• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Tionghoa di mana-mana, selalu menata atap rumahnya atau kuilnya seperti bentuk perahu, kadang-kadang berisi hiasan patung naga pada bagian bubungannya. Ornamen naga juga banyak menghiasi tiang-tiang utama bangunan. Bentuk dan nama bagian-bagian rumah atau kuil ini menyatakan asosiasi dengan makna yang terkandung dalam perahu naga: rumah atau kuil mempunyai “anjungan” dan “buritan”. Dalam arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta dapat ditemui ragam hias berbentuk naga atau lung, dimulai pada tiang utama bangunan sampai pada bagian bubungan atap. Keberadaan ragam hias naga ini dapat dikaitkan dengan ajaran Taoisme yang kuat hidup dalam masyarakat Tionghoa, khususnya tentang hong shui. Naga dalam ke-budayaan Tiongkok adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan secara menyeluruh berlaku umum maupun pada perorangan, diyakini berpengaruh langsung pada gemah ripah loh jinawi-nya daerah, kedu-dukan sosial, pangkat seseorang.

Dalam panda-ngan bangsa Tion-ghoa, sang naga da pat berpenetrasi di angkasa maupun di bawah tanah. Bangsa Tiong-hoa mengenali naga sebagai energi vital kehidupan atau chi dalam bentuk hawa, udara, feng atau angin. Keyaki-nan bahwa sang naga

Gambar 18 :

hidupnya di air tetapi mampu terbang ke angkasa untuk selanjutnya kembali ke bumi, mengungkapkan pengertian yang sistematis mengenai proses formasi siklus alami musim di bumi yang terus-menerus, dari penguapan air laut menjadi awan sampai menjadi hujan. Pada hakekat-nya, feng/hong atau anginlah yang membawa naga air atau shui terbang ke atas untuk selanjutnya menggumpal menjadi awan dan jatuh menjadi hujan yang membawa kesuburan di bumi. Jatuhnya hujan mempengar-uhi lingkungan kehidupan alami di bumi, kemudian kekuatan air ini menciptakan pola-pola tertentu (ngarai, lembah, sungai) demi perjalan-an kembalinya menuju induknya yakni lautperjalan-an atau samudra (Skinner, 1997: 92-101). Bentuk-bentuk bentangan alam (perpaduan gunung dan lembah) inilah yang kemudian dilihat sebagai naga dalam feng/hong shui.

Lebih lanjut Skinner melihat sang naga dalam ilmu feng shui adalah esensi kehidupan dari sistem alami yang memberi segala hal yang esensial bagi manusia (petani) dalam mengolah tanah (bercocok tanam) untuk mendapat makanan. Tetapi, feng shui yang tidak terkenda-li juga dapat membuka peluang bagi terjadinya malapetaka yang sama sekali tidak diinginkan. Karena itu pula, maka sang naga di dalam feng shui menjadi seekor binatang yang disegani sekaligus juga ditakuti. Tentu, yang disebut sang naga juga bukan hanya energi vital kehidupan (chi) saja, tetapi juga merupakan satu perwujudan dari hasil proses ker-jasama yang serasi antara feng (angin) dan shui (air).

Pesan makna yang disampaikan dari simbol-simbol tersebut yaitu dengan tercapainya keharmonisan kerjasama di antara unsur-unsur alam, maka terbentuklah energi vital kehidupan yang akan membawa kemakmuran bagi manusia di bumi. Berdasarkan pertimbangan logis itulah menurut hemat penulis maka simbol-simbol naga banyak dipakai menghias kuil-kuil masyarakat Tionghoa. Seperti diketahui, kuil adalah tempat untuk memohon segala kebaikan, kemakmuran dan kesejahte-raan kepada yang di atas (Tuhan, leluhur).

Dalam mitologi Tionghoa ada dikisahkan tentang keyakinan Kaisar Qin Shih Huang Di terhadap naga sebagai penjaga alam kahyang-an Peng Lai. Naga (lung) dalam budaya Tionghoa juga dipertimbkahyang-angkkahyang-an

sebagai sahabat manusia yang membawa berkat, ketika menurunkan hujan dari langit yang memperlancar panen pada kehidupan masyarakat agraris Tiongkok kuno. Keyakinan ini membuat orang Tionghoa begitu memuja naga. Karena itu, naga sering dijadikan malaikat penjaga ba-rang-barang suci atau tempat suci. Keyakinan orang Tionghoa akan naga sebagai salah satu malaikat Kerub (penjaga barang-barang suci) diimplementasikan ke dalam bentuk ragam hias ukiran naga pada tiang-tiang dan bubungan atap kuil (kelenteng atau Kongco), sebagai penjaga dan untuk penangkal petir, juga dipakai penjaga jembatan-jembatan untuk menangkal banjir (Kwek, 2006:201).

Dalam kebudayaan Bali kisah naga juga banyak dibicarakan dan disimbolkan, seperti dalam bentuk lelontek atau umbul-umbul yang di-pasang pada saat upacara suci (odalan) di pura. Lelontek ini umumnya dibuat dari kain berwarna merah, putih dan hitam, tetapi juga ada yang berwarna kuning dalam bentuk memanjang mengikuti panjangnya bambu yang melengkung. Kain lelontek ada kalanya dihias dengan lukisan naga kedewataan seperti naga Basuki, naga Anantabhoga dan naga Taksaka, sebagai lambang penjaga, pelindung dan pemberi ke-makmuran kepada masyarakat. Pemasangan lelontek biasanya diatur sedemikian rupa. Lelontek warna hitam sebagai lambang Dewa Wisnu dipasang di sisi Utara, lelontek warna putih sebagai lambang Dewa Siwa dipasang di bagian tengah, dan lelontek berwarna merah sebagai lambang Dewa Brahma dipasang di sisi selatan.

