• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otoritas Keilmuan al-Ghazali

Dalam dokumen TESIS SITI RIF'A TUSSA'ADAH S (Halaman 47-51)

Pada waktu ayah al-Ghazali sudah tidak mampu lagi memberikan nafkah dikarenakan kesederhanaan kehidupannya, dan ketika itu ajalnya segera tiba. Ayahnya berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya untuk memelihara al-Ghazali. Al-Ghazali sudah diajari menulis (khat).63 Pada waktu dimasukkan ke sebuah Madrasah di °us, al-żhazali mulai belajar fikih Syafi’i dan teologi Asy’ari

dari seorang guru yang bernama Ahmad ibn Muhammad al-Razakani al-°usi. Inilah awal mula al-Ghazali bergelimang dengan dunia ilmu yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Setelah itu, dia melanjutkan studinya ke Jurjan yang mempunyai madrasah lebih besar di bawah pimpinan seorang ulama bernama Abu Na¡r al-Ismaili, dimana usianya belum mencapai 20 tahun. Selain belajar ilmu agama dia juga giat mempelajari bahasa Arab dan Persia.64

Setelah menuntut ilmu di Jurjan, al-Ghazali kembali ke °us. Di sini dia

62

Yedi Purwanto, Konsep ‘Aqabah.., h. 28-29. 63

Al-Ghazali, Munqi§…, h. 269. 64

selama tiga tahun mengkaji ulang hasil pelajarannya di Jurjan sehingga dapat dikuasainya dengan baik. Selama itu, dia sempat pula mempelajari tasawuf dari Yusuf an-Nassaj (w. 487H).65 Sesudah itu, al-Ghazali berangkat ke Nisabur bersama beberapa temannya untuk berguru kepada Abu al-Ma’ali al Juwayni (w. 478H) salah seorang tokoh Asy’arisme masa itu yang sedang memimpin

perguruan tinggi an-Ni§amiyyah. Di sini al-Ghazali belajar berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum seperti fikih, teologi, logika, filsafat dan metode berdiskusi.

Dengan demikian, perkembangan intelektual dan kecerdasannya berkembang sehingga diakui oleh gurunya sendiri. Ia digelari oleh gurunya dengan bahr mughriq (samudra yang menenggelamkan) dan sering diminta untuk mengajar adik-adik kelasnya. Di sini pula al-Ghazali memulai karirnya sebagai pengarang dan menulis beberapa karya tulis di bidang fikih dan ushul fikih dalam mazhab Syafi’i. Karya pertama al-Ghazali berjudul al-Mankhul fi ‘Ilm al-U¡ul yang sangat menggembirakan gurunya al-Juwaini. Meskipun di sisi lain sang guru merasa iri kepada al-Ghazali dengan mengatakan: “Anda sampai hati menguburku padahal aku masih hidup. Apakah anda tidak sabar menunggu sampai aku meninggal?”. Di sini pula al-Ghazali sempat belajar sufisme dari Abu Fa«l ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Farma«i (w. 477 H) dari segi teori dan prakteknya.66 Dengan demikian, selama di Nisabur al-Ghazali benar-benar menjadi intelektual yang paripurna pengetahuannya waktu itu. Ditambah lagi dengan kemampuannya dalam berdiskusi bersama para intelektual dan banyak menulis karya ilmiah.

Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali meninggalkan kota Nisabur dan

menuju Mu’askar, karena gurunya yang sangat berjasa terhadap karir intelektualnya, al-Juwayni telah meninggal. Al-Ghazali menuju Mu’askar dengan

maksud ikut bergabung dengan para intelektual di sana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Ni§am al-Mulk, wazir Saljuk. Kehadiran al-Ghazali di

65

Ibid, h. 29. 66

majelis ilmiah ini disambut gembira oleh Ni§am al-Mulk yang selalu hadir dalam segala acara. Dalam majelis ilmu tersebut, nama al-Ghazali melangit karena kedalaman ilmunya, kehebatan analisisnya dan ketajaman argumentasinya sehingga semua partisipan mengakui keunggulannya.

Dengan demikian, jadilah al-żhazali “Imam” atau anutan para intelektual wilayah Khurasan waktu itu. Lebih kurang enam tahun al-Ghazali bergelimang

dengan perdebatan ilmiah di Mu’askar ini. Selama itu ilmunya makin mendalam,

terutama di bidang fikih dan kalam. Akhirnya setelah Ni§am al-Mulk melihat reputasi ilmiahnya yang cemerlang itu, al-Ghazali pun diangkatnya sebagai guru besar sekaligus memimpin perguruan al-Ni§amiyyah di kota Baghdad pada tahun 484H/ 1091M, yang sudah didirikannya sejak tahun 458H/ 1065M.67

Pada perguruan Ni§amiyyah Bahgdad, al-Ghazali memberi kuliah teologi

dan fikih (Syafi’i). Kuliah-kuliahnya dihadiri oleh tiga ratusan tokoh ulama yang tekun mengikutinya, termasuk di antara pemuka mazhab Hambali, seperti Ibn

