4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Nilai Backscattering Strength pada Sedimen Berpasir
Penjabaran pada setiap ping dapat dilakukan melalui ekstraksi raw data
menggunakan Matlab. Setiap pulsa akustik yang kembali (echo) mengandung berbagai informasi mengenai proses-proses fisik yang terjadi saat pulsa tersebut dirambatkan pada suatu medium. Pola yang didapatkan dari tiap ping dapat memberikan ruang analisa yang lebih baik. Gambar 15 menjelaskan proses
0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Ukuran butir, d (dalam mm)
U k uran loga rit m ik (M z ) medium sand coarse sand
32
perjalanan pulsa akustik, dimana sumbu y merupakan waktu perjalanan pulsa yang dikonversi menjadi kedalaman.
Gambar 15 Pola surface backscattering strength, SS [dB] dan volume backscattering strength, SV [dB] yang dihasilkan oleh satu ping. Gambar 15 menunjukkan pola perambatan pulsa akustik yang diukur dalam
SS dan SV. Terdapat dua lapisan dengan intensitas backscattering yang tinggi. Lapisan pertama berada di sekitar permukaan transduser, disebut near-field dan mengandung noise yang cukup tinggi. Sementara lapisan lainnya adalah dasar laut. Berdasarkan algoritma yang telah disusun, lapisan dasar laut dimulai dari
time bottom detect (tbd) hingga ketebalan lapisan sekitar 20 cm dengan intensitas minimum -60 dB. Kekuatan hamburan dari dasar laut direpresentasikan oleh nilai
SV dan SS maksimum dari Svraw data pada lapisan tersebut.
Variabel akustik, seperti SV dan SS yang digunakan dalam penelitian ini dapat direpresentasikan melalui echogram (Gambar 16). Echogram ini digunakan sebagai fungsi quality control dan analisis data. Intensitas dari tiap variabel dinotasikan sebagai warna pada tiap pixel. Tampilan echogram pada tiap lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Lampiran 3.
-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 Intensitas [dB] K e d a la m a n ( m ) SS SV noise threshold Peak bottom echo
40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 -28 -26 -24 -22 -20 -18 -16 -14
grazing angle (derajat)
b o tt o m b a c k s c a tt e ri n g s tr e n g th [ d B ]
Gambar 16 Echogram yang dihasilkan menggunakan Matlab: (a) kolom perairan, (b) dasar laut, dan (c) second bottom echo.
Perbandingan antara model dan data
Mulhearn (2000) menjelaskan bahwa pendekatan Kirchhoff mampu mensimulasikan pola backscattering yang dihasilkan pada grazing angle 40° hingga 90° (Gambar 17). Nilai backscattering tertinggi dihasilkan pada sudut 90°. Sehingga nilai backscattering pada model hanya menggunakan sudut 90°. Hal ini didasari oleh orientasi transduser pada saat pengambilan data lapangan juga menggunakan sudut tersebut.
Gambar 17 Pola backscatteringstrength yang dihasilkan pendekatan Kirchhoff.
Ping ke da la m an ( m ) Sv pasir\site1.raw 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1000 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 -60 -50 -40 -30 -20 -10
34 0 0.5 1 1.5 2 -30 -25 -20 -15 -10 -5 ukuran butir (Mz) b o tt o m b a c k s c a tt e ri n g s tr e n g th [ d B ] model Kirchhoff SSb SVb
Perbandingan model Kirchhoff dilakukan pada dua variabel akustik yang didapatkan dari hasil pengukuran yaitu bottom volume backscattering strength
(SVb) dan bottom surface backscattering strength (SSb). Kedua variabel tersebut memiliki fungsi yang ekuivalen (SVb ≈ SSb), karena keduanya diperoleh dari nilai maksimum Sv raw data. Hal ini tidak berlaku jika menggunakan nilai Sv hasil integrasi.
Gambar 18 Perbandingan nilai bottom backscattering strength [dB] antara model dan data pengukuran pada tiap lokasi.
