• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

F. Orientasi Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+ Chitosan

Fermentasi

Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan, ternyata untuk proses pembuatan selulosa bakteri dengan penambahan gliserol dan chitosan dengan metode perebusan dan memakai cawan petri sebagai tempat fermentasi sangat sulitdilakukan. Metode perebusan adalah metode dengan mencampurkan semua bahan dan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri untuk proses fermentasi ke dalam suatu wadah yang disertai dengan sedikit pengadukan dan pemanasan.

Penggunaan metode dengan memakai cawan petri sangat sulit dilakukan dikarenakan ada beberapa penyebab. Penyebabnya antara lain adalah masalah kelarutan dari chitosan. Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan, ketika mencampurkan air ketela rambat dengan chitosan lalu gula pasir dan urea beserta gliserol, ternyata chitosan tidak mau larut dalam air ketela rambat ini. Chitosan

merupakan suatu polisakarida dengan bobot molekul tinggi, oleh karena itu sangat sukar larut dalam air. Ada beberapa kemungkinan penyebab tidak mau terlarutnya

chitosan, yang pertama adalah masalah pH. pH limbah cair ketela rambat yang terukur saat itu adalah 5. pH yang baik untuk kelarutan chitosan pada pH di

bawah 6,5. Mat dan Zakaria (1995) melaporkan bahwa chitosan tidak larut dalam asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Meskipun sudah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mat dan Zakaria namun ternyata chitosan tetap tidak terlarut dalam limbah cair ketela rambat tersebut. Penyebab kedua dari jenis pelarut yang digunakan, biasanya untuk melarutkan chitosan digunakan beberapa pelarut asam organik lemah seperti asam asetat dan asam formiat. Chitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, alkali atau asam-asam mineral pada pH di atas 6,5.

Chitosan larut dalam asam-asam organik seperti asam formiat, asam sitrat dan asam asetat (Mat dan Zakaria, 1995). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan, pelarut yang digunakan adalah limbah cair ketela rambat yang bukan merupakan suatu asam organik lemah.

Alasan lain metode memakai cawan petri susah dilakukan adalah dari cawan petri yang digunakan. Ketika menggunakan cawan petri sebagai wadah untuk proses fermentasi dari selulosa bakteri setelah ditunggu selama 7-14 hari tidak didapatkan adanya lapisan pelikel pada petri dan pada petri tetap cair. Berdasarkan hal tersebut diduga kultur bakteri kesulitan mendapatkan oksigen karena oksigen sukar menembus cawan petri, adanya cahaya yang menembus petri ataupun kontaminasi dari mikroorganisme lain yang sangat tinggi ini yang menyebabkan bakteri tidak dapat melakukan proses fermentasi. Adanya oksigen yang sukar menembus petri ini akan mengakibatkan bakteri kesulitan mendapatkan sumber oksigen untuk proses metabolismenya sehingga kemungkinan bakteri di dalam petri tersebut tidak akan hidup. Adanya penetrasi cahaya juga kemungkinan akan mempengaruhi suhu dan kelembaban udara yang

kurang optimal bagi bakteri dalam melakukan proses fermentasi. Menurut Purnomo (2009), suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri adalah sekitar 350 C sehingga kemungkinan saat memakai petri, suhu saat fermentasi ini jauh dibawah atau di atas suhu optimum yang diperlukan oleh bakteri untuk hidup. Adanya kontaminasi ini sendiri juga akan menyebabkan kegagalan pada proses fermentasi karena nutrisi yang seharusnya dibutuhkan oleh bakteri Acetobacter xylinum

untuk proses metabolisme bakteri tersebut justru direbut oleh mikroorganisme lain sehingga bakteri Acetobacter xylinum akan mengalami kekurangan nutrisi dan akhirnya tidak dapat hidup. Selain itu penyebab yang lain adalah kemungkinan saat menuang bakteri ke dalam petri, cairan yang ada di dalam petri ini masih terlalu tinggi suhunya sehingga bakteri langsung mati dan tidak dapat berkembang dengan baik. Kemungkinan penyebab yang lain adalah karena saat menuang starter bakteri, tidak didapatkan kultur bakteri karena kultur bakteri mengendap di bagian bawah akibat botol yang mengandung medium tumbuh bakteri tidak digojog terlebih dahulu sebelum bakteri dituang sehingga yang dituang ke dalam petri ini hanyalah cairan medium tumbuh dari bakteri ini sendiri sehingga tidak ada bakteri yang melakukan proses fermentasi pada petri tersebut. Berdasarkan beberapa orientasi yang dilakukan serta karena kegagalan dari hasil orientasi yang dilakukan sebelumnya, maka cawan petri yang digunakan dicoba diganti dengan nampan sebagai wadah untuk fermentasi. Kemungkinan penyebab yang lain adalah karena chitosan memiliki aktivitas antibakteri sehingga kemungkinan dengan adanya penambahan chitosan ini akan menghambat pertumbuhan kultur bakteri yang digunakan.

