Diceritakan, ada suatu Gua yang didalamnya terdapat suatu Kerajaan
di Gunung Cangak. Rupanya, di paseban sedang berlangsung pasowanan agung (peertemuan para pembesar kerajaan). Sang Raja sedang diseba oleh para mantri lengkap kawula bala (abdi dalem dan tentara) terlihat penuh berjejalan.
Sang Nata Bango berkata memecah kesunyian, “Wahai Ki Patih Kanthung, coba engkau bersiagalah bersama kawula bala. Ikutlah bersamaku, aku ingin berburu mangsa dan ingin merasakan hasil buruan sendiri.” (h. 044)
Ki Patih menerima dhawuh (perintah) dan segera mempersiapkan segala sesuatunya. Bendhe dipukulnya sebagai tanda agar kawula bala cepat berkumpul. Setelah semuanya siaga, segeralah berangkat keluar dari puri, maka berterbangan mengawang-awang berubah wujud menjadi gerombolan bango. Suaranya bergemuruh bersahut-sahutan. Kemudian, Sang Raja segera melucuti pakaian keprabonnya keluar dari Pura, demikian juga, berubah wujud menjadi seekor burung Bango yang tinggi besar dan berwarna elok bercahaya menyilaukan. Kemudian, ia segera terbang melesat berbawur dengan kawula wadyanya.
Kemudian kerumunan Bango itu terbang menukik kebawah hinggap pada pohon Kiyara yang besar. Hingga pohon itu penuh sesak.
Mereka bertenggeran dan berjejalan diantara ranting dan dahan Kiyara.
Demikianlah keberadaan raja Bango dan wadya balanya, yang sedang bersiap-siap berburu mangsa.
Diceritakan, perjalalanan Raden Welang Sungsang yang sedang mencari Gunung Cangak; ia sedang kebingungan hendak bertanya kepada siapa. Sambil berdiri memandang keliling kearah yang jauh mencari letak gunung yang dimaksudkan Sang Naga Pertapa. (h. 045) Sedang memandang menerawang jauh itu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh burung bango, terlihat dari kejauhan ada pohon Kiara yang besar penuh berjejalan dihinggapi burung bango. Kemudian, ia teringat akan pusaka yang telah diberi oleh Sang Naga. Segera saja Kopyah Waring dipakainya.
Sehingga ia menjadi samar, tidak nampak oleh mata biasa. Kemudian, ia segera menyusup kesemak belukar mendekati pohon yang penuh dihinggapi para bango itu.
Ki Samadullah (Raden Welang Sungsang) melihat ke arah pohon Kiyara yang besar tersebut. Sedangkan dahan dan rantingnya terlihat penuh
dihinggapi para burung bango. Ia berpikir, bagaimanakah caranya menjerat si Raja Bango agar dapat tertangkap. (h. 046) Kemudian, ia menengok ke arah kanan dan kiri sambil memikirkan cara menangkap bango itu. Tiba-tiba ia melihat pohon Deling Petung (sejenis bambu). Maka, terpikirkanlah caranya, ialah dengan membuat jerat. Kemudian, pohon bambu (Deling Petung) itu segera di potong, di belah, dan di buat sebuah wadhong yang merupakan jerat burung bango. Setelah selesai wadhong tersebut di buat, secara diam-diam, di pasang di atas pohon Kiyara itu dengan di beri umpan ikan gabus di dalamnya.
Raja Bango tiba-tiba melihat dan mencium bau ikan yang menusuk, sehingga ia merasa penasaran dan ingin menangkapnya sendiri tanpa menyuruh teman-temanya. Sang Raja Bango segera mendekati Wadhong dan teman-temennya terbang mengiringi diatasnya, seolah-olah sedang memayungi rajanya itu. Sekelompok bango bagaikan manusia saja yang sedang mengawal Gustinya berburu kedalam hutan. Namun dikarenakan kehendak Raja Bango adalah ingin memakan ikan dari hasil buruannya sendiri, wadya bala bango sangat sungkan dan menghormati ratunya, hingga tak ada satu pun yang berani melarang dan mendekatinya. (h. 047)
Setelah Sang Raja Bango melihat jelas ada seekor gabus didalam wadhong, Raja Bango segera mencari akal untuk mematuknya langsung, dan ternyata wadhong ini rupanya berpintu. Sang Raja Bango segera masuk kedalam jerat (wadhong) dan mematuk seekor gabus dengan sekali telan habis dengan lahap. Raja Bango sangat girang hatinya, ia merasa puas telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia tidak menyadari, mengapa ikan berada di dalam wadhong yang diletakan diatas pohon Kiyara yang besar ini, bukanya di sungai, sawah, atau pun tepi pantai. Maklumlah, karena ia tidak pernah mendapatkan makan dari hasil sendiri, ia adalah raja burung bango yang diistimewakan dan tercukupi segala kebutuhannya. Dan karena sekelompok bango itu tidak melihat ada seorang pun disekitar pohok dan semak belukar di sana. Karena Raden Welang Sungsang telah memakai jimat Kopyah Waring, sehingga jasadnya tak nampak. Kemudian, Sang Raja Bango hendak keluar dari wadhong tersebut, ternyata pintunya tertutup rapat karena itu adalah jebakan Ki Sangkan (Raden Welang Sungsang). Sang Ratu Bangu meronta-ronta dengan sekuat tenaga, namun tetap saja pintu wadhong tersebut tidak bisa terbuka dan tidak rusak sedikitpun. Akhirnya
barulah menyadari bahwa ia telah dijebak.