Gambar 18 menunjukkan sebaran nilai SVb dan SSb terhadap model yang digunakan. Variabel SVb memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan SSb. Lebih lanjut, variabel yang digunakan sebagai pembanding adalah SVb karena lebih mendekati dan sesuai terhadap model. Sehingga perbandingan antara model dan data dilakukan pada asumsi Sb(θ) ≈ SVb(θ).
Data hasil pengukuran memiliki kisaran nilai bottom backscattering strength
-16.35 dB hingga -9.74 dB. Menggunakan metode least square fitting, diketahui
R-square yang diperoleh untuk hubungan model dan data menunjukkan nilai sebesar 0.32. Hal ini menunjukan kesesuaian fitting antara model dan data memiliki koefisien korelasi sebesar 0.57 (r = 0.57). Nilai standar error (rms error) yang dihasilkan sebesar 2.09 sehingga perbedaan antara model dan nilai
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 -20 -15 -10 -5 data (Mz<1) model 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 -20 -15 -10 -5 ukuran butir (Mz) b o tt o m b a c k s c a tt e ri n g s tr e n g th [ d B ] data (Mz>=1) model
Nilai bottom backscattering strength pada model dan data menunjukkan pola yang meningkat seiring bertambahnya nilai Mz. Hal ini menunjukan nilai
bottom backscattering strength akan lebih tinggi pada dasar perairan dengan ukuran butiran rata-rata (d) yang lebih kecil. Dasar perairan tersebut biasanya cenderung memiliki permukaan yang lebih halus menyebabkan energi yang hilang akibat hamburan ke segala arah akan semakin berkurang. Sebaliknya, ukuran butiran yang besar menjadikan permukaan dasar laut lebih kasar sehingga kehilangan energi suara akan bertambah karena dihamburkan ke segala arah (Urick 1983; Moustier 1986; Hamilton 2001)
Gambar 19 Hubungan nilai bottom backscattering strength antara model dan data pada coarse sand (atas) dan medium sand (bawah).
Pembagian jenis sedimen berdasarkan nilai Mz dapat memisahkan data menjadi dua bagian (Gambar 19). Hubungan antara model dan data pengukuran akustik pada 0 ≤ Mz < 1 memberikan nilai koefisien korelasi sebesar 0.40 dengan nilai rms error sebesar 1.86. Sementara pada 1 ≤ Mz < 2 memberikan nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.53 dengan rms error sebesar 2.38. Berdasarkan nilai yang didapat, model memiliki tingkat kesesuaian yang lebih tinggi terhadap data pada tipe dasar perairan medium sand. Sifat data yang terdapat pada coarse sand terlihat lebih menyebar (scattered) dibandingkan data
36
pada medium sand. Hal ini sejalan dengan pernyataan sebelumnya bahwa sedimen yang lebih halus dapat memberikan proses scattering yang lebih baik.
Secara umum perbedaan antara model dan data yang ditunjukkan oleh rms error dapat disebabkan oleh karakteristik dasar perairan pada lokasi penelitian. Keberadaan pecahan cangkang kerang (shell) dan karang menyebabkan tingkat kekasaran (roughness) pada permukaan semakin bertambah. Hal ini menyebabkan hamburan sinyal akustik menjadi tidak teratur pada segala arah, sehingga dapat menurunkan echo level yang kembali. Pada penelitian lainnya juga disebutkan bahwa terdapat kesulitan pengukuran dan nilai yang didapat dari pengukuran pada daerah dengan karakteristik memiliki pecahan karang dan cangkang (Stanic et al.
1989). Bentuk dari butiran yang lebih beragam tentu dapat memberikan proses
backscattering yang lebih kompleks pula dibandingkan ukuran butiran yang lebih kecil dan seragam (Richardson & Briggs 1993).
