• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPARAN DATA

Dalam dokumen SKRIPSI AGUS SETYA GUNAWAN (Halaman 70-99)

A.Tafsir al-Mishbah 1. Biografi Mufassir

M. Quraish Shihab adalah seorang cendekiawan muslim, ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an, Rektor, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998).62Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Ayahnya adalah Abdurrahman Shihab keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir dan dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.63

Quraish kecil telah mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan ayahnya, sejak masih berusia 6-7 tahun. Sang ayah biasa mengajak anak-anaknya duduk bersama setelah shalat Maghrib, sambil menyampaikan nasehat-nasehat yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an.64

Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari

62

A. Mubarok Yasin, Ensiklopedi Penulis Pesantren Biografi Singkat Para Penulis

Pesantren (Mulai Abad 14 hingga 21 Masehi) (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2009), 119.

63

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 6.

64

71

ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an.

Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Dar al-Hadits al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk lebih mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Kairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-I’jaz at-Tasyri’i li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari segi hukum).

Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping menduduki jabatan resmi, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu kepolisian Indonesia timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan

72

lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia bagian timur (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).

Untuk mewujudkan cita-citanya mendalami studi tafsir, pada tahun 1980 Quraish kembali menuntut ilmu kembali ke almamaternya dulu, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm al-Dura>r li al-Biqa’i Tah}qi>q wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm al-Dura>r (Rangkaian Mutiara) karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cumlaude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah

al-S}araf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).65

Dengan demikian, secara keseluruhan M. Quraish Shihab telah menjalani pengembangan intelektualnya di bawah asuhan dan bimbingan Universitas al-Azhar (di sini termasuk masa studinya pada tingkat Tsanawiyah dan ‘Aliyah) selama sekitar 13 tahun. Hampir dapat dipastikan bahwa iklim dan tradisi keilmuan dalam studi Islam di lingkungan Universitas al-Azhar itu mempunyai pengaruh-pengaruh tertentu terhadap kecenderungan intelektual dan corak pemikiran keagamaan M. Quraish Shihab.66

65

Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 2003), 111.

66

Mustafa, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka

73

Dalam perjalanan karir dan aktifitasnya, Quraish Shihab memiliki jasa yang cukup besar di berbagai hal. Sekembalinya dari Mesir, sejak tahun 1984, ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Qur’an di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Selain itu, ia juga menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua Majlis Ulama Indonesia Pusat (MUI) sejak 1984, Anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departeman Agama sejak 1989, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Ia juga berkecimpung di beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.67

Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktifitas yang dijalankannya di tengah-tengah

67

74

masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal For Islamic Studies, Ulumul Qur'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.68

Dalam bidang intelektual kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya. Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubrik "Pelita Hati" dalam surat kabar Pelita dan pada rubrik “Hikmah” dalam surat kabar Republika. Adapun yang berupa uraian tafsir muncul pada rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Tafsir al-Amanah jilid I. Sejumlah makalah dan ceramah tertulisnya sejak tahun 1975 dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk dua buku oleh penerbit Mizan dengan judul Membumikan al-Qur’an (1992) dan Lentera Hati (1994). Karya lainnya adalah al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta:

68

75

Departemen Agama, 1987), dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).69

Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal penceramah yang handal. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV.

Quraish memang bukan satu-satunya pakar al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pakar al-Qur’an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudhu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surat yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.

69

76

Quraish banyak menekankan perlunya memahami wahyu ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstualnya agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khusus di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur’an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang memaksakan pendapatnya atas nama al-Qur’an. 70

Di sela-sela kesibukannya, Quraish Shihab tetap aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Beliau juga produktif menulis. Setiap hari Rabu, beliau mengasuh rubrik “Tafsir al -Amanah” di Majalah Amanah, yang terbit dua minggu sekali. Quraish Shihab juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.

70

77

Di antara karya-karya Quraish Shihab adalah sebagai berikut:

a. Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003).

b. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984).

c. Mukjizat al-Qur’an di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1996).

d. Secercah Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 2002).

e. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhi Atas berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996).

f. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).

g. Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995).

h. Fatwa-fatwa Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999).

i. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1998).

j. Lentera al-Qur’an : Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007).

k. Logika Agama; Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam al-Quran.71

71

78 2. Sistematika Tafsir Al-Mishbah

a. Sekilas Tafsir al-Misbah

Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab ditulis dalam bahasa Indonesia yang berisi 30 juz ayat-ayat al-Qur’an yang terbagi menjadi 15 jilid berukuran besar. Pada setiap jilidnya berisi satu, dua atau tiga juz.

Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “ Tafsir al-Qur’an al-Karim” dan “Tafsir Surat-surat Pendek” berdasarkan urutan wahyu. Namun, hanya 24 surat saja yang ditafsirkan belum sampai 30 juz. Ia menggunakan model penyajian tahlili dan analisis terhadap kosakata yang menjadi kata kunci. Namun, model penyajian itu dikesankan banyak orang yang kurang menarik serta terlalu bertele. Sebab, Quraish Shihab menguraikan terlebih dahulu kosa kata sulit hingga sangat detail. Padahal, masyarakat kebanyakan membutuhkan adanya tafsir yang mudah dipahami dan subtansial. Bisa dibaca oleh siapa pun, baik kalangan pelajar maupun tidak.72

Kitab tafsir al-Mishbah ini merupakan upaya dia untuk menghindari model kajian yang terkesan bertele-tele. Sebagai seorang mufasir kontemporer Indonesia yang pernah menduduki jabatan penting di tataran birokrasi negeri ini, ia tentu relatif lebih paham dengan kondisi masyarakat yang ada. Ketika akan menulis tafsir

72

79

Mishbah ini, dalam analisis yang dilakukannya, ia melihat begitu dangkalnya pemahaman masyarakat terhadap kandungan al-Qur’an. Kesalahpahaman tentang pemahaman atau pesan surat akan semakin menjadi-jadi bila membaca beberapa buku yang menjelaskan keutamaan surat-surat al-Qur’an atas dasar hadits-hadits lemah, Misalnya bahwa membaca surat al-Waqi’ah mengundang kehadiran rezeki.73

Muhammad Quraish Shihab juga melakukan pengamatan tentang pemahaman masyarakat terhadap al-Qur’an. Dia menemukan bahwa, pemahaman keliru itu tidak hanya terjadi kepada orang awam saja, melainkan terjadi di kalangan kaum terpelajar pun, bahkan yang berkecimpung dalam studi Islam, masih sering timbul dugaan kerancuan sistematika penyusunan ayat dan surat-surat al-Qur’an. Apalagi jika mereka membandingkannya dengan karya-karya ilmiah.74

Dua kesalahpahaman inilah yang ingin diluruskan sehingga mendorong Quraish Shihab untuk menuliskan tafsirnya, yakni tafsir

al-Mishbah. Dalam tafsir ini, yang lebih diutamakan ialah pembahasan tentang tema pokok surat dan keserasian antara ayat satu dengan yang lain, dan keserasian surat. Sehingga pembaca bisa dengan mudah menangkap maksud dengan kandungan ayat atau pun

73

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian

al-Qur’an Volume 1 (Jakarta: Lentera Hati,2000), XIV. 74

80

surat. Terlebih tafsir ini memuat bahasa yang sederhana, dan mudah dipahami.

b. Metode Penafsiran

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman atau petunjuk bagi umat manusia. Umat Islam meyakininya sebagai kitab suci yang selalu relevan bagi kehidupan mereka sepanjang masa. Banyak kitab tafsir yang dapat kita jumpai sekarang ini, merupakan bukti nyata yang menunjukkan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab suci al-Qur’an. Berdasarkan berbagai metode penafsiran yang digunakan para ulama ahli tafsir, di antaranya al-Farmawīy membagi menjadi empat macam, yaitu: Metode Tahlily, Metode Ijmaliy, Metode Muqaran, dan Metode Maudhu’iy.75 Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis

method” dan bahasa Arab menerjemahkan dengan “thariqat” dan

manhaj”.76

Metode dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.77 Jadi metode adalah

75

Abdul Hayy al-Farmawīy, Metode Tafsir Maudh’iy, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada,1996), 11.

76

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),

54.

