• Tidak ada hasil yang ditemukan

E + S ES E + P

Setiap enzim memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik seperti yang ditunjukkan pada sifat spesifisitas interaksi enzim terhadap substrat yang

dinyatakan dengan nilai tetapan Michaelis Menten (KM). Nilai KM didefinisikan sebagai konsentrasi substrat tertentu pada saat enzim mencapai kecepatan setengah kecepatan maksimum. Setiap enzim memiliki nilai Vmaks dan KM yang khas dengan substrat spesifik pada suhu dan pH tertentu (Kamelia et al., 2005). Nilai KM yang kecil menunjukkan bahwa kompleks enzim substrat memiliki afinitas tinggi terhadap substrat, sedangkan jika nilai KM suatu enzim besar maka enzim tersebut memiliki afinitas rendah terhadap substrat (Page, 1997).

Nilai KM suatu enzim dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Lineweaver-Burk yang diperoleh dari persamaan Michaelis-Menten yang kemudian dihasilkan suatu diagram Lineweaver-Burk yang ditunjukkan dalam Gambar 9.

 

[S] K S V M maks 0  V [S] [S] K 1 M 0 Vmaks V  

 

maks maks M V S V K V 1 1 1 0   Persamaan Michaelis-Menten Persamaan Lineweaver-Burk

17

Gambar 9. Diagram Lineweaver-Burk ( Suhartono, 1999).

F. Stabilitas Enzim

Stabilitas enzim merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh enzim sebagai biokatalis. Enzim dikatakan stabil apabila enzim dapat mempertahankan

aktivitasnya selama proses penyimpanan dan penggunaan, selain itu enzim dapat mempertahankan kestabilannya terhadap berbagai senyawa yang bersifat merusak enzim seperti pelarut tertentu (asam atau basa) dan oleh pengaruh suhu serta pH yang ekstrim (Wiseman, 1985).

Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan enzim yang

mempunyai stabilitas tinggi, yaitu menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami dan mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak atau kurang stabil (Junita, 2002). Menurut Illanes (1999), untuk

meningkatkan stabilitas enzim dapat dilakukan dengan penggunaan zat aditif, modifikasi kimia, amobilisasi dan rekayasa protein.

maks V 1 0 1 V M K 1 

 

S 1 maks M V K Slope

18

1. Stabilitas termal enzim

Pada suhu yang terlalu rendah kemantapan enzim tinggi, tetapi aktivitasnya rendah. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitas enzim tinggi, tetapi kemantapannya rendah. Daerah suhu saat kemantapan dan aktivitas enzim cukup besar disebut suhu optimum untuk enzim tersebut

(Wirahadikusumah, 2001).

Dalam industri, pada proses reaksinya biasanya menggunakan suhu yang tinggi. Penggunaan suhu yang tinggi bertujuan untuk mengurangi tingkat kontaminasi dan masalah-masalah viskositas serta meningkatkan laju reaksi. Namun, suhu yang tinggi ini merupakan masalah utama dalam stabilitas enzim, karena enzim umumnya tidak stabil pada suhu tinggi. Penggunaan enzim dalam industri umumnya dilakukan pada suhu relatif rendah, misalnya pada suhu 50-60°C (untuk glukoamilase dan glukosa isomerase) atau lebih rendah. Penggunaan enzim pada suhu yang lebih tinggi hingga 85-100°C hanya dijumpai pada proses hidrolisis pati dengan menggunakan α-amilase bakterial. Oleh sebab itu, diperlukan enzim dengan stabilitas termal pada rentang suhu yang tinggi.

Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung dalam dua tahap, yaitu : a. Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier

dan atau kuarterner molekul enzim.

b. Perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam amino- asam amino tertentu oleh panas (Ahern and Klibanov, 1987).

19

Air memegang peranan penting pada kedua tahap di atas. Oleh karena itu, dengan menggunakan air seperti pada kondisi mikroakueus, reaksi inaktivasi oleh panas dapat diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat.

