4.2 Kreasi Proses
4.2.6 Optimasi Proses Transesterifikasi
Penetapan Jenis Kondisi Proses. Tahapan ini bertujuan untuk
menentukan kondisi proses transesterifikasi yang akan digunakan untuk proses optimasi. Kondisi proses yang dimaksud meliputi suhu, kecepatan pengadukan, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis. Percobaan dilakukan secara terpisah menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Parameter empat perlakuan tersebut adalah viskositas mengacu De Filippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan metil ester selama transesterifikasi berkorelasi positif dengan penurunan viskositas dan densitas.
Pengukuran viskositas dilakukan terhadap metil ester setelah dipisahkan dari gliserol. Dengan menggunakan corong pemisah metil ester dipisahkan dari gliserol. Metil ester yang diperoleh dicuci dengan air panas bersuhu 60-70 oC yang telah ditambahkan asam asetat sebanyak 0,03% dari volume minyak. Pencucian dilakukan sampai air cucian jernih dan mempunyai pH netral. Selanjutnya metil ester dikeringkan dengan menggunakan pemanasan suhu 105 oC selama 20 menit dilanjutkan dengan pengeringan vakum suhu 80 oC selama sampai tidak terbentuk gelembung uap air lagi (± 10 menit). Model matematika untuk rancangan acak kelompok (Mattjik dan Sumertajaya 2002) adalah sebagai berikut :
a. Penetapan nisbah molar metanol terhadap minyak Yij =
µ
+ Mi + ЄijYij = Viskositas pada perlakuan nisbah molar metanol transesterifikasi ke-i, dan ulangan ke j
µ
= Nilai rata-rata sebenarnyaMi = Pengaruh nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein ke-i
Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Perhitungan gram metanol pada setiap percobaan mengikuti rumus berikut: R x M1 x A
Gram metanol = --- M2
R = Nisbah molar metanol terhadap minyak yang dihitung sebagai triolein
M1 = BM metanol = 32
A = Bobot trigliserida dalam minyak (gram)
M2 = BM trigliserida minyak dinyatakan sebagai triolein = 885,46
b. Penetapan kecepatan pengadukan Yij =
µ
+ Ri + ЄijYij = Viskositas pada perlakuan kecepatan pengadukan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata sebenarnyaRi = Pengaruh kecepatan pengadukan ke-i
Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
c. Penetapan katalis Yij =
µ
+ Ki + ЄijYij = Viskositas pada perlakuan konsentrasi katalis ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata sebenarnyaKi = Pengaruh perlakuan konsentrasi katalis ke-i
Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Perhitungan NaOH pada setiap percobaan mengikuti rumus berikut: gram NaOH = % Katalis x Bobot minyak (gram)
d. Penetapan suhu transesterifikasi Yij =
µ
+ Ti + ЄijYij = Viskositas pada perlakuan suhu transesterifikasi ke-i, dan ulangan ke k
µ
= Nilai rata-rata sebenarnyaTi = Pengaruh perlakuan suhu tranesterfikasi ke-i
Єij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Masing-masing percobaan di atas diulang tiga kali dengan analisis keragaman satu arah dan untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda digunakan uji Duncan. Nisbah molar metanol yang digunakan ada 3 taraf yaitu 3, 6, dan 9. Kecepatan pengadukan yang dicobakan ada lima taraf yaitu 100 rpm, 200 rpm, 300 rpm, 400 rpm dan 500 rpm. Suhu transesterifikasi yang dicobakan ada tiga taraf yaitu 45, 60, 75 0C. Konsentrasi katalis terhadap minyak sebagai triolein yang dicobakan ada 4 taraf yaitu 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2%.
Optimasi Kondisi Proses. Optimasi proses transesterifikasi (optimasi respon proses transesterifikasi) dilakukan berdasarkan pengaturan kondisi proses dengan cara menentukan titik-titik optimum pada setiap variabel (perlakuan) proses dengan menggunakan metode permukaan respon (Surface Respon Methode) (Box et al. 1978, Montgomery 1991 dan Gaspers 1996). Optimasi dilakukan untuk mendapatkan rancangan yang paling menguntungkan. Kondisi proses yang paling optimum digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Respon hasil transesterifikasi yang dioptimasi meliputi : kadar asam lemak bebas, rendemen biodiesel dan viskositas. Pengolahan data optimasi respon menggunakan program Minitab 14. Faktor, kode dan taraf kode yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21.