Naga sebagai ragam hias pada arsitektur tradisional Bali sering dapat ditemui di beberapa macam bangunan, secara umum antara lain: padmasana, gedong atau palinggih dan bade (menara jenazah pada waktu upacara ngaben). Adapun penempatan ornamen naga pada ketiga jenis bangunan suci ini pada umumnya pada bagian dasar atau bawah. Dasar padmasana, gedong, dan bade yang digambarkan ber-wujud seekor kurmaraja atau kura-kura besar disebut Bedawang Nala artinya kura-kura berkepala api, dililit oleh dua ekor (Anantabhoga = sumber makanan dan Basuki = sumber keselamatan). Selain pada bangunan padmasana, gedong, bade dan bangunan lain, penggunaan ornamen naga juga dapat ditemukan jenis bangunan pemujaan lain di

halaman utama pura, kadang-kadang ornamen naga juga ditempatkan di depan sebelah kiri dan kanan candi bentar atau kori agung. Penem-patan naga pada gedong atau palinggih juga umumnya ada terdapat di sebelah kanan dan kiri tangga menuju pintu masuk bangunan. Naga yang disebut naga banda juga sering dipakai penarik bade pada waktu upacara ngaben sarat (megah) untuk mantan raja penguasa tunggal di puri- puri (Titib, 2001: 399-400).

Naga juga dijadikan simbol kias pulau Bali. Seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Titib, yang melihat arsitektur padmasana adalah salah satu jenis palinggih untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, sebagai jenis bangunan yang pertama kali dianjurkan oleh Danghyang Nirartha untuk membedakan jenis bangunan palinggih lain yang telah ada di Bali sebe-lumnya. Beliau adalah orang suci yang berasal dari Majapahit. Ketika ia pertama kali masuk ke Bali pada pertengahan abad ke-15 dikisahkan bahwa “beliau masuk ke dalam mulut naga, dan di dalam mulut naga itu beliau melihat bunga teratai yang tidak berisi sari”. Rupa-rupanya cerita ini hanya suatu kias bahwa naga itu tidak lain adalah pulau Bali, merupakan simbol bumi yang dimasuki oleh Beliau. Setelah sampai di Bali beliau hanya menjumpai bangunan palinggih berupa meru dan gedong yang hanya berfungsi untuk memuja dewa-dewa, tidak ada satupun bangunan untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujudnya Yang Esa. Untuk itulah, beliau lalu menciptakan bangunan padmasana sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi. Bangunan meru dan gedong inilah yang diumpamakan dengan bangunan tanpa sari. Karena, meru dan gedong merupakan stana dewa-dewa manifestasi dari Sang-hyang Siwa atau SangSang-hyang Widhi. Dewa-dewa itu di dalam konsep padma anglayang dilukiskan hanya sebagai kelopak daunnya bunga padma (teratai), sedangkan Sanghyang Widhi atau Siwa adalah intinya atau sarinya. Dengan demikian menjadi sempurnalah sistem pemujaan kepada Tuhan dalam agama Hindu di Bali.

Masih berkaitan dengan naga, dikisahkan keadaan pulau Bali (Bali Dwipa Mandala) pada saat masih labil dan goyah. Keadaan ini diketahui oleh Hyang Pasupati yang berstana atau berparahyangan di Gunung Semeru, Jawa Timur. Agar pulau Bali menjadi stabil (tegteg),

Hyang Pasupati kemudian memerintahkan Sanghyang Bedawang Nala, Sanghyang Naga Anantaboga, Sanghyang Naga Basukih dan Sang-hyang Naga Tatsaka, untuk memindahkan sebagian puncak Gunung Semeru ke Bali Dwipa. Sanghyang Badawang Nala menjadi dasar dari potongan puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali Dwipa, Sanghyang Naga Anantabhoga dan Naga Basukih menjadi tali pengikatnya. Sedangkan Sanghyang Naga Tatsaka di samping menjadi pengikat puncak gunung Semeru, sekaligus menerbangkan dari Jawa Dwipa Wetan (Jawa Timur) ke Bali Dwipa. Kemudian, sesudah tiba di Bali Dwipa bagian puncak Gunung Semeru yang dibawa dengan tangan kanan dijadikan Gunung Udaya Parwata/Tohlangkir/Gunung Agung, yang di bawa dengan tangan kiri menjadi Gunung Cala Lingga/Gunung Tampurhyang/Gunung Sinarata/Gunung Lekeh/Gunung Lebah/Gunung Ideran/Gunung Sari/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Catur/ Gunung Batur. Kedua gunung ini kemudian dikenal sebagai Dwi Lingga Giri, yang kemudian menjadi parahyangan purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan) dalam konsep rwa bhineda di Bali Dwipa. Setelah itu, Hyang Pasupati menugaskan pura-putranya datang ke Bali, untuk ber-stana di puncak-puncak gunung tersebut dan menjadi jun-jungan (amongan, sungsungan, penyiwian) para raja dan rakyat di Bali Dwipa (Desa Pakraman Batur, 2006: 3).

Jadi, simbol naga dalam kebudayaan orang Tionghoa memiliki nilai makna (sakral) yang sama dangan kebudayaan Bali, sehingga dengan mudah berakulturasi ke dalam bentuk-bentuk arsitektur Bali Griya Kongco Dwipayana.

Dokumen terkait