Hubungan antara model dan data tidak memiliki tingkat keakuratan yang cukup baik. Bentuk butir secara individual, porositas, sifat material, tekanan intergranular, dan sejumlah parameter lain diduga turut mempengaruhi proses
backscattering yang terjadi di lokasi penelitian (Stoll 1984), disamping parameter ukuran butiran rata-rata (d) yang digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan terhadap sampel juga dapat memberikan pengaruh pada hasil yang diperoleh. Pengukuran dengan mencampurkan sampel yang memiliki ketebalan 15 cm dapat memberikan generalisasi terhadap hasil yang diperoleh.
Nilai bottom backscattering strength yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan beberapa penelitian lainnya yaitu berkisar antara -10 dB hingga -20 dB (Stanic et al. 1989; Clarke et al. 1997; Greenlaw et al. 2004; Manik et al. 2006). Disamping itu, nilai rms error sebesar 2.09 tidak menunjukkan selisih yang cukup besar antara model dan data. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model dapat digunakan secara efektif untuk menduga nilai
0 0.5 1 1.5 2 2 2.2 2.4 2.6 2.8 Ukuran butir (Mz) d e n si ta s p a si r ( g cm -3 ) model data 4.3 Densitas
Pengukuran densitas hanya dilakukan pada sembilan lokasi, dari pengamatan pada sepuluh lokasi penelitian. Data densitas hasil pengukuran laboratorium dibandingkan dengan nilai densitas yang diperoleh dari model Jackson.
Densitas yang terukur memiliki pola yang menyebar dan cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan model. Pola yang ditunjukkan oleh model Jackson menunjukkan bahwa nilai densitas akan semakin kecil jika nilai Mz semakin besar. Hubungan antara model dan data densitas dijelaskan menggunakan metode least square dimana nilai R-square yang dihasilkan adalah 0.42. Kesesuaian fitting antara model dan data memiliki koefisien korelasi sebesar 0.65 dengan rms error sebesar 0.30. Perbandingan densitas sedimen antara model dan data dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Perbandingan nilai densitas (g cm-3) antara model dan pengukuran terhadap ukuran butir (Mz).
Data dan model dipisahkan pada ukuran Mz = 1 sehingga menjadi dua bagian, terdiri dari medium sand dan coarse sand (Gambar 21). Dari kedua bagian tersebut, didapatkan nilai rata-rata densitas terukur sebesar 2.39 g cm-3 pada
coarse sand dan 2.41 g cm-3 pada medium sand. Sementara hubungan antara model dan data pada coarse sand memberikan nilai koefisien korelasi sebesar
38 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 2 2.2 2.4 2.6 2.8 data (Mz<1) model 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2 2.2 2.4 2.6 2.8 ukuran butir (Mz) d e n s it a s p a s ir ( g c m -3 ) data (Mz>=1) model
0.58 dengan rms error sebesar 0.27 sedangkan untuk medium sand koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0.51 dengan rms error sebesar 0.34.
Gambar 21 Hubungan antara model-data densitas pada ukuran coarse sand (atas) dan medium sand (bawah).
Berdasarkan nilai rms error yang didapat menunjukan perbedaan yang relatif besar antara model dan nilai densitas yang didapat. Hal ini disebabkan sedimen pada lokasi penelitian mengandung CaCO3. Sedimen tersebut komposisi butirannya berbeda dibandingkan butiran pasir yang terbentuk dari pecahan bebatuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Model Jackson kurang begitu akurat untuk mengukur nilai densitas pada kondisi dasar perairan yang memiliki komposisi pecahan karang dan cangkang. Penyebab lain yang diduga memberi pengaruh kuat terhadap hasil pengukuran densitas yang diperoleh adalah kondisi sampel. Idealnya sampel harus tetap berada dalam kondisi tidak terganggu (undisturbed) sampai dilakukan pengukuran. Kondisi tersebut memerlukan perlengkapan yang memadai dan tingkat ketelitian yang tinggi. Hal tersebut yang sangat sulit dilakukan dalam penelitian ini, sehingga dapat dipastikan kondisi sampel sudah berada dalam keadaan terganggu (disturbed) saat pengukuran dilakukan.