G. Orientasi Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+Chitosan dengan Metode Perebusan dan Memakai Nampan sebagai Tempat

Fermentasi

Berdasarkan hasil orientasi, kendala yang dialami tetap sama yaitu dari masalah kelarutan chitosan dan tidak terbentuknya pelikel walaupun wadah fermentasi ini sudah diganti dengan nampan yang telah disterilkan dan saat proses fermentasi ini sudah menggunakan kertas koran sebagai penutup nampan seperti yang dilakukan oleh industri nata de coco pada umumnya. Alasan penggunaan kertas koran adalah karena pada kertas koran ini merupakan jenis kertas yang memiliki banyak pori-pori sehingga akan membantu penetrasi dari oksigen ke dalam wadah fermentasi sehingga bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik, selain itu dengan memakai kertas koran ini maka dapat mengurangi penetrasi cahaya dari luar jika dibandingkan dengan memakai petri yang transparan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka hal ini kemungkinan dikarenakan akibat adanya pengaruh keberadaan chitosan yang menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum akibat adanya kemampuan antibakteri dari chitosan. Oleh karena itu dicoba diganti dengan menggunakan metode pelapisan.

H. Orientasi Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+Chitosan dengan Metode Pelapisan

Metode pelapisan adalah metode yang digunakan untuk melapisi kain atau serat dengan bahan lain untuk meningkatkan kemampuan bioaktif dari kain

tersebut. Biasanya bahan lain yang ditambahkan ini berupa larutan yang bersifat anti bakteri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ariany dan Maharani (2011), chitosan ini dikombinasikan dengan silika lalu dilapiskan pada kain katun dengan memakai metode pelapisan. Melalui hasilnya dilaporkan bahwa chitosan -silika yang dilapiskan pada kain katun ini mampu memberikan sifat anti bakteri terhadap bakteri S. aureus dan berikatan kuat dengan selulosa dari katun.

Berdasarkan penelitian tersebut, dicoba metode pelapisan untuk melapisi selulosa bakteri ini dengan chitosan yang harapannya nanti dapat digunakan sebagai material penutup luka.

Berdasarkan hasil orientasi, maka dapat terbentuk pelikel selulosa bakteri yang terbentuk dengan sempurna melalui proses pelapisan lalu setelah pelikel ini terbentuk, pelikel ini dicuci beberapa kali dengan aquadest, air panas, direndam dalam larutan NaOH 3% selama 48 jam serta HCl 3% selama 15 menit lalu dicuci kembali dengan aquadest. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Chawla et. al. . Menurut Chawla et. al. (2009) setelah pelikel selulosa bakteri terbentuk, dilakukan proses purifikasi dengan mencuci pelikel tersebut dengan

aquadest, air panas, larutan NaOH 3% selama 48 jam serta HCl 3% selama 15 menit.

Adanya proses purifikasi bertujuan untuk mengurangi kandungan endotoksin yang terdapat dalam pelikel serta melisiskan sel-sel bakteri karena nantinya selulosa bakteri ini ini akan digunakan sebagai penutup luka. Setelah proses tersebut, pelikel bakteri tersebut direndam dengan larutan chitosan 2% yang telah dibuat lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 400 C selama kurang

lebih 2 minggu. Suhu yang digunakan untuk pengeringan ini berkisar diantara suhu 400 C karena jika digunakan suhu yang lebih tinggi untuk proses pengeringannya maka chitosan akan mengalami Maillard reaction. Maillard reaction merupakan reaksi kimia yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi akibat adanya pengaruh suhu. Umemura, Mihara dan Kawai (2010) melaporkan efek dari Maillard reaction antara glukosa dengan dalam membran

chitosan ditemukan pada membran yang dilarutkan dalam asam asetat 1% dan dikeringkan dengan cawan petri pada suhu 500 C. Proses Mailard reaction ini dapat terjadi jika asam amino dengan gula pereduksi yang terdapat dalam senyawa berinteraksi secara kimia dengan bantuan suhu dan dalam kondisi yang kering. Adanya proses Mailard reaction ini dihindari karena jika biomaterial mengalami

Mailard reaction maka biomaterial yang dihasilkan ini akan berwarna coklat menghitam seperti gula yang dipanaskan berlebih hingga akhirnya gosong sehingga jika nantinya biomaterial ini hendak akan diaplikasikan ke pasien maka akan mengurangi penerimaan dari pasien karena warnanya yang coklat kehitaman. Setelah kering dari kandungan air, biomaterial dikeringkan dengan bantuan sinar matahari hingga membentuk lembaran tipis, setelah terbentuk lembaran tipis kemudian biomaterial ini siap untuk digunakan baik untuk proses karakterisasi maupun untuk proses aplikasi medis.

