• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pamungkas (Yudha) Dewanto kawan Abah Hamid. Menyelesaikan S1 di HI

UI, S2 di Ritsumeikan Uni, dan sedang menempuh S3 di Vrije Universiteit Amsterdam

an Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), saya kerap kali dibuat bingung oleh pemilahan identitas dalam pergaulan oganisasi (yang kemudian saya pahami bahwa pemilahan-pemilahan semacam itu adalah kebodohan yang tidak tertandingi). Pemilahan ini secara tidak sadar menjauhkan saya dari orang-orang seperti Abah Hamid.

Perjumpaan saya dengan Abah Hamid diawali ketika saya tengah melanjutkan studi S2 di Kyoto pada tahun 2012, tujuh tahun setelah saya mendengar nama almar-hum pertama kali. Almaralmar-hum kala itu menempuh studi S3. Uniknya, saya mendengar kabar bahwa Abah Hamid tengah menempuh studi di Kyoto bukan dari almarhum, melainkan dari kawan-kawan Jepang yang merupakan mahasiswa studi Indonesia dari Universitas Kyoto. Mung-kin ini suatu pertanda awal bahwa almarhum adalah sosok yang tenar di lingkaran studi Indonesia di Kyoto, bahkan di awal masa studinya. Reputasi yang baik semacam ini bagi mahasiswa S3 pemula sangatlah jarang didapati. Namun faktanya tidak untuk Abah Hamid. Terkait hal ini, Abah telah di depan.

Perjumpaan singkat saya yang mengesankan dengan alharhum diawali di sebuah kedai teh yang cukup tenar di Kyoto pada tahun 2014. Di situ, kami berbincang ten-tang berbagai tanten-tangan sebagai akademisi, dan sebagai orang Indonesia. Satu hal yang tidak pernah saya lupa, Abah berbagi informasi tentang adanya fenomena jurnal predator yang terindeks Scopus, suatu topik yang baru belakangan ini mendapatkan sorotan di berbagai media di Indonesia. Beliau membagikan karya-karya Jeffrey Beall, seorang pustakawan dan peneliti yang fokus

mela-kukan identifikasi praktik publikasi “jongkok” di berba-gai penerbit. Sebelum saya mengenal ‘apa itu publikasi’, Abah telah membeberkan berbagai “penyakitnya”. Sederhananya jurnal-jurnal ini menjadi katalis praktik tak beretika dalam riset dan publikasi, namun oleh peme-rintah (Indonesia, kala itu) justru dianggap sebagai kredit yang baik.

Pada tahun 2015 ketika saya bekerja sebagai buruh pengajar di suatu universitas, isu publikasi ini belum banyak dipahami oleh rekan-rekan akademisi di kampus raksasa di Indonesia. Abah sudah berada di depan me-nyorotinya. Dengan kata lain, jika rekan-rekan mengenal Abah bersikap yang kritis terhadap Ditjen Dikti terkait keterlambatan beasiswa Dikti, topik itu bukanlah satu-satunya.

Sejak lama, sebelum Abah memulai membuat Video Blog (Vlogging), Abah juga telah rutin menulis blog. Semula, banyak, termasuk saya pribadi, melihat ‘blog’ adalah suatu yang ‘receh’, tidak ada pengaruh dan signi-fikansinya. Apalagi jika anda hidup di lingkaran akademia di Indonesia baru-baru ini, bukan publikasi namanya anda tidak mempublikasikan artikel di jurnal yang ber-mitra bestari (peer-reviewed). Dengan berbagai rumus hi-tungan yang memutar otak, lembaga pemeringkat mem-produksi suatu indeksasi pengaruh yang melekat pada individu yang menulis di jurnal bereputasi.

Tulisan-tulisan ‘blog’ seperti Abah punya tidak memi-liki pengaruh apa-apa dalam kacamata di atas. Namun, ketika saya memulai kuliah S3 di Belanda pada tahun 2016, justru salah satu mata kuliah yang ditawarkan di

kampus adalah ‘Science Blogging’. Sederhananya, perku-liahan ini mengajarkan apa yang telah dilakukan oleh Abah Hamid sejak lama. Dunia akademik (khususnya dalam disiplin ilmu sosial) di negara maju telah move on dari semata-mata berpegang pada tulisan-tulisan akade-mik, yang mana hanya dibaca segelintir orang, menuju

platform yang mudah dicerna dan dibagikan. Dalam hal

ini, Abah telah satu dekade lebih maju ketimbang kam-pus-kampus di Barat. Sementara itu, buruh pengajar di Indonesia masih berlomba-lomba meningkatkan kredit publikasi Scopus-nya.

Meski kritis dan tajam, Abah Hamid adalah sosok yang santun, santai dan selalu terbuka untuuk membantu. Ketika saya mendapatkan tugas penelitian dari kampus untuk meneliti fenomena politik dinasti di Banten tahun 2015, tentu saja orang pertama yang saya hubungi adalah almarhum. Kami bertemu di sebuah mal di Jakarta Selat-an, saat beliau menanti Mbak Ulil, istri beliau, sedang kem-bali dari kantornya. Seperti biasa, beliau memberikan ber-bagai informasi yang segar untuk diteliti. Saya paham mungkin beliau berpikir bahwa isu ini telah “usang” mengingat almarhum telah menelitinya sejak pertengah-an tahun 2000-pertengah-an. Namun dengpertengah-an pertengah-antusias, almarhum menjelaskan dengan gamblang dalam waktu terbatas.

Sedikit ada rasa penyesalan ketika beliau melakukan kunjungan ke Belanda pada tahun 2018 atau 2019 (saya tidak ingat persis), saya terlambat mendapatkan kabar tersebut. Jika saya mendengar kabar lebih awal, tentu saja bertemu dengan almarhum adalah saat yang dinanti-nanti. Kini, beliau telah pergi dan tenang di sisi Tuhan

Yang Maha Esa. Kesempatan untuk bertemu beliau telah tiada. Beliau telah istirahat, namun ide dan semangatnya akan tetap bergulir dan membesar. Bagi saya, Abah Hamid adalah orang yang melampaui jamannya. [*]

P

ertama bertemu Abah Hamid ialah di tahun 1996. Ketika itu kami masuk kelas 1 SMA Negeri Satu Serang. Mungkin sepertinya Abah adalah orang yang pertama saya kenal ketika masuk SMA itu. Ngobrol namanya siapa, asal dari mana, dan lain-lain. Yang paling saya ingat sampai sekarang ketika kenalan itu, saya dengar namanya ‘Amir’. Dia memperkenalkan diri sebagai ‘Amir’. ‘nama pasaran’ pikir saya dalam hati kala itu. Asal dari Pandeglang, katanya saat itu. Oh, I see. SMAN 1 Serang ketika itu banyak siswa barunya berasal dari sekitaran Serang juga. Ada dari Cilegon, Pandeglang, Tangerang, dan lain-lain. Sepertinya dari Medan juga ada. (Saya ingat ada teman namanya ‘Jadi Aman’. Entah kemana sekarang kawan itu). Duduk satu mejalah saya dan ‘Amir’ itu. Se-ingat saya itu jaman penataran P4. Pengenalan Pancasila dan butir-butirnya. Kurang lebih satu atau dua minggu, saya lupa tepatnya.

Ketika diabsen, barulah saya tau namanya ‘Abdul Hamid’. Oh, berarti awal kenalan itu dia sebut namanya