• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Filum Mollusca 1 Pisidium 15,55 5,46

4.2 Parameter Fisik-Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik- kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel. 4.6 berikut:

Tabel 4.6 Rata-rata Faktor Fisik-Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian

No Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

1 Temperatur Air oC 26 27 27

2 Intensitas Cahaya Candela 575 463 724

3 Penetrasi Cahaya Cm 15 25 20

4 pH Air - 7,2 6,4 6,8

5 Kecepatan Arus m/det 0,76 0,52 0,62

6 DO mg/L 6,9 6,6 7,2 7 BOD5 mg/L 2,5 3,1 2,3 8 Kejenuhan Oksigen % 87,45 84,5 91,71 9 Kandungan Organik Substrat % 0,79 0,19 0,08 Keterangan:

Stasiun I : Daerah Pertemuan Sungai

Stasiun II : Daerah Perkebunan Kelapa Sawit (PTPN 4) Stasiun III : Daerah Bendungan

Berdasarkan Tabel. 4.6 dapat dilihat bahwa temperatur air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 26-27 oC. Perbedaan temperatur pada setiap stasiun tidak

terlalu jauh. Temperatur air tertinggi terdapat pada stasiun II dan stasiun III yaitu sebesar 27 oC dan temperatur terendah terdapat pada stasiun I sebesar 26 oC.

Perbedaan temperatur ini dikarenakan kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, jumlah pepohonan pada stasiun I lebih banyak dan juga merupakan daerah pertemuan sungai, serta aktivitas masyarakat yang berbeda-beda pada setiap stasiun. Berdasarkan hasil analisis, korelasi antara temperatur air dengan keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun berkorelasi kuat, sehingga setiap terjadi kenaikan suhu maka nilai keanekaragaman juga akan meningkat. Menurut Meijering (1990), pola temperatur ekosistem perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari serta pertukaran panas antara air dan udara disekelilingnya dan aktivitas manusia. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) siklus temperatur untuk kehidupan organisme perairan berkisar 26oC–31oC,

sedangkan suhu lethal (mematikan) untuk kehidupan makrozoobentos adalah 32

35°C-40°C. Pada kisaran suhu tersebut makrozoobentos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian. Penetrasi cahaya yang secara langsung masuk ke perairan dengan kondisi sungai dangkal akan menyebabkan tingginya suhu, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas sehingga mempengaruhi suhu.

Intensitas cahaya pada ketiga stasiun penelitian memiliki perbedaan nilai yang sangat tinggi. Intensitas cahaya paling tinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 724 Candela dan intensitas cahaya paling rendah terdapat pada stasiun II sebesar 463 Candela. Perbedaan intensitas cahaya pada masing-masing stasiun mungkin disebabkan oleh perbedaan kedalaman air, luas sungai, kekeruhan air, serta vegetasi yang ada disekitar sungai tersebut. Stasiun III merupakan daerah bendungan yang berada di daerah pertanian, sehingga tidak banyak didapati vegetasi pepohonan tinggi yang kemungkinan dapat menghalangi cahaya masuk langsung ke air. Effendi (2003) menjelaskan, bahwa intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Menurut Barus (2004), intensitas cahaya bagi organisme air berfungsi sebagai alat orientasi yang mendukung kehidupan organisme dalam perairan tersebut.

Penetrasi cahaya paling tinggi terdapat pada stasiun II yaitu 25 cm dan terendah pada stasiun I yaitu sebesar 15 cm. Sastrawijaya (1991) menjelaskan, cahaya matahari tidak dapat langsung menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera. Pengaruh utama dari kekeruhan air adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga yang dapat menurunkan aktivitas perairan (Koesbiono, 1979).

Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pH air dari ketiga stasiun sangat berbeda yaitu berkisar antara 6,4-7,2. pH tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu

keasaman (pH) sangat penting mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik karena pH dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan tersedianya unsur hara serta toksisitas unsur renik. Sutrisno (1987) dalam

Magfirah et al., (2014) menyatakan, pH yang optimal untuk spesies makrozoobentos berkisar 6,0-8,0. Barus (2004) menjelaskan, bahwa kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa, akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik, dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme.

