• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Nilai merupakan hal yang bersifat abstrak dan menunjukkan kualitas dari sesuatu yang bermaksud baik sehingga bermanfaat untuk siapa saja. Nilai biasanya melekat pada sesuatu yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional.

Sunaryadi (2013: 70-72) menyatakan bahwa secara garis besar ada beberapa gagasan tentang nilai yang berbeda satu dengan lainnya yaitu:

1) Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan. 2) Nilai sebagai obyek dari kepentingan.

3) Nilai sebagai hasil pemberian nilai. 4) Nilai sebagai esensi.

b. Pendidikan karakter

Michael Novak (melalui Lickona, 2013: 81) menjelaskan bahwa karakter merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah. Namun individu tidak hanya memiliki sisi kebaikan saja. Ada pula sisi kelemahan dalam diri setiap individu. Tidak ada manusia yang sempurna, namun tetap ada kebaikan dan kelemahan yang berbeda-beda.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang berbeda tiap manusia untuk dapat hidup maupun bekerjasama dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat (Samani: 2013). Lingkungan awal bagi manusia dalam membentuk

karakter yaitu lingkungan keluarga, setelah itu individu dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Lingkungan keluarga dapat mempengaruhi sikap seorang individu karena perilaku anak tidak jauh dari perilaku orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh anak yang sering melihat tingkah laku orang tuanya, apa yang dilihat oleh anak akan diingat dan ditiru. Orang tua tidak mengingatkan, maka tingkah laku yang buruk akan diingat terus dan akan mendarah daging bagi anak hingga dewasa, tidak hanya di lingkungan keluarga saja, lingkungan sekolah juga berpengaruh bagi pembentukan karakter individu.

Pendidikan karakter menurut Winton (melalui Samani, 2013: 43) yaitu upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Hal apapun yang disampaikan oleh guru, harus berkaitan dengan karakter baik dari materi pelajaran yang disampaikan secara langsung, maupun melalui petuah-petuah. Sehingga dapat diamalkan oleh para siswa.

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa tujuan dari pendidikan karakter yaitu membangun bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, masyarakatnya saling bergotong royong, berjiwa patriotik, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya berdasar pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pancasila (Samani: 2013). Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter yaitu: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, (2) memperkuat dan membangun perilaku

13

bangsa yang multikultur, (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Hasil kajian empirik dari Pusat Kurikulum, telah diidentifikasi sejumlah nilai untuk pembentukan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter dapat berasal dari agama, Pancasila, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai–nilai tersebut yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Namun, Pusat Kurikulum menyarankan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang digunakan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.

Penelitian nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari

Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta ini dibatasi menjadi sembilan

nilai yang berasal dari Kemendiknas, yaitu religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, cinta tanah air, dan tanggung jawab. Batasan nilai ini disesuaikan dengan pembelajaran tari di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta. Pengertian nilai-nilai menurut Kemendiknas (melalui Wibowo, 2012: 43-44) yaitu:

1) Religius

Artinya yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2) Toleransi

Artinya yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

3) Disiplin

Artinya yaitu tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas-tugas.

4) Kerja Keras

Artinya yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

5) Kreatif

Artinya yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil yang telah dimiliki.

6) Mandiri

Artinya yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7) Rasa Ingin Tahu

Artinya yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya.

8) Cinta Tanah Air

Artinya yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

15

9) Tanggung Jawab

Artinya yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan batasan nilai di atas, inti pendidikan karakter adalah sikap, perilaku, dan tindakan. Hal ini memiliki makna sama dengan pendidikan karakter dalam lingkungan masyarakat jawa yang sudah diupayakan sejak zaman dahulu. Istilah budi pekerti bagi masyarakat jawa lebih populer. Menurut Endraswara (2006: 2) budi pekerti itu watak atau perbuatan seseorang sebagai perwujudan hasil pemikiran. Inti dari budi pekerti ini yaitu sikap dan perilaku.