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini melakukan pengujian terhadap model Jackson pada sedimen berpasir dengan ukuran butiran rata-rata 0.28 hingga 0.85 mm. Berdasarkan klasifikasi terhadap nilai ukuran butir (Mz), jenis sedimen terbagi atas medium sand dan coarse sand. Pengukuran terhadap nilai bottom backscattering strength
(Sb) menghasilkan nilai sebesar -16.35 dB hingga -9.74 dB. Koefisien korelasi yang dihasilkan antara model dan data adalah 0.57. Pada dasarnya nilai Sb hasil pengukuran tidak jauh berbeda dengan Sb dari model. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rms error sebesar 2.086. Sehingga secara umum model dapat digunakan untuk memprediksi nilai Sb pada lokasi penelitian. Pengukuran densitas pada sampel sedimen memberikan nilai sebesar 2.10 hingga 2.62 g cm-3. Sementara perbandingan densitas dasar laut antara model dan data memberikan koefisien korelasi sebesar 0.65 dengan rmserror sebesar 0.30.
Secara umum terdapat kecenderungan model bekerja lebih baik pada ukuran Mz > 1 atau pada sedimen medium sand. Namun hal ini masih perlu kajian lebih lanjut dengan jumlah data yang lebih banyak. Tingkat keakuratan hubungan antara model dan data, pada pengukuran densitas dan bottom backscattering strength belum dapat memberikan hasil yang cukup baik. Porositas, permeabilitas, kekasaran, dan sejumlah parameter lain diduga turut mempengaruhi hasil pengukuran, selain ukuran butiran rata-rata yang dijadikan sebagai parameter input pada model.
Keberadaan pecahan karang dan cangkang kerang pada lokasi penelitian memberikan variasi yang begitu besar pada dasar laut. Pengukuran sampel sedimen dengan ketebalan lapisan 15 cm dapat memberikan generalisasi terhadap hasil yang diperoleh. Lebih lanjut, kondisi sampel sudah berada dalam keadaan
distubed saat pengukuran laboratorium dilakukan. Hal ini sangat penting dalam perhitungan densitas sedimen yang membutuhkan kondisi undisturbed sehingga kondisi sedimen saat pengukuran sama dengan kondisi in situ.
40
5.2 Saran
1. Pengambilan data lapangan dengan jenis sedimen yang lebih beragam memungkinkan untuk mendapatkan hasil dan perbandingan model yang lebih baik.
2. Ketebalan lapisan sebesar 15 cm saat pengambilan sampel sedimen diduga memberikan generalisasi terhadap hasil pengukuran yang diperoleh. Perlu dikaji lebih lanjut tingkat ketebalan lapisan sampel sedimen yang efektif untuk digunakan dalam pengukuran.
3. Kondisi sampel yang tetap terjaga (undisturbed) dapat meminimalkan pengaruh yang berasal dari luar faktor sedimen itu sendiri, sehingga pengukuran dapat memberikan hasil yang lebih akurat terhadap parameter yang diukur, terutama densitas.
4. Penelitian ini hanya melakukan pengujian terhadap ukuran butiran rata-rata sebagai parameter input model Jackson, sejumlah parameter lainnya masih dapat dikaji lebih lanjut. Keberadaan cangkang kerang dan pecahan karang pada sampel sedimen juga dapat dijadikan kajian lebih lanjut mengenai pengaruhnya terhadap parameter yang diukur.
5. Perlu pengujian terhadap model lainnya, sehingga dapat ditentukan model yang lebih sesuai terhadap karakteristik fisik sedimen pada lokasi penelitian.
[APL-UW] Applied Physics Laboratory- University of Washington. 1994. High-Frequency Ocean Environmental Acoustic Models Handbook. Technical report APL-UW TR9407 AEAS 9501, University of Washington.
Bentrem FW, Avera WE, Sample J. 2006. Estimating Surface Sediments Using Multibeam Sonar: Acoustic Backscatter Processing for Characterization and Mapping of the Ocean Bottom. www.sea-technology.com
Biosonics. 2004. User Guide: Visual Analyzer 4. Biosonics, Inc. USA. Burczynski J. 2004. Bottom Classification. BioSonics Inc.
