• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Desa Pakraman Di Bali setelah Keluarnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Apabila melihat sistem kemasyarakatan Bali yang dilaksanakan secara turun temurun selama ini dalam ikatan berlandas Tri Hita Karana, maka dapat dilihat bagaimana desa adat berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya sebagai suatu desa adat, yaitu unsur warganya yang dinamakan Pawongan, unsur wilayah desanya dinamakan Palemahan, dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga desanya yang dinamakan Parhyangan yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Berdasarkan fungsinya, diprogramkanlah tugas-tugas desa yang dituangkan dalam bentuk awig-awig desa, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.9

Rumusan secara rinci tentang bagaimana desa adat di Bali yang kemudian dipayungi secara legal dalam Perda dijabarkan oleh Surpha. di Bali Menurutnya desa di Bali digunakan untuk menunjuk suatu wilayah pemukiman penduduk beragama Hindu. Jika dirujuk pada hasil rekomendaasi Parisada Hindu Dharma Pusat selaku Majelis Tertinggi Agama Hindu di Indonesia, dimana terdapat juga dalam Ketetapan-Ketetapan Maha Sabha dan Pesamuhan Agung, pengaturan Desa Adat tidak dapat dilepaskan dari jangka waktu tinggal, sistem pakramannya, mewujudkan tata hidup yang harmonis dengan pemimpinnya yang dianggap mampu mengatur masyarakat untuk mewujudkan kertha raharjaAdanya Kahyangan Tiga merupakan syarat mutlak bagi suatu Desa Adat. Adanya kahyangan tiga dimana Pura Dalem sedapat-dapatnya terpisah dari Pura Puseh, Pura Desa dan dekat Patunon. Kepengurusan terhadap kahyangan desa adalah hak dan sekaligus kewajiban yang diemban desa adat bersangkutan termasuk dalam perlengkapan upacaranya dan pengaturan laba pura. Hal berikut juga diatur bahwa setiap patunon harus dapat di tepi desa, terlindung dari pandangan umum, sedapat-dapatnya di dekat air dan harus ada Prajapati. Pelaksanaan ajaran agama sebagaimana tata cara adat supaya dipupuk sesuai dengan Desa, Kala, Patra dan demi kemurnian pelaksanaan ajaran agama, diserukan agar adat jangan sampai

9 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Cet.Pertama hlm 16

menjadi penghambat pelaksanaan ajaran agama. Desa adalah masyarakat hukum yang bersifat kesatuan hidup sosial keagamaan dan Banjar merupakan bagian dari Desa. Untuk menjaga ketertiban hidup di desa, diserukan penyuratan awig-awig.

Ada juga upaya agar Status tanah pekarangan desa supaya ditertibkan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Semua hal yang telah dijabarkan tersebut oleh Surpha ditekankan bagaimana situasi desa baik itu para pemimpin desa dan pemuka-pemuka agama di desa supaya menjalin kerjasama yang erat dalam menghayati ajaran-ajaran Agama Hindu.10

Berdasar uraian Surpha tergambar bagaimana secara mandiri ada pengelolaan di desa pakraman yang ditujukan bagi harmonisasi kehidupan bersama diantara anggota, pemimpin dan wilayah mereka yang dijaga berdasar aturan yang disebut awig-awig yang terumuskan berdasar Tri Hita Karana. V.E Korn menggambarkan sebagai sebuah republik kecil Masyarakat hukum disebut dengan desa adat (sekarang desa pakraman). Desa adat di Bali, tidak sama dengan masyarakat hukum pada umumnya, karena mempunyai kekhususan, yaitu mencerminkan corak kehidupan yang bercirikan adanya unsur Pura Kahyangan.11

Sesuai paparan V E Korn sebagai suatu kesatuan yang mepunyai kekhususan, Ida Bagus Putu Purwita menyatakan bahwa desa adat khususnya desa adat Bali juga berperan sebagai penopang pembangunan. Desa desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi :

1. Membantu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa/pemerintah kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama di bidang keagamaan, kebuadayaan dan kemasyarakatan.

