• Tidak ada hasil yang ditemukan

sering pada hewan ternak. Macerasi fetus juga dapat terjadi akibat kegagalan dalam pengeluaran fetus yang mengalami abortus, dimana kemungkinan akibat inertia uteri. Bakteri dapat masuk ke dalam uterus melalui cervix yang mengalami dilatasi. Selain itu, terjadi pula keadaan busuk dan digesti dari jaringan lunak yang telah mengalami autolisis, serta tersisa patahan tulang fetus di dalam uterus. Tulang fetus terkadang mengelilingi dinding uterus, sehingga dapat menyulitkan proses pemindahan atau pengeluaran fetus dengan menggunakan teknik histerektomi (Arthur et al. 1996).

Diagnosa macerasi pada anjing dan kucing diperoleh melalui anamnesa, inspeksi, palpasi abdominal, gejala klinis dan pemeriksaan yang menggunakan USG maupun radiografi. Pada kebanyakan kasus, tidak ditemukan adanya discharge uterus pada vulva. Prognosa dari macerasi buruk, dimana emfisema fetus dan macerasi dapat menyebabkan perimetritis lokal atau ruptur uteri dengan penutupan rongga abdominal. Pada kasus tertentu, torsio uteri dapat menyebabkan kondisi macerasi pada ruminansia dan hewan multipara (Roberts 1956).

Tindakan medis yang diberikan pada penyakit macerasi adalah histerektomi atau histerotomi pada hewan multipara. Hal ini mengingat kapasitas reproduksi hewan multipara dan pemiliknya, sehingga fetus yang mengalami macerasi dapat dikeluarkan dan fetus yang masih hidup dapat dipertahankan. Antibiotika perlu diberikan pada hewan yang telah diberikan terapi, mengingat adanya infeksi bakteri pada saluran reproduksi tersebut. Jika hewan sudah kembali sehat maka hewan dapat bereproduksi kembali.

3. Mumifikasi

Kematian embrio dini pada hewan dapat diikuti dengan penyerapan kembali. Jaringan embrio dan hewan akan kembali estrus, jika tidak ada konseptus lain pada uterus. Tetapi, jika fetus mati setelah proses ossifikasi atau pembentukan tulang, maka akan terjadi resorbsi tidak sempurna yang disebut mumifikasi fetus. Jenis mumifikasi yang biasa terjadi ialah papyreceous mummification (Arthur et al. 1996). Papyreceousmummification terjadi pada kuda, babi, anjing dan kucing. Jenis mumifikasi ini memiliki ciri berupa kematian satu atau lebih fetus pada

18 hewan multipara, tetapi masih terdapat fetus yang hidup dan berkembang dengan normal (Roberts 1956).

West (1994) menyatakan bahwa mumifikasi fetus terkadang terjadi setelah resorbsi cairan dari plasenta. Penyakit ini tidak umum pada sapi, sedangkan pada babi, mumifikasi terjadi mengikuti penyakit Aujeszky dan erysipelas. Pada kambing, mumifikasi terjadi akibat toxoplasmosis dan abortus enzootik. Mumifikasi fetus berada atau tertahan pada uterus, sehingga menyebabkan periode kebuntingan lebih lama dari pada normal.

Mumifikasi dapat disebabkan oleh infeksi maupun kekurangan gas oksige n. Infeksi yang menyebabkan mumifikasi ialah Feline Panleukopenia Virus (FPV). Kematian fetus diikuti oleh penyerapan cairan fetus dan terjadi dehidrasi. Membran fetus dapat melekat kuat di tubuh fetus, fetus juga menjadi kering dalam uterus dan berwarna kecoklatan serta tidak terdapat pus atau nanah. Pada mumifikasi tidak terdapat infeksi bakteri, sehingga fetus tidak membus uk dan tidak membentuk pus (Marrow 1980).