Stabilitas termal enzim akan jauh lebih tinggi dalam kondisi kering

dibandingkan dalam kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim menjadi sangat fleksibel, sehingga bila air dihilangkan molekul enzim akan menjadi lebih kaku (Virdianingsih, 2002).

2. Stabilitas pH enzim

Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi (Suhartono, 1989). Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, pH, pelarut, kofaktor dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005). Dari faktor-faktor tersebut, pH memegang peranan penting. Diperkirakan perubahan keaktifan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum enzim dengan stabilitas yang tinggi (Winarno, 2002).

Pada reaksi enzimatik, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara cepat dan irreversibel pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi enzimatik. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997).

20

G. Isolasi dan Pemurnian Enzim

Enzim dapat diisolasi secara ekstraseluler dan intraseluler. Enzim ekstraseluler merupakan enzim yang bekerja di luar sel sedangkan enzim intraseluler

merupakan enzim yang bekerja di dalam sel. Ekstrasi enzim ekstraseluler lebih mudah dibandingkan ekstrasi enzim intraseluler karena tidak memerlukan pemecahan sel dan enzim yang dikeluarkan dari sel mudah dipisahkan dari pengotor lain serta tidak banyak bercampur dengan bahan-bahan sel lain (Pelczar and Chan, 2005).

1. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan tahap awal pemurnian enzim. Metode ini digunakan untuk memisahkan enzim ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi akan menghasilkan supernatan yang jernih dan endapan yang terikat kuat pada dasar tabung, yang kemudian dipisahkan secara normal. Sel-sel mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit (Scopes,1982; Walsh and Headon, 1994).

Prinsip sentrifugasi berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap partikel yang berputar pada laju sudut yang konstan akan memperoleh gaya keluar (F). Besar gaya ini bergantung pada laju sudut ω (radian/detik) dan radius pertukarannya (sentimeter) (Cooper, 1997 dalam Sariningsih, 2000).

2. Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]

Fraksinasi merupakan proses pengendapan protein atau enzim dengan penambahan senyawa elektrolit seperti garam ammonium sulfat, natrium

21

klorida atau natrium sulfat. Menurut Suhartono (1999), penambahan senyawa elektrolit ke dalam larutan yang mengandung protein dapat menyebabkan terjadinya proses pengendapan protein. Proses pengendapan protein tersebut dipengaruhi oleh kekuatan ion dalam larutan. Dengan

meningkatnya kekuatan ion, kelarutan enzim akan semakin besar atau disebut dengan peristiwa salting in. Setelah mencapai suatu titik tertentu, dimana kandungan garam semakin tinggi, maka kelarutan protein semakin menurun dan terjadi proses pengendapan protein. Peristiwa pengendapan protein ini disebut salting out (Wirahadikusumah, 2001). Pada kekuatan ion rendah, protein akan terionisasi sehingga interaksi antar protein akan menurun dan kelarutan akan meningkat. Peningkatan kekuatan ion ini meningkatkan kadar air yang terikat pada ion dan jika interaksi antar ion kuat, maka kelarutannya menurun akibatnya interaksi antar protein lebih kuat dan kelarutannya menurun (Agustien and Munir, 1997).

Senyawa elektrolit yang sering digunakan untuk mengendapkan protein ialah ammonium sulfat. Kelebihan ammonium sulfat dibandingkan dengan

senyawa-senyawa elektrolit lain ialah memiliki kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi aktivitas enzim, mempunyai daya pengendap yang efektif, efek penstabil terhadap kebanyakan enzim, dapat digunakan pada berbagai pH dan harganya murah (Scopes, 1987).