Menurut Tim Pengembangan Budi Pekerti (TPBP) Provinsi DIY ada 12 ciri budi pekerti, yaitu: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan santun, (4) toleransi, (5) kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggung jawab, (8) guyub rukun, (9) tepa selira, (10) empan papan, (11) tata krama, dan (12) gotong rotong. Penelitian nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta membatasi nilai budi pekerti ini menjadi tiga yaitu sopan santun, empan papan, dan tata krama.Arti dari nilai tersebut yaitu:

1) Sopan santun

Menurut Zuriah (2007: 84) sopan santun artinya sikap dan perilaku seseorang yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sopan santun berupa kebiasaan yang disepakati di lingkungan tertentu dan terbatas. Tidak semua daerah menganggap sopan santun sama aturannya.

2) Empan papan

Artinya sikap dan perilaku seseorang yang bisa menempatkan diri pada lingkungan sekitar sehingga tidak bertentangan dengan aturan di lingkungan tersebut. Misalnya ketika seseorang berada di lingkungan sekolah, maka ia harus ikut menaati aturan yang ada di sekolah.

3) Tata krama

Artinya sikap seseorang yang menaati aturan dan sopan santun. Tata krama merupakan hal penting dan tidak bisa dipisahkan dengan budi pekerti. Tata krama ini berlaku pada lingkungan yang terbatas, misalnya tata krama yang baik di daerah Jawa belum tentu baik di daerah Bali (Endraswara: 2006).

Menurut Sastrowardoyo (melalui Endraswara, 2006: 40) tata krama memiliki makna yang sama dengan unggah-ungguh yang merujuk pada istilah suba sita. Tata krama ini bisa dilihat melalui tata bahasa, sikap, serta perilaku seseorang. Semakin baik tata bahasa, sikap, dan perilaku seseorang, maka budi pekerti orang tersebut sudah baik dan akan mewujudkan karakter yang baik pula.

Tujuan dari pendidikan karakter yang baik yaitu perilaku yang mampu menimbang hal yang baik dan buruk, serta memilih hal baik untuk dijalankan.

3. Hakikat Tari a. Tari

Tari merupakan salah satu cabang kesenian yang sudah ada sejak zaman primitif. Awalnya manusia purba tidak bisa mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata, namun mereka menyatakannya dengan isyarat yang berupa gerak (Depdikbud:

17

1986). Maka tari dalam bentuk semula diperkirakan hanya berbentuk gerak saja, namun sudah memiliki ritme (irama). Tidak hanya sekedar gerak, namun ada irama yang menjadikan gerak indah. Manusia primitif menjadikan tari sebagai media persembahan atau pemujaan dengan gerak yang berasal dari hasil meniru gerak pohon, aliran air, maupun alam sekitarnya. Seiring dengan perkembangan zaman, tari tidak hanya berkembang bagi manusia primitif namun juga berkembang pada manusia modern.

B.P.H. Suryadiningrat dalam buku Kawruh Joged Mataram mengatakan “Ingkang dipun wastani joged inggih punika ebahing sedaya saranduning

badan, kasarengan ungeling gangsa/gamelan, katata pikantuk wiramaning gendhing, jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged” (YSAB, 1981:

16).

Sedangkan Corrie Hartong menyatakan bahwa tari adalah gerak-gerak yang berbentuk dan ritmis dari tubuh dalam ruang (Depdikbud, 1982: 17).

Beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tari adalah gerak yang ritmis dari tubuh di dalam ruang yang diiringi oleh irama musik, dan disesuaikan dengan ekspresi yang mendukung bagi tarinya.

Tari terdiri dari beberapa jenis, menurut Debdikbud (1982: 50) berdasarkan pola garapan tari di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: tari tradisional dan tari kreasi baru.

1) Tari tradisional

Tari tradisional merupakan tari yang berkembang di masyarakat yang berpacu pada aturan atau kaidah-kaidah tradisi yang sudah ada dan baku. Tari tradisional dibagi menjadi tiga yaitu : (1) tari primitif, (2) tari rakyat, (3) tari klasik.

