• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Dinata (2004) dalam Bangun (2005) ginjal ikan merupakan organ yang berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti logam. Sehingga banyak bahan beracun seperti logam berat terdapat di dalam ginjal tersebut. Organ ginjal pada ikan yang terdapat dan tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian Hulu mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan-ikan yang tertangkap. Dalam hal ini pada ginjal terjadi melano makrofag center (MMC), edema, degenerasi, kongesti dan nekrosis (Tabel 4.6).

Tabel 4.6. Perubahan Histologi Ginjal Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai Citarum Bagian Hulu

Stasiun Ginjal Cr (ppm) Keterangan I  MMC (melano makrofag center)  E (edema)  D (degenerasi)  K (kongesti)  N (Nekrosis) 28,88

Melano makrofag center: akumulasi makrofag-makrofag

yang berisi hemosiderin,

lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC diakibatkan oleh peradangan Nekrosis: kematian sel

Kongesti (hipermia): keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Edema: penimbunan cairan secara berlebihan di antara

sel-sel tubuh atau di dalam

berbagai rongga tubuh.

Degenerasi: kehilangan struktur normal sel.

II  MMC (melano makrofag center)  E (edema)  D (degenerasi)  N (nekrosis) 9,54

III  MMC (melano makrofag center)  E (edema)  K (kongesti)  N (nekrosis) 12,63 IV  MMC (melano makrofag center)  E (edema)  D (degenerasi)  N (nekrosis) 18,68

Gambar 4.28 Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (K) Kongesti; gambar B, (E) edema pada tubulus, (N) nekrosis (pembesaran 100x)

Gambar 4.29. Analisis histopatologi ginjal ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center, (E) edema pada tubulus (pembesaran 400x)

Gambar 4.30 Analisis histopatologi ginjal ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti), (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (K) kongesti, (MMC) melano makrofag center, (D) degenerasi (pembesaran 100x)

Gambar 4.31. Analisis histopatologi ginjal ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya), gambar A, (N) nekrosis, (D) degenerasi; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (Pd) pembuluh darah (pembesaran 400x)

Gambar 4.32. Analisis histopatologi ginjal ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya), N (nekrosis), (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x)

Gambar 4.33. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (MMC) melano makrofag center, (E) edema (pembesaran 400x)

Gambar 4.34. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), gambar A, (K) kongesti; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x)

Gambar 4.35. Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (N) nekrosis, (E) edema, (MMC) melano makrofag center (pembesaran 400x)

Gambar 4.36. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x)

Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, serta ikan sapu di Sapan analisis histopatologi menunjukkan adanya pembendungan sel darah atau kongesti (Gambar 4.28 (A), Gambar 4.29 (A), Gambar 4.30 dan Gambar 4.34). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya.

Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, ikan betok di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus juga ikan sapu di Dayeuhkolot hasil analisis histopatologis ginjal menunjukkan adanya edema pada tubulus (Gambar 4.28 (B), Gambar 4.29 (B), Gambar 4.30, Gambar 4.31 (B), Gambar 4.35 dan Gambar 4.36). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) edema adalah meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan ini di dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa. Edema dapat bersifat lokal atau umum. Menurut Jones, et al. (1997) dalam Juhryyah (2008), secara mikroskopis tampak ruang antar sel-sel yang berdekatan, serabut-serabut dan struktur lainnya membesar. Warna cairan merah muda atau homogen, sedikit lebih merah, bergantung pada banyaknya protein. Menurut Juhryyah (2008) edema terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan normal antara kompartemen cairan darah, interstisium dan limfatik.

Selain kongesti, edema dan nekrosis pada ikan nila dan ikan mas di situ Cisanti, ikan keting di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di

Dayeuhkolot hasil analisis histopatologi menunjukkan adanya melano makrofag center (MMC) atau kumpulan-kumpulan sel makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin (Gambar 4.29, Gambar 4.30 dan gambar 4.30). MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981) dalam Ersa (2008), menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas.

