• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan tentang Murabahah

5. Operasional Murabahah

Secara konsep bank syari’ah dapat menjalankan usaha yang dijalankan dengan prinsip murabahah. Murabahah dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu:10

a. Murabahah tanpa pesanan

Dalam murabahah tanpa pesanan, bank syari’ah menyediakan barang atau persediaan barang yang akan diperjualbelikan dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang membeli atau tidak. Sehingga proses pengadaan barang dilakukan sebelum transaksi jual beli murabahah dilakukan.

Sedangkan proses transaksi jual beli murabahah tanpa pesanan, dilakukan oleh bank syari’ah dengan nasabah melalui tahapan-tahapan berikut:

1) Nasabah melakukan proses negoisasi atau tawar menawar keuntungan dan menentukan syarat pembayaran dan barang

sudah berada ditangan bank syari’ah. Dalam negoisasi ini, bank syari’ah sebagai penjual harus memberitahukan dengan jujur perolehan barang yang diperjual belikan beserta keadaan barangnya.

2) Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap selanjutnya dilakukan akad untuk transaksi jual beli murabahah tersebut. 3) Tahap berikutnya bank syari’ah menyerahkan barang yang

diperjual belikan (yang diserahkan dari penjual ke pembeli adalah barang). Dalam penyerahan barang itu, hendaknya diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai tempat penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya akan mempengaruhi perolehan barang.

4) Setelah penyerahan barang, pembeli atau nasabah melakukan pembayaran harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang muka (jika ada).

b. Murabahah berdasarkan pesanan

Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank syari’ah melakukan pengadaan barang dan melakukan transaksi jual beli murabahah setelah ada nasabah yang memesan untuk membeli.

Tahapan murabahah berdasarkan pesanan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Nasabah melakukan pemesanan barang yang akan dibeli kepada bank syari’ah, dan dilakukan negoisasi terhadap harga barang dan keuntungan, syarat penyerahan barang, syarat pembayaran barang dan sebagainya. Dalam proses ini ada yang bersifat mengikat dan ada yang bersifat tidak mengikat. 2) Setelah diperoleh kesepakatan dengan nasabah, bank syari’ah

mencari barang yang dipesan (melakukan pengadaan barang) kepada pemasok. Bank syari’ah juga melakukan negoisasi terhadap harga barang dan keuntungan, syarat penyerahan barang, syarat pembayaran barang dan sebagainya. Pengadaan barang yang dipesan merupakan tanggung jawab bank sebagai penjual.

3) Setelah diperoleh kesepakatan antara bank syari’ah dan pemasok dilakukan proses jual beli barang dan penyerahan barang dari pemasok ke bank syari’ah. Bank syari’ah sebagai penjual harus memberitahukan harga perolehan barang beserta keadaan barangnya.

4) Setelah barang secara prinsip menjadi milik bank syari’ah, dilakukan proses akad jual beli murabahah.

5) Tahap berikutnya bank syari’ah menyerahkan barang yang diperjual belikan (yang diserahkan dari penjual ke pembeli

adalah barang). Dalam penyerahan barang itu, hendaknya diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai tempat penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya akan mempengaruhi perolehan barang.

6) Setelah penyerahan barang, pembeli atau nasabah melakukan pembayaran harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang muka (jika ada).

Murabahah berdasarkan pesanan ini juga dibedakan menjadi 2, yaitu; a. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, yaitu pembeli

harus membeli barang yang telah dipesannya.

b. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat, yaitu pembeli dapat membatalkan untuk membeli barang yang telah dipesanan.

6. Jaminan dalam Murabahah

Suatu jaminan erat hubungannya dengan masalah hutang dan disediakan untuk kepentingan pelunasan hutang. Barang yang

dijaminkan tidak lantas menjadi milik kreditur, melainkan digunakan untuk melunasi hutang (apabila hutang tidak dibayar) dengan cara dilelang. Perjanjian jaminan selalu didahului perjanjian lain yang menjadi pokoknya, dimana dalam pembiayaan ini perjanjian pokonya. Jaminan ataupun anggunan dalam pembiayaan perbankan syari’ah pun demikian, yang merupakan salah satu cara mengurangi adanya resiko kerugian dari pihak bank selaku kreditur apabila debitur suatu saat tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan pokok disini adalah perjanjian pembiayaan murabahah.

Hukum Islam sendiri membolehkan aadanya jaminan atas suatu perjanjian pokok, hal ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 283:

(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka

sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Baqarah: 283).

Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam pembiayaan murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar nasabah tidak main-main. Debitur dapat meminta nasabah suatu jaminan untuk dipegangnya.

Jaminan dalam akad murabahah di indonesia didasarkan pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah yang menerangkan tentang jaminan dalam murabahah:

1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.

2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

C. Tinjauan tentang Hukum Perbankan Syari’ah 1. Pengertian Hukum Perbankan Syari’ah

Definisi Hukum diungkapkan oleh beberapa pakar, ahli, maupun sarjana dimana masing-masing memiliki definisi sendiri tentang hukum. Definisi hukum menurut Immanuel Kant adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang

yang lain, menurut peraturan tentang kemerdekaan.11

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan usahanya.12 Perbankan berasal dari kata dasar

bank. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.13

Menurut Pasal 1 angka (2) UU PI, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Menurut Pasal 1 angka (13) UU PI yang dimaksud dengan prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah.

Sedangkan berdasarkan Uudang-undang republic Indonesia nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dalam pasal 1 adalah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta

11 C.S.T. Kansil, 1989,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hlm. 36. 12 Hermansyah, 2005,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Group, hlm. 18. 13 Ibid, hlm. 7.

cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Perbankan Syari’ah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking. Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berdasar pada prinsip-prinsip syari’ah. Bank syariah memiliki pengertian bank yang beroperasi berdasarkan prinsip kegiatan muamalat yang ada dalam Islam dengan berlandaskan pada ketentuan Al-Qur’an dan Hadist.

Maksud dari bank yang beroperasi berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist adalah bagaimana bank tersebut melakukan kegiatan-kegiatan/ operasionalnya berdasarkan perintah dan larangan Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadist tersebut. Sesuai dengan perintah dan larangan itu maka yang dijauhi adalah praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah dan bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Beliau.14

Hukum Perbankan Syari’ah adalah hukum atau aturan-aturan yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank yang mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah.

Dokumen terkait