• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ISI GAMBARAN UMUM TRADISI ADAT INDRAMAYU

2. Nilai-nilai Budaya Tradisi Indramayu

Masyarakat kabupaten Indramayu memiliki beraneka ragam suku, ada suku Jawa dan ada pula suku Sunda dari keduanya tumbuh dan berkembang

bentuk implementasi atau ekspresi masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga bentuk kebudayaannya merupakan akulturasi dari kedua kebudayaan tersebut. Adapun bentuk kebudayaan Indramayu antara lain sebagai berikut:

a. Tradisi Nadran

Nadran adalah merupakan upacara adat para nelayan di pesisir pantai, Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi antara budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata Nadran sendiri sebenarnya berasal dari kata Nadzar-Nadzaran-Nadran yang berarti kaul atau sukuran. Nadran disini maksudnya sukuran para nelayan Indramayu, ini merupakan cerminan dari sebuah hubungan manusia dengan sang pencipta dengan berupa ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan, dan mengharapkan akan meningkatnya hasil di masa mendatang, serta dijauhkan dari bencana dan mara bahaya dalam mencari nafkah dilaut.

Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen nadran biasanya disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, tumpeng, dan lain sebagainya. Tradisi nadran sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang

telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional seperti umbul, genjring, reog, jangkungan, musik gamelan dan musik tradisonal lainya (Sarwah, sayu, supendi, Ratingkem, Murni, 12/9/2014). b. Tradisi Ngarot

Ngarot adalah merupakan upacara tradisional masyarakat Desa Lelea yang dilakukan pada saat tibanya musim menggarap sawah, upacara ini sudah ada sejak abad 16 dan sampai sekarang masih di selenggarakan, terutama oleh masyarakat desa di Kecamatan Lelea setiap menjelang penggarapan sawah. Ngarot ini berasal dari kata”Nga-rot” (basa Sunda) yaitu istilah minum atau ngaleueut, adat ini melibatkan muda-mudi untuk turut serta dalam upacara tesebut. Uniknya hanya pemuda dan pemudi yang masih menjaga kesuciannya yang boleh ikut dalam acara ini karena jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat sangat buruk di mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para gadis desa dihias dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai lambang kesucian. Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam dan sebagai penyemangat para petani untuk memulai bercocok tanam kembali serta sebagai pembelajaran dan regenerasi petani dari generasi tua terhadap generasi muda (Ratingkem, dadang, jumedi, Naritem, Tani, 15-17/9/2014).

c. Tradisi Jaringan

Jaringan adalah upacara kaum remaja yang bertujuan untuk mencari pasangan hidup yang dilaksanakn pada malam bulan purnama. kegiatan

ini bertempat di desa parean Kecamatan kandang haur Jaringan berasal dari kata jaring, adalah alat menangkap ikan. Bagi warga Parean, khususnya Desa Parean Girang, istilah jaringan ini diartikan sebagai ajang mencari jodoh diwaktu terang bulan, saat dimana para nelayan sedang tidak melaut dan berkumpul di desa, karena menurut masyarakat setempat, waktu terang bulan biasanya ikan-ikan di laut berdiam di dasar laut sehingga sulit ditangkap. Karena ikan-ikan tersebut sulit ditangkap, sehingga para nelayan, yang mayoritas notabene adalah para pemuda, beralih „menjaring‟ para gadis desa di waktu terang bulan tersebut. Tradisi jaringan yang biasanya berlangsung di alun-alun desa, tepatnya di depan Masjid Besar At-Taqwa ini bertujuan untuk menjembatani pertemuan pemuda dan pemudi desa. Namun sebenarnya tradisi ini tidak hanya terbatas bagi pemuda pemudi yang belum menikah saja, tetapi juga bagi para duda maupun janda yang ingin kembali membina rumah tangga. Tradisi jaringan ini tidak diketahui secara pasti sejak kapan dimulai.