Taraf percobaan yang diambil didasarkan pada hasil penelitian kajian pengaruh dan dikaitkan dengan hasil studi pustaka. Rentang nisbah molar metanol terhadap minyak mempertimbangkan hasil penelitian Freedman et al. (1984); Darnoko dan Cheryan (2000); Lele (2005); Van Gerpen et al. (2004) yaitu sekitar 6:1. Rentang katalis mempertimbangkan hasil penelitian Darnoko dan Cheryan (2000); Lele (2005); Canacki dan Van Gerpen (2003); Van Gerpen et al. (2004) yaitu sekitar yaitu 1% dari jumlah minyak. Suhu esterifikasi, waktu esterifikasi dan kecepatan pengadukan ditetapkan sama untuk seluruh perlakuan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan.
Tabel 20 Faktor dan taraf kode pada percobaan proses transesterifikasi
No. Faktor Kode Taraf kode
α (-1.414) Rendah (-1) Tengah (0) Tinggi (+1) α (+1.414) 1 Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein. X1 1,8 3 6 9 10,4 2 Konsentrasi katalis terhadap minyak sebagai triolein X2. 0,3 0,5 1 1,5 1,7
Optimasi respon hasil transesterifikasi terdiri dari 2 variabel bebas yang dicobakan yaitu: nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai X1 dan konsentrasi katalis terhadap minyak X2 . Model permukaan respon orde dua dengan k = 2 adalah Y = βo + β1X1 + β2X2 + β11X1 2+ β22X22 + β12X1 X2 +
ε.
Tabel 21 Nilai taraf kode dan nilai taraf aktual optimasi proses transesterifikasi
Matrik rancangan
No Nilai taraf kode Nilai taraf aktual X1 X2 Nisbah molar metanol terhadap minyak Kosentrasi katalis terhadap minyak Faktorial 23 1 -1 1 3,0 1,5 2 -1 -1 3,0 0,5 3 1 1 9,0 1,5 4 1 -1 9,0 0,5 Tambahan faktorial α=2k/4 5 1,414 0 10,4 1,0 6 -1,414 0 1,8 1,0 7 0 -1,414 6,0 0,3 8 0 1,414 6,0 1,7 Pengulang- an titik pusat 9 0 0 6,0 1,0 10 0 0 6,0 1,0 11 0 0 6,0 1,0 12 0 0 6,0 1,0 13 0 0 6,0 1,0
3.4.2.6 Analisis Pemodelan Kinetika Reaksi Transesterifikasi
Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan metode integral (Laidler 1979). Metode tersebut juga digunakan untuk penentuan kinetika reaksi transesterifikasi oleh Freedman et al. 1986; Noureddini & Zhu (1997); Darnoko dan Cheryan (2001). Data yang diperoleh dari pemodelan kinetika yang akan digunakan dalam proses perancangan adalah nilai tetapan laju reaksi, model laju reaksi berdasarkan suhu, konversi, waktu tinggal dan energi aktivasi. Sebanyak 300 ml minyak nyamplung hasil proses esterifikasi dimasukkan dalam reaktor 500 ml kemudian ditambahkan larutan metanol dan NaOH. Campuran tersebut direaksikan pada suhu tertentu dengan pengadukan kecepatan tinggi. Setiap lima
menit diambil sampelnya untuk pemeriksaan kadar metil ester dan viskositas. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan penentuan tetapan laju reaksi seperti yang dilakukan pada proses esterifikasi. Penentuan energi aktivasi dilakukan dengan mengukur tetapan laju reaksi pada beberapa suhu reaksi, kemudian dibuat grafik hubungan antara k dengan 1/T dan energi aktivasi ditentukan dari slope grafik tersebut. Cara penentuan energi aktivasi reaksi transesterifikasi sama dengan yang dilakukan pada esterifikasi. Berdasarkan kinetika reaksi, dilakukan perancangan kondisi operasi reaktor yaitu menentukan waktu operasi (waktu tinggal) optimum yang berkaitan dengan volume reaktor.