Menurut Arthur et al (1996) fetus yang mengalami mumifikasi dapat menghambat jalan kelahiran dan menyebabkan distokia. Pada kucing, mumifikasi fetus tidak menyebabkan anak yang besar dan mengakibatkan uterus dalam keadaan padat serta insufisiensi plasenta. Pada sapi, mumifikasi yang terjadi dapat berbentuk mumifikasi hematik. Pada kondisi tersebut, cairan fetus diserap tetapi fetus dan membran dikelilingi oleh cairan berwarna kecoklatan. Warna coklat tersebut berasal dari pigmen darah, dimana hal ini disebabkan oleh perdarahan karunkula yang mengakibatkan kematian fetus. Perdarahan karunkula diperkirakan dipengaruhi unsur genetik hewan seperti pada sapi Jersey dan Guernsey lebih frekuentatif terkena. Selain itu, kema tian fetus juga dapat disebabkan akibat torsio uteri serta pengaruh hormon estradiol dan trembolone asetat.

Diagnosa mumifikasi dapat dilakukan pertama kali melalui anamnesa yang dapat menunjukkan periode kebuntingan abnormal. Kemudian dilakukan palpasi abdominal serta pemeriksaan USG untuk mengetahui status denyut jantung fetus. Radiografi dapat pula digunakan sebagai diagnosa penunjang untuk menentukan prognosa penyakit tersebut.

19 Menurut Arthur et al (1996) terapi yang dapat diberikan pada keadaan mumifikasi fetus ialah histerektomi. Pada keadaan mumifikasi hematik yang menyebabkan corpus luteum tertahan atau corpus luteum persisten, perlu diberikan sebagai terapi pilihan berupa induksi abortus menggunakan prostaglandin agar terjadi luteolisis. Hal ini dapat mengeluarkan fetus dari uterus dan menghentikan periode kebuntingan yang abnormal.

4. Pyometra

Kahn et al (2005) menyatakan bahwa pyometra adalah penyakit saat diestrus akibat mediasi hormonal dengan karakteristik cystic endometrial hyperplasia (CEH) ditambah adanya infeksi sekunder oleh bakteri.

Menurut Birchard dan Sherding (2000), mekanisme terjadinya pyometra antara lain:

a. Kejadian yang mengikuti ovulasi, terdapat fase luteal (diestrus) yang dikarakteristikkan oleh peningkatan konsentrasi plasma progesteron selama 8- 10 minggu.

b. Perpanjangan pengaruh progesteron menyebabkan jaringan glandular tersebut menjadi cystic, edema dan mengalami penebalan.

c. Sekresi yang berlebihan dan terakumulasi dalam uterus serta menjadi lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini diperparah melalui penghambatan kontraksi myometrium oleh progesteron, yang dapat menurunkan kerja saluran uterus.

Infeksi bakteri yang menyebabkan pyometra berasal dari flora normal pada vagina atau traktus urinari yang terinfeksi dan bersifat subklinis, bakteri tersebut ialah E. Coli, Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan Proteus spp (Kahn 2005).

Menurut Nelson dan Couto (1992) pyometra terdiri dari pyometra terbuka (open pyometra) dan pyometra tertutup (closed pyometra). Hal ini tergantung dari pengeluaran discharge mucopurulent pada vulva. Discharge vulva tersebut biasanya sedikit warna darah, menunjukkan hewan dengan pyometra terbuka. Pada pyometra tertutup, uterus biasanya membesar dan meluas dengan palpasi serta tidak mengeluarkan lendir. Jika pyometra tidak diberikan pengobatan, maka keadaan septicemia atau endotoxemia, maupun keduanya dapat berkembang. Hal

20 ini dapat mempengaruhi hewan dengan hipotermia dan shock serta menyebabkan kematian.

Pyometra pada kucing dapat diikuti saat kawin atau ovulasi spontan. Pada kasus pyometra, gejala klinis yang tampak ialah adanya discharge vagina dan anoreksia, meskipun pada hewan yang bunting terkadang ditemukan hal yang sama (England & Allen, dalam Goddard 1995). Selain itu, hewan menunjukkan gejala tidak nafsu makan, lethargi, poliuria, polidipsi dan muntah (Nelson & Couto 1992).