Kecepatan arus yang paling tinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,76 m/s dan yang terendah pada stasiun II yaitu sebesar 0,52 m/s, dan nilai ini termasuk dalam kondisi sungai yang memiliki kecepatan arus yang deras. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mason (1993), bahwa perairan yang mempunyai arus > 1 m/det dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, perairan dengan arus > 0,5–1 m/det dikategorikan sebagai arus deras, kecepatan arus 0,25–0,5 m/det dikategorikan sebagai arus sedang, kecepatan arus 0,1–0,25 m/dtk di kategorikan arus lambat dan kecepatan arus < 0,1 m/det dikategorikan arus sangat lambat. Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Berdasarkan hasil analisis yang didapat, korelasi antara kecepatan arus dengan keanekaragaman bernilai sedang dan berkorelasi negatif yaitu sebesar -0,547 (lihat Tabel 4.7), dibuktikan dengan rendahnya nilai keanekaragaman pada stasiun I yaitu 1,46 yang memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,76 m/det dan semakin tingginya keanekaragaman pada stasiun III sebesar 1,89 yang memiliki nilai kecepatan arus lebih rendah yaitu sebesar 0,62 m/det. Perbedaan kecepatan arus pada suatu perairan disebabkan oleh keadaan topografi sungai, kedalaman sungai, musim penghujan atau musim kemarau, dan substrat yang terdapat di sungai. Odum (1994) menjelaskan, kecepatan arus di sungai 34

tergantung pada kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman dan lebar sungai. Kecepatan arus juga tergantung pada musim hujan atau kemarau. Semakin tinggi arus maka akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan semakin tinggi arus air maka kandungan CO2rendah (Asdak, 1995).

Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 7,2 mg/l dan DO terendah terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 6,6 mg/l. Nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun penelitian masih dapat ditoleransi oleh makrozoobenthos pada masing-masing stasiun. Hal ini sesuai dengan literatur Hafshah et al. (2012)

dalamMagfirahet al.(2014), yang menyatakan bahwa nilai rata-rata DO berkisar antara 4,40 – 5 mg/L masih dalam konsentrasi yang layak untuk kehidupan biota perairan. Menurut Barus (2004), sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi dari organisme akuatik adalah berbeda-beda. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka oksigen terlarut dalam air akan menurun. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak lima mg/L dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme (Sastrawijaya, 1991). Kandungan gas oksigen terurai dalam air mempunyai peranan dalam menentukan kelangsungan hidup organisme akuatik dan untuk berlangsungnya proses reaksi kimia yang terjadi di dalam perairan (Asdak, 1995).

BOD5 pada ketiga stasiun penelitian adalah berbeda, dimana nilai BOD5

tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 3,1 mg/L dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 2,3 mg/L. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah dan jenis bahan organik pada setiap stasiun serta sedikitnya kandungan oksigen karena oksigen dalam air tersebut telah dipakai oleh mikroorganisme pengurai dalam proses penguraian bahan organik dan mengakibatkan meningkatnya BOD5. Menurut Brower et al (1990), nilai

konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi oksigen selama lima hari berkisar sampai lima mg/L oksigen. Sedangkan apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mg/L oksigen maka

Kebutuhan oksigen biologi suatu badan air adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh organisme yang terdapat didalamnya untuk bernafas selama lima hari.

Kejenuhan oksigen paling tinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 91,71% dan kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 84,5%. Menurut Barus (2004), kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob. Oleh sebab itu, jika dalam suatu lingkungan perairan jumlah senyawa organik tinggi, maka mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak dan hal ini akan mengakibatkan defisit oksigen bagi lingkungan perairan tersebut.

Kandungan organik substrat yang paling tinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,79% dan kandungan organik substrat terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,08%. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada setiap stasiun tergolong sangat rendah. Djaenuddin et al (1994) menjelaskan, kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut : < 1 % = sangat rendah; 1 % - 2 % = rendah; 2,01 % - 3 % = sedang; 3 %- 5 % = tinggi; > 5,01 % = sangat tinggi. Nilai korelasi antara kandungan organik substrat dengan keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun sangatlah kuat dan berkorelasi negatif yaitu sebesar -0,913, menunjukkan bahwa faktor ini sangatlah berpengaruh besar terhadap nilai keanekaragaman makrozoobentos. Dibuktikan pada stasiun I dengan kandungan organik substrat tertinggi sebesar 0,79 memiliki nilai keanekaragaman terendah yaitu sebesar 1,46 sedangkan stasiun III dengan kandungan organik terendah sebesar 0,08 memiliki nilai keanekaragaman tertinggi yaitu 1,89.

Menurut Barnest & Mann (1994), substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobentos, yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan bahan organik substrat. Welch (1952) menjelaskan, dengan adanya perbedaan jenis substrat dasar juga menyebabkan perbedaan jenis makrozoobentos yang didapatkan pada masing-

masing stasiun penelitian. Kehadiran spesies pada suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substrat juga ikut menentukan kelimpahan dari zoobentos.

Dokumen terkait