• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. SITUASI YANG HARUS DIHINDARI PERAWAT 1. Kelalaian

4.5 NURSING ADVOCACY

Ketika menghadapi pasien kita memerlukan etika sebagai aturan berperilaku maupun bertingkah laku. Di dalam etika keperawatan membahas dua jenis prinsip yaitu etika dan moral. di dalam moral kita ditentukan tentang sifat baik atau buruk, benar atau salah dan juga layak atau tidak layak. Ketika mengambil keputusan secara etis kita harus menentukan kerangka membuat keputusan, langkah-langkah membuat keputusan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan secara etis. Untuk itulah perlunya materi ini agar calon perawat mengetahui dan memahami tentang keputusan etis dan moral.

 Konsep moral dalam keperawatan 1. Pengertian moral

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. (fauziah, 2012)

Moral dalam istilah dipahami juga sebagai :

a. Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. b. Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.

c. Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.(1) 2. Memahami konsep moral dalam keperawatan

Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik

apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu.( John Stone, 1989 ).

Fry (1991) menjelaskan bahwa dalam praktik keperawatan, ada beberapa konsep penting yang harus termaktub dalam standar praktik keperawatan, diantaranya yaitu: a. Advokasi

Menurut ANA (1985) advokasi adalah melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapapun. Fry (1987) sendiri mendefinisikan sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki dampak/penyebab penting. Sementara itu Gadow (1983) mengatakan bahwa advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas untuk menentukan nasib sendiri.

Peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan bantuan kepada klien atas keputusan yang telah dibuat klien. Hal ini berarti perawat memberikan penjelasan/informasi sesuai kebutuhan klien. Menurut Kohnke (1982), perawat dalam memberikan bantuan memiliki dua peran yaitu peran aksi dan nonaksi.peran aksi berarti perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka memiliki hak dan tanggung jawab dalam memnentukan pilihan atau keputusan sendiri tanpa tekanan pengaruh orang lain.

Sedangkan peran nonaksi mengandung arti bahwa sebagai advokat, perawat harus menahan diri untuk tidak mempengaruhi klien. Dalam menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai individu yang memiliki berbagai karakteristik. Perawat harus memberikan perlindungan terhadap martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.

b. Responsibilitas dan Akuntabilitas

1).Responsibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat . perawat yang selalu bertanggung jawab dalam melaksanakan tindakannya akan mendapatkan kepercayaan dari klien atau profesi lain. Sehingga ia akan tetap kompeten dalam pengetahuan dan keterampilan serta selalu menunjukan keinginan untuk bekerja berdasarkan kode etik profesi.

2).Akuntabilitas (tanggung gugat) mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan yang dilakukan, dan menerima konsikuensi dari tindakan tersebut (Kozier, erb, 1991). Mengandung dua komponen utama yaitu tanggung jawab dan tanggung gugat (Fry, 1990) dan dipandang dalam suatu tingkatan hierarki, dimulai dari tingkat individu, institusi/profesional, serta sosial (Sulliva, decker, 1998) perawat bertanggung gugat terhadap dirinya, profesi , klien, sesama karyawan, dan masyarakat. Agar dapat bertanggung gugat, perawata harus bertindak profesional serta sesuai dengan kode etik profesinya. Akunsibilatas dilakukan untuk mengevaluasi efektifikasi perawat dalam melakukan praktik keperawatan.

c. Loyalitas

Merupakan suatu konsep yang meliputi simpati, peduli dan berhubungan dengan timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik kepada klien, teman sejawat, institusi, maupun profesi. Untuk mewujudkannya, Tabbner mengajukan berbagai argumerntasi:

1). Masalah klien tidak boleh didiskusikan dengan klien lain, karena informasi klien harus didiskusikan secara profesional.

2). Perawat harus menhindari pembicaraab yang tidak manfaat.

3). Perawat harus menghargai dan memberikan bantuan kepada teman sejawat

4). Perawat harus menunjukan loyalitasnya kepada profesi dengan berprilaku secara tepat pada saat bertugas.