Menurut Kahn et al (2005) gejala klinis yang terlihat selama fase diestrus ialah lethargi, anoreksia, poliuria, polidipsi dan muntah. Pada pyometra terbuka ditemukan adanya discharge vulva yang sanguineous sampai mukopurulen dan sering mengandung darah. Pyometra tertutup tidak ditemukan discharge, melainkan uterus membesar dan menyebabkan distensi abdominal. Tanda-tanda dapat berlanjut pada shock dan akhirnya kematian.

Diagnosa pyometra ditegakkan atas dasar gejala klinis, adanya kehadiran dischargevulva sepsis dan identifikasi isi cairan uterus pada sonogram (Nelson & Couto 1992). Di sisi lain, count blood cell (CBC), profil serum dan urinalisis penting sebagai penunjang diagnosa pyometra, antara lain saat pemeriksaan darah terdapat banyak leukositosis neutrofil dengan sel mature.

Keputusan terapi pyometra baik secara bedah maupun obat-obatan tergantung pada kondisi hewan saat itu, umur dan paling utama berdasarkan keputusan pemilik terhadap kapasitas reproduksi hewan. Treatment yang digunakan antara lain: pemberian antibiotik yang mampu membunuh E. Coli yaitu trimethoprim sulfonamida (broad spektrum), ampicillin, dan amoxicillin. Pemberian obat dilakukan selama 2-3 minggu. Pemberian terapi cairan suportif secara intra vena sangat diperlukan untuk mempertahankan perfusi jaringan dan meningkatkan fungsi ginjal. Glukokortikoid dan prednisolone sodium succinate 15-30 mg/kg BB IV dapat pula digunakan, serta dexamethasone dosis tinggi 4-6 mg/kg BB selama 4-6 jam sekali (Marrow 1980).

Diferensial diagnosa dari pyometra adalah kebuntingan normal dan penyebab lain yang dapat menimbulkan pengeluaran discharge vulva, polidipsi, poliuria, dan muntah (Kahn 2005).

21 Disamping itu, terdapat manajemen pengobatan yang mampu mengurangi konsentrasi plasma progesteron, relaksasi cervix, dan kontraksi myometrium. Hal ini disebut terapi prostaglandin menggunakan PGF2a dengan dosis rendah secara sub kutan selama 3 ata u 5 hari. Pemberian PGF2a, kucing akan menunjukkan reaksi berupa midriasis, emesis, salivasi, lordosis, diare, tenesmus, vocalization dan kneading. Setelah satu bulan, 95% kucing yang diberikan PGF2a memiliki siklus estrus yang kembali normal. Penggunaan PGF2a merupakan pengobatan yang baik untuk pyometra terbuka pada kucing (Davidson et al. 1992).

Menurut Birchard dan Sherding (2000) pilihan alternatif sebagai terapi pyometra ialah ovariohisterektomi. Pada hewan yang mengalami pyometra tertutup akan sulit jika diberikan terapi obat yang menyebabkan kontraksi myometrium. Karena hal tersebut dapat menyebabkan ruptur uteri akibat kontraksi yang berlebihan. Sehingga pengangkatan ovarium dan uterus dari

22

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hewan IPB Jl. Agatis-Kampus IPB Darmaga dan di bagian Bedah Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berlangsung selama 7 Bulan dari bulan September 2006 sampai dengan bulan Maret 2007.

Bahan Penelitian Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan sebagai studi kasus kali ini ialah enam ekor kucing betina yang didiagnosa mengalami kelainan pada organ reproduksi.

Gel USG

Gel ini digunakan sebagai media dalam penghantaran gelombang ultrasound yang dikeluarkan oleh alat Ultrasonografi tersebut. Gel ini terbuat dari bahan polimer, humectants, air, pewarna makanan, parfum dan pengawet yang tidak memberikan efek negatif pada pasien.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan ialah alat USG tipe Aloka Pro Sound SSD-4000, transducer (probe) dengan frekuensi 3,5-5 Mega Hertz tipe sector scanner berbentuk kurva, disket yang digunakan untuk menyimpan data, dan kamera digital yang digunakan untuk mendokumentasikan hewan percobaan.