4.6 Hubungan Kulitas Air, Logam Cr Pada Air , Logam Cr Pada Organ

dan Kerusakan Pada Organ

Adanya pencemaran yang mengandung logam berat pada badan air dapat membahayakan keberlangsungan hidup dan kehidupan baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme tersebut akan mempengaruhi aktivitas organisme tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dimasing-masing stasiun dapat digambarkan hubungan dari parameter kualitas air, logam Cr pada air, logam Cr pada organ dan kerusakan yang ditimbulkan serta kaitanya dengan batas aman konsumsi manusia (Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Hubungan Kulitas Air, Kandungan Cr Pada Air dan Organ serta Kerusakan yang Ditimbulkan

Parameter Satuan Standar Stasiun Pengamatan

II III 1 2 3 4 Kualitas air fisik Suhu ˚C ± 3 ± 3 23,217± 0,755 23,517± 1,842 25,00±1 ,757 24,167± 1,305 kimia DO mg/L 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133 pH - 6-9 6-9 7,267 7,417 7,050 7,100 Logam Cr Air ppm 0,05 0,05 0,0426 0,0085 0,1223 0,0111 Insang - - 29,08 2,55 9,62 10,6 Hati 76,73 7,19 16,14 7,85 Ginjal 28,88 9,54 12,63 18,68

Batas aman Logam Cr

masuk tubuh mg/kg/hari 0,05-0,2

Tidak aman Tidak aman Tidak aman Tidak aman Organ Insang

Perubahan struktur jaringan (kerusakan)  MMC  E  H  K  N  H  K  E  H  K  E Tingkat kerusakan +++ ++ ++ + Hati

Perubahan struktur jaringan (kerusakan)  MMC  N  MMC  D  K  D  K  N  MMC  D  Dh  N Tingkat kerusakan +++ ++ +++ +++ Ginjal

Perubahan struktur jaringan (kerusakan)  MMC  E  D  K  N  MMC  E  D  N  MMC  E  K  N  MMC  E  D  N Tingkat kerusakan +++ +++ +++ +++ Keterangan:

MMC= melano makrofag center E= edema H= hiperplasia K= kongesti D= degenerasi Dh= degenerasi hidropis N= nekrosis += ringan ++= sedang +++= berat

Standar kualitas air= PP No.82 tahun 2001 Standar batas aman konsumsi logam Cr= FHO/WHO dan Miller-Ihli (1992) dalam, Jalaluddin dan Ambeng (2005)

Tingkat kerusakan= metode tandjung 1982, Ressang (1986) dan Sudiono (2003), Darmono (1995)

Situ Cisanti (stasiun 1) memliki suhu terendah dibandingkan dengan tiga stasiun pengamatan lainnya. Rendahnya suhu pada stasiun ini berhubungan dengan ketinggian lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut dan terjaganya ekosistem dan hutan disekeliling danau. Selain suhu yang rendah, kandungan oksigen terlarut (DO) pada stasiun ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya dan nilai pH yang netral, serta kandungan logam Cr yang masih dibawah ambang batas baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Dengan demikian dapat dinyatakan kualitas air di Situ Cisanti masih dalam batas toleransi bagi keberlangsungan hidup organisme air.

Kandungan logam Cr pada air di Situ Cisanti walaupun masih memenuhi standar akan tetapi hanya berbeda tipis dengan ambang batas, ini dimungkinkan adanya sumber kromium yang berasal dari alam seperi dari tumbuhan, tanah dan batuan vulkanik, hal tersebut berdampak pada tingginya akumulasi logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal ikan yang tertangkap di Situ Cisanti. Akumulasi logam Cr pada ikan di Situ Cisanti merupakan akumulasi yang tertinggi dibandingkan tiga stasiun lainnya yaitu, pada insang 29,06 ppm, hati 76,73 ppm dan ginjal 28,88 ppm dengan akumulasi rata-rata 44,89 ppm. Bila dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO yaitu 200 µg/Kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/Kg/hari dan menurut rekomendasi Miller-Ihli (1992) dalam, Jalaluddin dan Ambeng (2005) batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg/hari atau 0,05 – 0,2 ppm/hari dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari Situ Cisanti sudah melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ insang ikan di Situ Cisanti yaitu 29,06 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang berat hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis. Pada organ hati ikan di Situ Cisanti kandungan logam Cr 76,72 ppm tingkat kerusakan tergolong berat dengan ditandai adanya MMC dan nekrosis. Kandungan logam Cr pada organ

ginjal ikan di Situ Cisanti yaitu 28,88 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema, kongesti, degenerasi dan nekrosis.

Stasiun 2 (Majalaya) memiliki kualitas air yang masih memenuhi standar baku mutu air untuk kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001 dilihat dari parameter suhu, DO, pH dan logam Cr pada air. Dari keempat parameter yang diamati dapat dinyatakan kualitas air di stasiun pengamatan 2 (Majalaya) masih dalam batas toleransi bagi keberlangsungan hidup organisme air, namun bila dibandingkan dengan stasiun pengamatan 1 (Situ Cisanti) kandungan oksigen terlarut (DO) cukup jauh berbeda, namun masih memenuhi batas minimal untuk baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001.