‘Aqil dan Abu al-Kh±b. Suatu hal yang sangat langka terjadi pada saat permusuhan antar mazhab meruncing pada masa itu. Oleh karena itu, dengan cepat nama al-Ghazali terkenal di wilayah Irak, hampir saja mengalahkan

kepopuleran para penguasa dan para panglima ibukota ‘Abbasiyah. Di sela-sela kegiatan al-Ghazali juga mempelajari filsafat secara mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahun secara otodidak, dia sudah dapat menguasai segala aspek filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah para filsuf Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawaih (w. 421H) dan mereka tergabung dalam “Ikhwan al -¢afa”.

Penguasaan al-Ghazali terhadap filsafat dibuktikan dengan sebuah karyanya berjudul Maqa¡id al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf). Buku itu mendeskripsikan tiga pokok ajaran filsafat Yunani, yaitu logika, metafisika dan fisika. Dengan bahasa yang mudah menurut Sulaiman, buku ini betul-betul dapat memudahkan para pemula mengkaji filsafat Yunani. Hal ini dikarenakan susunannya yang sistematis dan bahasanya mudah dipahami. Kemampuannya di bidang filsafat ini diselaraskannya dengan misi penguasa dan para ulama

67

(ahlusunah) waktu itu, yaitu mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggap berbahaya bagi agama. Untuk itu, al-Ghazali mengeluarkan karyanya di bidang filsafat yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filsuf). Dengan karyanya yang monumental ini, al-Ghazali berhak menyandang gelar sebagai filsuf Islam. Isinya berpretensi untuk menghancurkan reputasi para filsuf di mata umat, karena adanya kerancuan pemikiran mereka sehingga bertentangan dengan akidah yang benar.

Reputasi al-Ghazali di bidang filsafat ini menambah ketenaran namanya karena memang belum ada seorang teolog pun yang selama ini mampu menghantam pemikiran para filosof dengan senjata mereka sendiri, yaitu logika. Oleh karena itu, pada waktu Ghazali menghadiri penobatan khalifah al-Musta§ir bi Allah pada tahun 487 H, dia diminta khalifah ‘Abbasiyah itu untuk

menulis karyanya yang menghantam aliran ba¯iniyyah. Pada waktu itu gerakan ba¯iniyyah sedang gencar-gencarnya mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Al-Ghazali pun menekuni doktrin-doktrin ba¯iniyyah, sampai lahirlah karyanya yang berjudul Fa«a’ih al-Ba¯iniyyat wa Fa«a’il al -Musta§iriyyah (kelangsungan paham ba¯iniyyah dan keutamaan paham al-Musta§ir bi Allah).

Selain itu, al-Ghazali tetap mendalami bidang fikih dan kalam sehingga keluarlah beberapa karya tulisnya di bidang ini.68 Dengan demikian, al-Ghazali merupakan sosok seorang intelektual yang berhasil menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan aspirasi dan misi penguasa pada masanya. Wajarlah kalau al-Ghazali memperoleh kemewahan hidup di samping ketenaran namanya. Al-Ghazali akhirnya berhasil mencapai puncak karir intelektualnya yang menjadi harapan para intelektual pada umumnya. 69

Keilmuan al-Ghazali sangat diakui oleh seluruh pihak sehingga Samuel M. Zwemwr mengatakan ada empat orang yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu: Nabi Muhammad, Imam al-Bukhar³ sebagai pengumpul hadis yang

68

Yakni di bidang fikih al-Wajiz (ringkasan), al-Wasi¯ (pertengahan) dan al-Basi¯ (sederhana), di bidang kalam yakni Al-Iqti¡ad fi al-I’tiqad (moderasi dalam akidah).

69

A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa, Tazkiyat al-Nafs & Kesehatan Mental ( Jakarta:Amzah, 2001), h. 16-18.

paling masyhur, Imam Asy’ari sebagai teolog besar dan penantang rasionalisme dan Imam al-żhazali sebagai seorang “reformer” dan sufi. Adapun nama yang disebutkan paling akhir ini telah meninggalkan pengaruh yang begitu luas atas sejarah Islam dibandingkan dengan siapapun setelah Muhammad. Boleh jadi, karena jasa dan pengaruhnya yang begitu besar itulah, maka as-Sayuti, kutip Zwemwr dan banyak kaum muslimin seperti yang diungkapkan Nichloson: ”Seandainya setelah Nabi Muhammad ada seorang nabi, maka al-Ghazalilah nabinya.” 70

Disebutkan pula bahwa ia adalah tokoh terbesar dalam sejarah reaksi Islam Neo-Platonisme, ia adalah seorang ahli hukum, teolog, filosof dan sufi.71

Dalam dokumen TESIS SITI RIF'A TUSSA'ADAH S (Halaman 47-51)

Dokumen terkait