• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Neraca Karbon Kebun (Emisi Neto) Panai Jaya dan Meranti Paham

 

Gambar 3. Persamaan Hooijier (2006) yang Menunjukkan Hubungan antara Kedalaman Drainase dengan Emisi

4.3. Neraca Karbon Kebun (Emisi Neto) Panai Jaya dan Meranti Paham Cadangan/stok dan emisi harus memiliki satuan sama yang dinyatakan dalam CO2. Dalam perhitungan emisi neto CO2 (emisi tanpa nekromasa), cadangan karbon yang semula dalam bentuk karbon (C) dikonversikan atau diubah menjadi CO2. Perhitungan yang dilakukan hanya pada cadangan atas permukaan yaitu cadangan karbon pokok tanaman kelapa sawit dan tanaman bawah/semak tanpa pohon tumbang yang melapuk (nekromasa). Selain itu, data emisi karbon yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari emisi CO2 dan CH4, namun karena nilai CH4 yang diperoleh sangat kecil maka dapat diabaikan karena tidak berdampak nyata pada hasil akhir perhitungan. Kebun Panai Jaya memiliki luas total sebesar 2.586 ha, dimana hanya 55 ha yang tersisa masih hutan sekunder. Sementara itu, Kebun Meranti Paham seluas 4.811 ha merupakan kebun kelapa sawit yang sudah sangat tua, dimana sudah terdapat lahan yang telah ditanami ulang atau replanting. Perhitungan emisi neto/neraca karbon di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham disajikan pada Tabel 8 dan 9.

Subsiden (cm/tahun)

21   

   

Tabel 8. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Panai Jaya Tahun 2009

a = Luas Areal (ha), PPKS (2010)

b = Data pada Tabel 3, Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) c = Data pada Tabel 3, Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) d = ((c-b)a)/5, (5 = penggunaan lahan antara 2002 hingga 2007)

e = c/umur tanaman, *asumsi riap hutan sekunder dan bukaan baru oleh Bapenas f = Kehilangan karbon tahunan akibat masyarakat sekitar seperti illegal logging g = (e-f)a

h = Data pada Tabel 7 (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

-152.343,63 ton CO2/tahun Emisi Neto Kebun Panai Jaya Tahun 2009 =

2.238 ha

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2002 2007 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

22   

 

Tabel 9. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

a = Luas Areal (ha), PPKS (2010)

b = Karbon biomassa tahun 2003 diasumsikan sama dengan tahun 2008 c = Data pada Tabel 6, Yulianti (2009)

d = 0, karena kebun sawit merupakan sumber/penghasil karbon (Ghani, 2011) e = c/umur tanaman

f = 0, asumsi tidak terjadi pengurangan karbon tahunan pada perkebunan g = (e-f)a

h = Data pada Tabel 7 (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

-86.091,86 ton CO2/ tahun Emisi Neto Kebun Meranti Paham Tahun 2009 =

2.443 ha

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2003 2008 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

23   

   

Perhitungan Tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa nilai emisi neto karbon kebun Panai Jaya dan Meranti Paham tahun 2009 bernilai negatif yang menunjukkan bahwa pada kebun-kebun tersebut memiliki total emisi yang lebih besar dari pada total cadangan karbonnya. Emisi neto CO2 pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham berturut-turut sebesar -68,07 dan -35,24 ton CO2/ha/tahun.

Dari hasil tersebut diketahui bahwa kebun sawit berusia tua mampu menghasilkan karbon yang lebih besar daripada kebun sawit berusia muda, sehingga mempertegas bahwa umur tanaman kelapa sawit berkorelasi positif terhadap stok CO2 yang dihasilkan. Dengan kata lain semakin tua suatu tanaman kelapa sawit maka semakin besar pula stok CO2 yang dihasilkannya.