Adat jaringan mempunyai aturan-aturan tertentu. Pemudanya harus memakai baju kampret berwarna hitam atau putih, dengan celana komprang sampai lutut, dan berselempang kain sarung. Bagi para gadis diharuskan mengenakan baju kurung berwarna hijau dengan selembar selendang di pundaknya sedangkan bagi para janda diharuskan mengenakan kebaya yang juga mengenakan selembar selendang di pundaknya. Biasanya, selepas kegiatan menjaring selesai, para pemuda

mengantarkan gadis hasil jaringannya pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, sang pemuda hanya ditemani oleh orang tua si gadis tanpa gadis tersebut untuk berbincang-bincang. Setelah diyakini bahwa si pemuda serius dengan sang gadis, maka sejak malam itu dimulailah penjajakan-penjajakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak agar lebih saling mengenal masing-masing calon pasangan beserta keluarganya. Setelah masa penjajakan berjalan dan musim jaringan telah usai, akhirnya tibalah saatnya untuk melakukan lamaran. Dalam proses lamaran biasanya orang tua dari pihak laki-laki membayar sejumlah uang dan membagi-bagikan sirih kepada tetangga sebagai isyarat bahwa si gadis sudah „diikat‟. Menurut tradisi saat itu, setelah melakukan lamaran, sang pemuda harus mengabdi kepada calon mertua. Kebiasaan ini dinamakan sambatan. Sambatan bisa dilakukan misalnya dengan cara menggarap sawah milik calon mertua hingga panen. Selama masa sambatan ini sang pemuda boleh mengajak teman-temannya untuk membantu ataupun mengerjakannya sendiri.

Dahulunya tradisi jaringan ini agak berbau sakral, namun dalam perkembangannya, tradisi jaringan ini mengalami perubahan fungsional. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pengaruh globalisasi yang mendorong bebasnya arus informasi sehingga bisa diakses oleh penduduk desa melalui berbagai media, seperti tayangan televisi dan internet. Tradisi jaringan kini cenderung mengalami pergeseran makna

karena para pelaku kebiasaan jaringan ini telah dipengaruhi oleh berbagai nilai dan norma (Sarwah, Ecih, Tarma 16-18/10/2014).

d. Tradisi Ngunjung

Ngunjung adalah merupakan upacara sukuran yang dilaksanakan di kuburan atau makam yang dianggap keramat biasanya dilaksanakan pada bulan Syuro Mulud. Tradisi ngunjung ini diadakan setiap 1 tahun sekali setelah selesai masa panen. Pada acara tradisi ngunjung ini, semua warga desa datang ke makam anggota keluarga mereka disalah satu pemakaman yang sedang diadakan acara ngunjung ini sambil membawa nasi tumpeng, ayam panggang atau ayam goreng, ketupat dan lain lain dan kemudian mendo'akan keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut.

Pada tradisi ngunjung ini ada hiburan untuk meramaikannya, bisa berupa sandiwara, wayang kulit ataupun yang lainnya. Untuk hiburannya ini tergantung dana yang didapat dari hasil sumbangan sukarela masyarakat setempat, biasanya acara ngunjung yang diselenggarakan dimulai sekitar jam 11:00 WIB dan malamnya jam 21:00 WIB.

Yang unik dari tradisi ngunjung ini adalah adanya suatu hiburan yang diselenggarakan di tengah-tengah pemakaman. Bayangkan kalau malam. Orang yang belum tahu mungkin menganggapnya serem dan pasti hiburan dan pedagangnya akan sepi penonton dan pembeli karena diadakan di tengah-tengah pemakaman. Anggapan ini tentu saja tidak benar, karena pada saat malam pun akan tetap ramai penonton. Mereka menonton hiburan tersebut sambil duduk duduk diatas pusara makam

sambil senderan dibatu nisan. Begitupun dengan pedagang. Mayoritas pedagang, barang dagangannya akan habis terbeli bahkan tidak sampai malam, para pedagang ini sudah kehabisan barang dagangannya. Upacara Ngunjung ini, dilakukan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada arwah leluhur, tradisi ini dianggap oleh masyarakt akan membawa keselamatan dan keberkahan (Petok, Dadang, Jumedi 25-27/9/2014). e. Tradisi Mapag Tamba

