• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Pada dasarnya pengaruh lingkungan lebih besar pada cekaman panas dibanding pengaruh dari genetik (Boonkum et al. 2011). Dari hal tersebut, diperlukan manajemen yang sesuai dengan kebutuhan hidup ternak, sehingga performa ternak dapat optimal meskipun tidak sama persis dengan daerah asalnya. Peningkatan performa hidup ternak agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen dan seleksi (Nardone et al. 2010). Manajemen unsur lingkungan mikro dan pakan yang tepat diharapkan dapat menjadi cara dalam mengatasi cekaman panas pada tubuh ternak.

Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di daerah Bogor dan Jakarta berdasarkan hasil simulasi ANN dengan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang terhadap respon fisiologisnya pada indikator suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung, yang menunjukkan terjadinya pergeseran peningkatan suhu kritis pada sapi perah, selain itu respon fisiologis pada indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi terjadi pergeseran suhu kritis juga akibat perbedaan pemberian pakan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut manajemen pemberian pakan dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah berdasarkan respon fisiologis.

Model manajemen pakan dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian dan komposisi pakan yang tepat berdasarkan lingkungan iklim mikro yang sesuai. Peranan manajemen pakan dan lingkungan iklim mikro berfungsi untuk mengatur waktu pemberian pakan yang tepat dengan lingkungan iklim mikro sehingga tidak mengakibatkan double stress, yang artinya produksi dan pelepasan panas tubuh seimbang. Keseimbangan panas tersebut merupakan suatu syarat untuk mencapai kondisi fisiologis dan produktivitas ternak yang optimal. Kondisi internal dan eksternal tubuh dapat mempengaruhi keseimbangan panas tubuh. Kondisi internal tubuh adalah proses-proses fisiologis di dalam tubuh, termasuk proses metabolisme pakan. Sementara itu, kondisi eksternal yang mempengaruhi tubuh meliputi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari.

Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa dan memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah berkisar 13-18 oC (McDowell 1972), 5-25 oC (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah FH sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara tinggi menyebabkan cekaman panas dan berakibat menurunnya

produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas telah dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002).

Proses mempertahankan suhu tubuh tersebut dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini terjadi bila sapi perah mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas (Yousef 1985). Ternak akan memproduksi panas dalam tubuhnya sebagai upaya menghasilkan energi yang diperlukan untuk kehidupannya (beraktifitas dan penyesuaian terhadap lingkungan). Panas yang diproduksi tergantung dari aktifitas ternak dan intake

pakan, feed intake dinyatakan dalam TDN yang menunjukkan total bahan pakan dapat dicerna oleh ternak (Rahardja 2007). Perolehan panas dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman, sebaliknya kehilangan panas bila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman.

Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada sapi perah berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian energi (TDN) berasal dari konsentrat belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Akan tetapi sebaliknya di lingkungan dengan suhu yang tinggi, Efek Kalorigenik Pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi (West 2003; Pennintong dan van Devender 2004).

Manajemen lingkungan iklim mikro dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian pakan dan penambahan energi (TDN) dari konsentrat yang tepat, sehingga tidak dilaksanakan pemberian pakan dalam kondisi suhu lingkungan panas. Pada cekaman panas diperlukan manajemen waktu pemberian pakan yang dapat menurunkan beban panas suhu tubuh. Selain itu, pemberian energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian energi (TDN) dari konsentrat berdasarkan respon fisiologis untuk menentukan suhu kritis ternak di daerah tropik.

Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pemberian pakan dan pemberian penambahan energi (TDN) dari minyak dalam konsentrat, dapat didekati melalui penerapan simulasi Jaringan Sarap Tiruan (ANN), sebagai model untuk menentukan variasi manajemen waktu pemberian pakan dan energi (TDN) dari konsentrat. Manajemen waktu pemberian pakan dan penambahan energi tinggi dari konsentrat yang tidak berdasarkan suhu kritis ternak mengakibatkan keseimbangan panas antara produksi dan pelepasan panas suhu tubuh menjadi terganggu, akibatnya proses termoregulasi mulai bekerja untuk mempertahankan suhu tubuh tetap normal. Manajemen waktu pemberian pakan pada kondisi suhu dan kelembaban udara nyaman bagi sapi dara, ditambah energi tinggi yang berasal dari minyak kelapa dalam konsentrat yang tidak menambah beban panas tubuh, diharapkan sebagai acuan untuk pemberian pakan pada kondisi cekaman panas dari lingkungan iklim mikro dan pakan yang bersamaan.

Suhu dan kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap perubahan fisiologis sapi perah, sehingga akhirnya akan berdampak pada produksi. Pada keadaan suhu dan kelembaban tinggi akan terjadi penentuan antara imbangan proses perolehan panas (produksi panas metabolisme dan perolehan dari lingkungan) dengan pembuangan panas dalam rangka memelihara tingkat suhu tubuh normal. Semakin tinggi suhu lingkungan di atas Thermoneural zone akan menyebabkan perolehan panas lebih banyak daripada pembebasan panas, akibatnya peningkatan suhu tubuh. Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi usaha ternak untuk mengeluarkan panas dengan cara radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi air minum dan menurunkan konsumsi pakan, serta energi yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh meningkat. Peningkatan suhu tubuh tersebut akan meningkatkan laju metabolisme dalam sel.

Penelitian ini diharapkan dapat menentukan suhu kritis pada sapi dara PFH berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan. Begitu juga dapat memberikan informasi mengenai suhu kritis sapi dara PFH dengan pemberian energi tinggi dari konsentrat untuk budidaya pengembangan sapi perah.

Dokumen terkait