23

Gambar 6 Tranducer tipe sector scanner dengan frekuensi 5 MHz di RSH Bogor

Gambar 7 Transducer tipe linear array dengan frekuensi 5 MHz di RSH Bogor

Gambar 5 Ultrasonografi tipe Aloka Pro Sound SSD-4000 yang terdapat di RSH Bogor

24 Metode Penelitian

Pengambilan Gambar

Hewan-hewan yang memiliki tanda-tanda klinis dan mengarah kepada diagnosa gangguan reproduksi dari hasil pemeriksaan fisik, maka akan diperiksa lebih lanjut menggunakan USG. Hal ini dilakukan untuk lebih mengetahui diagnosa penyakit yang sedang diderita oleh kucing tersebut. Pemeriksaan kasus kucing dengan USG dilakukan setiap minggu. Rambut kucing yang telah dilakukan pemeriksaan fisik, dicukur sekitar abdomen. Hewan dilakukan USG tanpa perlakuan anastesi, setelah itu pengambilan gambar dengan posisi hewan baik dorsal maupun lateral recumbency dan dilanjutkan pemberian gel USG di daerah yang akan diletakkan probe. Interpretasi bentukan dan perubahan organ yang dideteksi, dilakukan saat itu juga (real time). Sonogram kemudian disimpan dalam bentuk disket dan hewan didokumentasikan melalui kamera digital.

Interpretasi sonogram

Data kasus yang telah diperoleh dari penggunaan ultrasonografi tersebut langsung diamati perubahan ya ng terjadi berdasarkan perubahan bentuk, perubahan ukuran, perubahan letak, dan perubahan echogenisitas yang terdapat pada sonogram.

25 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus Endometritis

Kucing betina mix berumur 9 bulan, memiliki anamnesa 10 hari sebelum pemeriksaan telah melahirkan prematur 2 ekor fetus dan mati dalam usia kebuntingan dua minggu. Kucing telah dilakukan irigasi uterus dengan pemberian antibiotik, tetapi melalui inspeksi ditemukan bahwa abdomen masih tampak membesar. Melalui pemeriksaan fisik, suhu tubuh 38,2 º C, frekuensi nafas 32 x/menit, dan frekuensi jantung 100 x/menit. Saat hewan dipalpasi bagian abdomen profundal, terasa uterus yang membesar dan sensitif. Selain itu, mukosa vagina terlihat berwarna merah muda dan vulva memiliki permukaan yang kotor serta temperatur tubuh normal (gambar 8).

Gambar 8 Penampakan vulva yang kotor dari seekor kucing mix

Secara USG sepanjang garis linea alba posterior dengan arah probe transversal dan posisi hewan terlentang (dorsal recumbency), memperlihatkan adanya pembesaran diameter uterus kiri dan kanan sekitar 0,25 - 0,75 cm (gambar 9).

26

Gambar 9 Sonogram dari uterus yang mengalami endometritis kronis dengan probe arah transversal. Tanda panah hitam menunjukkan penebalan dinding terus, tanda panah putih tebal menunjukkan cairan dalam

lumen uterus, tanda kepala panah menunjukkan adanya ”accoustic shadowing”. Bar (garis putih) = 1 cm

Pembesaran diameter uterus ditunjukkan melalui area anechoic-hypoechoic pada bagian sentral, dimana warna hitam keabu-abuan menunjukkan adanya echogenisitas rendah-sedang berupa cairan pada intraluminal ditambah dengan kehadiran debris sel-sel peradangan. Pada bagian ventral dari struktur garis putih hyperechoic, terdapat garis echopoor pada dua sisi sonogram. Hal ini merupakan keadaan non-patologis yang disebut accoustic shadowing. Letak uterus dapat diketahui secara pasti melalui adanya area anechoic yakni vesica urinaria di bagian dorsal sonogram.