 Kerangka pembuat keputusan

Kerangka pembuat keputusan terdiri dari : 1. Nilai dan kepercayaan Pribadi

2. Kode etik perawat Indonesia 3. Konsep Moral keperawatan 4. Teori/prinsip-prinsip etika

Berbagai kerangka model pembuatan keputusan etis telah dirancang oleh banyak ahli etika, di mana semua kerangka tersebut berupaya menjawab pertanyaan dasar tentang etika, yang menurut Fry meliputi:

1. Hal apakah yang membuat tindakan benar adakah benar? 2. Jenis tindakan apakah yang benar?

3. Bagaimana aturan-aturan dapat diterapkan pada situasi tertentu? 4. Apakah yang harus dilakukan pada situasi tertentu?

Beberapa kerangka pembuatan keputusan etis keperawatan dikembangkan dengan mengacu pada kerangka pembuatan keputusan etika medis. Beberapa kerangka disusun berdasarkan posisi falsafah praktik keperawatan, sementara model-model lain dikembangkan berdasarkan proses pemecahan masalah seperti yang diajarkan di pendidikan keperawatan. Berikut ini merupakan contoh model yang dikembangkan oleh Thompson dan Thompson dan model oleh Jameton: Metode Jameton dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan etika keperawatan yang berkaitan dengan asuhan

keperawatan pasien. Kerangka Jameton, seperti yang ditulis oleh Fry (1991), terdiri dari enam tahap:

a. Identifikasi masalah. Ini berarti mengklasifikasi masalah dilihat dari nilai-nilai, konflik dan hati nurani. Perawat juga harus mengkaji keterlibatannya terhadap masalah etika yang timbul dan mengkaji para­meter waktu untuk protes pembuatan keputusan. Tahap ini akan memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan: Hal apakah yang membuat tindakan benar adalah benar? Nilai-nilai diklasifikasi dan peran perawat dalam situasi yang terjadi diidentifikasi.

b. Perawat harus mengumpulkan data tambahan. Informasi yang dikumpul-kan dalam tahap ini meliputi: orang-orang yang dekat dengan pasien yang terlibat dalam membuat keputusan bagi pasien, harapan/keinginan dari pasien dan orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah dari konflik yang terjadi. Perawat harus mengindentifikasi semua pilihan atau alternatif secara terbuka kepada pembuat keputusan. Semua tindakan yang memung-kinkan harus terjadi termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya. Tahap ini memberikan jawaban: Jenis tindakan apa yang benar?

c. Perawat harus memikirkan masalah etis secara berkesinambungan. Ini berarti perawat mempertimbangkan nilai-nilai dasar manusia yang pen-ting bagi individu, nilai-nilai dasar manusia yang menjadi pusat dari masalah, dan prinsip-prinsip etis yang dapat dikaitkan dengan masalah. Tahap ini menjawab pertanyaan: Bagaimana aturan-aturan tertentu diterapkan pada situasi tertentu?

d. Pembuat keputusan harus membuat keputusan. Ini berarti bahwa pem-buat keputusan memilih tindakan yang menurut keputusan mereka paling tepat. Tahap ini menjawab pertanyaan etika: Apa yang harus dilaku-kan pada situasi tertentu?

Tahap Model Keputusan Bioetis terdiri dari 10 tahapan (J.B Thompson and HO Thompson, Ethic ini Nursing, New York: MacMilan Pu­blishing Co. Inc., 1981, diadaptasikan oleh Kelly, 1987. dalam Priharjo, 19):

1. Kumpulkan informasi tambahan untuk memperjelas situasi. 2. Identifikasi aspek etis dari masalah yang dihadapi.

3. Ketahui atau bedakan posisi pribadi dan posisi moral profesional. 4. Identifikasi posisi moral dan keunikan individu yang berlainan. 5. Identifikasi konflik-konflik nilai bila ada.

