• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : ANCAMAN DAPAT DIGUNAKAN SEBAGA

3. Otentitas Akta Otentik

Akta Notaris sebagai bentuk produk wewenang notaris dalam menjalankan jabatannya menurut UUJN secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Hakekat pengertian dari rumusan Pasal 1 angka 7 UUJN memberikan makna dasar berupa, pertama, berkaitan dengan kualifikasi suatu akta notaris sebagai akta otentik, jika memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 UUJN. Kedua, berkaitan dengan bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris harus sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditentukan

dalam UUJN. Ketiga, berkaitan dengan pihak-pihak dalam pembuatan akta dibuat oleh notaris dan dihadapan notaris.22

Tandyo Hasan, mengemukakan hakekat suatu Akta Notaris yang dapat memiliki nilai otentisitas sebagai akta notaris yaitu :23 Pertama, Akta notaris sebagai

akta otentik hakekatnya harus memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Hal ini sebagai bentuk pertanggung jawaban hukum dari penghadap (para pihak) pemohon akta kepada notaris atas kebenaran formal segala peristiwa hukum atau hal-hal yang akan dituangkan dalam isi akta, misalnya kebenaran terjadinya pembayaran dan atau pengakuan para pihak telah terjadinya pembayaran yang mana akta tersebut berlaku pula sebagai tanda penerimaan pembayaran, walaupun pembayarannya tersebut tidak dilaksanakan dihadapan notaris, namun diakui oleh kedua belah pihak pembayaran tersebut telah terjadi maka hal tersebut, di satu sisi harus dinyatakan benar dan di sisi lain kalau apa yang disampaikan atau apa yang dinyatakan dan dibacakan oleh notaris tidak sesuai maka salah satu pihak atau para pihak mempunyai hak untuk tidak menandatangani akta tersebut, dan bila apa yang disampaikan pihak-pihak ternyata tidak benar atau berdasarkan fakta yang tidak benar maka selayaknya pihak tersebut dianggap memberikan keterangan palsu kepada pejabat. Kedua, Notaris harus mempunyai kewajiban membacakan isi akta yang akan ditandatangani oleh para pihak (pemohon

22 Tandyo Hasan, Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Sebagai Akta Otentik, “Disertasi”

Universitas Airlangga, Surabaya, 2008, hlm. 42.

akta). Ketiga, Notaris wajib memberitahukan keterkaitan perundang-undangan yang berlaku terhadap isi akta yang akan ditandatangani oleh para pihak. Keempat, para pihak diberikan keleluasaan untuk menyampaikan kepada notaris jika ada peraturan perundang-undangan yang terkait akan isi akta yang akan ditandatangani oleh para pihak, bila notaris tidak mengetahuinya. Kelima, para pihak diberikan kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya. Keenam, akta tersebut harus ditandatangani oleh para pihak. Ketujuh, akta tersebut harus memenuhi bentuk sebagai akta notaris sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 38 ayat (1) UUJN, yaitu awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir akta atau penutup akta. Kedelapan, akta tersebut yang dibacakan oleh notaris harus dihadiri paling sedikit 2 (dua) saksi.

Merujuk pada uraian Pasal 38 UUJN mengenai bentuk dan sifat akta otentik yakni setiap akta Notaris terdiri atas awal akta atau kepala akta; badan akta; dan akhir atau penutup akta, sebagai suatu perdyaratan untuk dapat disebut sebagai akta otentik, namun otentitasnya akta tersebut dapat berubah, sebagaimana dikemukakan oleh Lumban Tobing24 bahwa dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan …,

maka akta itu hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, akta itu kehilangan otentitasnya, demikian juga kekuatan eksekutorialnya”. Perihal kekuatan akta sebagaimana dikemukakan oleh Lumban Tobing adalah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 84 (1) UUJN, bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris.

Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap Pasal-Pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam Pasal-Pasal yang lainnya, yaitu:25

1. Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

2. Akta notaris menjadi batal demi hukum.

Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan dan akta notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda. Pasal 84 UUJN mencampuradukkan atau tidak memberikan batasan kedua sanksi tersebut, dan untuk menentukan bersifat alternatif dengan kata atau pada kalimat “...mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau

suatu akta menjadi batal demi hukum...”.26 Oleh karena dua istilah tersebut mempunyai pengertian dan akibat hukum yang berbeda, maka perlu ditentukan ketentuan (Pasal-Pasal) mana saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran dengan sanksi akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Kemudian juga perlu ditegaskan, apakah sanksi terhadap notaris kedua hal tersebut sebagai akibat langsung dari akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.

Untuk menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari:27

1. isi (dalam) Pasal-Pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

2. jika tidak disebutkan dengan tegas dalam Pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka Pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika disebutkan dengan tegas dalam Pasal yang bersangkutan, dan yang tidak disebutkan dengan tegas dalam Pasal yang bersangkutan termasuk sebagai akta menjadi batal demi hukum.

26Ibid., hlm. 94. 27Ibid.

Pasal 1869 BW menentukan batasan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena:

(1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau (2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau (3) cacat dalam bentuknya.

Hal ini berarti bahwa kuasa substitusi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika kuasa substitusi tersebut dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Kuasa substitusi dibuat oleh atau di hadapan notaris, sehingga dibuat oleh pejabat yang mempunyai wewenang membuat akta otentik sebagaimana Pasal 15 ayat (1) UUJN. Pejabat pembuat akta otentik tersebut mampu membuat akta dalam arti pejabat tersebut tidak mengalami cacat atau gangguan kejiwaan dan telah dewasa, akta kuasa substitusi tersebut dibuat tidak memenuhi syarat bentuk akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UUJN, karena notaris tidak mengenalkan penerima kuasa kepada pemberi kuasa. Akta yang tidak memenuhi bentuk otentik akta sebagaimana Pasal 38 UUJN, maka tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik melainkan kekuatan pembuktian sebagaimana akta di bawah tangan.