Rate of input – rate of output – Rate of Reaction = Rate of accumulation
0 - 0 - V. r T = d [ME] / dt d [ME]
V . (-r T) = --- dt
Volume (V) konstan, sehingga :
d[ME] −−−−− = - rT, karena d[ME]/dt = dx/dt dt d x --- = dt - rT
Waktu untuk mencapai [ME] pada kondisi isothermal adalah : x d x t= --- 0 - rT - rT =k ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) -1 1 1 t = 1/k ln ln 3 [TG]o -1 [M]o ( [TG]o - x ) ( [M]o - 3x )
3.4.2.7 Analisis Produk
Pengujian Sifat Fisiko-Kimia Biodiesel. Biodiesel dilakukan pengujian komposisi metil ester dengan Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS) (prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.12) dan dilakukan pengujian sifat fisiko-kimia sesuai standar SNI 04-7182:2006 meliputi analisis: 1. Massa jenis pada suhu 40 oC dalam satuan kg/m3 (ASTM D 1298), ringkasan
prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.13.
2. Viskosistas kinematik pada 40 oC dalam satuan mm2/s atau cSt (ASTM D 445), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.14.
3. Bilangan setana minimum 51, (ASTM D 613), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.15.
4. Titik nyala (mangkok tertutup) dalam satuan OC (ASTM D93), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.16.
5. Titik kabut dalam satuan OC (ASTM D 2500), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.17.
6. Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 oC) (ASTM D 130), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.18.
7. Residu karbon dalam contoh asli dalam satuan % b/b (ASTM D 4530), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.19.
8. Air dan Sedimen dalam satuan % v/v (ASTM D 2709 atau (ASTM D-1796), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.20.
9. Suhu distilasi 90% dalam satuan OC (ASTM D 1160), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.21.
10. Abu tersulfatkan dalam satuan % b/b (ASTM D 874), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.22.
11. Belerang dalam satuan ppm-b atau mg/kg (ASTM D 5453) atau (ASTM D 1296), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.23.
12. Fosfor dalam satuan ppm atau mg/kg (AOCS Ca 12-55), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.24.
13. Bilangan asam dalam satuan mgKOH/g minyak (SNI 01-3555-1998), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.5.
14. Gliserol total dan gliserol bebas dalam satuan % b/b (AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584), ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.25 15. Kadar ester alkil dalam satuan % b/b penentuan sesuai dengan SNI 04-7182-
2006, ringkasan prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.26.
16. Bilangan Iod dalam satuan % b/b atau gram I2 /100 gram (SNI 01-3555-1998).
Pengujian Kinerja Biodiesel. Pengujian kinerja biodiesel dilakukan dengan mencobakan biodiesel tersebut pada motor diesel statis untuk menentukan konsumsi biodiesel. Pengujian kinerja biodiesel dilakukan terhadap campuran biodiesel dan solar: 0 %, 10 %, 20%, 30%, 40%, 50% dan 60 %. Pengujian kinerja biodiesel menggunakan mesin diesel putaran tinggi dengan karakteristik sebagai berikut:
Jenis : Mesin diesel 4 langkah
Jumlah selinder : 1
Diameter x langkah (displacement) : 443 cm 3 (443 CC)
Putaran : 700 rpm
Perbandingan kompresi : 20 :1
Tekanan injeksi : 230 kg/ cm 2
Daya nominal : 7,5 pK
Pengujian Pengaruh Bahan Bakar Terhadap Mesin. Pengujian pengaruh bahan bakar terhadap mesin dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung terhadap mesin diesel khususnya pada bagian kepala selinder dan piston. Pengujian performansi mengacu pada Reksowardojo et al. (2005) yang dilakukan dalam waktu 17 jam. Campuran biodiesel yang digunakan adalah solar 0 %, 10 %, 30% dan 50 % masing-masing sebanyak 4 liter. Mesin diesel yang digunakan mempunyai spesifikasi yang sama dengan mesin diesel yang digunakan dalam pengujian kinerja.