2. Melaksanakan hukum adat istiadat dalam desa adatnya

10 Ibid hlm 10.

11 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Pres, Cet.Pertama, hlm.1

3. Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap h Bali khususnya, hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan.

4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali khususnya, berdasarkan paras paros, salunglung sabayantaka dan musyawarah untuk mufakat.

5. Menjaga dan memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat adat.12

Sesuai otonomi yang selama ini berjalan, maka dengan tetap sebagai suatu kesatuan yang disebut desa adat, desa pakraman akan bisa berjalan sesuai dengan otonominya juga berkaitan dengan fungsinya sebagai filter dalam menyaring nilai-nilai budaya yang baru dalam kehidupan masyarakat Bali. Demikian hakekatnya sehingga dengan bentuk desa adat kemandirian jelas tercermin mengingat selama ini dapat mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan aturan yang ditetapkan bersama masyarakatnya.

Arti penting bentuk desa adat juga dimaksudkan dalam pelestarian nilai-budaya, desa adat adalah pengemban tugas utama, karena pendukung kebudayaan Bali adalah masyarakat Bali itu sendiri yang kehidupannya dikoordinasikan di desa adat. Pengertian desa adat tidaklah patut dipisahkan dari kota, karena kota pun terdiri dari beberapa desa adat juga. Banjar banjar dikota bahkan yang heterogen dan dilanda globalisasi juga tetap kukuh melaksanakan adat isiadat sesuai dengan yang selama ini diwarisi dengan jiwa dan kepribadian Bali khususnya.13

Penguatan Desa Adat terutama haknya kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah

12 Ida Bagus Purwita, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Upada Sastra, Denpasar, hlm. 52

13 Ibid, hlm.59

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam asasnya peraturan ini memperkokoh asas kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial dengan kedudukan kuat atas pengelolaan kekayaan alam yang ada di wilayahnya. PP ini mengupayakan masyarakat desa adat yang dalam beberapa hal terdesak oleh kepentingan investor dan atas ekspoitasi di wilayah mereka seringkali merasakan dampak buruknya maka keberadaan desa adat harus diperkuat.

Terkait dengan otonomi, atas penguatan desa adat, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam mencerminkan nuansa ke otonomian masyarakat lokal untuk menguasai, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya lokal, karena mkna dan hakekat dari otonomi daerah harus diterjemahkan sebagai pemberian otonomi kepada msyarakat di daerah, masyarakat adat, lokal dan bukan semata-mata pemberian otonomi kepada pemerintah daerah. Peran pemerintah sebagai fasilitator dimaksudkan untuk :

1. Mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam;

2. Menjamin pengakuan dan perlindungan akses dan hak-hak masyarakat adat/lokal di daerah atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam;

3. Melindungi dan mengakomodasi modal sosial ( social capital) seperti kearifan, etika, citra, religi, dan pranata-pranata sosial dalam masyarakat di daerah; dan

4. Mengakui dan mengakomodasi kemajemukan hukum yang secara nyata tumbuh dan berkembang dalam masyarakat14

Jika dilihat secara teoritiknya maka desa adat meeupakan bidang sosial semi otonomi ( the semi-autonomous social field) yang berada fdalam satu kerangka acuan sosial yang lebih luas yaitu negara, yang memiliki hak melakukan

14 I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Universitaas Negeri Malang Press, hlm. 113

pembentukan aturan dengan disertai kekuayan memaksa di dalam kelompoknya.

Relasi desa adat dan negara adalah relaasi timbal balik. Relasi desa adat dan negara berupa berbagai proses yang memungkinkan aturan-aturan yang timbul dari dalam menjadi efektif, juga meeupakan kekuatan yang tunduk, kepada aturan –aturan yang dibuat oleh negara.15

15 Marhaendra Wija Atmadja, 2014, Konstitusionalitas Desa Adat, Memahami Norma Hukum Desa Adat Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Makalah Pada Seminar Nasional Kedudukan Desa Adat Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Denpasar, 28 Juni 2014

BAB VI

Dokumen terkait