3. Dialisis

Dialisis adalah suatu metode yang digunakan untuk memisahkan garam dari larutan protein enzim. Proses dialisis secara umum dapat dilakukan dengan

22

memasukkan larutan enzim dalam suatu kantong dialisis yang terbuat dari membran semipermiabel seperti selofan. Jika kantong yang berisi larutan enzim dimasukkan ke dalam bufer maka molekul kecil yang ada di dalam larutan protein atau enzim seperti garam anorganik akan keluar melewati pori-pori membran. Sedangkan molekul enzim yang berukuran besar akan tertahan dalam kantong dialisis. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion yang ada di dalam dan di luar kantong dialisis tidak seimbang. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan bufer dengan konsentrasi rendah di luar kantong dialisis (Lehninger, 2005). Setelah tercapai keseimbangan, larutan di luar kantong dialisis dapat dikurangi. Proses ini dapat dilakukan secara kontinu sampai ion-ion di dalam kantung dialisis dapat diabaikan (Mc Phie, 1971 dalam Boyer, 2000).

Proses dialisis berlangsung karena adanya perbedaan konsentrasi zat terlarut di dalam dan di luar membran. Difusi zat terlarut bergantung pada suhu dan viskositas larutan. Meskipun suhu tunggi dapat meningkatkan laju difusi, tetapi sebagian besar protein dan enzim stabil pada suhu 4-8oC sehingga dialisis harus dilakukan di dalam ruang dingin (Pohl, 1990).

H. Pengujian aktivitas selulase dengan metode Mandels

Pengujian aktivitas selulase dilakukan dengan metode Mandels (Mandels et al., 1976), yaitu berdasarkan pembentukkan produk glukosa dimana CMC (Carboxy Methyl Cellulose) sebagai substratnya. Semakin tinggi absorbansi sampel semakin baik aktivitasnya.

23

I. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry

Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan kadar protein adalah metode Lowry. Metode ini bekerja pada lingkungan alkali dan ion tembaga (II) bereaksi membentuk kompleks dengan protein. Selanjutnya reagen folin-

ciocelteau yang ditambahkan akan mengikat protein. Ikatan ini secara perlahan akan mereduksi reagen folin menjadi heteromolibdenum dan merubah warna larutan dari kuning menjadi biru keunguan.

Pada metode ini, pengujian kadar protein didasarkan pada pembentukan komplek Cu2+ dengan ikatan peptida yang akan tereduksi menjadi Cu+ pada kondisi basa. Cu+ dan rantai samping tirosin, triptofan dan sistein akan bereaksi dengan reagen folin-ciocelteau. Reagen ini bereaksi menghasilkan produk yang tidak stabil yang tereduksi secara lambat menjadi molibdenum atau tungesteen blue. Protein akan menghasilkan intensitas warna yang berbeda tergantung pada kandungan triptofan dan tirosinnya.

Metode ini relatif sederhana dan dapat diterapkan serta biayanya relatif murah. Namun, kekurangan dari metode ini adalah sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi protein yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan volume sampel dalam jumlah kecil sehingga tidak

24

J. Modifikasi Kimia

Menurut Wagen (1984), untuk mendapatkan enzim yang mempunyai kestabilan dan aktivitas tinggi pada kondisi ekstrim, dapat dilakukan isolasi langsung dari organisme yang terdapat di alam dan hidup pada kondisi tersebut (ekstrimofilik) atau dengan modifikasi kimia terhadap enzim yang berasal dari mikroorganisme yang hidup pada kondisi tidak ekstrim (mesofilik).

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas enzim, yaitu amobilisasi, mutagenesis terarah dan modifikasi kimia. Menurut Janecek (1993), modifikasi kimia merupakan salah satu metode yang lebih disarankan untuk meningkatkan stabilitas enzim yang larut dalam air. Hal ini dikarenakan baik amobilisasi maupun mutagenesis terarah memiliki kelemahan. Pada metode amobilisasi enzim dapat terjadinya penurunan kapasitas pengikatan maupun reaktivitas enzim akibat penghambatan transfer massa oleh matriks. Sedangkan pada metode mutagenesis terarah diperlukan informasi mengenai struktur primer dan struktur tiga dimensinya (Mozhaev and Martinek, 1984). Keuntungan modifikasi kimia dibandingkan dengan metode amobilisasi enzim adalah tidak terhalangnya interaksi antara enzim dengan substrat oleh adanya matriks yang tidak larut, sehingga penurunan aktivitas enzim dapat ditekan. Residu lisin yang terletak pada permukaan enzim merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan enzim, karena ia dapat berinteraksi dengan molekul air disekitarnya (Nubarov et al., 1987).

