• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada tahun1350

Adanya kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat.

1. Di Tapanuli.—Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).

2. Di Jambi.—Undang-Undang Jambi.

3. Di Palembang.—Undang-Undang Simbur Cahaya

(Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang).

4. Di Minangkabau.—Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau).

5. Di Sulawesi Selatan.—Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo).

6. Di Bali.—Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan

Agama desa (peraturan desa) yang ditulis pada daun

Berdasarkan hasil penelitian pada masa pemerintahan De Carventer pada tahun 1625 dan ia berkesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.

Berdasarkan hasil karya ilmiah (disertasi) putra-putra bangsa mengenai hukum adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda pada tahun 1918, antara lain:

1. Kusumaatmaja menulis tentang wakaf tahun 1922;

2. Soebroto menulis tentang sawah vervavding (gadai sawah) tahun 1925;

3. Endabumi menulis tentang Batak Grondenrecht (hukum tanah suku Batak) tahun 1925; dan

4. Soepomo menulis tentang Vorstenland grodenrecht (hak tanah di Kerajaan-Kerajaan) tahun 1927.

Sejarah Politik Hukum Adat

Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum Eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi (persamaan).

Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah Kolonial, sampai di mana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai di mana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.

Secara singkat kronologis dari usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Belanda dalam rangka politik hukum adat sebagai berikut:

Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal.

Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda.—Usaha inipun gagal.

Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen.—Usaha ini belum terlaksana.

Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat.—Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.

Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia.—Hal ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.

Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.

Pada tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari "unifikasi" beralih ke "kodifikasi".

Hukum Perkawinan Adat

1. Sistem Endogami.—Dalam sistem ini, orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem ini jarang sekali terdapat di Indonesia. Menurut van Vollenhoven, sistem ini terdapat di Toraja, namun sudah semakin jarang karena interaksi masing-masing anggota masyarakat.

2. Sistem Eksogami.—Dalam sistem ini, orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Misalnya, daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Sumatra Selatan, Minangkabau, Buru dan Seram.

3. Sistem Eleuthrogami.—Dalam sistem ini tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistem Endogami dan Eksogami. Sistem ini paling banyak terjadi di Indonesia, misalnya Aceh, Sumatra Timur, Bangka, Belitung, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Sulawesi Selatan, Papua, bali, Lombok dan seluruh Jawa dan Madura.

Hukum Adat Waris

1. Sistem Kewarisan Individual—adalah sistem pewarisan yang memperoleh bagian harta warisan berdasarkan pada individu atau perseorangan. Atau dengan kata lain, harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris.—Sistem kewarisan ini terdapat pada kelompok masyarakat parental (bilateral), seperti di Jawa, dan kelompok masyarakat patrilineal seperti Sumsel, Sumut dan Aceh.

2. Sistem Kewarisan Kolektif—adalah sistem pewarisan yang mengalihkan harta warisan kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak boleh dibagi-bagikan.—Sistem kewarisan ini terdapat pada kelompok masyarakat matrineal, seperti Minangkabau di Sumbar; dan pada kelompok masyarakat patrineal, seperti Minahasa (Sulut) dan Lampung.

3. Sistem Kewarisan Mayorat—adalah sistem pewarisan yang mengalihkan harta warisan kepada ahli waris (anak) tertua. Misalnya, di Bali terdapat hak mayorat anak laki-laki tertua, dan di tanah Semendo (Sumsel) yang terdapat hak mayorat anak perempuan tertua.

Hukum Tanah Adat

Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan peraturan tanah dalam hal penetapan hak, pemeliharaan, pemindahan hak dan lain sebagainya—disebut "hukum tanah".

Sebagai kaidah yang pokok adalah apa yang disebut hak ulayat (beschikkingrecht) atau disebut juga dengan "hak pertuanan".

Dalam hukum tanah, perjanjian jual beli atau transaksi tanah di masyarakat adat ada tiga macam—yaitu:

1. Jual gadai. Artinya suatu transaksi penyerahan tanah

dengan pembayaran kontan dengan ketentuan yang punya tanah suatu waktu/dalam jangka tertentu dapat mengambil tanah tersebut dan uang dapat dikembalikan lagi.

2. Jual lepas. Artinya suatu transaksi tanah dengan

pembayaran kontan dan tanah diserahkan secara langsung kepada pembeli.

3. Jual tahunan. Artinya suatu transaksi dengan pembayaran

Manfaat, Kegunaan dan Tujuan

Dokumen terkait