77

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

81

salah satu sarana yang sangat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini maka studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni “suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkanNya kepada Nabi Muhammad Saw.78

Dari keempat metode di atas, yang pertama yaitu metode

Tahliliy. Secara harfiyah, Tahliliy berarti menjadi lepas atau terurai.79

Metode Tahliliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, berdasarkan urutan ayat yang ada di dalam mushaf. Mengemukakan arti kosa kata disertai penjelasan arti global ayat, menyebutkan

munasabah (korelasi) pada ayat-ayat al-Qur’an antara yang satu

dengan ayat lainnya, membahas asbab an-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Nabi, sahabat, tabi’in. kemudian penafsir melakukan analisis (sesuai latar belakang pendidikannya) disertai penambahan pembahasan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an.80Menurut Muhammad Baqir al-Shadr menyebutkan tafsir metode tahlili ini dengan tafsir tajzi’i, yang secara harfiah berarti menguraikan

78

Nashruddin Baidan, 56.

79Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an(Jakarta: Rajawali Press, 2013), 379.

80

Abdul Hayy al-Farmawīy, Metode Tafsir Maudh’iy, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta:

82

berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial. Metode tafsir ini merupakan metode tafsir paling tua usianya.81

Penjelasan dalam tafsir al-Mishbah sangat sesuai dengan kemampuan manusia di Indonesia, baik orang yang sudah paham tafsir maupun belum sama sekali, karena menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh siapa pun (yang paham bahasa Indonesia) yang membacanya. Quraish Shihab menggunakan metode

tahliliy dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam tafsir

al-Misbah. Sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Dari segi teknis, tafsir dalam bentuk ini disusun berdasarkan urutan ayat-ayat dalam al-Qur’an.

Selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosa kata makna global ayat, korelasi asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurut pengamatan penulis, penggunaan metode ini banyak dipertanyakan oleh pembaca. Karena pertama, selama ini M. Quraish Shihab sebagai tokoh yang memperkenalkan tafsir mauḍhu’i dan mempopulerkannya di tanah air. Sebab menurutnya ada beberapa keistimewaan pada metode maudhu’i dibanding metode lain (ijmali,

tahlili, muqarran). Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan

81

Muhammad Quraish Shihab dkk, Sejarah Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,

83

hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an. Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami.

Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an dengan mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan tidak dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat menjelaskan kembali fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci dan dapat membuktikan keistimewaan al-Qur’an. Keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan di dalam al-Qur’an sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.82

c. Corak Tafsir al-Misbah

Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab lebih cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi ijtima’i). Yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti. Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Selanjutnya seorang mufasir berusaha menghubungkan

82

84

nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.83Tafsir corak ini (al-Mishbah) merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.84

Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, corak penafsiran ini terlepas dari kekurangan berusaha mengemukakan segi keindahan

(balaghah) bahasa dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan

makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an. Mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandung, membantu memecahkan segala problem yang dihadapi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang benar. Di dalam al-Qur’an berusaha menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, yang berusaha melenyapkan keraguan dan kebohongan yang dilontarkan terhadap al-Qur’an dengan argumen yang kuat

83

Abdul Hayy al-Farmawīy, Metode Tafsir Maudh’iy, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 28.

84

Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki

85

yang mampu menangkis segala kebatilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar.85

Setidaknya ada tiga karakter yang dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur’an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasannya lebih tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat. Ketiga, disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar. Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab memenuhi ketiga persyaratan tersebut.

Kaitannya dengan karakter yang pertama, tafsir ini selalu menghadirkan penjelasan akan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur’an itu kitab yang kekal sepanjang zaman. Kemudian karakter yang kedua, Muhammad Quraish Shihab selalu mengakomodasi hal-hal yang dianggap problem di masyarakat. Kemudian dalam penyajiannya, tidak dapat diragukan lagi, ia menggunakan bahasa yang mudah di pahami oleh kalangan umum.

Sehingga jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan cendekiawan muslim lainnya, karya-karya Muhammad Quraish Shihab pada

85

86

umumnya dan Tafsir al-Misbah pada khususnya tampil sebagai karya tulis yang khas. Memang setiap penulis memiliki gaya masing masing. Dalam memilih bahasa yang digunakan, ia lebih mengedepankan kemudahan konsumen/pembaca yang tingkat intelektualitasnya relatif lebih beragam. Hal ini dapat dilihat dalam setiap bahasa yang sering digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam menulis karya-karyanya yang mudah dicerna dan dimengerti

Dalam dokumen SKRIPSI AGUS SETYA GUNAWAN (Halaman 70-99)

Dokumen terkait