• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Obat Antihipertensi

Terapi obat antihipertensi direkomendasikan untuk wanita hamil dengan tekanan darah sistolik 160-180 mmHg atau tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 180 mmHg dan tekanan darah diastolik 105–110 mmHg atau tekanan darah diastolik yang lebih besar dari 105–110 mmHg. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan sistolik sampai 140–155 mmHg dan tekanan diastolik sampai 90–105 mmHg. Untuk menghindari terjadinya hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan–lahan (Wagner, 2004).

Hipertensi ringan hingga hipertensi berat selama kehamilan adalah umum. Obat antihipertensi sering digunakan dengan harapan bahwa penurunan tekanan darah akan mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan dengan demikian meningkatkan kondisi pasien (Abalos dkk, 2001).

1. Rekomendasi Terapi Hipertensi Ringan Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi ringan dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah diastolik 80–90 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah metildopa (grade A), obat lini kedua adalah labetalol (grade A/B), pindolol (grade

A/B), oxprenolol (gradeA/B), nifedipin (grade A/B), dan obat lini ketiga adalah kombinasi klonidin dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi), kombinasi metoprolol dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi), klonidin (grade B), dan kombinasi metildopa dengan obat lini kedua atau hidralazin (grade D) (Rey dkk, 1997).

Indikasi khusus untuk penyakit jantung dan penyakit ginjal, dapat digunakan diuretik (grade D). Adapun obat yang harus dihindari adalah penghambat ACE

(grade C) dan antagonis reseptor angiotensin II (grade D). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain, fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat, dan tanda-tanda ß-blockage pada janin yang baru lahir dari ibu yang diberi penghambat β (Rey dkk, 1997).

2. Rekomendasi Terapi Hipertensi Berat Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah diastolik 90–100 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah hidralazin (grade B), labetalol (grade B), nifedipin (grade B). Indikasi khusus untuk pasien yang tidak dapat diberi obat lini pertama digunakan diazoxide (grade D) dan sodium nitroprusside (grade D). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain, fungsi

neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat (grade D) dan perlu memonitor denyut jantung bayi selama terapi akut (grade D) (Rey dkk, 1997).

3. Rekomendasi Terapi Hipertensi Post Partum

Obat yang direkomendasikan adalah metildopa (grade B), nifedipine (grade B), timolol (grade B) (Rey dkk, 1997).

4. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil

Tabel II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil (Rey dkk, 1997)

Kategori CHS NHBPEP ASSH

Hipertensi ringan Obat pilihan

Metildopa, labetalol, pindolol, oxprenolol,

nifedipin

Metildopa Metildopa, labetalol, oxprenolol, klonidin Obat yang harus

dihindari Penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin II Penghambat ACE Penghambat ACE, diuretik

Hipertensi berat Obat pilihan Hidralazin, labetalol,

nifedipin

Hidralazin Hidralazin, labetalol, nifedipin, diazoxide Kejang

Obat untuk pencegahan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Magnesium sulfat, fenitoin Obat untuk

pengobatan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Diazepam secara i.v Keterangan

CHS : Canadian Hypertension Society (Kanada)

NHBPEP : National High Blood Pressure Education Program Working Group ( Amerika Serikat)

ASSH : Australasian Society for Study of Hypertension (Australia)

Klasifikasi obat antihipertensi berdasarkan pada tempat regulasi utama atau titik tangkap kerjanya sebagai berikut:

1. diuretik

Obat antihipertensi golongan diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung sedangkan tahanan perifer tidak berubah pada awal terapi (Benowitz, 2001).

Penurunan tekanan darah terlihat setelah pemberian diuretik, hal ini disebabkan karena efek utamanya yaitu diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005).

Obat–obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi antara lain: a. diuretik tiazid dan sejenisnya

Mekanisme antihipertensi tiazid dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus distal yang menyebabkan eksresi natrium dan air dan juga eksresi kalium dan ion hidrgen. Onset dari tiazid yaitu 2 jam dan tiazid menimbulkan efek

maksimal kira–kira 4–6 jam setelah pemberian dengan durasi selama 6–12 jam (Lacy dkk, 2003).

b. diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada ascending loop henle dan di tubulus distal ginjal, mempengaruhi sistem transpor pengikatan klorida sehingga menyebabkan peningkatan eksresi dari air, natrium, klorida, magnesium dan kalsium (Lacy dkk, 2003). Diuretik kuat merupakan diuretik yang lebih poten dibandingkan tiazid, sehingga pemberian obat ini harus diberikan dengan dosis rendah dan diawasi untuk mencegah ketidakseimbangan cairan tubuh.

c. diuretik hemat kalium

Jenis diuretik ini merupakan diuretik lemah, merupakan antagonis aldosteron. Mekanisme kerjanya dengan cara berkompetisi dengan aldosteron pada bagian reseptor di tubulus distal, sehingga dapat menghambat efek aldosteron pada otot halus arteriola dengan baik, meningkatkan eksresi garam dan air, mencegah kehilangan kalium dan ion hidrogen (Lacy dkk, 2003). Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi efek hipokalemia dari diuretik lain (Benowitz, 2001).

2. obat antihipertensi yang bekerja sentral

Metildopa dan klonidin, merupakan contoh obat golongan ini. Metildopa dan klonidin bekerja dengan jalan menstimulasi reseptor adrenergik α2 di otak. Stimulasi ini menyebabkan pengurangan aliran simpatis dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan denyut vagal. Juga dipercaya bahwa stimulasi perifer dari presinaptik reseptor α2 dapat menyebabkan pengurangan aktifitas saraf simpatis. Pengurangan

aktifitas saraf simpatis bersamaan dengan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis, dapat menurunkan denyut jantung, curah jantung, dan tahanan perifer. Klonidin sering digunakan untuk terapi hipertensi berat sedangkan metildopa merupakan obat pilihan utama untuk terapi hipertensi dalam kehamilan (Saseen dan Carter, 2005).

