• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III NINA TU ANA SEHAT, KITANUN JADI SEHAT

3.5 Neonatus, Anak, dan Balita

Tidak ada perayaan, upacara, atau kegiatan khusus untuk menyambut bayi yang baru lahir. Tidak adanya perayaan atau upacara khusus ini bukan berarti masyarakat tidak senang menyambut bayi yang baru lahir, tetapi lebih karena kemiskinan atau tidak adanya kemampuan untuk menyelenggarakan upacara tersebut, seperti yang dituturkan oleh tokoh masyarakat yang juga merupakan saudara Bapak Raja berikut ini.

“Katong pung masyarakat ini suseng mampu par bekin perayaan lain. Yang ada cuma par makan saja .Apa lagi pung bayi yang baru lahir yang harus katong undang tetangga par makan dan baca doa syukuran. Sekarang su susah. Barang-barang pung harga su mahal.”

(“Masyarakat sudah tidak mampu untuk membuat perayaan apa-apa. Bisa buat makan saja sudah bagus. Apalagi untuk bayi yang baru lahir. Harus mengundang tetangga untuk makan dan syukuran. Sudah susah sekarang. Harga bahan makanan sudah mahal.”)

Saat ini seorang bayi yang baru lahir tidak disyukuri dengan upacara tertentu. Seorang tokoh masyarakat berinisial LK menjelaskan bahwa sekitar 15 tahun yang lalu ia masih menyelenggarakan upacara untuk kelahiran anaknya. Upacara tersebut dilakukan dengan mengundang orang­ orang di desa untuk makan dan berdoa bersama sekaligus bershalawat.

Tokoh masyarakat tersebut mengatakan bahwa ketika itu ia meng­ ambil sejumput dari tiap­tiap makanan yang disajikan atau disediakan

buah kelapa. Buah kelapa itu kemudian di gantung di depan rumah sebagai tanda bahwa mereka sangat bersyukur atas kelahiran anak mereka.

Namun, untuk saat ini Pak LK tidak pernah lagi melihat masyarakat menyelenggarakan upacara semacam itu. Menurutnya, kemungkinan tidak dilakukannya upacara tersebut karena masyarakat tidak mampu mem­ biayai upacara. Begitu juga pendapat ibu­ibu yang diwawancarai bahwa di Kampung Waru tidak ada upacara atau syukuran untuk menyambut bayi lahir. Mereka hanya memberitahukan kepada tetangga sekitar secara lisan. Begitu pula dengan saat mereka mengetahui bahwa mereka sudah hamil, tidak ada perayaan khusus baik secara agama maupun adat. Para ibu menganggap bahwa kehamilan dan kelahiran seorang anak manusia merupakan hal yang wajar dan alami. Mereka juga mengakui bahwa faktor kemiskinan atau ketidakmampuan merekalah yang membuat mereka tidak mengadakan upacara semacam itu karena mereka harus menyediakan makan untuk banyak orang.

Dalam hal peningkatan kesehatan balita, kegiatan yang menunjang adalah posyandu. Posyandu di Kampung Waru diadakan oleh masyarakat dan merupakan hasil binaan Puskesmas Waru yang digerakkan oleh empat orang kader yang direkrut pihak puskesma. Para kader adalah ibu­ibu yang dianggap memiliki pengaruh di desa itu. Kegiatan posyandu sudah ada sejak Kampung Waru masih dilayani Puskesmas Bula. Kegiatan yang dilakukan di posyandu adalah penimbangan dan pencatatan berat badan anak, sedangkan untuk pengukuran dilakukan oleh penanggung jawab program gizi puskesmas, seperti disampaikan salah satu kader berikut ini.

“... seperti biasa posyandu dilaksanakan, ada penimbangan dan pencatatan berat badan. Namun tidak ada PMT (Pemberian Makan Tambahan) apalagi imunisasi. Dilakukan di dua dusun di Kampung Waru. Dilaksanakan oleh empat orang kader yang merupakan binaan dari puskesmas ....”