Sehubungan dengan batasan akta notaris batal demi hukum, ada kaitannya dengan kewenangan notaris membuat akta otentik berkaitan dengan bentuk dan sifat akta sebagaimana Pasal 38 UUJN. Pada akta tersebut jika tidak ada judul akta;

nomor akta; jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris pada awal akta. Pada akta tidak dicantumkan nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal pada badan akta. Atau pada akta tidak menguraiakn tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I (mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya) atau Pasal 16 ayat (7) (membaca akta tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris); uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian

pada akhir atau penutup akta memuat. Selain itu pada akta tidak dipenuhinya syarat obyektif sahnya perjanjian.

Perjanjian harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 B.W., terdiri atas syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif berkaitan subyek pembuat akta atau penghadap, yakni sepakat dan cakap, sedangka syarat obyektif berkaitan dengan obyek pembuatan akta dan obyeknya tidak dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Subekti mengemukakan bahwa dua syarat yang pertama, dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.28

Perjanjian yang dibuat apabila syarat subyektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut:”apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan”.29 Jika syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian

adalah batal demi hukum, Sehingga secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang dimaksud dalam perjanjian itu.30

Mengenai perjanjian harus mempunyai obyek tertentu ditegaskan dalam Pasal 1333 BW, yaitu suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang dikemudian hari jumlah (barang) tersebut

28 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, hlm.17 29Ibid, hlm.22

dapat ditentukan atau dihitung. Pasal 1335 BW menegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu tidak mempunyai kekuatan, ini membuktikan bahwa setiap perjanjian harus mempunyai kausa yang halal, tetapi menurut Pasal 1336 BW, jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada ssuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu lain daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikain adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 BW). Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika:

(1) tidak mempunyai obyek tertentu yang dapat ditentukan;

(2) mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan disebutkan dengan tegas dalam Pasal-Pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebtu di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain itu termasuk kedalam akta notaris yang batal demi hukum, yaitu:31

a. melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).

b. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.

c. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenal penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang dighunakan dalam akta, memakai penterjemah rersmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, mnotaris dan penterjemah resmi.

d. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atas pengusahaan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atas pengubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan.

e. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yagn diubah mengakibatkan perubahan tersebtu batal.

f. Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.

g. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

Ketentuan tersebut di atas yang dapat dikualifikasikan akta notaris batal demi hukum, sebenarnya hanya merupakan tindakan kewajiban yang harus dilakukan oleh notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tanpa ada obyek tertentu dan sebab yang halal, sehingga jika ukuran akta notaris batal demi hukum berdasarkan kepada unsur- unsur yang ada dalam Pasal 1335, 1337 BW, maka penggunaan istilah batal demi hukum untuk akta notaris karena melanggar Pasal-Pasal tertentu dalam Pasal 84 UUJN menjadi tidak tepat, karena secara substansi sangat tidak mungkin notaris membuatkan akta untuk para pihak yang jelas tidak memenuhi syarat objektif.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas berkaitan dengan ancaman dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menilai otentitas akta yang

dibuat di hadapan notaris dapat dijelaskan bahwa wewenang notaris membuat akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris tidak didasarkan atas kesepakatan yang tidak bebas karena adanya suatu ancaman, maka akta tersebut dibuat tidak memenuhi syarat subyektif sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 B.W., yakni sepakat kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Akta yang dibuat tidak memen uhik syarat sub yektif sahnya perjanjian, maka akta tersebut dapat dibatalkan, sehingga akta tersebut tidfak batal demi hukum, melainkan batalnya akta tersebut didasarkan putusan hakim. Akta yang dibuat oleh dan atau di hadapan notaris kekuatan hukumnya dapat terdegradasi menjadi akta yang mempunyai kekuatan hukum sebagaimana akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Mengenai terdegradasinya akta tersebut karena tidak dipenuhinya syarat subyektif sahnya perjanjian atau notaris dalam membuat akta melanggar larangan-larangan, sedangkan akta otentik terdegradasi menjadi batal demi hukum, karena tidak dipenuhinya syarat obyektif sahnya perjanjian atau karena tidak memenuhi bentuk dan sifat sebagai akta otentik sebagaimana pasak 38 UUJN atau notaris tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana Pasal 16 ayat (1) huruf 1 dan ayat (7) UUJN. Menurut Lumban Tobing32

suatu akta yang tidak memenuhi persyaratan bentuk (vormvoorschrift) atau yang dibuat dengan melanggar wewenang, hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, akan tetapi tetap merupakan akta notaris. Tetap sebagai akta notaris karena akta tersebut dibuat oleh dan atau di hadapan notaris, hanya saja otentitas akta terdegradasi tidak lagi sebagai akta otentik, melainkan akta yang

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Akta yang dibuat tidak didasarkan kesepakatan yang diberikan secara bebas dapat dimohonkan pembatalan, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 84 ayat (1) UUJN, bahwa akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, tidak dijumpai bahwa akta tersebut dapat dibatalkan. Hal ini berarti bahwa selama akta tersebut tidak dimohonkan pembatalan, maka tidak mempengaruhi otentitasnya akta yang dibuat oleh dan atau di hadapan notaris. Hal ini berarti bahwa ancaman yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menilai otentitas akta yang dibuat di hadapan notaris tidak didasarkan atas kesepakatan penghadap secara bebas (menurut Pasal 1321 B.W), bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan, dapat dijelaskan bahwa akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik selama pihak yang dirugikan tidak mengajukan permohonan pembatalan akta tersebut.

Dokumen terkait