3.4.2.8 Analisis Keuntungan kasar
Pada tahapan ini dilakukan analisis keuntungan secara kasar dengan cara menghitung laba yang akan didapat apabila minyak nyamplung diproses menjadi biodiesel.
3.4.3 Pengembangan Proses 3.4.3.1 Integrasi Proses
Integrasi proses yang dilakukan mengacu pada Rudd dan Watson (1973); Seider et al. (1999) dengan cara menggabungkan dan mengintegrasikan semua tahapan proses yang telah dihasilkan pada tahap sintesis proses sebelumnya sehingga dihasilkan flowsheet yang utuh. Seider et al. (1999) menjelaskan bahwa flowsheet berisikan semua tipe proses yang dibutuhkan, aliran bahan, kondisi dan neraca massa dan energi semua tahap proses. Dengan demikian hasil dari integrasi proses ini adalah diagram alir kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperlukan untuk melakukan integrasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas: jenis tahapan proses, kondisi proses (suhu dan tekanan), waktu proses, komposisi masukan (nisbah molar metanol terhadap kadar ALB dan konsentrasi katalis terhadap berat ALB untuk proses esterifikasi dan nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak untuk proses transesterifikasi), komposisi keluaran, laju reaksi atau konversi pada setiap tahapan proses (neraca massa) dan neraca energi.
3.4.3.2 Simulasi dan Optimasi Biaya Produksi
Simulasi Proses. Setelah tahap sintesis proses dilakukan pengembangan proses untuk menghasilkan flowsheet yang lebih rinci Seider (1999) dalam bentuk . Process Engineering Flow Diagram (PEFD) (Peters dan Timmerhaus, 1980). Flowsheet disertai neraca massa dan energi dan daftar peralatan. Neraca massa ditunjukkan pada setiap aliran, dilengkapi dengan suhu, tekanan dan komposisi aliran dan properties lain yang cocok. Simulasi proses dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan program Hysys. Data yang diperlukan untuk membuat simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas: jenis tahapan proses, kondisi proses (suhu dan tekanan), waktu proses, komposisi masukan (nisbah molar metanol terhadap kadar ALB dan konsentrasi katalis terhadap berat ALB untuk proses esterifikasi dan nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak untuk proses transesterifikasi), komposisi keluaran, laju reaksi dan konversi pada setiap tahapan proses (neraca massa).
Optimasi Biaya Biaya Produksi. Optimasi dilakukan untuk menentukan kapasitas produksi optimum yang dapat menghasilkan biaya minimum (Petters dan Timmerhaus 1980). Biaya produksi dihitung berdasarkan konversi biaya bahan baku, biaya bahan kimia untuk proses, biaya air dan listrik yang digunakan, biaya tenaga kerja dan biaya tetap proses tersebut.
Tahapan optimasi biaya produksi dilakukan menurut Sinnot (1999) dengan meliputi menentukan tujuan, menentukan persamaan fungsi dan menentukan variabel yang dapat menghasilkan nilai optimum. Optimasi yang dimaksudkan dalam peneltian ini adalah melakukan optimasi kapasitas produksi (Po) sehingga dihasilkan biaya satuan produksi total per waktu (CT.) minimum (Peters dan Timmerhaus 1981). Qcn cT
= (
h + mP
n )+ ───P
QcnC
T= c
TP
= (h+ mPn + ───)P
Ph + mPn = biaya operasi per satuan produk ( Variable Cost) dengan h = biaya operasi variabel tetap per satuan produk, m
P
n= biaya operasi superproduksi per satuan produk,
Qc = biaya organisasi per satuan waktu (Fixed Cost)
CT = biaya produksi total / waktu (Rp /waktu) P = laju produksi (satuan produk / waktu). m dan n = tetapan.
Karena biaya produksi total per satuan produkper satuan waktu
(
Ct) adalah : CT = cT P makaQcn CT = (h+ mPn +───) P P
Biaya produksi total satuan perwaktu minimum diperoleh apabila turunannya sama dengan 0.
d C
T n-1 Qc ────= 0 =
nmPo
─ ─── dP Po
2Qc 1/ (n+1)
Po =
───nm
P
o = Produksi optimum yang memberikan biaya minimum per satuan produk.3.4.3.3Analsis Kelayakan Teknis dan Finansial.