25

Enzim hasil modifikasi kimia dengan ikatan kovalen yang stabil dapat diperoleh dengan beberapa cara diantaranya modifikasi dengan menggunakan (1) pereaksi bifungsional (pembentukan ikatan silang antara gugus-gugus fungsi pada

permukaan protein), (2) modifikasi kimia dengan menggunakan pereaksi non polar (meningkatkan interaksi hidrofobik), (3) penambahan gugus polar bermuatan atau polar baru (menambah ikatan ionik atau hidrogen) dan (4) hidrofilisasi permukaan protein (mencegah terjadinya kontak antara gugus hidrofobik dengan lingkungan berair yang tidak disukainya).

Hidrofilisasi permukaan enzim dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu modifikasi langsung berbagai asam amino hidrofobik yang membentuk tapak-tapak

hidrofobik pada permukaan enzim dengan pereaksi hidrofilik atau hidrofilisasi terhadap asam amino yang berada dekat dengan tapak hidrofobik sehingga tapak tersebut terlindungi dari lingkungan berair (Mozhaev et al., 1990).

Melik-Nubarov et al. (1987) melaporkan hidrofilisasi α-kimotripsin menggunakan asam glioksilat (AG) dengan reduktor NaBH4, dapat meningkatkan kestabilan enzim tersebut secara nyata. Modifikasi dilakukan pada pH 8,4 sehingga gugus amina primer pada rantai samping lisin di permukaan enzim dengan mudah bereaksi dengan asam glioksilat.

26

27

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juli 2014 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas, jarum ose, autoclave model S-90N, laminar air flow CURMA model 9005-FL, neraca analitik Ainsworth AA-160, incubator Precisterm P’ Selecta, waterbath shaker incubator GFL1092, shaker incubator Environ Shaker-Lab Line,

sentrifuga model 225 Fisher Scientific dan model Labor 50 WIFUG-Lab, lemari pendingin, mikropipet Eppendorff, waterbath Haake W19, waterbath Memmert W 350, penangas Precisterm JP’ Selecta, magnetic stirrer STUART (stir CB161 dan heat-stir CB162), termometer, batang pengaduk, spatula, dan

28

Adapun bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah NA (Nutrient Agar), CMC (Carboxy Methyl Cellulose), serbuk jerami padi, pepton, (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4, ZnSO4.7H2O, CaCl2, FeSO4.7H2O, CoCl2, urea, akuades, alkohol, DNS (dinitrosalisilic acid), NaOH, fenol, Na2SO3, Na(K)- tartarat, Na2CO3, CuSO4.5H2O, reagen follin ciocalteau, NaH2PO4, Na2HPO4, Na2B4O7, K2HPO4, H3BO3, asam glioksilat, NaBH4, kantong selofan, dan TNBS.

Sedangkan mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus subtilis ITBCCB148 penghasil enzim selulase yang diperoleh dari Laboratorium

Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung.

C. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan media inokulum dan fermentasi, inokulasi Bacillus subtilis ITBCCB148 dan produksi enzim selulase

a. Pembuatan media inokulum dan fermentasi

Media inokulum dan fermentasi yang digunakan terdiri dari (gL-1) (NH4)2SO4 1,4; KH2PO4 2; MgSO4 0,3; ZnSO4.7H2O 0,0014; CaCl2 0,3; FeSO4.7H2O 0,005; CoCl2 0,002; urea 0,3;pepton 0,75; serbuk jerami 7,5 yang dilarutkan dengan akuades dalam labu erlenmeyer, kemudian disterilkan padu suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama ±15 menit dalam autoklaf.