Melalui USG dengan probe sagital atau sejajar dengan sumbu tubuh, diperoleh gambar lumen uterus berupa area abu-abu panjang bersifat hypoechoic. Pada bagian ventral dan dorsal dari lumen menunjukkan struktur putih yang tebal atau hyperechoic, yang menandakan adanya penebalan dinding uterus. Panjang uterus yang terlihat pada sonogram sekitar 4-5 cm, dimana panjang tersebut tidak mencakup panjang uterus sebenarnya (gambar 10).

27 Gambar 10 Sonogram dari uterus yang mengalami endometritis kronis dengan

probe arah sagital. Tanda panah hitam biasa memperlihatkan

cairan dalam lumen uterus, tanda panah hitam tebal memperlihatkan penebalan dinding uterus. Bar (garis putih) = 1 cm

Ultrasonografi digunakan sebagai penunjang diagnosa kasus klinis. Melalui hasil sonogram diperoleh penegakan diagnosa yang mengarah pada endometritis kronis, dimana ditunjukkan adanya transudat (anechoic) dan penebalan dinding uterus (hyperechoic). Penebalan dinding uterus terjadi akibat adanya proses panca radang yang meliputi dolor, calor, rubor, tumor dan fungsiolesa. Penebalan (tumor) pada dinding uterus disebabkan oleh sel-sel radang yang menerima sinyal adanya infeksi dan bertumpuk pada organ ini. Pada sonogram terlihat adanya ”accoustic shadowing”. Menurut Widmer et al (2004) accoustic shadowing adalah area hitam, yang merupakan refleksi dari gelombang tinggi atau adanya atenuasi gelombang.

Endometritis adalah peradangan yang terjadi akibat infeksi pada endometrium, yang dapat berlanjut ke dalam myometrium dan perimetrium (Simmons & Bammel 2005). Menurut Nelson dan Couto (1992) endometritis dapat terjadi mengikuti kejadian setelah abortus, distokia, retensio sekundinarum, dan infeksi bakteri yang berasal dari vagina. Keadaan dehidrasi, septicemia, endotoksemia, shock dan kombinasinya dapat menjadi faktor predisposisi dari endometritis. Bakteri yang biasanya menyebabkan infeksi tersebut ialah Eschericia coli (E.

28 Coli), Streptococcus, Staphylococcus, dan Proteus spp. Pada endometritis akut, hewan mengalami demam, tidak nafsu makan, lethargi dan ditemukan adanya dischargevulva yang purulen (Kahn et al. 2005). Endometritis kronis dilaporkan sering terjadi pada anjing, sedangkan kejadian pada kucing sedikit.

Menurut Ressang (1963) endometritis umumnya terlihat pada sapi, anjing dan kucing. Endometritis dapat terjadi sesudah melahirkan, adanya infeksi mikroorganisme dan penggunaan obat-obat cairan irigasi uterus yang terlalu panas. Sehingga, dapat diperkirakan adanya endometritis kronis terjadi akibat proses melahirkan prematur yang diikuti dengan penggunaan cairan irigasi sebagai cairan pembersih rahim.

Tindakan medis yang diberikan ialah ovariohisterektomi atau pengangkatan ovarium, tuba fallopi dan uterus dari rongga abdomen. Pada lumen uterus yang telah dilakukan incisi, memperlihatkan adanya cairan transudat dan penebalan dinding uterus (gambar 11).

Gambar 11 Uterus yang telah diangkat dan diincisi menunjukkan adanya penebalan dan cairan transudat

Menurut Colville dan Bassert (2002) ovariohisterektomi adalah prosedur bedah yang mengangkat ovarium, tuba fallopii, dan uterus dari rongga abdominal hewan. Hal ini umum disebut dengan “sterilisasi” pada hewan betina. Langkah tersebut diputuskan dengan pertimbangan pemilik yang tidak lagi memperhatikan kapasitas reproduksi kucing. Diferensial diagnosa dari endometritis ialah

29 pyometra, dengan pengangkatan dan incisi uterus dapat meyakinkan bahwa hewan telah mengalami endometritis kronis.

