• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai pH komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (2 nd running )

0 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 3 5.6 6 5.73 9 5.9 12 5.77 15 5.57 18 5 21 5

Hari Ke- Nilai pH lindi

0 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 6.67 3 5.57 6 6.3 9 5.9 12 5.6 15 5.5 18 5 21 5.1

PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE DAN PENGECILAN

UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK

PASAR MENJADI BIOGAS

SKRIPSI

YUMIYATI

F34070047

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

INFLUENCE OF SLUDGE ADDITION AND PARTICLES SIZE REDUCTION ON MARKET ORGANICS WASTE CONVERSION TO BIOGAS

Muhammad Romli, Suprihatin, and Yumiyati

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Bogor, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone +62 251 960 6741, e-mail: yatiyumi@yahoo.com

ABSTRACT

The principal problems which have become the main focus of society are environmental problem and energy scarce. The main cause of the problems is the high consumption of fossil fuels. The purpose of this research is to find out effect of sludge composition and particle size reduction on organic waste convertion to biogas. The fermentation were conducted with 1.5 L reactors and fermentation during 21 days. Composition of organic waste from traditional market were banana leaf 7.5%, corn husk 24.2%, bitter melon 14.8%, cabbage 19.9%, chicory 6.2%, water spinach 8.0%, mustard greens 8.0%, carrots 11.5% (w/w). The maximum gas production was reached 14.414 L/kg TS in 1st running and 22.028 L/kg TS in 2nd running or 0.005215 L/g VS (1st running) and 0.005172 L/g VS (2nd running) with COD value was 0.459 g/kg by composition 3:5 and size 0.1 to 0.5 cm. All treatments had a pH interval 4.80 to 6.67. The highest phosphate levels produced by sludge 5:3 (0.1 to 0.5 cm) was1.97 %, the carbon highest in sludge 3:5 (1.5 to 2 cm) was 10.25 %, and nitrogen in sludge 5:3 (1.5 to 2 cm) was 2.20 %.

Yumiyati. F34070047. Pengaruh Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Biogas. Dibawah bimbingan Muhammad Romli dan Suprihatin. 2011.

RINGKASAN

Salah satu permasalahan utama yang kini menjadi fokus bersama adalah lingkungan hidup dan kelangkaan energi. Perubahan iklim yang tidak menentu (global warming) serta ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil menjadi penyebab utamanya. Gas karbon, metan, nitrous oxide,

sulfur heksa fluorida, HFC, dan PFC yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil merupakan 6 gas emisi rumah kaca menurut International Panel on Climate Chance. Ketergantungan yang tinggi ternyata tidak diimbangi oleh ketersediaannya.

Konsekuensi yang harus diambil yaitu mencari serta memanfaatkan bahan lain sebagai upaya penyeimbang kebutuhan dan ketersediaan sumber energi. Biogas memberikan solusi alternatif sumber energi terbarukan. Biogas merupakan gas yang dilepaskan oleh bahan-bahan organik (kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran kayu) yang mengalami proses metanisasi (Hambali, et al. 2007). Biogas tidak hanya menjawab permasalahan krisis energi tetapi juga menjawab permasalahan lingkungan hidup. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) diketahui secara molekuler efek rumah kaca metana 20 kali lebih kuat daripada karbondioksida. Namun dengan pemakaian biogas sebagai bahan bakar berarti mengkonversi metana menjadi karbondioksida yang lebih rendah efeknya terhadap pemanasan global.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan sludge dan pengecilan ukuran bahan pada konversi sampah organik menjadi biogas. Sampah pasar yang digunakan untuk percobaan terdiri dari daun pisang 7.5%, kulit jagung 24.2 %, pare 14.8 %, kol 19.9 %, saosin 6.2 %, kangkung 8.0 %, sawi 8.0 %, dan wortel 11.5 % (W:W) dirajang dengan dua ukuran yaitu 0.1-0.5 cm dan 1.5-2 cm. Activatedsludge digunakan sebagai substrat tambahan dengan dua komposisi yaitu 225 g (3:5) dan 375 g (5:3). Penelitian dilakukan secara batch selama 21 hari di dalam botol AMDK 600 ml dan dibuat terendam dalam aquarium dengan suhu terkontrol (32 °C). Parameter harian yaitu volume gas, 3 hari sekali (TS-TVS, COD, pH digestat dan lindi), dan berkala (Kadar C, N, dan P di awal dan akhir proses). Rancangan penelitian yang digunakan yaitu RAL dengan dua faktorial (komposisi dan ukuran) serta dua kali ulangan.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap fermentasi anaerobik sampah organik dengan starter