29

b. Inokulasi Bacillus subtilis ITBCCB148

Sebanyak 3 ose Bacillus subtilis ITBCCB148 dari media agar miring dipindahkan ke dalam 100 mL media inokulum secara aseptis lalu dikocok dalam shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 35oC selama 24 jam.

c. Produksi enzim selulase

Produksi enzim selulase dilakukan dengan cara memindahkan sebanyak 2% media inokulum dari jumlah media fermentasi ke dalam media fermentasi secara aseptis lalu dikocok dalam shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 35oC selama 72 jam.

2. Isolasi enzim selulase

Isolasi enzim adalah metode pemisahan enzim dari komponen selnya. Pada penelitian ini isolasi enzim dilakukan dengan cara sentrifugasi. Media

fermentasi yang telah diinkubasi, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan putaran 5000 rpm pada suhu 4oC selama 30 menit. Filtrat yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim selulase. Ekstrak kasar enzim selulase kemudian diuji aktivitasnya dengan metode Mandels dan kadar protein dengan metode Lowry.

3. Uji aktivitas dan kadar proteinenzim selulase

a. Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas enzim selulase metode Mandels (Mandels et al., 1976)

30

Ke dalam labu ukur 100 mL, dimasukkan 1% DNS (dinitrosalisilic acid), 1% NaOH, 0,2 fenol, 0,05% Na2SO3 dan 1 mL Na(K)- tartarat 40%. Kemudian dilarutkan dalam 100 mL akuades hingga tanda batas.

b. Pengujian aktivitas enzim selulase metode Mandels

Metode ini berdasarkan glukosa yang terbentuk (Mandels et al.,1976). Sebanyak 0,25 mL enzim dan 0,25 mL larutan CMC 0,5% (dalam bufer fosfat pH 5,0) dicampur lalu diinkubasi selama 60 menit pada suhu 50oC. Kemudian ditambahkan 1 mL pereaksi DNS (dinitrosalisilic acid)

dididihkan selama 10 menit pada suhu 100oC dan didinginkan. Setelah dingin, campuran ditambahkan 1,5 mL akuades dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 510 nm. Kadar glukosa yang terbentuk ditentukan dengan menggunakan kurva standar glukosa.

c. Pembuatan pereaksi untuk penentuan kadar protein enzim selulase metode Lowry

Pereaksi A : 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH 0,1 N.

Pereaksi B : 5 mL larutan CuSO4.5H2O 1% ditambahkan ke dalam 5 mL larutan Na(K)-tartarat 1%.

Pereaksi C : 2 mL pereaksi B ditambah 100 mL pereaksi A. Pereaksi D : reagen follin ciocelteau diencerkan dengan

akuades 1:1.

Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120 dan 140 ppm.

31

d. Penentuan kadar protein enzim selulase metode Lowry

Kadar protein enzim ditentukan dengan metode Lowry (Lowry et al., 1951). Penentuan kadar protein ini bertujuan untuk mengatur aktivitas spesifik dari protein enzim selulase. Sebanyak 0,1 mL enzim selulase ditambah dengan 0,9 mL akuades. Lalu direaksikan dengan 5 mL pereaksi C, diaduk rata dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu, ditambahkan dengan cepat 0,5 mL pereaksi D dan diaduk dengan sempurna, didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Untuk kontrol, 0,1 mL enzim diganti dengan 0,1 mL akuades. Selanjutnya perlakuannya sama seperti sampel. Serapannya diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada 750 nm. Untuk menentukan kadar protein enzim digunakan kurva standar BSA (Bovine Serum Albumin).