Chakraborty B, Mahale V, Navelkar G, Rao BR, Prabhudesai RG, Ingole B, Janakiraman G. 2007. Acoustic characterization of seafloor habitats on the western continental shelf of India. – ICES Journal of Marine Science, 64(3): 551-558
Clarke PA, Hamilton LJ. 1999. The ABCS Program for the Analysis of Echo Sounder Returns for Acoustic Bottom Classification. DSTO-GD-0215. Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTO-Department of Defence. Australia.
Coates RFW. 1990. Underwater Acoustic Systems. Macmillan New Electronics. England.
FAO. 1980. Echosounding and Sonar for Fishing (FAO Fishing Manuals). Fishing New Books Ltd. England. 199p.
Folk RL, 1974, Petrology of sedimentary Rocks. Hemphills, Austin, Texas, 170 p. Fonseca L, Mayer L. 2007. Remote estimation of surficial seafloor properties through the application Angular Range Analysis to multibeam sonar data. Mar Geophys Res, 28: 119–126
Friedlander AM, George WB, Michael EF, Janet EM, James VG, Peter D. 1999. Sidescan-sonar mapping of benthic trawl marks on the shelf and slope off Eureka, California. Fish. Bull. 97: 786-801.
Grant A, Schreiber R. 1990. Modern Swathe Sounding and Sub-Bottom Profiling Technology for Research Aplication: The Atlas Hydrosweep and Parasound System. Marine Geophysical Researches 12: 9-19. Kluwer Academic Publisher.
Greenlaw CF, Holliday DV, McGehee DE. 2004. High-Frequency Scattering from Saturated Sand Sediments. J. Acoust. Soc. Am. 115 (6), p. 2818-2823.
42
Hamilton LJ. 2001. Acoustic Seabed Classification Systems. DSTO-TN-0401. Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTO-Department of Defence. Australia.
Jackson DR, Baird AM, Crisp JJ, Thompson PA. 1986. High-frequency bottom backscatter measurements in shallow water, J. Acoust. Soc. Am. 80(4). P. 1188–1199.
Kim GY, Michael DR, Dale LB, Dae CK, Roy HW, Sung RS, Shi TS. 2004. Sediment Types Determination Using Acoustic Techniques in the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal Vol. 8 no. 1, p. 95-103, march 2004.
Krastel S et al. 2006. Mapping of Seabed Morphology and Shallow Sediment Structure of the Mauritania Continental Margin, Northwest Africa: Some Implications for Geohazard Potential. Norwegian Journal of Geology, 86, p. 163-176. ISSN 029-196X.
Lohrmann A. 2001. Monitoring Sediment Concentration with acoustic backscattering instruments. Nortek Tehcnical Note No.: 003
Mackenzie KV. 1981. Nine-term Equation for Sound Speed in the Ocean. J. Acoust. Soc. Am., 70, 807-12.
Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of Sea Bottom Surface Backscattering Strength by Quantitative Echo Sounder. Fisheries Sciences Vol. 72 no. 3, June 2006. Japan.
McCammon D. 2004. Active Sonar Modelling with Emphasis on Sonar Stimulators. Defence Research and Development Canada. Contract Report 2004-130. Canada.
Mindell DA, Bingham B. 2001. A High-Frequency, Narrow-Beam Sub Bottom Profiler for Archaeological Applications. [terhubung berkala] . MTS 0-933957-28-91. http://web.mit.edu/deeparch/www/publications/papers/ MindellBingham2001a.pdf [30 Januari 2007]
Mourad PD, Jackson DR. 1989. High Frequency Sonar Equation Model for Bottom Backscatter and Forward Loss. Proceedings of OCEANS ’8λ. IEEE. New York. P:1168-1175.
