• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panitia Farmasi dan Terapi

Dalam dokumen Buku Formularium RSCM 2012 (Halaman 149-163)

DAFTAR ISI

III. Panitia Farmasi dan Terapi

1. Keanggotaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah berdasarkan pengusulan dari Kepala Departemen/Bidang/ Instalasi dan disahkan oleh Direktur Utama. Keanggotaannya diperbaharui maksimal setiap 5 tahun sekali.

2. Anggota PFT tidak boleh mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan farmasi manapun.

3. Ketua, sekretaris dan 2 (dua) anggota PFT ditetapkan sebagai pengurus harian.

tingkat RSCM.

5. PFT menyusun program kerja tentang pemilihan dan penyusunan formularium.

6. PFT mengajukan anggaran setiap tahun guna mendukung program kerjanya.

7. Tugas PFT mencakup:

- Sebagai penasehat bagi pimpinan RSCM dan tenaga

kesehatan dalam semua masalah yang ada kaitannya dengan perbekalan farmasi.

- Menyusun kebijakan penggunaan perbekalan farmasi

di RSCM.

- Menyusun formularium obat, dan daftar alat kesehatan,

dan reagensia; dan memperbaharuinya secara berkala. Seleksi obat, alat kesehatan, dan reagensia didasarkan pada kemanjuran, keamanan, kualitas dan harga. PFT harus mampu meminimalkan jenis obat yang nama generiknya sama atau jenis obat yang indikasinya sama.

- Memantapkan dan melaksanakan program dan agenda

kegiatan yang menjamin berlangsungnya pelaksanaan terapi yang efektif, aman dan hemat biaya.

- Merencanakan dan melaksanakan program

pe-latihan dan penyebaran informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan seleksi, pengadaan dan penggunaan obat kepada staf medis RSCM.

- Berperan aktif dalam penjaminan mutu pemilihan,

pengadaan dan penggunaan perbekalan farmasi.

- Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi efek

samping obat yang terjadi di RSCM.

8. Dalam mengemban tugas tersebut di atas, PFT perlu mengadakan rapat rutin sekurang-kurangnya 1 bulan sekali guna membicarakan implementasi dari kebijakan dan peraturan tentang seleksi, pengadaan, penyimpanan, dan penggunaan perbekalan farmasi.

9. Keputusan rapat pleno yang menyangkut kebijakan diambil berdasarkan musyawarah. Bila musyawarah tidak berhasil, maka dapat dilakukan pemungutan suara.

10. Setiap anggota PFT dalam pengambilan keputusan harus bebas dari kepentingan pribadi atau kelompok, dan semata-mata adalah untuk kepentingan pasien.

IV. Pemilihan

1. Pemilihan terhadap perbekalan farmasi yang akan digunakan di RSCM harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan asas cost-effectiveness

2. Panitia Farmasi dan Terapi harus memilih produk obat yang menunjukkan keunggulan dibandingkan produk lain yang sejenis dari aspek khasiat, keamanan, ketersediaannya di pasaran, harga dan biaya pengobatan yang paling murah.

Proses pemilihan obat mengikuti Standar Prosedur

Operasional Penyusunan Formularium.

3. Penyediaan jenis perbekalan farmasi harus dibatasi untuk mengefisienkan pengelolaannya dan menjaga kualitas pelayanan.

4. Daftar obat yang telah disetujui dan ditetapkan oleh pimpinan RSCM untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan di RSCM tertuang dalam buku Formularium RSCM.

5. Proses penyusunan dan revisi formularium (sistem formularium) harus dirancang agar dihasilkan formularium yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan

6. Kebijakan dan prosedur sistem formularium harus dimasukkan sebagai salah satu peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua staf medik.

7. Departemen mengajukan usulan obat formularium ke Panitia Farmasi dan Terapi berdasarkan fakta bahwa obat tersebut tercantum di dalam pedoman pelayanan medik yang diterbitkan oleh Departemen. Oleh karena itu setiap penggantian obat atau rejimen terapi di dalam pedoman pelayanan medik harus diberitahukan kepada Panitia Farmasi dan Terapi.