sludge yang berasal dari instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) industri dengan dua ukuran bahan serta dua komposisi starter yang berbeda terhadap parameter volume, TS-TVS, COD, pH, kadar C, kadar N, dan kadar P didapatkan hasil sebagai berikut:

Gas terbesar dihasilkan oleh komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm yaitu 14.414 L/kg TS pada proses 1 dan 22.028 L/kg TS pada proses 2 atau 0.005215 L/g VS (proses 1) dan 0.005172 L/g VS (proses 2) dengan nilai COD sebesar 0.459 g/kg. Adapun gas yang dihasilkan oleh penelitian Wildan (2011) dengan bahan yang sama yaitu sampah sayuran menghasilkan gas sebesar 4500 ml/kg biomassa. Pada penelitian ini ternyata menghasilkan gas yang melebihi hasil tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi sludge yang telah mengalami berbagai proses di dalam unit pengelolaan limbah. Sama halnya dengan kotoran yang telah mengalami pemasakan di dalam perut ruminansia.

Sludge banyak mengandung zat pengurai yang baik untuk menghidrolisis bahan yang masih baru serta kondisi bahan yang lebih berair berpengaruh pada peningkatan produksi gas. Kondisi sampah yang telah busuk juga berdampak pada peningkatan produksi gas ditambah lagi dengan adanya pengecilan ukuran karena berarti mengurangi kerja mikroorganisme dalam fase aklimatisasi (penyesuaian). Namun berdasarkan padatan yang menguap, gas yang diproduksi tidak optimum dikarenakan banyaknya air yang terkandung pada bahan serta lingkungan yang semakin asam seiring bertambahnya waktu.

Pupuk organik dengan kadarfosfat tertinggi dihasilkan oleh lindi komposisi 5:3 ukuran 0.1- 0.5 cm yaitu 1.97 %, karbon tertingi pada digestat komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm yaitu 10.25 %, dan nitrogen pada lindi komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm yaitu 2.20 %. Hal ini masih jauh dari syarat mutu pupuk organik yang dianjurkan. Oleh karena itu diperlukan sistem composting lanjutan untuk mendapatkan mutu pupuk organik yang sesuai. Dengan begitu sludge bisa dijadikan alternatif substrat dalam fermentasi anaerob dimana perlakuan terbaik terdapat pada komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm.

Pupuk organik dengan kadarfosfat tertinggi dihasilkan oleh lindi komposisi 5:3 ukuran 0.1- 0.5 cm yaitu 1.97 %, karbon tertingi pada digestat komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm yaitu 10.25 %, dan nitrogen pada lindi komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm yaitu 2.20 %. Hal ini masih jauh dari syarat mutu pupuk organik yang dianjurkan. Oleh karena itu diperlukan sistem composting lanjutan untuk mendapatkan mutu pupuk organik yang sesuai.

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu permasalahan yang kini menjadi fokus bersama yaitu lingkungan hidup dan kelangkaan energi. Perubahan iklim yang tidak menentu (global warming) menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Seperti disimpulkan oleh kelompok peneliti di bawah naungan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC), emisi 6 gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global (global warming) yaitu karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksa fluorida, HFC, dan PFC. Emisi gas tersebut disebabkan oleh tingginya ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil, hanya saja tidak diimbangi dengan ketersediaannya. Ketersediaan bahan bakar fosil yang

irrenewable menjadi faktor utama kelangkaan energi.