Aspek penting yang diperhitungkan dalam menentukan kalayakan rancangan proses adalah penilaian aspek teknis dan aspek ekonomi khususnya finansial (Zhang et al. 2003). Analsis kelayakan teknis rancanngan produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dihasilkan meliputi sifat fisiko-kimia biodiesel sesuai standar SNI 04-7182:2006, kinerja biodiesel dan pengaruh biodiesel terhadap mesin. Analisis Kelayakan finansial meliputi Break Even Point (BEP), Pay Back Period (PBP), Net Benefit / Cost (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan Return on Investment (ROI).
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan proses pada penelitian ini mengacu pada Seider et al. (1999) yang terdiri atas tiga tahap yaitu 1) analisis peluang dan permasalahan, 2) kreasi proses dan 3) pengembangan proses.
4.1. Analisis Peluang dan Permasalahan 4.1.1 Analisis peluang
Peluang usaha produksi biodiesel cukup baik karena adanya Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati oleh Pemerintah Rebublik Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) dan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2009, 2010, 2015 dan 2025 masing-masing adalah 0,568, 0,720, 1,500 dan 4,700 milyar liter. Peluang usaha produksi biodiesel juga dapat dilihat dari harga biodiesel. Harga biodiesel berdasarkan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian mencapai 1035 US $/mt (http://www.depperin.go.id, 25 April 2008). Salah satu bahan baku biodiesel potensial adalah biji nyamplung dengan kandungan minyak mencapai 75% (Dweek dan Meadows 2002) dan taksiran produksi minyak per hektar per tahun mencapai 2,45 ton melebihi tanaman jarak pagar.
4.1.2 Analisis Permasalahan
Tanaman nyamplung hanya berproduksi setahun dua kali (Joker 2004; Friday dan Okano 2005; Sutarno 2008, komunikasi pribadi). Karena kondisi demikian, maka untuk memenuhi kebutuhan industri harus dilakukan penyimpanan akibatnya terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) yang cukup tinggi. Kondisi ALB yang tinggi disebabkan pula oleh karakteristik biji nyamplung itu sendiri. Untuk dapat diambil minyaknya dengan pengepresan, inti
nyamplung harus dikeringkan terlebih dahulu (Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005). Pada saat pengeringan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang cukup besar. Minyak biji nyamplung secara sederhana diproduksi oleh petani dari Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang mempunyai kenampakan hijau gelap kotor serta kadar asam lemak bebas (ALB) sangat tinggi mencapai 30%. Minyak nabati dengan kadar ALB tinggi tidak dapat diproses menjadi biodiesel dengan transesterifikasi karena akan terbentuk emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester (Canakci dan Van Gerpen, 2001; Lele 2005, Tyson 2005). Persyaratanminyak nabati pada transesterifikasi dengan katalis basa adalah ≤ 5% (Canakci dan Van Gerpen, 1999). Dengan kondisi demikian maka rumusan masalahanya adalah bagaimana rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang mempunyai kenampakan kotor dan kadar ALB sangat tinggi ?
4.2 Kreasi Proses 4.2.1 Pengepresan dan Degumming
Analisis Biji Nyamplung. Hasil analisis komposisi biji nyamplung tanpa kulit (inti atau kernel) dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Komposisi inti nyamplung
No. Komponen Hasil analisis (%)
1. Minyak 49,43 2. Protein 7,49 3. Karbohidrat 5,38 4. Air 23,04 5. Serat kasar 13,26 6. Abu 1,4
Inti nyamplung apabila dikonversi pada kondisi kering dengan kadar air 3,3 % maka kandungan minyak mencapai 61,20%. Kandungan minyak tersebut jauh lebih kecil dari informasi pustaka yang menyebutkan bawa biji nyamplung yang kering dengan kadar air 3,3% mempunyai kandungan minyak 71,4% Heyne (1987),
namun sesuai dengan Soerawidjaja et al. (2005) yang menyatakan bahwa kadar minyak inti (kernel) biji nyamplung antara 40-73%. Perbedaan kandungan minyak pada inti kemungkinan disebabkan oleh perbedaan cara budidaya, perbedaan varietas, iklim, curah hujan dan sebab-sebab lainnya. Berdasarkan pengujian laboratorium, pemilihan biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel adalah tepat mengingat kadar minyak inti nyamplung mencapai 49,43% pada kadar air 23,4% atau 61,20% pada kadar air 3,3 %.
