• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Etnik Madura pangan Pendapat senada dilontarkan Seperti etnik Jawa, para responden Tanti Luciana (19 tahun) yang

Dalam dokumen Ekonomi Kreatif Ekonomi Kreatif (Halaman 56-60)

KARESIDENAN BESUKI DALAM KAJIAN SEJARAH Oleh:

3. Ketahanan Pangan Regional di Eks-

4.2 Pandangan Etnik Madura pangan Pendapat senada dilontarkan Seperti etnik Jawa, para responden Tanti Luciana (19 tahun) yang

dari kalangan etnik Madura mempunyai berkomentar mengenai Jember. Ia p a n d a n g a n b e r a g a m m e n g e n a i menyatakan: “krisis pangan dapat terjadi kemungkinan krisis pangan di wilayah karena kekurangmampuan petani eks-Karesidenan Besuki. Sebagian menangani masalah bencana alam, responden percaya bahwa krisis pangan seperti kekeringan dan banjir”. Namun, mungkin saja terjadi. Menurut seorang Moch. Dahlan (30 tahun) berpandangan petani di Situbondo, Kisnayu (61 tahun), lain. Menurutnya, faktor non-klimatis krisis pangan bisa terjadi karena di lebih besar pengaruhnya. Kelambanan Situbondo kegagalan panen terus terjadi pengadaan pupuk untuk petani yang akibat serangan hama yang belum bisa sering terjadi di Bondowoso kerapkali diatasi petani secara tuntas, sehingga menyebabkan turunnya produksi dapat menurunkan produksi pertanian p e r t a n i a n . H a l i n i b e r p o n t e s i dan berujung pada terjadinya krisis menimbulkan krisis pangan.

pangan. N a m u n d e m i k i a n , s e b a g i a n Sebagian responden berpandangan responden di kalangan etnik Madura

berkeyakinan bahwa di wilayah eks- pangan rumah tangga. Sutyaningsih Karesidenan Besuki tidak akan terjadi mengatasinya dengan menerapkan pola krisis pangan. Menurut Sumarto (62 hidup hemat. Penerapan prinsip ini misal tahun), di Jember tidak akan terjadi krisis diwujudkan dalam konsumsi nasi pangan, karena sebagian besar lahan dicampur dengan beras jagung, atau pertanian di Jember subur dan berstatus mengurangi frekuensi makan dari tiga sebagai daerah lumbung padi di Jawa kali menjadi dua kali sehari dengan lauk- Timur. Seorang petani etnik Madura, p a u k a l a k a d a r n y a . I a t i d a k Ahmad Amar (52 tahun) yakin bahwa di mempersoalkan beras sebagai makanan Bondowoso tidak mungkin terjadi krisis pokok diganti jagung atau ketela, karena pangan karena para petani masih jagung dan ketela menurutnya juga bersedia menanam padi, dan hasil mengandung karbohidrat sebagai unsur produksi pertanian masih mencukupi pembangun seperti halnya beras. kebutuhan pangan. Strategi serupa diterapkan oleh Pandangan responden terkait upaya mayoritas responden keluarga etnik menangani krisis pangan di wilayah eks- Madura yang kurang mampu. Ridwan Karesidenan Besuki lebih beragam. (tukang batu, 38 tahun) bersama Demikian juga pemerintah daerah keluarganya (seorang istri dan tiga anak) semestinya menjalankan kebijakan yang sudah terbiasa mengkonsumsi jagung, memihak rakyat seperti raskin, BLT, ketela atau jenis umbi-umbian lainnya kegiatan amal orang-orang kaya sebagai makanan pokok pengganti nasi- terhadap kaum miskin. Hafili (48 tahun) beras. Hal ini dilakukannya demi menambahkan bahwa gaya hidup hemat penghematan belanja agar tercukupi dalam bidang pangan juga perlu untuk kebutuhan makan keluarga setiap mendukung ketahanan pangan. harinya.

S e b a g i a n k e c i l r e s p o n d e n Sebagian responden berpandangan berpandangan ketahanan pangan penyimpanan pangan merupakan bagian memerlukan pengembangan bahan esensial dalam mewujudkan ketahanan p a n g a n b e r a g a m . S u g i o n o pangan. Menurut Atim, para petani mengungkapkan bahwa krisis pangan di tradisional Madura zaman dahulu Banyuwangi dapat dihindari dengan menyimpan jagung ditaruh di atas rak meningkatkan produktivitas dan yang terbuat dari bambu di ruang dapur. keragaman bahan pangan. Dengan cara Dengan mendapat pengasapan secara ini jika terjadi kegagalan panen padi, teratur, jagung dapat bertahan lama dan maka tidak akan terjadi krisis pangan, terhindar dari kerusakan. Hal ini karena tersedia bahan pangan lain. dilakukan kaum petani Madura Berkenaan dengan itu, ia setuju jika yang tradisional untuk menjamin ketersediaan dijadikan sebagai makanan pokok bukan bahan pangan hingga musim panen hanya beras, melainkan juga jagung, berikutnya. Orang Madura pada ketela dan berbagai jenis umbi-umbian umumnya tidak mengenal teknik yang lainnya. Masyarakat juga harus menyimpan gabah, karena gabah membiasakan diri mengkonsumsi dianggap sebagai barang komoditas makanan yang beragam, berimbang, yang segera dijual ke pedagang. Ketika bergizi dan aman. orang Madura mulai mengganti Ada beberapa strategi untuk makanan pokok dari jagung ke beras mengatasi ancaman terhadap ketahanan pada sekitar 1970-an dan 1980-an,