3. antagonis kalsium

Kontraksi dari otot halus pembuluh darah bergantung pada konsentrasi ion Ca2+ di intrasel. Penghambatan pergerakan dari ion Ca2+ akan mengurangi jumlah total ion Ca2+ yang mencapai intrasel, sehingga terjadi penurunan kontraktilitas otot jantung. Penurunan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan penurunan curah jantung.

Antagonis kalsium menghambat masuknya kalsium melalui saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma (Oates dan Brown, 2001). Contoh obat golongan ini adalah nifedipin, diltiazem, amlodipin, nimodipin, verapamil, felodipin, dan isradipin.

4. vasodilator

Vasodilator bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Relaksasi arteriol menyebabkan penurunan tahanan arteri sehingga terjadi penurunan tekanan darah arteri. Hal ini menyebabkan terjadinya kompensasi oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis (Benowitz, 2001).

Adapun kompensasi yang terjadi akibat aktifitas baroreseptor yaitu peningkatan aliran keluar sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, peningkatan curah jantung, dan pelepasan renin. Selain itu juga

terjadi retensi air dan garam yang mana hal–hal tersebut diatas melawan efek hipotensi dari vasodilator. Oleh karena itu, pemberian vasodilator harus diberikan bersama dengan diuretik dan penghambat β untuk mengatasi adanya kompensasi dari baroreseptor (Saseen dan Carter, 2005).

5. penghambat enzim pengkonversi angiotensin (penghambat ACE)

Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi terbentuknya angiotensin II yang mempunyai peran penting dalam pengaturan tekanan darah arteri. Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dalam beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di pembuluh darah bukan di ginjal (Saseen dan Carter, 2005).

Efek hipotensi penghambat ACE dengan cara menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang poten yang juga menstimulasi pengeluaran aldosteron. Penghambat ACE juga menghambat pembongkaran bradikinin dan merangsang sintesis dari beberapa substansi vasodilator termasuk prostaglandin E2 dan protasiklin. Peningkatan bradikinin akan meningkatkan efek hipotensi dari penghambat ACE sehingga hal ini menimbulkan batuk kering yang menjadi efek samping dari obat golongan penghambat ACE (Saseen dan Carter, 2005). Contoh obatnya adalah kaptopril, enalapril maleat, benazepril, lisinopril, perindopril, kuinapril, ramipril, dan fosinopril.

6. penyekat adrenoreseptor β

Mekanisme penyekat adrenoreseptor β sebagai antihipertensi masih belum diketahui pasti. Diduga penyekat adrenoreseptor β menurunkan tekanan darah dengan cara penyekat adrenoreseptor β mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas otot jantung sehingga mengurangi curah jantung. Selain itu adrenoreseptor β juga terletak pada permukaan membran dari sel juxtaglomerular dan penyekat adrenoreseptor β menghambat pelepasan renin (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat penyekat adrenoreseptor β yang sering digunakan adalah propanolol, pindolol, acebutolol, bisopralol, timolol, penbutolol, dan satolol.

Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba dapat mengakibatkan infark miokardial, angina pektoris dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit koroner . Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba-tiba-tiba dengan nilai tekanan darah diatas nilai sebelum terapi. Untuk menghindari hal ini, maka dosis pemberian penghambat β ditingkatkan bertahap selama selama 1 sampai 2 minggu sebelum akhirnya melanjutkan pemakaian obat ini (Saseen dan Carter, 2005).

7. penyekat adrenoreseptor α (penyekat α)

Obat antihipertensi yang termasuk dalam penyekat adrenoreseptor α seperti prazosin, terazosin dan doxazosin. Obat penyekat adrenoreseptor α menghasilkan efek antihipertensinya dengan menyekat reseptor α1 di arteriol dan venula. Penghambatan reseptor α1 di arteriol dan venula menyebabkan penghambatan efek vasokontriksi oleh norepinefrin dan epinefrin sehingga terjadi dilatasi arteriola dan

vena. Dilatasi arteriola menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan tekanan darah (Benowitz, 2001).

Retensi garam dan cairan terjadi apabila obat tersebut diberikan tanpa diuretik. Obat ini menjadi lebih efektif apabila digunakan dalam kombinasi dengan obat lain seperti penyekat adrenoreseptor β dan diuretik, dibandingkan jika digunakan secara tunggal (Benowitz, 2001).

8. antagonis reseptor angiotensin II

Angiotensin II dihasilkan oleh dua jalur enzimatis yaitu melalui sistem renin angiotensin–aldosteron, yang melibatkan ACE dan melalui jalur lain yang menggunakan enzim–enzim lain seperti enzim kimase. Penghambat ACE menghambat efek dari angiotensin II yang berasal dari jalur sistem renin angiotensin–aldosteron, sedangkan antagonis reseptor angiotensin II menghambat angiotensin II dari semua jalur.

Antagonis reseptor angiotensin II secara langsung menghambat reseptor angiotensin II tipe 1 yang menyebabkan vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatis, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriola efferent pada glomerulus. Antagonis reseptor angiotensin II tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2. Oleh karena itu, keuntungan dari stimulasi reseptor angiotensin II tipe 2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap berlangsung ketika obat antagonis reseptor angiotensin II digunakan. Tidak seperti penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin II tidak mempengaruhi bradikinin sehingga tidak muncul efek samping berupa batuk kering.

Contoh obat yang termasuk antagonis reseptor angiotensin II yaitu losartan kalium dan valsartan.

Dokumen terkait