Konsekuensi yang harus diambil atas permasalahan tersebut yaitu mencari serta memanfaatkan bahan lain sebagai upaya penyeimbang kebutuhan dan ketersediaan sumber energi. Biogas menjadi jawaban sebagai altenatif pilihan sumber energi. Biogas tidak hanya menjawab permasalahan krisis energi tetapi juga menjawab permasalahan lingkungan hidup. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) diketahui secara molekuler efek rumah kaca metana 20 kali lebih kuat daripada karbondioksida. Dengan pemakaian biogas sebagai bahan bakar berarti mengkonversi metana menjadi karbondioksida yang lebih rendah efeknya terhadap pemanasan global. Secara teoritis dampak pemanasan global berkurang sebesar 87 % dengan pembakaran gas metana. Selain gas metan yang dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber energi, produk samping berupa digestat (bahan padat) dan lindi (leachete) juga memberikan keuntungan sebagai pupuk alami.

Biogas itu sendiri merupakan fase gas dari peristiwa degradasi bahan organik secara biologi yang berlangsung anaerobik. Polprasert (1989) mengatakan bahwa gas terbesar yang dihasilkan teknologi biogas yaitu metan dengan nilai kalor sebesar 1,012 BTU/ft3 (9005 kcal/m3) pada suhu 15.5 °C dan tekanan 1 atm. Nilai kalor biogas rata-rata 500-700 BTU/ft3 (4450-6230 kcal/m3). Ketersediaan bahan serta kemudahan untuk mendapatkannya menjadi keunggulan biogas lainnya. Pada dasarnya, tiga komponen yamg diperlukan untuk dapat memproduksi biogas yaitu enclosed reaction tank (reaktor), naturally occurring bacteria

(biakan starter), dan organic material/sludge (limbah). Sampah kota, limbah pertanian, dan limbah peternakan merupakan material yang umum digunakan untuk menghasilkan biogas.

Sekitar 70 % dari total volume sampah Indonesia merupakan sampah organik (Pramono 2003). Sampah dikenal sebagai suatu produk yang tidak lagi bernilai ekonomis sehingga penanganannya harus dilakukan dan dikelola secara terintegrasi. Dalam management pengelolaan limbah dikenal hirarki limbah yaitu reduce, reuse, recycle, recovery, treatment, dan dispose (landfill). Tindakan landfill merupakan hirarki terakhir, bahkan tidak diinginkan. Hanya saja penanganan sampah masih sebatas pada penanganan konvensional yaitu diletakkan di tempat terbuka hingga membusuk dengan sendirinya. Kondisi sampah demikian berpotensi mencemari lingkungan dalam bentuk gas, padat, maupun cair.

2 Revolusi industri pada kenyataannya berkontribusi pada permasalahan lingkungan. Limbah (buangan) industri yang tidak dikelola dengan baik, berpotensi mengurangi kemampuan lingkungan. Limbah industri berupa sludge merupakan lumpur aktif yang berasal dari lubang pengeluaran unit pengelolaan limbah pada suatu industri. Tidak banyak industri yang memanfaatkan limbahnya menjadi produk-produk potensial, melainkan diserahkan kepada pihak lain. Pada umumnya lumpur dimanfaatkan terbatas untuk mengurug lahan. Namun sejauh ini telah dilakukan penelitian untuk memanfaatkan lumpur industri sebagai bahan bangunan seperti batako. Alternatif lain terhadap pemanfaatan sludge dengan mengelolanya menjadi biogas mengingat limbah tersebut adalah limbah organik.

1.2 TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sludge dan pengecilan ukuran bahan pada proses konversi sampah organik pasar menjadi biogas.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOGAS

Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran sayur) difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali et al. 2007). Menurut Wahyuni (2009) biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik.

Menurut Widodo et al (2006), teknologi biogas di Indonesia telah berkembang sejak lama namun aplikasi penggunaannya sebagai sumber energi alternatif belum berkembang secara luas. Beberapa kendalanya yaitu kekurangan technicalexpertise, reaktor biogas tidak berfungsi akibat bocor atau kesalahan konstruksi, desain tidak user friendly, penanganan masih secara manual, dan biaya konstruksi yang mahal. Kendala tersebut dapat disikapi dengan cara merawat unit instalasi biogas, diantaranya:

1. Mengaduk campuran kotoran dan air yang terdapat pada digester setiap hari dengan menggunakan bambu panjang agar kerak yang terdapat pada permukaan campuran tidak menghambat produksi gas.