6. Gali siapa yang harus membuat keputusan.

7. Identifikasi rentang tindakan dan hasil yang diharapkan. 8. Tentukan tindakan dan laksanakan.

9. Evaluasi/review hasil dari keputusan/tindakan.

10. Review situasi yang dihadapi untuk mendeterminasi masalah kesehatan, keputusan yang dibutuhkan, komponen etis individu keunikan

Sedangkan Pembuatan keputusan/pemecahan dilema etik menurut, Kozier, erb (1989), adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan data dasar; untuk melakukan ini perawat memerlukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin, dan informasi tersebut meliputi: Orang yang terlibat, Tindakan yang diusulkan, Maksud dari tindakan, dan konsekuensi dari tindakan yang diusulkan.

2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

3. Membuat tindakan alternative tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut.

4. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat. 6. Membuat keputusan.

Disamping beberapa bentuk kerangka pembuatan keputusan dilema etik yang terdapat diatas, penting juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan

etik. Diantaranya adalah factor agama dan adat istiadat, social, ilmu

pengetahuan/tehnologi, legislasi/keputusan yuridis, dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode etik keperawatan dan hak-hak pasien (Priharjo, 1995).

Beberapa kerangka pembuatan dan pengambilan keputusan dilema etik diatas dapat diambil suatu garis besar langkah-langkah kunci dalam pengambilan keputusan, yaitu: a. Klarifikasi dilema etik, baik pertanyaan fakta dan komponen nilai etik yang seharusnya b. Dapatkan informasi yang lengkap dan terinci, kumpulkan data tambahan dari berbagai

sumber, bila perlu ada saksi ahli berhubungan dengan pertanyaan etik dan apakah ada pelanggaran hukum/legal

c. Buatlah beberapa alternatif keputusan dan identifikasi beberapa alternative tersebut dan diskusikan dalam suatu tim (komite etik).

d. Pilih dari beberapa alternative dan paling diterima oleh masing-masing pihak dan buat suatu keputusan atas alternative yang dipilih

e. Laksanakan keputusan yang telah dipilih bila perlu kerjasama dalam tim dan tentukan siapa yang harus melaksanakan putusan.

Observasi dan lakukan penilain atas tindakan/keputusan yang dibuat serta dampak yang timbul dari keputusan tersebut, bila perlu tinjau kembali beberapa alternative keputusan dan bila mungkin dapat dijalankan.

 Langkah-langkah pembuatan keputusan

Ada tiga langkah yang biasa digunakan dalam pengambilan keputusan moral. Mereka adalah utilitarianisme, intuisionisme, dan situasional. Paham utilitarianisme

adalah paham yang berpendapat bahwa yang baik itu adalah yang berguna, menguntungkan, berfaedah, dan yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Berasal dari kata Latin utilis tersusunlah teori tujuan perbuatan ini. Secara umum, utilitarianisme menilai sebuah tindakan berdasarkan hasil yang dicapainya, apakah mereka membawa kebaikan bagi manusia atau tidak. Paham ini juga disebut dengan paham teleologis, bahwa semua sistem terarah kepada tujuan. Ends justifies means. (pemerintah: menggusur, demi kepentingan orang banyak, sedikit dikorbankan).

Salah satu kekuatan utilitarianisme adalah bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip dengan jelas dan rasional. Dengan prinsip ini, pemerintah sering membangun pegangan mereka atas pembentukan kebijakan untuk mengatur masyarakat. Kekuatan lain dari teori ini adalah hasil perbuatan yang dihasilkan.