Operasi ovariohisterektomi dilakukan dengan pembukaan rongga abdomen melalui laparotomi medianus posterior. Operasi yang dikerjakan menggunakan anastetikum umum yakni ketamin dan sedativa (preanesthetic agents) berupa xylazine. Menurut Katzung (2001) ketamine merupakan anastesi disosiatif, senyawa arylcyclohexilamine, yang ditandai dengan ketoto nia, amnesia, dan analgesi dengan hilangnya kesadaran. Xylazine merupakan zat preanastesi yang dikombinasikan dengan ketamin, karena xylazine memiliki efek sedasi atau memberikan efek tenang pada pasien tetapi masih dalam keadaan sadar (Mckelvey & Hollingshead 2003).

Bedah terbuka yang dilakukan, pertama kali dengan incisi kulit bagian medianus yang diikuti garis linea alba dan peritoneum. Ovarium kiri dan kanan yang ditemukan, diligasi untuk menghentikan suplai darah ke ovarium. Bagian yang diligasi kemudian diikat dengan benang chromic cat gut (absorbable) berukuran USP 3/0 menggunakan jarum ukuran 12 dan dipotong pada bagian mengarah ke tuba fallopi. Setelah itu, dilakukan penelusuran corpus uterus. Corpus uterus diligasi dan diikat dengan jenis dan ukuran benang yang sama. Kemudian dilakukan pemotongan uterus yang mengarah ke cornua uteri dan pengangkatan potongan tersebut ke luar tubuh.

Pemberian antibiotika topikal penicillin dengan konsentrasi 20.000 IU diaplikasikan pada rongga abdomen sebelum dijahit saat operasi. Penjahitan pada peritoneum dan otot dilakukan dengan tipe jahitan simple suture menggunakan benang chromic catgut (absorbable) berukuran USP 3/0, dilanjutkan penjahitan kulit menggunakan benang silk (non-absorbable) ukuran USP 2/0 dan tipe jahitan simple suture. Pada perawatan pasca operasi diberikan amoxicillin dengan dosis 25 mg/kg berat badan (BB) dua kali sehari selama 5 hari, kemudian jahitan dibuka pada hari yang ke tujuh.

Kasus Macerasi

Seekor kucing betina mix berumur 2 tahun dengan berat badan 2,3 kg, memiliki anamnesa pernah mengalami bunting besar 3 minggu sebelum

30 pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 38,8ºC, frekuensi nafas 40 x/menit dan frekuensi jantung 120 x/menit. Melalui inspeksi, abdomen terlihat kecil dan keluar discharge yang berwarna merah kekuningan dari vulva hewan tersebut. Saat pemeriksaan USG, tidak terlihat adanya gerakkan jantung fetus. Pemeriksaan USG untuk kasus tersebut menggunakan probe dengan arah sagital, searah sumbu tubuh, untuk melihat bentuk fetus yang utuh.

Pada sonogram terlihat adanya garis berstruktur putih hyperchoic yang tersusun dengan panjang sekitar 2-2,5 cm. Struktur putih tersebut merupakan tulang belakang (vertebrae) dari fetus, tulang fetus dikelilingi oleh area hitam bersifat anechoic yaitu cairan amnion. Struktur fetus yang ditemukan hanya berupa tulang belakang dan cairan yang menyebar (gambar 12 ).

Gambar 12 Sonogram dari kasus macerasi yang menunjukkan adanya tulang fetus yang ditunjukkan panah putih biasa, mengapung dalam cairan amnion (tanda panah putih tebal). Bar (garis putih) = 1 cm

Terdapat pula struktur putih dibagian ventral yang memilki echogenisitas tinggi (hyperechoic). Hal ini merupakan colon yang berisi masa, dimana membantu memberikan letak uterus secara pasti. Melalui pemeriksaan fisik, anamnesa dan gambaran sonogram berupa kehadiran cairan amnion serta ukuran

31 tulang punggung yang cukup besar maka diagnosa diarahkan pada macerasi tahap awal.