8. Setiap obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk sediaan dan kekuatan, bioavailabilitas dan farmakokinetik, kisaran dosis, efek sam-ping dan efek toksik, perhatian khusus, kelebihan obat baru ini dibandingkan dengan obat lama yang sudah tercantum di dalam formularium, uji klinik, atau kajian epidemiologi yang mendukung keunggulannya, perbandingan harga dan biaya pengobatan dengan obat atau cara pengobatan terdahulu. kecuali yang memiliki data bioekuivalensi (BE) dan/ atau rekomendasi tingkat I evidence-based medicine (EBM). 9. Obat yang terpilih masuk dalam formularium adalah

obat yang memperlihatkan tingkatan bukti ilmiah yang tertinggi untuk indikasi dan keamanannya. Bila dari segolongan obat yang sama indikasinya memperlihatkan tingkatan bukti ilmiah khasiat dan keamanan yang sama tinggi, maka pertimbangan selanjutnya adalah dalam hal ketersediaannya di pasaran, harga dan biaya pengobatan yang paling murah.

10. Suatu obat harus dihapuskan dari formularium jika obat tersebut sudah tidak beredar lagi di pasaran, tidak ada lagi yang meresepkan, atau sudah ada obat lain yang lebih

Permintaan Khusus Obat Non Formularium yang

ditujukan kepada PFT. Selanjutnya PFT akan memutuskan apakah penyediaan obat tersebut dapat disetujui atau tidak. Jika dapat disetujui, maka Instalasi Farmasi akan melan-jutkan proses pengadaannya. Proses permintaan obat non

formularium mengikuti Standar Prosedur Operasional

Permintaan Obat Non Formularium.

12. Pada keadaan dimana obat yang diperlukan tidak tersedia, maka Instalasi Farmasi akan menyampaikan pemberitahuan kepada dokter penulis resep dan menyarankan obat pengganti jika ada.

13. Sosialisasi formularium dilakukan oleh PFT melalui presentasi di hadapan staf medis.

14. Buku Formularium yang sedang berlaku wajib tersedia di setiap lokasi pelayanan: di ruang rawat, klinik, gawat darurat, ruang dokter dan satelit farmasi. Setiap dokter harus memiliki buku formularium yang menjadi acuan selama melakukan praktik di RSCM.

15. Pengawasan kepatuhan pemakaian obat sesuai formularium dilakukan secara berjenjang dimulai dari divisi, secara berkala dan berdasarkan data penggunaan obat dari Instalasi Farmasi.

16. Penyimpangan terhadap penggunaan obat tidak sesuai dengan formularium diberikan sanksi sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Internal Staf Medis (PISM) RSCM.

17. Penghargaan terhadap penggunaan obat sesuai dengan formularium RSCM akan diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

alat kesehatan dan reagensia yang telah disepakati oleh pengguna dan ditetapkan oleh Direksi RSCM.

2. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan reagensia dilakukan berdasarkan perencanaan yang diajukan oleh pengguna. 3. Pembelian obat yang tidak tercantum dalam formularium

serta alat kesehatan dan reagensia yang tidak tercantum dalam daftar alat kesehatan dan reagensia hanya dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari PFT dan disetujui oleh direksi.

4. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan reagensia untuk seluruh kebutuhan RSCM dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku di RSCM. (lihat lampiran)

5. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan reagensia di luar

jam kerja Instalasi Farmasi dilakukan mengikuti Standar

Prosedur Operasional Pengadaan Perbekalan Farmasi Di Luar Jam Kerja

VI. Penyimpanan

1. Area penyimpanan perbekalan farmasi tidak boleh dimasuki oleh petugas selain petugas farmasi.

2. Penyimpanan obat, alat kesehatan, reagensia dan gas medis harus dilakukan sesuai persyaratan dan standar kefarmasian untuk menjamin stabilitas dan keamanannya serta memudahkan dalam pencariannya untuk mempercepat pelayanan.

3. Khusus bahan berbahaya seperti bersifat mudah menyala atau terbakar, eksplosif, radioaktif, oksidator/reduktor, racun, korosif, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, iritasi dan berbahaya lainnya harus disimpan terpisah dan disertai tanda bahan berbahaya.

5. Obat jadi dan bahan baku harus diberi label yang mencantumkan: kandungan, tanggal kadaluarsa dan peringatan penting.

6. Obat High Alert (Obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi) harus disimpan di tempat terpisah dan diberi label

khusus mengikuti Instruksi Kerja Penyimpanan Obat

High Alert.

7. Elektrolit pekat yang termasuk dalam daftar Obat High Alert, contoh: kalium klorida 7,46%, tidak boleh berada di ruang rawat, kecuali di kamar operasi jantung dan unit perawatan intensif (ICU). Penyimpanan di tempat terpisah dengan akses terbatas dan harus diberi label yang jelas untuk menghindari penggunaan yang tidak disengaja.