Moustier CD. 1986. Beyond bathymetry: Mapping acoustic backscattering from the deep seafloor with Sea Beam. J. Acoust. Soc. Am. 79 (2). P:316-331 Moustier CD, Matsumoto H. 1993. Seafloor acoustic remote sensing with
multibeam echo-sounders and bathymetric sidescan sonar systems. Mar Geophys Res, Vol. 15: 27–42
Mulhearn PJ. 2000. Modelling Acoustic Backscatter from Near-Normal Incidence Echosounders - Sensitivity Analysis of the Jackson Model. DSTO-TN-0304. Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTO-Department of Defence. Australia.
Orlowski A. 2007. Acoustic seabed classification applied to Baltic benthic habitat studies: a new approach. OCEANOLOGIA, 49 (2), 2007. pp. 229–243. Parnum IM, Siwabessy PJW, Gavrilov AN. 2004. Identification of Seafloor
Habitats in Coastal Shelf Waters Using a Multibeam Echosounder. Proceeding of ACOUSTICS. Australia.
Reynolds JM. 1990. High-Resolution Seismic Reflection Surveying of Shallow Marine and Estuarine Environments. Marine Geophysical Research. Volume 12. Kluwer Academic Publisher. London.
Richardson MD dan Briggs KB. 1993. On The Use of Acoustic Impedance Values to Determine Sediment properties. Proceeding of the Institute of Acoustics. Vol. 15 Part 2.
Schultz N, Nielsen AA, Conradsen K, Sørensen PS, Madsen KN. 2004. A non-parametric 2D deformable template classifier. ENVIRONMETRICS. John Wiley & Sons, Ltd.
Siwabessy PJW, Penrose JD, Kloser RJ, Fox DR. 1λλλ. “Seabed habitat classification.” Proc. International Conference on High Resolution Surveys
in Shallow Waters DSTO, 18-20 October 1999, Sydney, Australia.
Siwabessy PJW. 2001. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques [disertasi]. School of Applied Science. theCurtin University of Technology
Smith DT. 1974. Acoustic and Mechanical Loading of Marine Sediments. Marine Science, V. 1. Physics of Sound in Marine Sediments. Loyd Hampton, ed. Plenum Press, New York.
Stanic S, Briggs KB, Fleischer P, Sawyer WB, Ray RI. 1989. High-frequency Acoustic Backscattering from a Coarse Shell Ocean Bottom. J. Acoust. Soc. Am., 85, p 125-136.
Sternlicht DD, Moustier CD. 2003. Time-dependent seafloor acoustic backscatter (10–100 kHz). J. Acoust. Soc. Am. 114 (5), November 2003 P: 2709–2725 Stoll RD. 1984. Sediment Acoustics. Di dalam: Bhattacharji S, Friedman GM,
Neugebauer HJ, Seilacher A, editor. Lecture Notes in Earth Sciences.
44
Thorne PD, Pace NG, Al-Hamdani ZKS. 1988. Laboratory Measurements of backscattering from marine sediments. J. Acoust. Soc. Am., 84 (1), p 303-309.
Tolsma MFP, van den Bos A, Blacquiere G. 2001. Experimental Design for Geoacoustic Parameter Inversion. Signals, Systems and Control. Vol. 12, September.
Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3rd ed. Mc-Graw-Hill. New York.
Waite AD, 2002. Sonar for Practising Engineers 3rd ed. John Wiley & Sons, Ltd. USA.
46
Lampiran 1 Parameter-parameter yang digunakan dalam model Jackson yang dimodifikasi
Density ratio:
ρ= 0.007797*(Mz)2 - 0.17057*Mz + 2.3139, -1.0≤ Mz <2.0 Sound speed ratio:
ν = 0.002709*(Mz)2 - 0.056452*Mz + 1.2278, -1.0≤ Mz <2.0 Volume parameter: σ2 = 0.002, -1.0≤ Mz < 5.5 Spectral exponent: γ = 3.25 Spectral strength: h = (2.03846-0.26923*Mz)/(1.0+0.076923*Mz), -1.0≤ Mz <5.0
dimana h = rms roughness relief, dalam cm, pada trek 1 m melintang permukaan sedimen.
lalu:
w2 = 0.00207*h*h* h0*h0,dimana h0 = referensi 1 cm, w2 satuan dalam cm4. Loss parameter, δ
Pertama, menghitung konstanta attenuasi, kp, (dB/m/kHz)
kp = (0.4556 + 0.0245*Mz), 0.0≤ Mz <2.6
lalu:
αb = kp*fa , fa = frekuensi operasi dari sonar dalam kHz.