Kandungan logam Cr pada air di Majalaya adalah yang terendah, hal ini berdampak pula pada rendahnya kandungan logam Cr pada organ ikan yang tertangkap di stasiun ini. Rendahnya kandungan logam Cr pada Organ ikan di Majalaya juga dikarenakan volume dan arus air di aliran Sungai Citarum yang berada di wilayah pengamatan ini cukup besar dan kencang sehingga dimungkinkan logam Cr yang masuk kedalam jaringan tubuh baik melalui pernafasan, penetrasi kulit dan makanan tidak terlalu besar. Akumuluasi logan Cr pada organ ikan di Majalaya yaitu, di insang 2,55 ppm, di hati 7,19 dan di ginjal 9,54 ppm. Meskipun kandungan logam Cr di Majalaya ini terendah dengan rata-rata 6,34 ppm bila dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/per hari (FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05–0,2 ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005) sudah melebihi, sehingga dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari Majalaya sudah melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ insang ikan di Majalaya yaitu 2,55 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang sedang hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa hiperplasia dan kongesti. Pada organ hati ikan di Majalaya kandungan logam Cr

7,19 ppm tingkat kerusakan tergolong sedang dengan ditandai adanya MMC, kongesti dan degenerasi, hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Kandungan logam Cr pada organ ginjal ikan di Majalaya yaitu 9,54 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa edema, MMC, degenerasi dan nekrosis.

Kualitas air pada stasiun 3 (Sapan) ditinjau dari parameter suhu, DO dan kandungan logam Cr pada air telah melebihi ambang batas baku mutu air kelas II dan kelas III menurut PP No. 82 tahun 2001, sehingga dengan demikian dapat dinyatakan kualitas air di Sapan kurang mendukung untuk keberlangsungan hidup organisme air, sesuai dengan cerita masyarakat disekitar lokasi pengamatan ini, bahwa sering terjadi ikan mati secara bersamaan dalam jumlah yang banyak (mabuk). Kualitas air yang buruk di Sapan ini dimungkinkan karena industri-industri (tekstil) yang berdiri di sekitar wilayah Sapan masih membuang limbah berbahayanya secara langsung ke aliran sungai Citarik.

Kandungan logam Cr pada air di Sapan adalah yang tertinggi dan sudah melebihi ambang batas standar, tingginya kandungan logam Cr pada air juga menyebabkan akumulasi logam Cr pada organ ikan di Stasiun ini. Kandungan logam Cr pada organ ikan di Sapan bukan yang paling tinggi namun kedua tertinggi setelah Situ Cisanti (stasiun 1) yaitu pada insang 9,62 ppm, hati 16,14 ppm dan ginjal 12,63 ppm dengan rata-rata 12,80 ppm bila dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari (FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05 –0,2 ppm/hari (Miller-Ihli 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Sapan sudah melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Sapan dengan kandungan logam Cr di insang 9,62 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang sedang hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa edema,

hiperplasia dan kongesti, di hati dengan kandungan logam Cr 16,14 ppm tingkat kerusakan tergolong berat dengan di tandai adanya degenerasi, kongesti dan nekrosis dan di ginjal dengan kandungan logam Cr 12,63 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema, kongesti dan nekrosis.

Pada stasiun pengamatan 4 (Dayeuhkolot) ditinjau dari parameter kandungan oksigen terlarut (DO) kualitas air distasiun ini telah melebihi baku mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Namun, kandungan logam Cr di air, suhu dan pH di Dayeuhkolot masih dalam batas aman baku mutu.

Kandungan logam Cr pada air di Dayeuhkolot masih di bawah batas baku mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001, akan tetapi logam Cr sudah terakumulasi cukup tinggi di organ ikan yaitu, 10,60 ppm di insang, 7,85 ppm di hati dan 18,68 ppm di ginjal. Kandungan Cr pada organ ikan di Dayeuhkolot cukup tinggi dengan rata-rata 12,38 ppm namun masih lebih rendah dibandingkan ikan di Situ Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3) dan lebih tinggi dibandingkan ikan di Majalaya (stasiun 2) serta lebih tinggi dibandingkan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari (FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05-0,2 ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), sehingga dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Dayeuhkolot sudah melebihi batas aman konsumsi.

Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Dayeuhkolot dengan kandungan logam Cr di insang 10,60 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang tergolong masih ringan hal ini ditandai dengan adanya edema, di hati dengan kandungan logam Cr 7,85 ppm tingkat kerusakan tergolong berat dengan di tandai adanya MMC, degenerasi hidropis dan nekrosis. Di ginjal dengan kandungan logam Cr 18,68 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema, degenerasi dan nekrosis.

Dokumen terkait