Perhitungan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa konversi hutan rawa sekunder menjadi areal perkebunan menyebabkan terjadinya kehilangan karbon (carbon loss) sebesar -71.402,52 ton CO2/tahun pada awal penanaman kelapa sawit. Namun, selama 2 tahun pertama penanaman kelapa sawit tersebut telah terjadi peningkatan karbon (carbon gain) sebesar 4.322,07 ton CO2/tahun.

Sementara itu pada kebun Meranti Paham yang lebih tua dari Panai Jaya tidak terjadi carbon loss sama sekali, sebaliknya mengalami peningkatan secara simultan dari tahun ke tahun (carbon gain), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Ini berarti bahwa kebun kelapa sawit terbukti telah menjadi sumber karbon baru ditengah krisis karbon yang terjadi karena luasan hutan yang terus berkurang.

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diketahui bahwa stok karbon tahunan yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit memang tidak sebesar yang dihasilkan oleh hutan sekunder, akan tetapi masih lebih baik dari pada lahan gambut tersebut dibiarkan terbuka begitu saja (semak). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lahan rawa gambut yang pemanfaatannya belum maksimal yang merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan. Ini disebabkan rawa tersebut hanya ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar, dimana emisi yang dihasilkan sangat besar tanpa adanya stok karbon yang dihasilkan dari tegakan/pohon. Pada tahun 2005 dari total luas hutan 131, 65 juta ha, hutan primer hanya tersisa 35,85%, sedangkan hutan sekunder mencapai 32,37% dan tidak berhutan cukup luas yaitu 31,78% (Bahruni, 2010).

24   

 

Kehilangan karbon yang terjadi pada hutan rawa sekunder semakin sulit dihindari karena berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bapenas peningkatan karbon tahunan secara alami hutan rawa sekunder sebesar 12,83 ton CO2/ha/tahun (riap) jauh lebih kecil dibandingkan pengurangan karbon tahunannya yang sebesar 18,33 ton CO2/ha/tahun (Tabel 8). Pengurangan karbon tahunan pada hutan rawa sekunder tersebut sebagian besar disebabkan penebangan hutan secara liar oleh masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencarian dan pengusaha dalam rangka mencari keuntungan (illegal logging).

Faktanya budidaya kelapa sawit di Indonesia telah mengimplementasikan kaidah lingkungan, karena tegakan pohon kelapa sawit dapat menjadi penghasil karbon baru yang secara simultan terus meningkat dengan penambahan umurnya ditengah krisis karbon yang terjadi terutama pada lahan-lahan terbuka. Sayangnya kesan cemburu terhadap komoditas ini terus terlihat dengan maraknya isu lingkungan yang kerap memojokan disaat negara-negara berkembang sedang berjuang untuk perekonomian dan perbaikan taraf hidup masyarakatnya. Lebih ironis lagi jika isu yang dikembangkan adalah demi kelestarian “orang utan”

(Ghani, 2011).

Tanpa menafikkan bahwa biodiversity kebun kelapa sawit yang rendah dan pentingnya konservasi satwa lokal yang dilindungi, sangat tidak bijaksana jika untuk kepentingan “orang utan” justru kesejahteraan umat manusia yang dikorbankan. Masih banyak alternatif lain yang dapat didiskusikan bersama sebagaimana implementasi prinsip dan kriteria RSPO/ISPO (Rountable/Indonesia Sustainable Palm Oil), yang menerapkan best management practices dengan menjalankan proses bisnis yang memperhatikan prinsip kelestarian alam (Ghani, 2011).

Oleh karena itu, tidaklah masalah untuk mempertahankan perkebunan kelapa sawit dan/atau mengembangkannya selama kondisi lingkungan tetap terjaga. Hal ini juga terlihat dari kenyataan bahwa kelapa sawit cukup ramah lingkungan dan dapat menjadi sumber energi terbarukan, dengan hasil turunan dari CPO berupa biofuel yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sehingga dapat menurunkan emisi yang dihasilkan.

25   

   

Dokumen terkait