• Tidak ada hasil yang ditemukan

Norma-norma Hukum Internasional Yang Mengatur Penghapusan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

F. Norma-norma Hukum Internasional Yang Mengatur Penghapusan

perdagangan anak

1. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948

Deklarasi ini memuat hak-hak setiap manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak, tetapi Deklarasi ini sebagai suatu deklarasi yang menegaskan setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafficking. Konvensi Hak Anak 1989. Konvensi ini secara tegas mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa.

Pada pasal 34 dan 35 Konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak.Opsional Protokol Konvensi Hak Anak terhadap Penjualan Anak, Prostitusi

Anak, dan Pornografi Anak. Opsional Protokol ini telah diadopsi tahun 2000, Indonesia belum meratifikasinya. Akan tetapi Protokol ini tidak berkait langsung dengan penghapusan perdagangan anak, tetapi lebih penentangan terhadap prostitusi dan pornografi anak.

2. Konvensi ILO 182 Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak

Di bawah Konvensi ILO 182, penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, sedangkan perdagangan anak tidak termasuk. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 1 tahun 2000. Protokol untuk Mencegah Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Anak yang Melengkapi Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir antar Negara .

Protokol ini secara tegas menegaskan definisi perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Pada Protokol ini secara tegas menyebutkan anak “berarti setiap orang yang usianya di bawah delapan belas tahun.”

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini mengatur secara tegas tentang perdagangan anak. Pada Pasal 59 menegaskan “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak ... anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,.”

Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak ... perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Serta Pasal 78 setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak ... anak korban perdagangan... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB III

PERJANJIAN KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN TRAFFICKING TERHADAP ANAK

A. Pengertian Perjanjian Internasional

Sebagai salah satu sumber hukum internasional, perjanjian internasional telah dan nampaknya akan selalu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah, baik di kalangan pemerhati hukum internasional maupun masyarakat pada umumnya. Dinamika perkembangan dunia yang sangat cepat berubah, telah menimbulkan dampak yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan internasional untuk terus beradaptasi guna mengimbangi perkembangan yang terjadi. Perjanjian internasional sebagai salah satu unsur pendukung di dalam konteks hubungan interaksi antar negara juga mengalami perubahan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu yang timbul akibat dari perkembangan yang ada.

Secara umum, hukum internasional yang mengatur perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional (Vienna Convention on Law of the Treaties) yang telah disepakati pada tahun 1969. Secara substansial perjanjian internasional di dalam konvensi Wina, mengatur antara lain tentang pembuatan, validitas, pengaruh, interpretasi, modifikasi, penundaan, dan terminisasi dari sebuah perjanjian internasional.

Pada dasarnya, sebuah perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih negara yang berdaulat atau organisasi

internasional. Seperti layaknya sebuah perjanjian, perjanjian internasional dapat diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari kesepakatan yang diatur di dalam perjanjian internasional, redupikasi kewajiban oleh satu pihak di dalam perjanjian internasional, dan hilangnya objek dari perjanjian internasional atas dari prinsip hukum rebus sic stantibus.17

Berdasarkan ketiga cara umum pengakhiran suatu perjanjian internasional diatas, cara pemberlakuan prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mengakhiri sebuah perjanjian internasional. Bentuk yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli hukum dan praktek internasional sebagai salah satu bentuk rebus sic stantibus adalah konflik senjata.

Berdasarkan beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang patut dicermati, yaitu antara lain bahwa untuk beberapa kasus, sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik senjata, bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami penundaan pelaksanaan, dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau yang disebabkan konflik senjata baik antara para pihak dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.

Masyarakat internasional mengalami berbagai perubahan yang besar di dalam perbaikan peta politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses

17 “Perjainjain Internasional dan Konflik Bersenjata”. Sebagaimana dimuat dalam http;//www.hukumonline.com., Rebus sic stantibus adalah asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.

ini sudah dimulai pada permulaan abad XX yang mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat, dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia II. Perubahan kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara.