Secepat kilat Raden Welang Sungsang menyambar wadhong, dan dengan senang hati ia berkata. “Wahai ladalah, rupanya engkau kena.
Sekarang saatnya aku bersuka ria untuk memanggangmu.”
Kemudian, segeralah Sang Raja Bango ditangkapnya dan dikitlah kakinya, (h. 048 ) kemudian dikaitkan ke pohon, sehingga bango tidak dapat bergerak apa pun. Segera Raden (Welang Sungsang) mengeluarkan Golok Cabang bermaksud berpura-pura hendak menyembelihnya. Sang Bango terkejut ketakutan seraya berkata memelas, “Raden bagus, janganlah hamba di bunuh, sebaiknya aku tebus saja sebagai gantinya dengan harta yang berlimpah.”
Segera Raden Welang Sungsang menyahut, “Baiklah, aku minta tebusan panjang, bareng, dan pendhil. Bagaimana, apakah engkau setuju?”
Mendapat pertanyaan demikian, Sang Raja Bango terdiam dan bingung, ia berpikir, dari manakah bisa mengetahui pusaka-pusaka miliknya.
Ia merasa berat jika pusaka-pusaka itu berpindah tangan dan diserahkan kepada Raden Welang Sungsang. Namun jika tidak menyerahkan smuanya, maka ia pun terancam jiwanya.
Melihat kebingungan Sang Raja Bango itu, Raden Welang Sungsang mengancamnya, “Wahai Sang Raja Bango, bagaimanakah tekadmu?”
Kemudian Sang Raja Bango dengan tegas menjawabnya, sebab dengan cepat ia telah mengetahui akan keadaan Raden Welang Sungsang yang berbudi mulia. “Baiklah raden, jangankan permintaanmu, sedang diri hamba juga aku pasrahkan berikut seisi puri.”
Setelah itu, maka dilepaskanyalah tali ikatannya. Sehingga, Sang Raja Bango bisa bergerak bebas. Kemudian keduanya berunding untuk mencapai kesepakatan. (h. 049) Sang Raja Bango tidak berani mengingkari janjinya, sebab ia pun mengetahui bahwa Pusaka Golok Cabang yang dipegang Raden Welang Sungsang tidak bisa diajak bermain-main.
Kemudian, Sang Raja Bango terbang pendek menuntun Raden Welang Sungsang agar mengikuti dibelakangnya untuk menuju gua puri kerajaan bango. (h. 050)
Singkat cerita, sampailah di Gunung Cangak dan sudah masuk kedalam guwa, terlihat pemandangan sebuah hamparan negeri berwarna putih. Kemudian musnahlah wujud burung bango tadi, berubah menjadi
satria yang rupawan. Kemudian mereka menuju ke singgasana, Sanghyang Bango pun mempersilakan agar tamunya menduduki kursi singgasana kencana. Sedang dihadapan mereka, duduk bersimpuh para mantri, bopati, dan kawula wadya menghormati raja dan tamunya. Namun, sang tamupun sangat bijaksana dan menghormati tuan Sanghyang Bango dengan sepenuh hati menolak tawaran itu. (h. 051) Raden Welang Sungsang hanya meminta pusaka yang akan dipergunakan untuk perjuangan menegakan agama dan budi pekerti yang mulaia. Melihat kebaikan budi seperti itu akhirnyaa sang raja menepati janjinya untuk menyerahkan benda pusaka kerajaan bango Gunung Cangak, yang berupa; Panjang, Bareng, dan Pendhil Wesi.
Adapun khasiat pusaka masing-masing itu adalah; Bareng, jika dipukul pada peperangan, bisa mendatangkan bala bantuan; muncul wadya bala yang jumlahnya sebanayak sakethi. Pendhil Wesi, jika dipakai masak nasi untuk memberi makan pada orang yang sangat banyak, maka nasinya tidak akan habis. Adapun khasiat Piring Panjang itu, jika ditelungkupkan bisa mengeluarkan nasi kebuli, goreng-gorengan tumis, mentimun, dan serundeng. Juga tak ketinggalan dengan sambal gogodnya.12 (h. 052)
12) PANGERAN WELANG SUNGSANG BERTEMU DAN