Pengepresan. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan alat pres hidrolik berkekuatan 20 ton. Rendemen minyak nyamplung dari proses pengepresan tersebut adalah 17,5 % dari bobot biji atau 48,6% dari bobot inti kering. Rendemen tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu mencapai 61,20% (analisis dengan pelarut hexan metode soxhlet). Rendahnya rendemen minyak nyamplung kemungkinan disebabkan oleh sifat fisis dari minyak dalam biji nyamplung itu sendiri. Minyak dalam biji nyamplung tergolong kental dan mempunyai sifat lengket (melekat cukup kuat pada inti) sehingga saat dilakukan pengepresan masih banyak minyak yang tertingggal pada bungkil hal itu terbukti pada analisis kadar minyak dalam bungkil menunjukkan bahwa kadar minyak masih relatif tinggi mencapai 19,6%. Rendahnya hasil ekstrak minyak dari inti nyamplung secara mekanis juga dilaporkan oleh Dweek dan Meadows (2002) yang menyatakan bahwa dari 100 kg biji diperoleh 18 kg minyak, dengan kata lain rendemen minyak tersebut adalah 18% dari biji atau sekitar 40 % dari inti. Untuk meningkatkan rendemen minyak nyamplung perlu dilakukan penelitian lanjutan diantaranya adalah dengan cara kombinasi pengepresan dengan ekstraksi dengan menggunakan pelarut.
Degumming. Perlakuan pendahuluan yang diberikan terhadap minyak nyamplung adalah proses degumming dengan menggunakan asam fosfat. Proses degumming
pada penelitian ini dilakukan pada suhu 80 oC selama 15 menit dilanjutkan dengan pencucian dengan air hangat pada suhu 60 oC sampai jernih. Diperlukan air sebanyak 1000 gram dan asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 0,3%. Pengeringan minyak setelah proses degumming dilakukan dengan pengering vakum pada suhu 80 oC untuk menguapkan air sebanyak 20 gram. Warna minyak nyamplung sebelum dan setelah proses degumming sangat berbeda. Perbedaan warna minyak nyamplung hasil proses degumming terhadap minyak awal disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Foto minyak biji nyamplung.
Minyak nyamplung yang tadinya berwarna hijau gelap berubah menjadi kuning kemerahan hal itu diduga disebabkan karena hilangnya zat warna alami (pigmen) yang dominan pada minyak nyamplung tersebut. Disamping klorofil, minyak nyamplung diduga mengandung pigmen karotenoid sehingga pada waktu pigmen klorofil mengalami kerusakan saat proses degumming pigmen karotenoid menjadi dominan sehingga minyak nyamplung hasil degumming berwarna kuning kemerahan. Menurut Hui (1996) klorofil merupakan pigmen warna hijau yang terdapat pada kloroplas bersama-sama dengan karoten dan xantofil merupakan senyawa yang tidak stabil. Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa proses degumming efektif untuk menghilangkan kotoran yang ada pada minyak nyamplung sehingga ditetapkan pada perancangan proses.
4.2.2 Karakterisasi Minyak Nyamplung
Pengujian Sifat Fisiko Kimia Minyak Biji Nyamplung. Minyak
nyamplung yang digunakan dalam percobaan diperoleh dari pengrajin minyak nyamplung dari Kecamatan Ambal Kebumen Jawa Tengah. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung tersebut disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Sifat fisiko-kimia minyak biji nyamplung dari Kebumen Karakteristik fisiko-kimia Hasil nalisis Pustaka
Kadar air 0,25 % -
Densitas pada suhu 20 0C 0,944 g/ml 0,920-0,940 g/ml (Debaut
et al. 2002)
Viskositas suhu 40 0C 60,96 cSt Kental (Debaut et al. 2002)
Bilangan asam 59,94 mg KOH/g 14,65 mg KOH/g (Kilham 2004)
Kadar asam lemak bebas 29,53 % 7,4% (Debaut et al. 2002
Bilangan penyabunan 198,1 mg KOH/g -
Bilangan Iod 86,42 mg/g 100-115 mg/g (Debaut et al. 2002
Indek refraksi 1,477 1,4750-1,4820 Debaut et al.