Intuisionisme adalah sistem etika lainnya yang tidak mengukur baik tidaknya sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Sistem ini menyoroti wajib tidaknya perbuatan dan keputusan ini. Sistem lain tersebut adalah intuisionisme. Intuisionisme, berasal dari bahasa Inggris: intuition, adalah pandangan bahwa manusia memiliki sebuah kacakapan, yang biasa disebut hati nurani, yang memampukan mereka untuk melihat secara langsung apa yang disebut benar atau salah, jahat atau baik secara moral. Pengetahuan intuitif ini adalah pengetahuan langsung tentang suatu hal tanpa melalui proses logika baik deduktif maupun induktif. Teori ini juga dikenal sebagai teori deontologi (dari kata Yunani: deon: apa yang harus dilakukan; kewajiban). (berdasarkan hati nurani) Intuisionisme memang memiliki kebenaran

Pendekatan yang ketiga ditawarkan oleh seorang tokoh etika, Joseph Fletcher, adalah pendekatan situasional. Bagi Fletcher tidak ada sistem yang benar-benar dapat

digunakan bagi semua situasi. Menurut dia, semuanya tergantung kepada situasi yang dihadapi oleh pelaku. Pandangan ini memang lebih condong kepada paham intuisionisme, namun kadang-kadang juga bisa menjadi utilitarianisme.

 Faktor yang mempengaruhi pada pengambilan keputusan a. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

Banyak faktor yang berpengaruh kepada individu dan kelompok dalam pengambilan keputusan, antara lain:

1. Faktor Internal

Faktor internal dari diri manajer sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Faktor internal tersebut meliputi: keadaan emosional dan fisik, personal karakteristik, kultural, sosial, latar belakang filosofi, pengalaman masa lalu, minat, pengetahuan dan sikap pengambilan keputusan yang dimiliki.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal termasuk kondisi dan lingkungan waktu. Suatu nilai yang berpengaruh pada semua aspek dalam pengambilan keputusan adalah pernyataan masalah, bagaimana evaluasi itu dapat dilaksanakan. Nilai ditentukan oleh salah satu kultural, sosial, latar belakang, filosofi, sosial dan kultural.

b. Pengambilan keputusan kelompok

Ada dua kriteria utama untuk pengambilan keputusan yang efektif yaitu

Keputusan harus berkualitas tinggi dan dapat mencapai tujuan atau sasaran yang sebelumnya telah didefinisikan. Keputusan harus diterima oleh orang yang bertanggungjawab melaksanakannya. Contoh; Rapat merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai informasi dan mengambil keputusan.

Ada keuntungan-keuntungan tertentu yang dapat dipetik melalui suatu rapat, yaitu : masalah yang timbul menjadi jelas sifatnya karena dibicarakan dalam forum

terbuka. nteraksi kelompok akan menghasilkan pendapat dan buah pikiran serta pengertian yang mendalam.Penerimaan dan pelaksanaan keputusan diambil oleh peserta rapat. Rapat melatih menerima pendapat orang lain. Melalui rapat peserta dilatih belajar tentang pemikiran orang lain dan belajar menempatkan diri pada posisi orang lain.

Langkah utama proses pengambilan keputusan adalah sama dengan proses pemecahan masalah. Fase ini termasuk mendefinisikan tujuan, memunculkan pilihan, mengidentifikasi keuntungan dan kerugian masing-masing pilihan, memprioritaskan pilihan, menyeleksi pilihan yang paling baik untuk menilai sebelum mendefinisikan tujuan, implementasi dan evaluasi.

 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan secara etis dalam pelayanan keperawatan ( pembuatan keputusan terhadap masalah etis)

Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya. Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis. Setiap perawat harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam membuat keputusan misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan. Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya. Dalam membuat keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional, bukan emosional.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan antara lain : faktor agama, sosial, ilmu pengetahuan/teknologi, legislasi/keputusan juridis, dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode etik keperawatan dan hak-hak pasien.

a. Faktor agama dan adat istiadat  Agama

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk dengan berbagai agama/kepercayaan dan adat istiadat. Setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus beragama/berkepercayaan. Contohnya adalah sebelum program KB diluncurkan sebagai program nasional sudah dilakukan suatu diskusi dengan pemuka agama tentang metode kontrasepsi, sehingga tenaga kesehatan tidak ragu-ragu saat mempromosikan program tersebut.