4. Pemurnian enzim selulase

Pada penelitian akan dilakukan pemurnian enzim dengan fraksinasi

menggunakan ammonium sulfat dan dialisis. Proses pengerjaannya sebagai berikut :

a. Pengendapan dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]

Ekstrak kasar enzim yang diperoleh diendapkan dengan garam ammonium sulfat pada berbagai derajat kejenuhan yaitu (0-20 %; (20- 40)%; (40-60)%; (60-80)%; dan (80-100)% untuk mengetahui pada fraksi mana enzim selulase terendapkan. Skema proses pengendapan protein

32

enzim dengan penambahan garam ammonium sulfat ditunjukkan pada Gambar 11.

Sejumlah ekstrak kasar enzim yang diperoleh ditambahkan garam ammonium sulfat secara perlahan sambil diaduk dengan magnetic stirer pada suhu 4oC. Endapan protein enzim yang didapatkan pada tiap fraksi kejenuhan ammonium sulfat dipisahkan dari filtratnya dengan sentrifugasi dingin pada kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Kemudian diuji

aktivitasnya dengan metode Mandels dan kadar protein dengan metode Lowry. Selanjutnya, filtrat yang didapat dari fraksi (0-20)% digunakan untuk diendapkan dengan fraksi kejenuhan selanjutnya dengan prosedur yang sama.

Gambar 11. Skema proses pengendapan protein enzim dengan pengendapan ammonium sulfat

+ (NH4)2SO4 (0-20%)

+ (NH4)2SO4 (20-40%) Ekstrak Kasar Enzim

Endapan(F1) Filtrat Endapan(F2) Filtrat Endapan(F3) Filtrat + (NH4)2SO4 (40-60%) Endapan(F4) Filtrat + (NH4)2SO4 (60-80%) + (NH4)2SO4 (80-100%) Endapan(F5) Filtrat

33

b. Dialisis

Endapan enzim yang telah dilarutkan dari tiap fraksi ammonium sulfat dengan aktivitas spesifik yang tinggi dimasukkan ke dalam kantong selofan dan didialisis dengan bufer fosfat 0,01 M pH 6 selama ±24 jam pada suhu dingin. Selama dialisis, dilakukan pergantian larutan bufer selama 4-6 jam agar konsentrasi ion-ion di dalam kantong dialisis dapat dikurangi. Proses ini dilakukan secara kontinu sampai ion-ion di dalam kantong dialisis dapat diabaikan. Untuk mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi ion-ion garam dalam kantong, maka diuji dengan menambahkan larutan Ba(OH)2 atau BaCl2. Bila masih ada ion sulfat dalam kantong, maka akan terbentuk endapan putih BaSO4. Semakin banyak endapan yang terbentuk, maka semakin banyak ion sulfat yang ada dalam kantong. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas dengan metode Mandels dan kadar protein dengan metode Lowry.

5. Modifikasi kimia enzim selulase hasil pemurnian dengan asam glioksilat Modifikasi enzim selulase dengan asam glioksilat dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilaporkan oleh Melik-Nubarrov et al. (1987) dalam

menstabilkan α-amilase kimotripsin. Sebanyak 10 mL enzim selulase (mengandung 0,4 μmol/mL) bersama selulosa 0,5% dalam bufer fosfat-borat (100 mM K2HPO4 dan 500 mM H3BO3) pH 8,4 ditambah dengan 10 μmol asam glioksilat dan 8 μmol NaBH4, reaksi dilakukan selama 30 menit pada 4oC.

34

6. Karakterisasi enzim selulase hasil pemurnian dan hasil modifikasi Karakterisasi enzim selulase hasil pemurnian dan hasil modifikasi yang dilakukan meliputi :

a. Penentuan derajat modifikasi

Derajat modifikasi enzim merupakan perbandingan antara residu lisin dalam enzim yang termodifikasi terhadap residu lisin sebelum

dimodifikasi. Cara penentuannya sebagai berikut : untuk sampel,

sebanyak 0,1 mL enzim yang telah dimodifikasi dilarutkan dalam 0,9 mL bufer borat (pH 9,0). Kemudian ditambahkan 25 μL 0,03 M asam 2,4,6- trinitrobenzena-sulfonat (TNBS). Campuran ini dikocok dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit. Larutan standar dibuat dengan komposisi yang sama, tetapi menggunakan enzim hasil pemurnian