Tari klasik adalah tari yang masih taat pada aturan atau kaidah dan norma-norma yang baku dan hidup secara turun-temurun. Lingkungan awal yang menjadi tempat munculnya tari klasik yaitu lingkungan istana raja dan bangsawan (Abdurachman: 1979). Tari klasik memiliki prinsip komposisi maupun ragam gerak yang sudah ditetapkan dan diakui dengan pembagian ragam berdasar jenis tarian maupun perwatakannya.

2) Tari kreasi baru

Tari Kreasi baru merupakan tari garapan yang dasar pemikirannya berasal dari tuntutan masa kini, dan sudah berkembang bebas dalam pengungkapannya. Para koreografer tari kreasi baru umumnya masih mengambil sumber dari tari tradisional. Mereka hanya mengembangkan dari sisi gerak maupun busananya.

b. Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Tari klasik gaya Yogyakarta diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke I yang memimpin keraton pada tahun 1755-1792. Awalnya, tari klasik hanya boleh dipelajari di dalam istana. Gerak yang ada berasal dari gerak keprajuritan, karena penari yang mempelajari tari klasik saat itu merupakan prajurit dari keraton. Penari beranggapan bahwa teknis yang dimiliki tari klasik gaya Yogyakarta hanya itu-itu saja. Mereka tidak menyadari bahwa hal penting lainnya dalam mempelajari tari yaitu seni jiwa.

Tanggal 17 Agustus 1918 lahir organisasi tari klasik gaya Yogyakarta yang bernama Krida Beksa Wirama. Lahirnya organisasi ini membuat tari klasik gaya Yogyakarta boleh dipelajari di luar istana. Hal ini mendapat izin dan restu dari Sri

19

Sultan Hamengku Buwono VII, Sukidjo (melalui Depdikbud: 1986). Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma mengajak beberapa penari, ahli tari, ahli karawitan dari keraton Yogyakarta untuk membentuk organisasi ini. Spesialisasi tipe tari dari organisasi ini yaitu putri, putra halus, dan putra gagah. Organisasi inilah yang menjadi pelopor bagi wanita untuk mempelajari dan menarikan tari klasik gaya Yogyakarta (Soedarsono: 2000).

Sifat tari klasik gaya Yogyakarta yaitu abstrak dan simbolis. Menurut orang awam yang tidak mengerti tentang seni tari, mereka beranggapan bahwa penari tari klasik gaya Yogyakarta hanya membuat garis biasa yang tak tampak secara jelas dan tanpa patokan tertentu. Tetapi sebenarnya garis tersebut merupakan pola khas dalam tari tersebut. Patokan dalam tari klasik ada dua, yaitu (1) patokan baku dan (2) patokan tidak baku. Patokan baku adalah patokan atau aturan yang tidak dapat diubah dan harus ditaati oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta, sedangkan patokan tidak baku adalah ragam tari yang sudah terpola tetapi dalam praktik gerak, penari boleh menyimpang dari aturan yang ada, Sukidjo (melalui Depdikbud: 1986).

Menurut R.L. Sasmintamardawa, dkk. (1983: 26) aturan-aturan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta meliputi (1) hadeg atau sikap badan, (2) sikap dan pandangan mata, (3) gerak leher, dan (4) sikap kaki. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Hadeg atau sikap badan

Sikap badan merupakan faktor penting yang harus dipelajari karena hal ini akan mempengaruhi wiraga dari seorang penari. Ketentuan sikap badan tersebut yaitu:

a) Iga kaunus : tulang rusuk dijunjung b) Ula-ula ngadeg : tulang punggung berdiri c) Enthong-enthong wrata : tulang belikat datar

d) Jaja munjal : dada membusung

e) Weteng nglempet : perut kempis

Sikap-sikap badan tersebut dipusatkan pada cethik yaitu persendian yang terdapat di antara pangkal paha dan badan.

2) Sikap dan pandangan mata

Hal tersebut dapat menunjukkan konsentrasi dari seorang penari. Ketentuan sikap dan pandangan mata yaitu kelopak mata terbuka dengan bola mata lurus menurut arah hadap muka. Pandangan dari penari harus tajam dengan jarak tiga kali tinggi badan untuk putri dan putra halus, dan lima kali tinggi badan untuk putra gagah.