 Adat Istiadat

Selain faktor agama, faktor adat istiadat juga berpengaruh dalam membuat keputusan etis. Contohnya adalah falsafah budaya jawa “makan tidak makan asalkan kumpul”. Falsafah ini masih dipegang erat oleh masyarakat jawa sehingga jika ada anggota keluarga yang sakit biasanya seluruh anggota keluarga akan ikut menanggung biaya RS dan sebagainya.

b. Faktor sosial

Faktor ini antara lain meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah kaum wanita yang pada awalnya hanya sebagai ibu rumah tangga yang tergantung pada suaminya telah beralih pada pendamping suami yang mempunyai pekerjaan dan bahkan banyak yang telah menjadi wanita karir. Dengan semakin meningkatnya orang yang menekuni profesinya, semakin banyak pula yang menunda perkawinan dan banyak pula yang mempertahankan kesendirian.

Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang tadinya berorientasi pada program medis lambat laun menjadi pelayanan komprehensif dengan pendekatan tim kesehatan. Ini

menyebabkan perubahan beberapa kebijakan pemerintah termasuk mahalnya biaya pengobatan.

c. Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi

Kemajuan yang telah dicapai meliputi berbagai bidang. Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang usia manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru dan bahan-bahan/obat-obatan baru.

Misalnya pasien dengan gangguan ginjal dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesian hemodialisa, ibu-ibu yang mengalami kesulitan hamil dapat dibantu dengan berbagai jenis inseminasi, kemajuan-kemajugaran ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan etika.

d. Faktor legislasi dan keputusan juridis

Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menurut hukum sehingga orang yang bertindak tidak sesuai dengan hukum dapat menimbulkan konflik. Hampir disemua negara, pemerintah berupaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia dengan menyusun suatu undang-undang.

Misalnya masalah abortus merupakan topik pembicaraan yang hangat secara nasional. Di Amerika Serikat beberapa negara bagian mengijinkan adanya aborsi dengan alasan setiap ibu berhak menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan dibeberapa negara lain melarang aborsi dengan alasan perlindungan nyawa calon bayi. Selain masalah pengaturan abortus aktivitas lain juga menjadi masalah hukum, diantaranya pengaturan pengangkatan dan penjualan bayi, fertilisasi in vitro, ibu pengganti, hak pilih mati dan hak untuk menolak perawatan.

e. Faktor dana/keuangan

Dana/keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat menimbulkan konflik. Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, pemerintah telah banyak berupaya dengan mengadakan berbagai program yang dibiayai pemerintah. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan kesehatan, namun dana ini belum sepenuhnya dapat mengatasi berbagai program atau masalah kesehatan sehingga partisipasi swasta dan masyarakat banyak digalakkan. Contohnya program JamKesMas.

f. Faktor pekerjaan

Dalam pembuatan suatu keputusan. Perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya. Sebagian besar perawat bukan merupakan tenaga yang praktik sendiri tetapi bekerja di rumah sakit, dokter praktik swasta atau institusi kesehatan yang lain. Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan keputusan/aturan tempat ia bekerja.

g. Kode etik keperawatan

Merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan, dan peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi. Apabila seorang anggota melanggar kode etik profesi, maka organisasi profesi dapat memberi sanksi atau mengeluarkan anggota tersebut.

7. Rangkuman

1. Prinsip – prinsip dalam etika keperawatan terdiri dari autonomi, benefisience, veracity, justice, fidelity, confidentiality, dan non malefisience.

2. Isu etik yang ada meliputi isu etika biomedis, etika medis, pelaksanaan pelayanan kolaborasi dan bioetika.

3. Prinsip – prinsip legal dalam praktik keperawatan terdiri dari malpraktik, kelalaian, pertanggunggugatan, pertangunggungjawaban dan situasi yang harus dihindari oleh perawat.

4. Pengambilan keputusan dalam praktik keperawatan memperhatikan kerangka, faktor yang mempengaruhi dan langkah dalam pembuatan keputusan etik.

Dokumen terkait