• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pandangan masyarakat biasa

Masyarakat biasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat awam dan yang masih memegang teguh adat. Terkait merariq mereka memandang bahwa tidak ada masalah dalam tradisi merariq karena hal itu sudah berlaku secara umum dan dilakukan secara turun

temurun. Selain itu kelompok masyarakat ini memandang merariq adalah ciri khas bagi masyarakat Sasak yang perlu dipertahankan keberadaannya selama merariq dijalankan sesuai dengan ketentuan adat. Lebih lanjut di masyarakat Sasak berkembang persepsi bahwa dengan merariq perkawinan dapat lebih langgeng bila dibandingkan prosesi yang lainnya. 2. Pandangan masyarakat terdidik (berpendidikan)

Kelompok ini melihat dari dua sisi yaitu sisi adat dan sisi pandangan Islam, seperti terlontar dalam ungkapan sebagai berikut:

Merariq merupakan cara melarikan perempuan baik oleh calon suami atau perantara orang lain, dengan niat untuk menikahinya. Cara ini merupakan pengaruh budaya Hindu Bali, yang sebaiknya tidak perlu dilestarikan, dengan beberapa pertimbangan tidak semua budaya itu dilestarikan. Masih ada tawaran yang lebih baik, mudah dan lebih Islami dari itu. alasan dilarang karena, pertama, dalam merariq itu sepertinya ada paksaan. Kedua, sering tidak memberikan kesempatan keluarga wanita untuk merundingkan pelaksanaan pernikahan tersebut, banyak orang tua yang tiba-tiba anaknya hilang, justru membuat orang tua stress. Ketiga, calon isteri terkadang dipegang duluan. Keempat, menerima lamaran lebih dari satu, padahal jelas-jelas dalam hadis dilarang menerima pinangan orang, selam masih ada pinangan. Kelima, terkesan adanya unsur mengelabui seorang wanita.16

Pendapat diatas diperkuat oleh responden lain, dalam wawancaranya sebagai berikut:

Saya pribadi kurang setuju terhadap proses adat merariq. Dengan alasan praktik semacam itu tidak terdapat dalam ketentuan hukum Islam. Akan tetapi hukum adat atau budaya itu dapat berlaku dan dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam, apalagi masyarakat Sasak ini adalah masyarakat yang mayoritas Islam dan fanatik agama, bagaimana dapat berjalan dengan baik kalau tradisi tersebut bertentangan dengan masyarakat yang 16

LH, salah seorang tokoh masyarakat Nusa Tenggara Barat, wawancara langsung dengan penulis pada tanggal 25 Juni 2012 di Mataram.

mayoritas, sehingga mengakibatkan seringnya terjadi keributan, di satu sisi merasa aman, dan disisi lain tidak merasa aman. Kalau anak saya laki-laki mau menikah saya melamar pihak perempuan yang menjadi calonnya, dan apabila anak saya perempuan, calon laki-lakinya harus dengan cara melamar.17

Jadi, kesimpulan dari pandangan kelompok terdidik adalah mereka menyarankan perlu ditinjau kembali keberadaan tradisi merariq, dengan beberapa alasan. Pertama, tradisi tersebut tidak sesuai dengan perkembangan jaman sekarang; Kedua, sering menimbulkan konflik; Ketiga, banyak orang tua yang kaget tiba-tiba anaknya dibawa lari (kehilangan); Keempat, sering terjadi unsur mengelabui dan juga pemaksaan terhadap pihak perempuan; dan Kelima,prosesnya rumit dan terbelit-belit.

E. Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Merariq

Secara literal, kata ‘adah berarti kebiasaan, adat istiadat atau praktek. Beberapa ahli seperti Abu Sinnah dan Muhammad Mustafa Syalabi berpendapat bahwa ‘adah mengandung arti pengulangan atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan, yang dapat dipergunakan baik untuk kebiasaan individual (‘adah fardiyyah) maupun kelompok (‘adah jam’iyyah). Dalam tulisan ini istilah‘adahdiartikan sebagai adat, kebiasaan atau adat istiadat.18

‘Adah yang berlaku di tengah-tengah masyarakat diakui oleh Islam sebagai salah satu sarana pembangunan dalam tata aturan hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dalam banyak hal, adat terbukti sangat efektif untuk

17

MI, salah seorang tokoh masyarakat Nusa Tenggara Barat. 18

Muhammad Mustafa Syalabi,Falsafat at-Tasyri’ fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kassyaf li an-Nasyr wa wa at-Tiba’ah wa at-Tauzi’, 1952), h. 179-181.

menyelesaikan kasus-kasus yang tidak terdapat jawaban konkritnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis.19 Lebih dari itu, fakta menunjukkan bahwa sejak masa awal masa pertumbuhan hukum Islam kriteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktek hukum yang dikabarkan berasal dari Nabi sendiri.20 Dengan kata lain, adat merupakan salah satu sumber hukum Islam yang harus diperhatikan dalam setiap proses kreasi hukum Islam.

