkat

2. Negara Vasal di Jawa

Dalam keberadaan vasal terlihat ada jenjang hirarki dalam kedaulatan penguasa dan negara yang telah ditaklukkan. Maka, sistem ini menunjukkan adanya raja atasan dan raja bawahan. Raja atasan bisa disebut kaisar dalam kebudayaan Eropa, China atau Jepang. Sedangkan raja bawahan dalam tradisi Jawa menyebut diri mereka Adipati atau Bupati.23

Pemecahan kekuasaan melalui pembagian wilayah kerajaan membuat kerajaan-kerajaan kecil ini mempunyai pengelolaan yang rentan konflik. Walaupun Mataram sudah dibagi secara teritorial menjadi Mataram Timur (Surakarta) dan Mataram Barat (Yogyakarta), masing-masing kerajaan mempunyai wilayah enclave. Kasultanan Yogyakarta mempunyai daerah kantong di dalam wilayah Kasunanan Surakarta di sebelah timur, demikian juga sebaliknya. Moedjanto menilai hal ini adalah kebijakan kolonial yang bermaksud memecah belah Mataram agar terus berkonflik. Sedangkan Onghokham menilai bahwa pembagian wilayah yang tersebar ini menyesuaikan logika penguasaan raja-raja Jawa pada masa lalu yang menggunakan konsep cacah (keluarga petani). Seorang penguasa feodal/raja-raja kecil yaitu para pangeran dan bupati atau para

23Dalam Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dkk, istilah ‘bupati’ menjelaskan sebuah jabatan politik atas daerah-daerah di wilayah mancanegara

dan pasisir yang tidak lagi menjadi wilayah bawahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

Yogyakarta tapi sudah menjadi wilayah administratif kolonial. Sedangkan ‘Adipati’ menjadi sebutan untuk gelar tertinggi yang dimiliki oleh para bangsawan di mancanegara dan pasisir. Seorang Bupati mempunyai gelar Adipati.

raja yang bergelar Adipati, Susuhunan, dan Sultan memperlihatkan seberapa besar pengaruhnya dengan banyaknya jumlah pengikut. Maka, bisa dimengerti mengapa pembagian wilayah antara Yogyakarta dan Surakarta banyak enclave.24

Sebutan ‘Sultan’ sebenarnya tidak lazim untuk seorang Sultan. Baru pada saat VOC menaklukkan Mataram, gelar Sultan menjadi gelar untuk seorang Raja bawahan. Gelar yang diadopsi dari timur tengah ini diyakini sebagai gelar raja yang tinggi, melebihi gelar-gelar lain yang berkembang dalam tradisi Jawa. Gelar ini juga menjadi legitimasi bagi Kerajaan Yogyakarta untuk menyaingi Kerajaan Surakarta. Gelar ‘Sultan’ yang diperoleh dari timur tengah ini dipercaya menjadi gelar yang lebih prestisius dibandingkan dengan gelar ‘Sunan’ yang digunakan oleh raja di Surakarta.25

Untuk selanjutnya, kerajaan-kerajaan penerus Mataram (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman) juga menjadi negara-negara vasal dalam lingkup kekuasaan pemerintah kolonial. Ketika pemerintah kolonial berganti, mulai dari VOC (kumpeni/Kerajaan Holland), Hindia Perancis (Kerajaan Belanda-Perancis, pada masa Gubernur Daendels), EIC (East Indian Company)/Hindia Timur (Kerajaan

24Ong Hok Ham (1983) dalam “Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi” mengungkapkan bahwa konsep cacah ini tetap menjadi dasar dalam pembagian wilayah. Hal ini bertentangan dengan Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa yang lebih menonjolkan peran kolonial dalam pembagian wilayah. Bagi Moedjanto tersebarnya wilayah

enclave adalah strategi politik untuk memelihara perseteruan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

25Dengan terkesan memberikan penilaian, Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam

Sejarah Jawa mengungkapkan bahwa pemilihan gelar ‘Sultan’ oleh Pangeran Mangkubumi

menempatkannya lebih unggul daripada raja Surakarta yang menggunakan gelar ‘Sunan’. Sebelumnya, saat masih melakukan pemberontakan, Mangkubumi sudah mengangkat diri menjadi seorang raja dengan gelar ‘Sunan’. Moedjanto juga memberikan penjabaran bahwa gelar Sultan dalam masyarakat Jawa saat itu menjadi sebutan untuk raja yang paling tinggi melebihi gelar lain seperti Sunan atau Panembahan.

Inggris/pada masa Gubernur Rafles), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), Angkatan Darat XVI (Kekaisaran Jepang), keberadaan kerajaan-kerajaan ini tetap menjadi vasal.

Pemerintah Hindia Belanda, menempatkan kerajaan-kerajaan pecahan Mataram ini pada daerah yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan kolonial di Jawa. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dimasukan dalam sebuah karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berada di wilayah Karesidenan Yogyakarta.26 Kedua karesidenan ini disebut Voorstenlanden yang artinya wilayah raja-raja. Dalam prakteknya, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap mempunyai struktur-struktur pemerintahan. Bersama dengan apparatus pemerintahan Hindia Belanda kedua kerajaan ini mengelola daerah karesidenan Yogyakarta.