(sebelum modifikasi). Blanko terdiri dari 1 mL bufer borat pH 9,0; 0,1 M

dan 25 μL TNBS 0,03 M. Absorbansi diukur pada panjang gelombang

420 nm. Derajat modifikasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Derajat modifikasi = Jumlah residu lisin yang termodifikasi

Jumlah residu lisin awal x 100%

= ASt − AB1 −( ASp − AB1 ) (ASt − AB1)

x 100%

(Snyder and Sobocinski, 1975). b. Penentuan pH optimum

Untuk mengetahui pH optimum enzim sebelum dan sesudah modifikasi kimia, digunakan bufer fosfat 0,1 M dengan variasi pH sebagai berikut :

35

4,0; 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0. Suhunya dijaga tetap pada 60oC, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran aktivitas enzim metode Mandels.

c. Penentuan suhu optimum

Untuk mengetahui suhu optimum kerja enzim dilakukan dengan variasi suhu yaitu 40; 50; 60; dan 70oC, pH tetap dijaga pada pH optimum yang telat dilakukan. Selanjutnya diukur aktivitas enzim dengan metode Mandels.

d. Penentuan data kinetika enzim (nilai KM dan Vmaks)

Konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks) enzim sebelum dan sesudah modifikasi ditentukan dari kurva Lineweaver- Burk. Kurva Lineweaver-Burk dibuat dengan menguji aktivitas enzim selulase dengan variasi konsentrasi substrat yaitu 0,25; 0,5; 0,75; 1,0; dan 1,25% dalam bufer fosfat pada pH dan suhu optimum. Selanjutnya diukur aktivitas enzim dengan metode Mandels dan data aktivitas enzim dan konsentrasi substrat diplotkan ke dalam kurva Lineweaver-Burk untuk penentuan nilai KM dan Vmaks.

e. Uji stabilitas termal dan stabilitas pH enzim (Yang et al., 1996)

Penentuan stabilitas termal dan pH enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa enzim setelah diinkubasi selama periode waktu 100 menit pada suhu dan pH optimum. Caranya adalah dengan mengukur aktivitas enzim setelah proses pemanasan setelah interval waktu 10 menit.

36

Aktivitas sisa = Aktivitas enzim setelah perlakuan

Aktivitas enzim awal (tanpa perlakuan) x 100%

(Virdianingsih, 2002).

f. Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki), dan perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi)

Perubahan nilai ki (konstanta laju inaktivasi) enzim selulase hasil

pemurnian dan setelah modifikasi kimia dilakukan dengan menggunakan persamaan kinetika inaktivasi orde 1 (Kazan et al., 1997) dengan

persamaan :

ln (Ei/E0) = -ki t

Sedangkan untuk perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi) enzim selulase hasil pemurnian dan setelah modifikasi kimia dilakukan dengan

menggunakan persamaan (Kazan etal., 1997) : ∆Gi = - RT ln (ki h/kB T) Keterangan :

R = konstanta gas (8,3 JK-1 mol -1) T = suhu absolut (K)

ki = konstanta laju inaktivasi termal h = konstanta Planck (6,63 x 10 -34 J det) kB = konstanta Boltzmann (1,381 x 10 -23 J K-1)

Secara keseluruhan penelitian ini terangkum dalam diagram alir penelitian yang ditunjukkan dalam Gambar 12.

37

Gambar 12. Diagram alir penelitian Produksi Enzim

Ekstrak Kasar Enzim

Uji aktivitas (metode Mandels) dan kadar protein

(metode Lowry)

Pemurnian Enzim : 1. Fraksinasi dengan

ammonium sulfat 2. Dialisis

Modifikasi Kimia Karakterisasi Enzim

Enzim hasil modifikasi

Penentuan pH dan suhu optimum Penentuan Km dan Vmaks Penentuan stabilitas termal dan pH

Dokumen terkait