8. Obat dengan tampilan mirip atau bunyi mirip (Look Alike Sound Alike/LASA) disimpan tidak berdekatan dan diberi label “LASA”.

9. Perbekalan farmasi dan tempat penyimpanannya harus diperiksa secara berkala.

10. Pasien tidak diperbolehkan membawa perbekalan farmasi dari luar RSCM untuk digunakan selama perawatan di RSCM. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka pasien/ keluarga pasien menandatangani surat pernyataan bahwa pasien/keluarga pasien bertanggung jawab atas akibat penggunaan perbekalan farmasi yang dibawa. Perbekalan farmasi yang dibawa masuk oleh pasien harus diperiksa

mutunya secara visual dan dicatat dalam Formulir Serah

Terima Perbekalan Farmasi dari Pasien. Obat disimpan di

satelit farmasi dalam wadah terpisah dan diberi label yang jelas.

11. Produk nutrisi disimpan secara terpisah dalam kelompok nutrisi sesuai dengan aturan penyimpanan yang ditetapkan produsen.

13. Obat penelitian disimpan terpisah dari obat lain dan dikelola tersendiri.

14. Perbekalan farmasi emergensi disimpan dalam troli/kit/ lemari emergensi terkunci, diperiksa, dipastikan selalu tersedia dan harus diganti segera jika jenis dan jumlahnya sudah tidak sesuai lagi dengan daftar.

15. Di unit pelayanan yang tidak memiliki satelit farmasi 24 jam, maka pelayanan farmasi dialihkan ke satelit farmasi 24 jam yang telah ditetapkan.

16. Perbekalan farmasi yang tidak digunakan, rusak dan kadaluarsa harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi

sesuai Standar Prosedur Operasional Pengembalian

Perbekalan Farmasi.

17. Obat yang ditarik dari peredaran oleh pemerintah atau pabrik pembuatnya harus segera dikembalikan ke Instalasi

Farmasi sesuai Standar Prosedur Operasional Penarikan

Kembali Perbekalan Farmasi.

18. Obat yang sudah kadaluarsa, rusak atau terkontaminasi harus disimpan terpisah sambil menunggu pemusnahan.

Pemusnahan dilakukan sesuai Standar Prosedur

Operasional Pemusnahan Perbekalan Farmasi

19. Pemusnahan perbekalan farmasi mengikuti Standar

Prosedur Operasional Pemusnahan Perbekalan Farmasi.

VII. Peresepan

1. Yang berhak menulis resep adalah staf medis purnawaktu, dokter tamu dan dokter PPDS yang bertugas dan mempunyai surat izin praktik di RSCM.

2. Yang berhak menulis resep narkotika adalah dokter yang memiliki nomer SIP (Surat Izin Praktik) atau SIPK (Surat Izin

obat yang sedang digunakan pasien dan obat yang akan diresepkan agar tidak terjadi duplikasi atau terhentinya terapi suatu obat (omission)

4. Penulis resep harus memperhatikan kemungkinan adanya kontraindikasi, interaksi obat, dan reaksi alergi.

5. Terapi obat dituliskan dalam rekam medik hanya ketika obat pertama kali diresepkan, rejimen berubah, atau obat dihentikan. Untuk terapi obat lanjutan pada rekam medik dituliskan “terapi lanjutkan” dan pada kardeks (catatan pemberian obat) tetap dicantumkan nama obat dan rejimennya.

6. Resep ditulis secara manual pada blanko lembar resep/ instruksi pengobatan berkarbon dengan kop RSCM yang telah dibubuhi stempel Departemen/Unit Pelayanan tempat pasien dirawat/berobat, atau secara elektronik dalam sistem informasi farmasi.

7. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan istilah dan singkatan yang lazim sehingga tidak disalahartikan. 8. Dokter harus mengenali obat-obat yang masuk dalam

daftar Look Alike Sound Alike (LASA) yang diterbitkan oleh Instalasi Farmasi, untuk menghindari kesalahan pembacaan oleh tenaga kesehatan lain.

9. Obat yang diresepkan harus sesuai dengan Formularium RSCM.

10. Alat kesehatan yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam Daftar Alat Kesehatan RSCM.

11. Jenis-jenis resep yang dapat dilayani: resep pertama pasien baru masuk, resep reguler, resep cito, resep pengganti emergensi, resep dengan perlakuan automatic stop order.