mereka mencoba menyimpan gabah melalui program BOTANIK. Kedua, hasil panen dalam karung untuk pengembangan keanekaragaman pangan persediaan makan sampai masa panen b e r b a s i s n o n - b e r a s d e n g a n berikutnya. Sayangnya, pada dekade mempertimbangkan prinsip beragam, terakhir ini, orang Madura di eks- berimbang, bergizi dan aman. Kebijakan Karesidenan Besuki cenderung bersikap i n i d i i m p l e m e n t a s i k a n d e n g a n pragmatik dalam hal penanganan pangan pengembangan menu dan resep makanan pasca panen. Mereka lebih suka menjual berbasis non-beras sesuai dengan potensi hasil panen seperti: gabah, jagung, dan sumberdaya setempat.

kedele kepada para pedagang daripada Ketahanan pangan dipahami secara menyimpannya untuk persediaan makan beragam di kalangan etnik Jawa dan sampai panen berikutnya. Madura. Sebagian etnik Jawa dan

Madura berpandangan bahwa krisis

5 Kesimpulan pangan dapat terjadi di wilayahnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat Alasan yang dikemukakan kegagalan disimpulkan bahwa ketahanan pangan panen akibat serangan hama, faktor merupakan isu strategis bagi stabilitas iklim, penyempitan lahan pertanian, politik sejak masa kerajaan tradisional terhambatnya pasokan pupuk dan hingga sekarang. Jatuh-bangunnya pestisida, peralihan ke tanaman lain yang tatanan politik sangat dipengaruhi lebih menguntungkan. Strategi yang k e m a m p u a n p e n g u a s a d a l a m diterapkan baik etnik Jawa maupun membangun dan mempertahankan Madura untuk mengatasi krisis pangan k e t a h a n a n p a n g a n . K e g a g a l a n tidak jauh berbeda. Kedua etnik m e w u j u d k a n k e t a h a n a n p a n g a n menerapkan pola konsumsi makanan dipandang sebagai ancaman besar dan pokok beragam secara selang-seling, tanda keruntuhan sebuah orde politik. mengurangi frekuensi dan porsi makan. Keberhasilan membangun ketahanan Pola demikian hanya berlaku di kalangan pangan menjadi legitimasi bagi keluarga kurang mampu. Sebaliknya kelangsungan pemerintahan. untuk kalangan keluarga mampu di Pemerintah daerah di wilayah kedua etnik, pola semacam itu tidak Karesidenan Besuki melaksanakan diinginkan. Sebagian etnik Jawa dan kebijakan pembangunan ketahanan Madura lainnya berpendapat tidak pangan pemerintah pusat melalui mungkin terjadi krisis pangan di beberapa cara. Pertama, peningkatan daerahnya dengan alasan: ketersediaan produksi padi melalui SL-PTT, SL-SRI, lahan pertanian yang luas dan subur, dan SL-PPO. Kebijakan ini secara penerapan intensifikasi pertanian, kongkret ditindaklanjuti di Bondowoso kebijakan pemerintah daerah yang

Daftar Pustaka

Al Hajad, 1932.

Astra, 1934-1938

De Beweging1920.

Dewi Yuliati. “Dinamika Pergerakan Buruh di Semarang, 1908-1926. Disertasi

Djawa Tengah. No. 1, 2 Januari 1926 sampai dengan No. 12 December 1926.

Djawa Tengah. Sientjia Nummer, Januari 1927

Djoko Suryo. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM.

Hidoep, 7 Januari 1939.

Krido Matojo. No. 4 Maart 1927.

Liem Thian Joe. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana.

Maandblad, 1932

Maandblad, Februari 1934.

Maandblad, Juli 1936.

Maanblad: zesde jaargang. No. 1 Januari 1938

Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah). 1977. Jakarta: Arsip Nasional

Republik Indonesia. Hlm. XLII.

Tillema, H.F. 1921. Kromoblanda Deel IV. Over't vraagstuk van “het woner in Kromo's groote land. Den Haag: N.V. Adi Poetaka.

van Heel, c.i., M.G., 1914, Gedenkboek van de Koloniale Tentoonstelling Semarang

20 Augustus-22 November 1914. Batavia: Naaml. Venn. Handelsdrukkerij en

MANDIRI DENGAN EKONOMI KREATIF

Dalam dokumen Ekonomi Kreatif Ekonomi Kreatif (Halaman 56-60)