3) Gerak leher

Ketentuan gerak leher dipusatkan pada persendian antara leher dan kepala. Pokok gerak pada leher disebut tolehan dan pacak gulu.

4) Sikap tangan

Sikap-sikap yang ada dalam tari klasik gaya Yogyakarta yaitu terdiri dari: a) Jari tangan mempunyai sikap ngruji, ngithing, nyempurit, dan ngepel yang

hanya berpusat pada jari tangan.

b) Pergelangan tangan memiliki sikap nekuk lengkung (tumungkul), nekuk berdiri, dan lurus.

21

5) Sikap kaki

Sikap kaki merupakan sendi kekuatan, kemantapan dan keseimbangan seorang penari. Ketentuan tersebut yaitu:

a) Pupu mlumah : sikap paha yang dibuka empat puluh lima derajat ke arah samping kanan dan kiri.

b) Dhengkul megar : sikap lutut membuka empat puluh lima derajat ke arah samping kanan dan kiri.

c) Dlamakan malang : sikap telapak kaki serong empat puluh lima derajat ke arah samping kanan dan kiri.

Penari dalam mempelajari Tari klasik gaya Yogyakarta tidak hanya memperhatikan aturan sikap-sikap menari, tetapi harus mengetahui unsur pokok dalam tari. Tiga unsur pokok dalam tari klasik menurut Debdikbud (1982: 9) yaitu:

1) Wiraga : anggota badan yang selaras

2) Wirama : gerak yang teratur dan selaras serta berirama

3) Wirasa : kesesuaian serta keselarasan wiraga dan pasemon dengan isi atau maksud yang diungkapkan dalam tari.

Penari yang sudah bisa memahami sikap dan unsur pokok dalam tari klasik gaya Yogyakarta harus berhasil menjiwai tari tersebut. Soedarsono (2000: 107) menjelaskan bahwa menurut ahli-ahli tari dari Keraton Yogyakarta, penjiwaan tersebut terdapat dalam Joged Mataram. Joged Mataram ini terdiri dari: (1) sawiji, (2) greget, (3) sengguh, dan (4) ora mingkuh. Berikut adalah penjelasannya.

1) Sawiji

Artinya konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa bagi diri penari. Dalam hal ini, penari harus berkonsentrasi terhadap tari yang dibawakan, sehingga maksud dari tari tersebut dapat disampaikan dengan baik.

2) Greget

Artinya dinamika atau semangat dari penari yang dimunculkan melalui pembawaan diri dan pada saat menari semata-mata tertuju pada pada kepentingan dan karakter tarinya.

3) Sengguh

Artinya percaya terhadap diri sendiri tanpa ada tujuan untuk menyombongkan diri. Tetapi, penari harus percaya bahwa tari yang ditampilkan baik, agar penonton yang melihat akan merasa baik pula.

4) Ora mingkuh

Artinya pantang mundur, penari harus memiliki keberanian dan siap dalam menghadapi tantangan yang ada.

Setiap penari baik putra maupun putri yang ingin mempelajari tari klasik gaya Yogyakarta, harus melewati beberapa tahapan atau tingkatan tarinya. Tari dasar putri klasik gaya Yogyakarta yang menjadi tingkatan paling bawah dan awal untuk penari yaitu Tari Sari Tunggal. Tari ini berisi tentang ragam-ragam gerak dasar untuk tari

srimpi dan bedhaya. Ragam tari ini dimulai dari gerak sembahan kemudian

kapang-kapang dan diakhiri pula dengan gerak sembahan. Sari Tunggal ditarikan secara tunggal oleh penari putri yang menggunakan pola melingkar, maju maupun mundur, penari tersebut akan kembali lagi ke tempat semula.

23

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka muncul pertanyaan dari peneliti yang akan menjadi acuan dalam mencari data. Pertanyaan penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah proses pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta ?

2. Nilai-nilai pendidikan karakter apa sajakah yang terkandung dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta ? 3. Adakah nilai pendidikan karakter dalam tari Sari Tunggal ?

Dokumen terkait