2002
Penampakan Hijau gelap dan kental
dengan bau menyengat
Hijau dan kental bau seperti olive oil(Debaut et al. 2002)
Minyak biji nyamplung yang dihasilkan dengan pengepresan menggunakan alat kempa hidrolik di Puslitbang Kehutanan Bogor mempunyai karakteristik fisiko- kimia yang hampir sama dengan minyak nyamplung dari Kebumen. Ada perbedaan karakteristik minyak nyamplung hasil percobaan dengan kajian pustaka khususnya mengenai kadar ALB, hal ini disebabkan karena perbedaan perlakuan penanganan pasca panen. Minyak nyamplung hasil pengepresan mempunyai kategori bermutu rendah dan tidak bisa diproses menjadi biodiesel dengan proses satu tahap (transesterifikasi).
Pengujian Fisiko-Kimia Minyak Biji Nyamplung setelah Degumming.
Walaupun penampakan minyak nyamplung sebelum dan setelah degumming sangat berbeda sekali akan tetapi karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan sebelum degumming. Karaktekteristik minyak nyamplung hasil degumming dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Karakteristik minyak nyamplung hasil degumming Karakteristik Hasil Analisis
Air 0,58 %
Densitas pada suhu 20 0C 0,940 gr/ml Bilangan asam 54,1792mg KOH/g Kadar asam lemak bebas 27,21%
Indek refraksi 1,478
Viskositas suhu 40 0C 57,42 cSt
Proses degumming hanya menghilangkan kotoran yang berupa koloid seperti gum, fosofolipid dan lipoprotein pada minyak sehingga tidak berdampak banyak pada bilangan asam, viskositas dan karakteristik yang lain. Adanya sedikit penurunan viskositas kemungkinan disebabkan oleh hilangnya gum dan kotoran lain karena proses degumming. Sejumlah kecil asam lemak bebas rantai pendek kemungkinan ikut tercuci sehingga terjadi penurunan bilangan asam dalam jumlah yang kecil. Peningkatan kecil terhadap kadar air diduga disebabkan karena pengaruh adanya proses pencucian.
Pengujian Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Nyamplung. Minyak
nyamplung mengandung asam lemak yang terdiri asam lemak jenuh (tidak mempunyai ikatan rangkap) dan asam lemak tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Komposisi asam lemak penyusun minyak nyamplung dibandingkan asam lemak bahan baku biodiesel lain dapat dilihat pada Tabel 25 sedangkan kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 12. Minyak nyamplung tersusun oleh empat jenis asam lemak utama yaitu asam palmitat (14,26%), asam stearat (19,96%), asam oleat (37,57%) dan asam linoleat (26,33%). Total keseluruhan dari empat jenis asam lemak utama tersebut mencapai 98,12%.
Jumlah empat jenis asam lemak utama yaitu asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat pada minyak jarak pagar 93,1%, minyak kelapa sawit 97,7% dan minyak kedele 90,4%, dengan demikian minyak nyamplung mempunyai kemiripan dengan minyak-minyak tersebut.
Tabel 25 Komposisi asam lemak minyak nyamplung dibandingkan minyak lain Komponen Minyak Nyamplung (%)a Minyak Jarak Pagar (%)b CPO (%)c Minyak Kedele (%)d Asam Palmitat (C16:0) 14,26 11,9 43,79 10,3 Asam stearat (C18:0) 19,96 5,2 4,42 3,9 Asam Oleat (C 18:1) 37,57 29,9 39,9 22,1 Asam Linoleat (C 18:2) 26,33 46,1 9,59 54,1 Asam Linolenat (C 18:3) 0,27 4,7 0,17 8,3 Asam Arachidat (C20:0) 0,94 0,15 0,38 0,3 Asam Erukat (C20:1) 0,32 - - 0,4 Asam Behenat (C22:0) 0,53
a: hasil analisis b:Haas & Mittelbach 2000, c: Darnoko et al. (2001), d: Hui (1996)