Ketika ditanya tentang pelaksanaan posyandu, kader menjelaskan bahwa kegiatan selama ini adalah penimbangan dengan menggunakan da-cin yang dilengkapi sarung dan kemudian dilakukan pencatatan ter masuk pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat). Catatan hasil penimbangan kemu-dian diberikan kepada penanggung jawab program gizi yang berinisial S ke puskesmas. Sementara ketika ditanya mengenai animo masyarakat ter­ hadap kegiatan posyandu di desa ini ternyata berhubungan dengan ada­ nya pemberian makanan tambahan, berikut ini penuturan kader tersebut.

“... posyandu ini milik masyarakat dan didukung oleh Bapak Raja, karena pelaksanaannya selalu dilakukan di halaman rumah Bapak Raja ini. Dari posyandu juga kita bisa dapat informasi tentang adanya balita yang gizi buruk. Posyandu sebelumnya berjalan lancar dan ramai dikunjungi oleh ibu-ibu dan balita. Kemungkinan ini karena sebelumnya ada PMT. Tapi sudah enam bulan ini tidak ada lagi PMT, jadi posyandu mulai sepi dan selama tiga bulan ini tidak ada lagi kegiatan penimbangan.”

Mengenai tidak berlangsungnya kegiatan posyandu selama tiga bu­ lan terakhir dibenarkan oleh S. Menurut S kegiatan PMT merupakan daya tarik masyarakat untuk hadir ke posyandu, namun hal ini tidak dapat dilak­ sanakan karena dana BOK belum diterima oleh puskesmas. Selain itu, para kader juga belum menerima uang insentif selama 8 bulan terakhir. Hal ini disampaikan oleh informan S sebagai berikut.

“... di posyandu itu hanya dilakukan penimbangan saja. Tidak diberikan PMT karena belum ada pencairan BOK. Kata bendahara, uangnya masih ada keperluan untuk pembuatan laporan dan perbaikannya, jadi untuk pemberian PMT nyatanya belum ada. Di juknis memang dikatakan bahwa harus menggunakan makanan yang ada di daerah itu, tapi beta pikir kan pastinya bosan kalau PMT begitu-begitu saja. Kalau ada pungutan pada masyarakat, ada keluhan ....”

Berdasarkan hasil wawancara dengan kader tentang pendayagunaan posyandu untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan, terutama kese-hatan ibu dan anak, ternyata selama ini tidak pernah ada penyuluhan yang dilakukan pada saat kegiatan posyandu. Selain tidak adanya pe nyuluhan, ternyata petugas dari puskesmas juga tidak selalu dapat mendampingi pelaksanaan posyandu. Ketidakhadiran petugas dalam pelaksanaan setiap kegiaatan posyandu dibenarkan oleh penanggung jawab program gizi puskesmas. Alasan ketidakhadirannya dituturkan sebagai berikut.

“... memang sebaiknya beta ada pada setiap pelaksanaan, tapi daerah binaan beta memang luas sampai ke Masiwang. Kalau penyuluhan adalah kami lakukan. Baru bulan kemarin sekitar bulan Mei penyuluhan tentang gizi buruk di Bovia Gunung dengan pamflet ... tidak bisa setiap bulan beta ada di posyandu

Menurut keterangan penanggung jawab gizi maupun Kepala Pus­ kesmas, imunisasi juga belum pernah dilakukan di puskesmas maupun posyandu. Kendala belum dilaksanakannya imunisasi berhubungan dengan belum tersedianya listrik. Kalaupun ada genset di puskesmas, tidak adanya anggaran untuk pembelian solar yang merupakan bahan bakar untuk genset tersebut menjadi kendala dalam penyimpanan bahan imunisasi. Hal ini kita ketahui dari kutipan hasil wawancara mendalam dengan Kepala Puskesmas berikut ini.

“... sebetulnya kami ingin sekali ada imunisasi di posyandu atau kegiatan puskesmas, tapi kami terkendala masalah listrik ini, Bu. Daerah sulit seperti ini membuat kami tidak bisa maksimal. Tidak bisa genset hidup terus karena tidak anggaran (di puskesmas) untuk itu. Sekarang saja genset ini bisa menyala karena saya yang membeli solarnya ....”