2.

Agar digester dapat terus menghasilkan gas secara optimal, maka secara periodik digester perlu dikuras/dibersihkan. Pembersihan digester dapat dilakukan setiap 5 atau 6 tahun sekali. Pembersihan digester dilakukan dengan terlebih dahulu membuang gas metan dalam digester. Setelah tutup bagian atas dibuka, digester dikuras, kemudian ditutup kembali dan kotoran dapat dimasukkan kembali (Anonim 2009).

2.2 KOMPOSISI BIOGAS

Teknologi biogas menghasilkan gas yang sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) serta beberapa kandungan gas lain yang jumlahnya kecil

diantaranya hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3), hidrogen (H2), dan nitrogen (N2).

Pambudi (2008) menyebutkan bahwa energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Kandungan metana yang tinggi mempunyai energi (nilai kalor)

yang besar, sedangkan kandungan metana yang rendah mempunyai energi (nilai kalor) yang rendah. Pembentukan gas metan biasanya terjadi pada hari ke 10-14 sebesar 54 % dan karbondioksida (CO2) sebesar 27 %. Selanjutnya biogas dapat dimanfaatkan untuk

menyalakan kompor (Wahyuni 2009). Penjelasan mengenai komposisi biogas ditunjukkan oleh tabel berikut:

4 Tabel 1. Komposisi biogas

Sumber : Karellas et.al (2010)

Pemanfatan gas metan sebagai sumber energi berperan positif dalam upaya mengatasi masalah global (efek rumah kaca) yang berakibat pada perubahan iklim global. Kesetaraan energi dan pemanfaatannya yang dihasilkan oleh teknologi biogas dalam 1 m3 digambarkan oleh tabel berikut:

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan energi lain

Sumber energi Kapasitas

Elpiji 0.46 kg

Minyak tanah 0.62 liter Minyak solar 0.52 liter Bensin 0.80 liter Gas kota 1.50 m³ Kayu bakar 3.50 kg Sumber : Wahyuni (2009)

Tabel 3. Aplikasi energi biogas

Aplikasi 1m3 biogas setara dengan Penerangan 60-100 watt lampu bohlam selama 6 jam

Memasak dapat memasak 3 jenis masakan untuk keluarga (5-6 orang)

Pengganti bahan bakar tenaga

0.7 kg minyak tanah dapat menjalankan satu motor tenaga kuda selama 2 jam

Pembangkit tenaga listrik Dapat menghasilkan 1.25 kWh listrik Sumber: Kristoferson dan Bakalders 1991 dalam Hambali (2007)

Peningkatan kualitas biogas dapat dilakukan dengan beberapa parameter yaitu menghilangkan hidrogen sulfur, kandungan air, dan karbon dioksida. Hidrogen sulfur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi. Apabila gas ini dibakar, maka akan membentuk senyawa baru bersama oksigen yaitu sulfur dioksida (SO2) atau sulfur trioksida

(SO3) dan pada saat yang sama akan membentuk sulfur acid (H2SO3) yaitu senyawa yang

lebih korosif. Konsentrasi hidrogen sulfur yang masih ditoleransi yaitu 5 ppm. Penghilangan karbondioksida bertujuan untuk meningkatkan kualitas biogas sehingga gas tersebut dapat

Komponen Jumlah

Metana (CH4) 55-75%

Karbon dioksida (CO2) 25-45%

Karbon Monoksida (CO) 0-0,3% Nitrogen (N2) 1-5%

Hidrogen (H2) 0-3%

Hidrogen sulfida (H2S) 0,1-0,5%

5 juga digunakan untuk bahan bakar kendaraan, sedangkan kandungan air berpotensi pada menurunnya titik penyalaan biogas serta dapat menimbulkan korosif (Switenia, dkk 2008).

2.3 BAHAN BAKU BIOGAS

Pada umumnya semua bahan organik yang mudah membusuk seperti sampah organik yang memiliki rasio C/N sebesar 8-20, kotoran hewan, serta kotoran manusia dapat dijadikan biogas. Hanya saja biogas kotoran manusia terkendala pada aspek kepantasan (sosial). Kotoran unggas maupun hewan ternak dipilih karena ketersediaannya yang melimpah, memiliki keseimbangan nutrisi, mudah dicerna, dan relatif dapat diproses secara biologi.