δ = αb c1ln(10)/(fa40π)
c1 = 1.543, dalam m/ms
σ2 = σv / αb
Lampiran 2 Listing program yang digunakan pada Matlab a) pembacaan nilai pada raw data
% readEKRaw_SimpleExamplearul.m % Rick Towler
% National Oceanic and Atmospheric Administration % Alaska Fisheries Science Center
% Midwater Assesment and Conservation Engineering Group % [email protected]
% dimodifikasi oleh Syahrul Purnawan, C551060141 % Mahasiswa Akustik, P.S. Ilmu Kelautan IPB, Bogor
site='pasir\';
file = input('file yang akan diolah? (site1-site10)','s'); rawFile = strcat(site,file,'.raw');
botFile = strcat(site,file,'.bot'); awal=input('masukkan nilai ping awal'); akhir=input('masukkan nilai ping akhir');
% memberikan +1 ping, agar data yang diproses adalah=jumlah akhir
akhir=akhir+1;
% membaca file .raw - hanya pada frekuensi 120 kHz
disp('membaca .raw file...');
[header, rawData] = readEKRaw(rawFile, 'SampleRange', [1 200],...
'PingRange', [awal akhir]);
calParms = readEKRaw_GetCalParms(header, rawData);
% membaca file .bot - data yang kembali sebagai range
disp('membaca .bot file...');
[header, botData] = readEKBot(botFile, calParms, rawData, ...
'ReturnRange', true);
% konversi power ke Sv
data = readEKRaw_Power2Sv(rawData, calParms);
% konversi sudut electrical ke sudut physical
data = readEKRaw_ConvertAngles(data, calParms);
% mensortir kembali data yang digunakan
% sehingga mempermudah dalam pengolahan data dasar perairan
c=1.543;%kecepatan suara
tau=0.1280000;%panjang gelombang
x=data.pings.number; y=data.pings.range; Z=data.pings.Sv;% Z= Sv logaritma z=10.^(Z/10); ss=z*(c*tau/2); SS=10*log10(ss);
along=data.pings.alongship; %sudut alongship
athw=data.pings.athwartship; % sudut athwartship
48
along1=along;
bd=botData.pings.bottomdepth; [k l]=size(Z);
% data tbd pada 1 ping terakhir memberikan nilai yang tidak akurat % sehingga perlu dihilangkan
l=l-1; for ll=1:l; m=0;
for kk=1:k;
% mengambil data dasar perairan, dari permukaan hingga 1/2 meter % data yang lainnya diberikan pada kedalaman lain adalah nol
if y(kk,1)<(bd(1,ll)+0.05); Svbottom(kk,ll)=-1000; %svbottom(kk+1,ll)=0; along1(kk,ll)=0; elseif y(kk,1)>(bd(1,ll)+0.5); Svbottom(kk,ll)=-1000; along1(kk,ll)=0; else svbottom(kk,ll)=Z(kk,ll); along1(kk,ll)=along(kk,ll);
% mengambil data hanya pada dasar perairan hingga setengah meter, svbonly m=m+1; Svbottomonly(m,ll)=Z(kk,ll); along2(m,ll)=along(kk,ll); end;end; end;
% agar jumlah data tiap kolom sama
% ditentukan ketebalan lapisan yang digunakan, hlyr
hlyr=0.3; for ll=1:l; for i=1:m; if y(i,1)<=hlyr; Svbonly(i,ll)=Svbottomonly(i,ll); along3(i,ll)=along2(i,ll);
end; end; end
Svbottommean=mean(mean(Svbonly)); [i l]=size(Svbonly); for ll=1:l;Zmax(ll)=-999; for ii=1:i; if Svbonly(ii,ll) > Zmax(ll) ; Zmax(ll) = Svbonly(ii,ll); alongmax(ll)=along3(ii,ll); end end end zmax=10.^(Zmax/10); ratazmax=mean(zmax); ssmax=zmax*(c*tau/2); ssmean=mean(ssmax); SSmax=10*log10(ssmean) stdsv=std(zmax);