- Nama pasien

- Tanggal lahir atau umur pasien (jika tidak dapat

mengingat tanggal lahir)

- Berat badan pasien (untuk pasien anak)

- Nomor rekam medik

- Nama dokter

- Tanggal penulisan resep

- Nama ruang pelayanan

- Memastikan ada tidaknya riwayat alergi obat dengan

mengisi kolom riwayat alergi obat pada bagian kanan atas lembar resep manual atau secara elektronik dalam sistem informasi farmasi

- Tanda R/ pada setiap sediaan

- Untuk nama obat tunggal ditulis dengan nama generik.

Untuk obat kombinasi ditulis sesuai nama dalam Formularium, dilengkapi dengan bentuk sediaan obat (contoh: injeksi, tablet, kapsul, salep), serta kekuatannya (contoh: 500 mg, 1 gram)

- Jumlah sediaan

- Bila obat berupa racikan dituliskan nama setiap jenis/

bahan obat dan jumlah bahan obat (untuk bahan padat : mikrogram, miligram, gram) dan untuk cairan: tetes, milliliter, liter.

- Pencampuran beberapa obat jadi dalam satu sediaan

tidak dianjurkan, kecuali sediaan dalam bentuk cam-puran tersebut telah terbukti aman dan efektif.

- Penggunaan obat off-label (penggunaan obat yang

indikasinya di luar indikasi yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI) harus berdasarkan panduan pelayanan medik yang ditetapkan oleh

13. Pasien diberi penjelasan tentang efek tidak diharapkan yang mungkin terjadi akibat penggunaan obat.

14. Perubahan terhadap resep/instruksi pengobatan yang telah diterima oleh apoteker/asisten apoteker harus diganti dengan resep/instruksi pengobatan baru.

15. Resep/instruksi pengobatan yang tidak memenuhi kelengkapan yang ditetapkan, tidak akan dilayani oleh farmasi

16. Jika resep/instruksi pengobatan tidak dapat dibaca atau tidak jelas, maka perawat/apoteker/asisten Apoteker yang menerima resep/instruksi pengobatan tersebut harus

menghubungi dokter penulis resep sesuai dengan Instruksi

Kerja Penanganan Resep Yang Tidak Jelas.

17. Instruksi lisan (Verbal Order) harus diminimalkan. Instruksi lisan untuk obat high alert tidak dibolehkan kecuali dalam situasi emergensi. Instruksi lisan tidak dibolehkan saat dokter berada di ruang rawat. Pelaksanaan instruksi lisan

mengikuti Instruksi Kerja Instruksi Lisan.

18. Setiap obat yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam rekam medik.

19. Kelanjutan terapi obat yang sempat dihentikan karena operasi atau sebab lain harus dituliskan kembali dalam bentuk resep/instruksi pengobatan baru.

VIII. Penyiapan

1. Yang dimaksud dengan penyiapan obat adalah proses mulai dari resep/instruksi pengobatan diterima oleh apoteker/asisten apoteker sampai dengan obat diterima oleh perawat di ruang rawat untuk diberikan kepada pasien rawat inap, atau sampai dengan obat diterima oleh pasien/ keluarga pasien rawat jalan dengan jaminan bahwa obat

2. Sebelum obat disiapkan, apoteker/asisten apoteker harus melakukan kajian (review) terhadap resep/instruksi pengobatan yang meliputi:

a. Ketepatan obat, dosis, frekuensi, rute pemberian b. Duplikasi terapeutik

c. Alergi d. Interaksi obat e. Kontraindikasi

f. Kesesuaian dengan pedoman pelayanan/peraturan yang berlaku, dan menghubungi dokter penulis resep jika ditemukan ketidakjelasan atau ketidaksesuaian. Kajian tidak perlu dilakukan pada keadaan emergensi, di ruang operasi dan tindakan intervensi diagnostik. 3. Apoteker/asisten apoteker diberi akses ke data pasien yang

diperlukan untuk melakukan kajian resep.

4. Dalam proses penyiapan obat oleh petugas farmasi diberlakukan substitusi generik, artinya farmasi diperbolehkan memberikan salah satu dari sediaan yang zat aktifnya sama dan tersedia di RSCM dengan terlebih dahulu memberitahu dokter.