Hardyanti (2007) menyebutkan bahwa biogas dengan zat penyusun yang berbeda (variasi bahan baku) akan menghasilkan nilai kalor yang berbeda pula, tergantung pada mutu substrat. Potensi biogas berbagai jenis bahan diperlihatkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan

Bahan Produksi Biogas (L/kg TS)

Kadar Metana (%)

Waktu Tinggal (hari)

Pisang (Buah dan daun) 940 53 15

Rumput 450-530 55-57 20

Jagung (batang secara keseluruhan) 350-500 50 20 Jerami (dicacah) 250-350 58 30 Tanaman rawa 380 56 20 Kotoran ayam 300-450 57-70 20 Kotoran sapi 190-220 68 20 Sampah (fraksi organik) 380 56 25 Sumber : Arati (2009), modifikasi. *)TS= total solids/ bahan kering

Bahan baku biogas yang berasal dari sampah buah-buahan dan sayur-sayuran menurut Alvarez dan Liden (2007) didominasi oleh kadar air yang tinggi. Penjelasan mengenai karakteristik dan komposisi kandungan dari sampah tersebut selengkapnya disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5. Karakteristik sampah buah dan sayuran

Karakteristik Nilai Kadar Air (%) 87.30 Kadar Abu (%) 0.80 TS (%) 12.70 VS (%) 11.90 Phosphorus (% of TS) 0.20 Potasium (% of TS) 1.60 pH 4.9

2.4 FERMENTASI ANAEROBIK

Fermentasi anaerob berarti selama proses fermentasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Analognya, proses ini meniru mekanisme proses yang terjadi pada perut

6 binatang yaitu proses pencernaan secara anaerobik. Produk akhir dari proses fermentasi ini adalah gas metana (CH4). Beberapa alasan yang dipakai untuk penggunaan proses anaerobik

dalam penanganan limbah antara lain tingginya laju reaksi dibandingkan dengan proses aerobik, kegunaan dari produk akhirnya, stabilisasi dari komponen organik dan memberikan karakteristik tertentu pada daya ikat air produk yang menyebabkan produk dapat dikeringkan dengan mudah (Jenie 1993). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Metcalf dan Eddy (2003) mengenai keuntungan dan kerugian fermentasi anaerob yaitu:

Tabel 6. Keuntungan dan kerugian fermentasi anaerobik

Keuntungan Kerugian

Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan yang lama Manfaat produk yang dihasilkan Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan

fosfor Dapat menghasilkan senyawa metana

sebagai sumber energi potensial

Sangat sensitif terhadap efek perubahan temperature

Hanya membutuhkan reaktor dengan volume yang kecil

Menghasilkan senyawa yang beracun seperti H2S

2.5 BAKTERI METANOGEN

Jenie (1993) mengatakan bahwa saat ini telah dikenal berbagai jenis bakteri metana di alam. Namun pengetahuan mengenai mekanisme bakteri metana tersebut dalam proses metabolismenya masih belum terungkap secara rinci. Kesulitannya adalah melakukan pengisolasian dan mengidentifikasi karena karakteristik yang dimilikinya beragam. Bakateri metana yang telah berhasil diidentifikasi terdiri dari empat genus yaitu :

1. Methanobacterium, bakteri bentuk batang dan tidak berspora 2. Methanobacillus, bakteri bentuk batang dan berspora

3. Methanococcus, bakteri bentuk kokus atau kelompok koki yang membagi diri

4. Methanoosarcina, bakteri bentuk sarcina pada sudut 90° dan tumbuh dalam kotak yang terdiri dari 9 sel.

Bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Penurunan 2 oC secara mendadak pada

slurry mungkin secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhannya dan laju produksi gas (Langrange 1979). Tidak hanya itu, tingginya materi pereduksi seperti nitrit atau nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri metanogen.