Menurut Barr (1990) proses macerasi fetus dapat dikenal melalui struktur fetus yang hilang dan echogenisitas yang tidak beraturan sera terlihat pula akumulasi debris dalam cairan yang terisi pada lumen uterus. Hal yang sma ditunjukkan pada sonogram, berupa struktur tulang belakang yang tidak beraturan dan echogenisitas yang bervariasi disekitarnya.

Arthur et al (1996) menyatakan bahwa macerasi diikuti oleh masuknya bakteri ke dalam uterus melalui cervix yang dilatasi, diikuti masa tulang fetus yang membusuk dalam uterus. Pada kasus tersebut memiliki tanda klinis berupa keluarnya discharge berwarna merah kekuningan dari vulva tersebut. Discharge tersebut berasal dari nanah yang berada pada lumen uterus. Nanah berasal dari campuran cairan amnion ditambah infeksi bakteri yang menyebabkan pembusukan fetus. Struktur fetus menjadi hancur dan menyebabkan patahan- patahan tulang yang tidak beraturan, sehingga dalam tampilan USG hanya terlihat berupa tulang vertebrae yang tersisa berupa struktur putih yang bersifat hyperechoic.

Tindakan medis yang diberikan pada kasus macerasi ialah ovariohisterektomi, tanpa memperhatikan kapasitas reproduksi kucing oleh pemilik. Terapi yang dilakukan berupa pengangkatan ovarium, tuba fallopi dan uterus akibat penyakit yang bersifat sepsis pada organ dalam lainnya. Tindakan ovariohisterektomi memiliki prosedur yang sama dengan kasus endometritis. Jika hanya dilakukan histerotomi atau histerektomi, infeksi dikhawatirkan dapat menyebar ke organ lainnya. Selain itu, diberikan antibiotika berspektrum luas selama pasca operasi untuk memberikan pemulihan yang optimal.

Kasus Mumifikasi

Seekor kucing betina persia berwarna abu-abu, berumur 3 tahun memiliki anamnesa telah mengalami kebuntingan. Hewan dilakukan pemeriksaan pertama kali yang memperlihatkan bentuk abdomen membesar dan kelenjar mamae membengkak. Melalui palpasi abdominal, fetus teraba dan terlihat bersih serta mengkilat. Setelah pemeriksaan melalui USG, ditemukan adanya fetus berjumlah

32 4 ekor dengan diameter kira-kira 2,5 cm. Pada keempat fetus, dua diantaranya hidup dengan memperlihatkan gerakan denyut jantung (heart beat) normal. Satu fetus terlihat memiliki gerakan jantung yang lemah, sedangkan satu fetus tidak ada gerakan jantung atau diduga telah mati.

Melalui pemeriksaan USG menggunakan probe dengan arah transversal atau melintang terhadap sumbu tubuh dan terlihat adanya bentukan fetus sejumlah 3 ekor (gambar 13).

Gambar 13 Sonogram kasus mumifi kasi1 yang memperlihatkan 3 fetus, satu fetus telah mengalami proses mumifikasi (tanda panah putih tebal) dan 2 fetus hidup yang berada disampingnya (tanda panah

biasa). Bar (garis putih) = 1 cm

Bentukan fetus pada sonogram terlihat berupa massa berwarna putih bersifat hyperchoic didalam lingkaran. Massa putih tersebut menunjuk pada tulang fetus. Disamping itu juga terdapat struktur hypoechoic yang berwarna abu-abu diantara struktur putih. Struktur hypoechoic yang berwarna abu-abu merupakan jaringan lunak atau organ dari fetus. Bentuk fetus berupa bulatan karena gelombang suara memotong dan mengenai fetus dalam potongan melintang. Di sekitar tulang fetus terdapat area hitam anechoic yang mengelilingi fetus, disebut cairan amnion ya kni

Dokumen terkait