5. Substitusi terapeutik adalah penggantian obat yang sama kelas terapinya tetapi berbeda zat kimianya, dalam dosis yang ekuivalen, dapat dilakukan oleh petugas farmasi dengan terlebih dahulu minta persetujuan dokter penulis resep/konsulen. Persetujuan dokter atas substitusi terapeutik dapat dilakukan secara lisan/melalui telepon. Petugas farmasi menuliskan obat pengganti, tanggal, jam komunikasi, dan nama dokter yang memberikan persetujuan, dicatat pada lembar resep atau dalam sistem informasi farmasi.

7. Area penyiapan obat tidak boleh dimasuki oleh petugas lain selain petugas farmasi.

8. Petugas yang menyiapkan obat steril harus mendapatkan pelatihan Teknik Aseptik.

9. Petugas yang menyiapkan radiofarmasi harus di bawah supervisi Apoteker atau tenaga terlatih.

10. Sistem distribusi dan penyiapan obat untuk pasien rawat inap diberlakukan sistem dosis unit dan untuk pasien rawat jalan diberlakukan sistem resep individual. Sistem dosis unit adalah penyiapan obat yang dikemas untuk satu kali pemakaian. Sistem resep individual adalah penyiapan obat yang dikemas sesuai permintaan jumlah yang tercantum di resep.

11. Setiap obat yang telah disiapkan harus diberi label sesuai

Instruksi Kerja Pembuatan Etiket.

12. Penyiapan obat harus dipastikan akurat mengikuti Instruksi

Kerja Penyiapan Obat Sistem Dosis Unit, Instruksi Kerja Penyiapan Obat Sistem Resep Individual, dan Instruksi Kerja Peracikan Obat di Satelit

IX. Pemberian

1. Yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah dokter atau perawat yang sudah memiliki kompetensi dan mempunyai surat izin praktik di RSCM.

2. Pemberian obat ke pasien harus sesuai dengan Standar

Prosedur Operasional Pemberian Obat.

3. Pada pemberian obat secara infus, label nama obat ditempelkan pada botol infus atau syringe pump. Apabila obat yang diberikan lebih dari satu, maka label nama obat ditempelkan pada setiap syringe pump dan di setiap ujung jalur selang.

5. Obat yang akan diberikan kepada pasien harus diverifikasi oleh perawat/dokter mengenai kesesuaiannya dengan resep/instruksi pengobatan meliputi: nama obat, waktu dan frekuensi pemberian, dosis, rute pemberian dan identitas pasien.

6. Mutu obat yang akan diberikan kepada pasien harus dipastikan mutunya baik dengan diperiksa secara visual. 7. Pasien dipastikan tidak memiliki riwayat alergi dan

kontraindikasi dengan obat yang akan diberikan.

8. Obat yang tergolong obat High Alert harus diperiksa kembali oleh perawat kedua sebelum diberikan kepada pasien. 9. Pemberian obat harus dicatat di Lembar Pemberian Obat

sesuai Standar Prosedur Operasional Pemberian Obat.

10. Penggunaan obat secara mandiri oleh pasien harus mendapatkan edukasi terlebih dahulu dan dipantau oleh perawat.

11. Jika terjadi kesalahan dalam penggunaan perbekalan farmasi, termasuk kehilangan, maka konsekuensi finansial menjadi tanggung jawab pihak yang bersalah.

X. Pemantauan

1. Pemantauan efek terapi dan efek yang tidak diharapkan dari obat harus dilakukan pada setiap pasien.

2. Panitia Farmasi dan Terapi di tingkat Departemen Medik bertugas memantau efek samping obat.

3. Obat yang diprioritaskan untuk dipantau efek sampingnya adalah obat baru yang masuk Formularium RSCM dan obat yang terbukti dalam literatur menimbulkan efek samping serius.

5. Efek samping yang harus dilaporkan ke Panitia Farmasi Terapi adalah yang berat, fatal, meninggalkan gejala sisa

sesuai Standar Prosedur Operasional Pemantauan Efek

Samping Obat.

6. Pemantauan dan Pelaporan efek samping obat dikoordinasikan oleh Panitia Farmasi dan Terapi RSCM. 7. Petugas pelaksana pemantauan dan pelaporan efek

samping obat adalah dokter, perawat, apoteker di ruang rawat / Poliklinik

8. Panitia Farmasi dan Terapi RSCM melaporkan hasil evaluasi pemantauan ESO kepada Direktur Medik dan Keperawatan dan menyebarluaskannya ke seluruh Departemen Medik/ Instalasi/Unit Pelayanan di RSCM sebagai umpan balik/ edukasi.

Dalam dokumen Buku Formularium RSCM 2012 (Halaman 149-163)

Dokumen terkait