Meskipun demikian, tidak semua praktek adat dapat diadopsi begitu saja sebagai bagian dari hukum Islam, mengingat adat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ada yang baik (al-‘adah al-sahihah) dan ada pula yang buruk (al-‘adah al-fasidah). Dalam teori hukum Islam, adat yang dapat diterima hanyalah adat yang baik, sementara adat yang buruk harus ditolak bahkan dihilangkan.21 Dalam konteks inilah, para yuris muslim menformulasikan berbagai kaidah hukum yang berkaitan dengan adat, seperti al-‘adah muhakkamah(adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum).22

Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa adat yang baik adalah adat yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban, sedangkan adat yang

19

Ratno Lukito,Pergumulan antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia(Jakarta: INIS, 1998), h. 6.

20Ibid.

21

Umar Syihab,Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran(Semarang: Bina Utama, 1996), h. 32. Lihat juga M. Hasbi as-Shiddiqy,Falsafat Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1932), h. 477.

22

buruk adalah sebaliknya.23 Sobhi Mahmassani secara lebih rinci menetapkan syarat-syarat diterimanya suatu adat kebiasaan,24sebagai berikut:

a. Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik, yaitu bisa diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan yang waras atau dengan pendapat umum.

b. Hal-hal yang dianggap sebagai adat harus terjadi berulang kali.

c. Yang dianggap berlaku bagi perbuatan mu’amalat adalah adat kebiasaan yang lama bukan yang terakhir.

d. Suatu kebiasaan tidak boleh diterima apabila di antara dua belah pihak terdapat syarat yang berlainan, sebab adat itu kedudukannya sebagai yang implisit syarat yang sudah dengan sendirinya.

e. Adat kebiasaan hanya dapat dijadikan sebagai alasan hukum apabila tidak bertentangan dengan ketentuannashdari ahli fiqh.

Singkatnya, menurut Mahmassani bahwa adat kebiasaan yang dapat diterima sebagai hukum Islam hanyalah adat kebiasaan yang sesuai dengan dalil-dalil syara’. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan semangat syari’at, tujuan, dan nash-nash-nya sama sekali tidak bisa diakui oleh syara’.25

23

Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh(Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 89. 24

Sobhi Mahmassani,Falsafat at-Tasyrî’ fi al-Islâm,alih bahasa Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976), h. 262-264

Sementara itu, as-Syatibi menegaskan bahwa adat harus bersandar pada mashlahah.26 Artinya, baik buruknya suatu praktek adat harus diukur dengan unsur-unsur maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya. Maka unsur-unsur dominan menentukan sifat dan nama adat kebiasaan tersebut. Jika dalam suatu praktek adat, unsur maslahat-nya lebih besar dari unsur mafsadat-nya, maka adat tersebut adalah adat yang baik (al-‘adah al-sahihah) serta dapat diterima. Sebaliknya, jika unsur mafsadat-nya lebih besar dari unsur maslahat-nya, maka adat tersebut adalah adat yang buruk (al-‘adah al-fasidah) dan harus ditolak.27

Dari ketiga pandangan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu adat dapat diterima sebagai bagian dari hukum Islam, paling tidak dengan dua syarat. Pertama, tidak bertentangan dengan nash-nash syara’ yang secara tegas telah menetapkan suatu ketentuan hukum. Kedua, tidak bertentangan dengan maslahat. Kerangka pikir inilah yang dalam prakteknya harus menjadi pedoman dalam menyelesaikan persoalan umat Islam yang berkaitan dengan adat istiadat mereka.

Dalam menganalisis hal-hal tersebut ada tiga hal yang dijadikan pedoman. Pertama, kesesuaiannya dengan ketentuan hukum Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Kedua, mengacu kepada kemaslahatan yang membawa manfa’at dan mudharat yang ditimbulkannya. Ketiga, analisis dengan mengacu pada teori Hazairin: reseptio a contrario, 26

Muhammad Khalid Mas’ud,Islamic Legal Philosophy, A Study of Abu Ishaq as-Syatibi’s

Life and Thought,alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1996), h. 314.

menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dokumen terkait