Dalam suatu hubungan internasional selalu diikuti dengan munculnya perjanjian internasional. Perjanjian internasional tersebut menjadi dasar untuk melakukan pengaturan berbagai kegiatan dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul akibat dari perjanjian tersebut, sehingga perjanjian internasional merupakan salah satu sumber dari hukum internasional.

Sampai pada tahun 1969, pembuatan perjianjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh komisi hukum internasional, diselenggarakanlah suatu konfrensi internasional di Wina mulai 26 Maret sampai 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani pada 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah menjadi hukum positif internasional.18

Pengertian perjanjian internasional adalah perjanjian internasional antara Negara-Negara sesuai pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 adalah :

18

Boer Maulana, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005, hal 83.

“Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.

(Perjanjian adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya).19

Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah sebagai berikut : “A treaty is international agreement which is entered into by two or more states or other international persons and is governed by international law”

(Sebuah perjanjian adalah persetujuan internasional dimana didalamnya terdapat dua atau lebih negara atau subjek hukum internasional lainnya dan hal ini berdasarkan hukum internasional).20

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.21

Pengertian tersebut di satu sisi menyatakan perjanjian internasional bisa dilakukan oleh setiap subjek hukum internasional, tapi di sisi lain definisi tersebut mempersempitnya, bahwa perjanjian tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah (negara) Indonesia dengan semua objek hukum internasional lainnya. Artinya,

19

Wasito, Konvensi-konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, 1984

20

F.A Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal 31

21

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hal 117

perjanjian tersebut tidak bisa dilakukan oleh subjek non-negara dengan subjek negara, hanya bisa dilakukan oleh negara dengan negara dan subjek non-negara.

Definisi tersebut juga menyebutkan bahwa perjanjian internasional hanya mengikat salah satu para pihak saja dalam bentuk hukum publik bagi masyarakatnya, padahal setiap perjanjian internasional bersifat law making and treaty contract (mengikat publik para pihak perjanjian).

Bentuk dan Macam Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian antar negara-negara selama ini telah mealhirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah, maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Beberapa terminologi tersebut antara lain :

1. Treaties atau traktat menurut pengertian umumyaitu mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, sedangkan dalam arti khusus merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian.

2. Convention atau konvensi dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak yang biasanya bersifat law making yang artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.22

22

Boer Maulana, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005, hal 91

3. Agreement atau persetujuan yang memiliki pengertian secara umum dan pengertian secara khusus. Dalam pengertian umum, Agreement ialah mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. Pengertian secara khusus yaitu persetujuan umum mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi yang diatur traktat.23

4. Charter atau piagam umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional.

5. Protocol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding traktat maupun konvensi.

6. Declaration merupakan perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada perjanjian tersebut berjanji untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.

7. Final Act ialah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan

final act hanya berakhir pada suatu tahap proses pembuatan perjanjian.24

8. Agreed Minutes and Summary Record adalah catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian, yang dipergunakan sebagai rujukan dalam perundingan selanjutnya.

23

Ibid, hal 92 24

9. Memorandum of Understanding (MoU) adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, memorandum ini dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk.25

10.Arrangement adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk.

11.Exchange of Notes merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilaksanakan dengan pertukaran dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen.

12.Process-Verbal digunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hak-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.26

13.Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya perjanjian ini bersifat tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.

Secara garis besar, perjanjian internasional terdiri atas dua bentuk, yaitu : 1. Perjanjian Internasional yang tidak tertulis (unwritten/oral agreement) yang

pada umumnya ialah pernyataan bersama atau secara timbal balik diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri atas

25

Ibid, hal 95 26

negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak.

2. Perjanjian Internasional tertulis (written agreement) lebih banyak dilaksanakan dalam suatu hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena perjanjian internasional mempunyai keunggulan seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak. Berikut berbagai macam perjanjian internasional tertulis, antara lain :

a. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar Negara

b. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala Negara c. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar pemerintah

d. Perjanjian Internasional dalam bentuk kepala Negara dan kepala pemerintahan.

Dokumen terkait