• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Dasar Sistem Politik Islam

Dalam dokumen MAKALAH BAB IX SISTEM POLITIK ISLAM (Halaman 5-0)

2. BAB II PEMBAHASAN

2.3. Nilai-Nilai Dasar Sistem Politik Islam

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam

mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan di implementasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah :

a. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (Q.S.

al-Mukminun: 52)”.

b. Kemestian bemusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah.

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS Asy Syura : 38)”.

c. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.( Q.S. an-Nisa: 58)”.

d. Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan).

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan

ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisa: 59)”.

e. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam.

“Dan jika dua golongan daripada orang Mukmin berperang, maka

damaikanlah antara kedua-duanya. Maka jika salah satu daripada kedua- duanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada perintah Allah. Maka jika telah kembali, damaikanlah antara kedua-duanya dengan adil.Dan hendaklah berlaku adil, sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil”.Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.(Q.S. al-Hujurat:9)”.

f. Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan invasi.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Baqarah: 190)”.

g. Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan.

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Anfal 8:61)”.

h. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang- orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Q.S. al-Anfal: 60)”.

i. Keharusan menepati janji.

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(Q.S. an-Nahl:91)”.

j. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. al-Hujurat: 13)”

k. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada

Allah.Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(Q.S. al-Hasyr: 7)”.

l. keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum dalam hal:

Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif) Berangsur-angsur (al-tadaruj)

Tidak menyulitkan (adam al-haraj) 2.4. Penguasa dan Rakyat

Pada masa pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik, penduduk padang pasir dilanda kemarau. Berdatanganlah para kepala suku menghadapnya. Lalu, sang khalifah duduk bersama mereka. Di antara para kepala suku tersebut terdapat pemuda berumur empat belas tahun bernama Darwas Bin Habib.

Kehadiran Darwas membuat Hisyam merasa disepelekan. Menolehlah ia kepada sang penjaga pintunya dan berkata sampai terdengar oleh kaum itu.

"Apa yang diinginkan seseorang hingga sampai di sini, sedangkan umurnya masih anak-anak."

Berkatalah Darwas, "Ya, Amirul Mukminin, sesungguhnya masuknya saya di sini tidak akan menyusahkan engkau. Tidak mengurangi sesuatu apa pun darimu, tetapi ini hanya suatu kehormatan saja bagi saya. Sebenarnya mereka inilah yang ingin datang menghadapmu untuk mengurus sesuatu, tetapi mereka takut menyampaikannya." Perkataan pemuda itu sungguh mengagumkan sang khalifah, sehingga membuat marahnya mereda. Dan berkatalah dia, "Kalau begitu, katakanlah apa yang engkau inginkan."

Lalu pemuda itu berkata, "Ya, Amirul Mukminin, tiga tahun musibah menimpa kami. Satu tahun melelehkan lemak kami, satu tahun memakan daging, dan satu tahun lagi menghancurkan tulang. Sedangkan di hadapanmu berlimpah harta benda. Bagaimana jika harta itu untuk kami? Apa yang menyebabkan harta benda itu tidak pernah sampai ke tangan kami? Jika harta benda itu untuk Allah, maka bagi-bagikanlah kepada para hamba-Nya. Dan jika harta benda itu untuk engkau, maka sedekahkanlah untuk kami.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang suka bersedekah."

Banyak mutiara hikmah yang bisa dipetik dari riwayat tersebut. Penguasa dan rakyat bagaikan jiwa dan raga. Tak ada kehidupan baginya jika tidak bersamanya. Penguasa harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Ketika rakyatnya menderita sebagai akibat dari krisis

multidimensional yang berkepanjangan, penguasa harus siap untuk menderita bersama-sama rakyat dan bersama-sama berusaha bangkit dari krisis.

Begitu juga ketika meraih kemenangan dan kesenangan. Penguasa harus dapat membaginya secara adil kepada seluruh rakyatnya. Sehingga, rakyat dapat ikut merasakan dan menikmati jerih payah mereka. Apabila penguasa dan rakyat dapat menyadari peran dan tanggung jawabnya masing- masing, tentunya kemakmuran akan dapat terwujud. Tentunya kemakmuran yang diharapkan adalah yang adil, merata, dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.

Penguasa juga harus dapat mencerna aspirasi rakyat yang dapat memajukan bangsa, meski datangnya dari rakyat kalangan bawah sekalipun. Penguasa harus peka dan segera mengambil kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dalam posisi tersebut penguasa jangan sampai ragu-ragu dalam mengambil tindakan selama tindakannya masih dalam jalur yang benar.

Sikap transparan dari penguasa pun sangat dibutuhkan supaya rakyat dapat melihat kinerja penguasa, dan sekaligus dapat mengingatkan ketika penguasa sudah keluar dari aturan yang benar. Kedekatan dan tenggang rasa antara penguasa dan rakyatnya seperti inilah yang akan menjadikan suatu bangsa menjadi adil dan makmur.

2.5. Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr (pemerintah). Syura (Musyawarah) terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.

Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat

dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.

Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut. “maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159.

Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

BAB III KESIMPULAN

Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya.

Prinsip dasar politik Islam diantaranya adalah Musyawarah (syura),Keadilan ,Kebebasan ,Persamaan, dan Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang diambilnya. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah. Ijmak sahabat telah menyepakati kesatuan khilafah, kesatuan daulah dan ketidakbolehan baiat kecuali kepada seorang khalifah. Seluruh imam madzhab, para mujtahid dan fukaha sepakat dengan hal itu.

Dalam dokumen MAKALAH BAB IX SISTEM POLITIK ISLAM (Halaman 5-0)

Dokumen terkait