rataZmax=10*log10(ratazmax) stdSv=10*log10(stdsv);
% membuat gambar echogram dan anglogram
disp('Plotting...');
nFreqs = length(data.pings); for n=1:nFreqs
% plot echogram
readEKRaw_SimpleEchogram(Z,x,y, 'Threshold', [-60,0]); % plot the bottom
hold on plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c'); hold off % plot anglogram readEKRaw_SimpleAnglogram(data.pings(n).alongship, ... data.pings(n).athwartship, data.pings(n).number, ... data.pings(n).range, 'Title', ... ['Angles ' num2str(calParms(n).frequency)]); % plot bottom hold on plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c'); hold off end
akhir=akhir-1; %mengembalikan nilai dari 'akhir' di atas %Zmax1=0; alongmax1=0;% untuk merubah kembali pingnya
sp=akhir-l; %selisih ping yang dimasukkan dengan untuk looping
for ll=awal:akhir; Zmax1(ll)=Zmax(ll-sp); alongmax1(ll)=alongmax(ll-sp); end figure subplot(2,1,1); plot(Zmax1); axis([awal akhir -30 0]) xlabel('ping','fontsize',16);
ylabel('Scattering volume (dB)','fontsize',16); legend('Sv max (dB)')
subplot(2,1,2); plot(alongmax1); axis([awal akhir -10 10])
xlabel('ping','fontsize',16);
ylabel('sudut (derajat)','fontsize',16); legend('sudut alongship (derajat)')
50
b) Input dan output pada model Jackson
% kirchhoffmulhearn.m
% memberikan output Sv dari persamaan Kirchhoff % oleh Syahrul Purnawan, C551060141
% Mahasiswa Akustik, P.S. Ilmu Kelautan, IPB
% memasukkan nilai ukuran butiran sedimen (mm)
method = input('input ukuran butiran secara manual per fraksi
(y/n)','s'); switch lower(method) case {'y'} f1 = input('% fraksi 12 mm?...'); f2 = input('% fraksi 6 mm?...'); f3 = input('% fraksi 3 mm?...'); f4 = input('% fraksi 1,5 mm?...'); f5 = input('% fraksi 0,75 mm?...'); f6 = input('% fraksi 0,375 mm?...'); f7 = input('% fraksi 0,1875 mm?...'); f8 = input('% fraksi 0,094 mm?...'); f9 = input('% fraksi 0,0335 mm?...'); f10= input('% fraksi 0.004 mm?...'); d=((f1*12)+(f2*6)+(f3*3)+(f4*1.5)+(f5*0.75)+(f6*0.375)+... (f7*0.1875)+(f8*0.094)+(f9*0.0335)+(f10*0.004))/100; otherwise
d=input('masukkan nilai ukuran butiran rata-rata sedimen... '); end
disp('memproses data...') y1=3.25; % spectral exponent
alpha1=(y1/2)-1;
fa=120000; % frekuensi akustik dalam Hz
vw=154300; % kecepatan suara di air (cm/s)
rhowater= 1.0270; % densitas air laut, g cm^(-3), (Ingmanson & Wallace)
e=2.718281828459; % the base of the natural logarithms, e = exp(1)
c1=1.543; % kecepatan suara pada APL (dalam m/ms) % syarat dalam kirchhoff approximation
tethagg=90;
tethag=(tethagg/360)*2*pi; % merubah nilai sudut grazing dalam bentuk rad
% menghitung nilai logaritmik, Mz, dari ukuran butiran, d (mm)
Mz= (- 3.32) * log10 (d);
%---% % parameter input dalam Kirhoff approximation, (Jackson Model)