Yaitu upacara yang dilaksanakan dengan tujuan agar desa terhindar dari bencana seperti banjir yang sering melanda lahan pertanian, kegiatan ini dilakukan dengan cara membawa air tambak ke dalam bungbung bambu yang berasal dari kasepuhan atau sumber mata air untuk dituangkan ke dalam sawah. Sebelum itu, air yang di bawa dari mata air tersebut terlebih dahulu diarak keliling desa kemudian disiramkan ke air yang mengalir di sawah. Upacara Mapag Tamba yang dimaksudkan sebagai ritual untuk meminta keberkahan dalam usaha pertanian mereka juga memohon keselamatan atas kehidupan warga, dan penghormatan atas leluhur (Sarwah, Ecih, Tarma 22/10/2014).

f. Tradisi Mapa Sri

Mapag Sri adalah salah satu adat atau budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Mapag Sri apabila dilihat dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput,

sedangkan Sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.

Mapag Sri adalah ritual yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghormati arti kehidupan. Oleh karena itu, jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang, dengan harapan bahwa padi mendatangkan hidup yang bermanfaat bagi yang memilikinya.

Sanghyang Sri adalah hidayah, lambang Dunia Atas yang sengaja diundang turun ke bumi untuk memberikan berkatnya. Padi, mulai dari tanam sampai panen di upacarakan dengan bermacam-macam cara. Sebutannya juga bermacam-macam: Ngampihkeun, Ngaseuk, dan sebagainya. Demikian pula pelaksanaannya, masing-masing mempunyai tatacaranya sendiri. Waktu dan tempat pelaksanaannya tidak bisa sembarangan, biasanya dihitung berdasarkan hari wuku dan hari pasaran. Di dalam upacara tersebut, biasanya disediakan sesaji dan kesenian. Sesaji adalah bagian penting dalam upacara itu. Tanpa sesaji, upacara itu menjadi tak lengkap. Jenis sesaji yang harus disediakan, di masing- masing tempat berbeda. Demikian pula kesenian yang dihadirkannya. Di Cirebon dan Indramayu, disertai dengan tari topeng dan wayang kulit.

Dikebanyakan wilayah Indramayu, mapagsri selalu mementaskan tanggapan wayang kulit (Dasuki, Sarwah, Ecih, Tarma 21/10/2014). g. Tradisi Sedekah Bumi

Adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan turun menggarap sawahnya. Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional. Pada upacara tradisi sedekah bumi tersebut umumnya, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan didalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar yang merayakan tradisi sedekah bumi membuat tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampong, di balai desa atau tempat yang telah disepakati masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut.

Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat untuk di doakan oleh sesepuh adat, setelah selesai di doakan kemudian diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di doakan oleh sesepuh adat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang mengikuti tradisi sedekah bumi, pembuatan nasi tumpeng ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat upacara tradisonal itu. Makanan pokok yang harus ada dalam tradisi sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam pangggang, sedangkan yang lainnya seperti buah-buahan, minuman, dan lauk pauknya hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi prioritas yang utama,. Pada acara akhir para petani

biasanya menyisakan sebagian makanan itu dan diletakan disudut petak sawahnya masing-masing itu sebagai bentuk rasa syukur (Dasuki, Item, Jin 23/10/2014).

h. Tradisi Baritan

Baritan adalah suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu, tradisi baritan ini diyakini sebagai ritual tolak bala (keselamatan). Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan, sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan lain sebagainya ditempat perempatan jalan atau di jembatan, kemudian berdoa bersama agar di hindarkan dari marabahaya (Sarwah, Ecih, Tarma 23/10/2014).

Dokumen terkait