Yani dan Darwis (1990) menerangkan bahwa bakteri metanogen sangat restriktif terhadap alkohol dan asam organik, yang dijadikan sumber karbon. Oksidasi substrat secara tunggal oleh salah satu species bakteri seringkali tidak sempurna, Oleh karena itu produk degradasi parsial dapat dijadikan sumber substrat oleh species lainnya untuk pembentukan gas metana. Sejumlah species dan senyawa organik yang dapat berperan sebagai substrat serta produk (senyawa-senyawa) yang dihasilkan terdapat pada Tabel 7.

7 Tabel 7. Species bakteri metanogen

Bakteri Substrat Produk

Metanobacteriumformicum CO2 CH4

M. mobilis Format CH4

M. propionicum H2O + CO2 CO2 + Asetat

M. sohngenii Propionat CH4

M. suboxydans Kaproat, Butirat CH4 + CO2

Metanococcus mazei Asetat, Butirat Asetat, Propionat

M. vanielii H20 + CO2, Format CH4 + CO2

Metanosarcina bakteri H2O + CO2, Metanol, Asetat CH4, CH4, CH4 + CO2

M. metanica Butirat CH4 + CO2

Sumber: Price dan Cheremisinoff (1981)

2.6 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS

Secara umum proses pembentukan biogas yaitu fermentasi bahan organik kompleks menjadi gas oleh mikroorganisme anaerob. Berdasarkan aliran bahan baku, reaktor biogas (biodigester) dibedakan menjadi:

1. Bak (batch) – Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk mengetahui potensi gas dari limbah organik.

2. Mengalir (continuous)– Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu. Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT).

Bapat et al. (2006) di dalam Prasetio (2010) menambahkan satu jenis fermentasi yaitu feed batch. Fermentasi feed batch merupakan proses fermentasi dengan penambahan nutrien pada interval waktu tertentu dan tak ada media yang dipindahkan, berbeda dengan fermentasi kontinyu yang dilakukan penambahan feed secara terus-menerus serta produknya dipindahkan secara bersamaan.

Menurut Haq dan Soedjono (2009) penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung terus secara berantai sampai pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi bahan organik yang dapat dihidrolisa.

1. Hidrolisis

Grup mikroorganisme hydrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek. Senyawa tersebut diantaranya adalah glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbon dioksida, dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan bakteri seperti selullase, protease, dan lipase.

Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul selulosa yang merupakan molekul dengan berat yang tinggi menjadi selulobiose (glukosa-glukosa) dan menjadi glukosa bebas (free glucose). Glukosa kemudian difermentasi secara anaerob menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti asetat, propionat, butirat, H2,

dan CO2.

Protein dan lemak juga dapat mengalami proses fermentasi anaerob yang menghasilkan metana. Meskipun kandungan protein dan lemak lebih sedikit daripada

8 karbohidrat, tetapi metana yang dihasilkan dari fermentasi protein dan lemak dapat menambah jumlah metana yang digunakan untuk biogas. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terdapat dalam slurry maka mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta semakin banyak bahan organik yang dapat diubah menjadi metana.

2. Asidogenesis

Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis. Pada proses ini bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol). 3. Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam)

Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari

molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aseton penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes

yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak (Radar Tarakan online 2008). Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat. Salah satunya adalah degradasi asam propionate oleh Synthophobacterwolinii (Weismann 1991).

4. Metanogenesis (Tahap Pembentukan Metan)

Tahapan metanogenesis merupakan tahapan konversi anaerobik terakhir dan paling menentukan, yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon

dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya. Bakteri yang terlibat pada proses ini yaitu bakteri metanogenik dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang terdiri atas Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus (Radar Tarakan online 2008). Pada proses di dalam reaktor, pertumbuhan bakteri ini bergantung pada temperatur, keasaman, serta jumlah material organik yang akan dicerna. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk ammonia dan jumlah substrat yang digunakan. Bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi, misalnya bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk

metana dan CO2 (Amaru 2004). Haq dan Soedjono (2009) menyebutkan bahwa bakteri

ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri methanogen sangat tergantung pada bakteri lainnya yang terdapat pada tahap sebelumnya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

2.7 FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI TEKNOLOGI PROSES

BIOGAS

Dokumen terkait