3. Kontrak Politik

Kontrak Politik ialah kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah kolonial kepada pihak kerajaan untuk menundukkannya sekaligus menetapkannya sebagai vasal. Sebuah kontrak politik ditandatangani bersama oleh seorang calon sultan dengan Gubernur Jendral VOC. Sejak penandatangan kontrak tersebut, putra

26Dalam masa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman meleburkan kedaulatannya dalam Kasultanan Yogyakarta. Sebagai sebuah vasal yang tunduk pada Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman mempunyai dua pilihan yaitu, memilih berdaulat penuh, atau mengikuti kebijakan kerajaan induk. Konflik di kerajaan tetangga juga terjadi dengan ketidaksepahaman antara Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten Pakualaman justru meleburkan kekuasaannya kedalam Kasultanan Yogyakarta. PA VIII menyatakan bahwa integrasi Pakualaman ke dalam Kasultanan menjadi satu wilayah, tidak pernah disesalinya walaupun pernah ada yang menyatakan kritik atas keputusannya tersebut.

mahkota tersebut mendapatkan hak untuk mengelola kerajaan dan diangkat menjadi raja walaupun secara resmi, kedaulatan dipegang oleh pemerintah kolonial. Singkatnya, Kontrak Politik adalah instrumen penundukan kepada sebuah negara dengan menjadikannya vasal.

Sebagai sebuah kesepakatan, kontrak politik tidak menunjukkan hubungan kesetaraan. Kesepakatan ini lebih menunjukkan pola hubungan antara pemegang kuasa atasan dengan pemegang kuasa bawahan.27 Maka terlihat bahwa hubungan kerajaan-kerajaan di Jawa adalah daerah taklukan kolonial.

Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, kontrak politik disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yang disebut kontrak panjang (korte verklaring) dan kontrak panjang disebut (lange contracten). Daerah-daerah yang mendapatkan kontrak panjang ini mempunyai struktur pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam kontrol pemerintah kolonial. Sedangkan, vasal yang menyepakati kontrak pendek, kekuasaannya lebih terbatas.

Dibalik kontrak ini tersimpan agenda tersembunyi, yaitu pengurangan wewenang raja secara perlahan. Akibatnya, sampai pada permulaan abad ke-20, hanya tersisa dua kerajaan yang mendapatkan kontrak panjang yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kerajaan ini ditempatkan dalam dua sistem pemerintahan bernama karesidenan yang diperintah oleh residen kolonial. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang menandatangani kontrak panjang bisa disebut ‘separuh

27Moedjanto (1994) dalam Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman

menegaskan bahwa Kontrak Politik ini bukanlah perjanjian antar negara merdeka. Maka menjadi jelas bahwa kontrak politik ini adalah kesepakatan antara negara/kerajaan pemenang dan negara/kerajaan yang kalah.

dijajah’. Keempat kerajaan yang menempati daerah vorstenlanden ini menempati wilayah sebesar 7% di Jawa.28

Pangeran Dorojatun (Bendoro Raden Mas Dorojatun) sempat tidak menyepakati butir-butir yang tertera dalam kontrak tersebut sehingga membuat Yogyakarta mengalami kekosongan tahta selama beberapa bulan sepeninggal Sultan HB VIII. Akhirnya, kontrak tersebut ditandatangani oleh sang putra mahkota menjadi Sultan HB IX pada tahun 1940. Kontrak Politik tahun 1940 ini menjadi Kontrak Politik terakhir antara Kasultanan dengan pemerintah kolonial.

Yogyakarta, sejak masa kolonial, dari HB I sampai HB IX terikat dengan kontrak politik. Kontrak ini mengandung substansi bahwa adanya pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Belanda. Secara resmi, kedaulatan Kasultanan Yogyakarta berada dibawah ‘kekaisaran’ Belanda melalui pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan eks-Mataram, seperti Yogyakarta disebut sebagai pengelola ‘titipan’ kedaulatan negara yang dipegang oleh Kerajaan Belanda.

Kontrak politik pada hakikatnya cukup signifikan dalam kehidupan legal- politis di Yogyakarta. Bahkan, awal berdirinya kerajaan Yogyakarta juga didahului sebuah kontrak politik. Jika kontrak politik disebut sebagai bentuk legitimasi. Muatannya jelas; kerajaan-kerajaan ini tidak bisa dikatakan berdaulat penuh. Kekuasaan tertinggi tetap berada pada kekuasaan yang menaunginya.

28Ungkapan “dijajah tidak langsung” tertulis dalam tulisan Mohammad Roem dalam Atmakusumah (ed.). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kedaulatan ditentukan dalam kontrak politik. Melalui kontrak politik ini, sultan diakui legitimasinya sebagai raja yang memerintah atas wilayahnya.

Mekanisme pengelolaan pemerintahan dalam negara vasal disusun oleh pemerintah kolonial dengan memberikan hak pada penguasa setempat dengan penyertaan pejabat kolonial. Kerajaan mendapatkan intervensi dengan menempatkan seorang Patih yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Seorang Patih (Pepatih Dalem), yang dalam bahasa Belanda disebut Rijks-Bestuurder

mempunyai kesetiaan ganda, untuk Raja dan Gubernur Jendral pemerintah kolonial.29 Pemerintah kolonial melihat posisi ini cukup strategis sehingga merekayasa dengan kontrak politik untuk kepentingan mereka.

Pembagian otoritas dalam pemerintahan monarki bisa memunculkan masalah yang rentan konflik internal. Raja sebagai kepala negara bisa berkonflik dengan Patih yang mengelola pemerintahan. Di Kasultanan Yogyakarta, pemilihan seorang Patih harus mendapatkan restu dari pemerintah kolonial. Persoalan ini pernah menimbulkan konflik antara Sultan dengan Patih yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Dengan tujuan untuk mengurangi campur tangan Belanda, Sultan HB IX tidak lagi mengangkat patih baru setelah patih sebelumnya meninggal.

29Sebenarnya jabatan Patih sudah ada sebelum masa kolonial. Jabatan seorang patih setara dengan Perdana Menteri di negara-negara yang masih mempertahankan bentuk monarki seperti Inggris.

Dokumen terkait