I. Pembuatan Material Selulosa Bakteri (S) sebagai Kontrol Karakterisasi Biomaterial

Berdasarkan hasil orientasi, maka dilakukan proses pembuatan biomaterial selulosa bakteri dengan langkah-langkah yang sama namun tanpa

tahap pelapisan dengan chitosan. Alasan perlu dilakukan penambahan gula pasir dan urea karena sebagai sumber nutrisi tambahan bagi kehidupan bakteri

Acetobacter xylinum. Gula pasir digunakan sebagai sumber karbon sedangkan urea digunakan sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum. Sumber karbon penting bagi bakteri karena digunakan oleh bakteri untuk proses metabolisme dari bakteri tersebut sedangkan nitrogen merupakan komponen utama penyusun protein yang digunakan untuk metabolisme sel (Chawla et. al, 2009).

Menurut Pratomo dan Rohaeti (2011), penambahan bahan lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas biomaterial yang terbentuk. Suatu biomaterial dapat terbentuk akibat aktivitas bakteri Acetobacter xylinum, bakteri tersebut menggunakan unsur-unsur hara seperti N, H, O dan C untuk menyusun lapisan-lapisan selulosa. Berdasarkan komposisi bahan yang ditambahkan saat penelitian yang dilakukan oleh Pardosi (2008) ternyata didapatkan biomaterial selulosa bakteri yang terbentuk dengan sempurna. Berdasarkan penelitian tersebut maka dilakukan pemilihan komposisi pembuatan bioamaterial selulosa bakteri dari penelitian yang dilakukan oleh Pardosi (2008). Jalur biosintesis selulosa bakteri dapat dijelaskan melalui Gambar 13.

Gambar 13. Skema biosintesis selulosa bakteri

(Czaja, et. al., 2006) Gambar 13 menunjukkan bahwa biosintesis selulosa bakteri dari kultur bakteri Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh keberadaan glukosa dan fruktosa. Adanya glukosa dan fruktosa ini akan digunakan sebagai prekusor pembentukan selulosa sekaligus sebagai sumber karbon bagi metabolisme dari bakteri

Acetobacter xylinum. Glukosa dan fruktosa sendiri merupakan hasil hidrolisis dari sukrosa serta dari amilosa serta amilopektin yang terdapat dalam ketela rambat. Kandungan amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam ketela rambat sendiri pada umumnya adalah 1:3 (Winarno, 1992) sehingga adanya kandungan amilosa dan amilopektin ini juga dapat sebagai prekusor untuk pembentukan selulosa bakteri karena amilosa dan amilopektin sendiri ketika terhidrolisis akan menghasilkan glukosa sehingga akan menyebabkan selulosa bakteri yang terbentuk juga menjadi semakin tebal. Adanya keberadaaan dari amilosa dan amilopektin pada ketela rambat ini belum dapat diketahui apakah akan mempengaruhi karakteristik dari selulosa bakteri yang terbentuk.

Waktu fermentasi yang digunakan untuk membentuk selulosa bakteri adalah 7-14 hari, namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pada hari ketujuh, lapisan pelikel yang terbentuk sudah cukup tebal dan sudah tidak terlihat adanya cairan ketela rambat pada nampan yang digunakan sebagai sumber nutrisi saat fermentasi sehingga diputuskan bahwa waktu fermentasi optimum yang digunakan adalah tujuh hari. Waktu fermentasi optimum selama tujuh hari ini sendiri sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saragih (2004) yang menyatakan bahwa waktu optimum untuk fermentasi nata de coco adalah tujuh hari.

J. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol (SG)

Langkah pembuatan SG ini sama dengan pembuatan selulosa bakteri sebagai kontrol karakterisasi biomaterial. Hal yang membedakan yaitu terdapat penambahan gliserol sebanyak 0,5 gram untuk 100 mL limbah cair ketela rambat pada proses ini. Penambahan gliserol sebanyak 0,5 gram ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Pardosi (2008) yang menemukan bahwa dengan pemberian 0,5 gram gliserol ini sudah mampu memberikan peningkatan sifat mekanik dari selulosa bakteri.

K. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+Chitosan (SGK)

Dokumen terkait