II. TINJAUAN PUSTAKA
2.5. Parameter fisika dan kimia yang mempengaruh
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan suatu organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa faktor fisika, kimia dan biologi. Faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap hewan benthos dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap hewan benthos (Setyobudiandi, 1997) Parameter Pengaruh Fisika 1. Suhu 2. Kedalaman 3. Kekeruhan 4. Sedimen
Migrasi, laju metabolisme, mortalitas Jumlah jenis, jumlah individu, biomassa
Jumlah dan jenis Jumlah dan jenis Kimia
1. pH 2. DO
Menurunnya daya tahan terhadap stress Jumlah dan jenis
Beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos diuraikan sebagai berikut :
2.5.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut (Nybakken, 1988). Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya. Perubahan suhu juga menghasilkan pola sirkulasi dan stratifikasi yang berperan dalam perairan.
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Menurut Effendi (2003), aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigan terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Dengan kata lain, makin tinggi kenaikan suhu air, makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya. Welch (1980) dalam Retnowati (2003) menyebutkan bahwa suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos berkisar antara 35oC-40oC. Suhu di perairan Situ Rawa Besar berkisar antara 28,5oC-31,5oC (Retnowati, 2003).
2.5.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Di samping itu, nilai kecerahan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan merupakan parameter fisika yang penting karena berkaitan erat dengan aktivitas fotosintesis dari alga dan mikrofita.
Makrozoobenthos secara langsung maupun tidak langsung memerlukan alga dan mikrofita tersebut sebagai sumber makanannya.
2.5.3. Kedalaman
Pada umumnya beberapa jenis makrozoobenthos dapat ditemukan pada kedalaman yang berbeda (Odum, 1993). Kedalaman perairan yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda pula terhadap jenis dan kelimpahan makrozoobenthos. Kebanyakan organisme benthik di danau, penyebarannya lebih besar dari 5% berada pada kedalaman 10 cm dari permukaan substrat, pada perairan yang mempunyai arus relatif sama (Bishop dalam Silalahi, 2001). Pennak (1978) menyatakan bahwa spesies dari Gastropoda lebih menyukai perairan sungai dan danau pada kedalaman kurang dari 3 m dan hal ini berhubungan dengan kelimpahan makanan yang ada pada kedalaman tersebut.
2.5.4. Kekeruhan
Menurut Jenie dan Rahayu (1993), kekeruhan biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi (bahan organik, mikroorganisme dan partikel-partikel cemaran lain). Effendi (2003) menyatakan bahwa kekeruhan pada perairan tergenang (lentik), misalnya situ lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus. Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme akuatik karena mengganggu perkembangan dan sistem pernapasan sehingga menghambat pertumbuhan terutama bagi makrozoobenthos.
Kekeruhan dapat menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air sehingga akan menurunkan nilai kecerahan perairan (Nybakken, 1988). Selanjutnya Odum (1993) juga menyebutkan bahwa kekeruhan dapat berperan sebagi indikator bagi produktivitas hayati perairan jika kekeruhan itu disebabkan oleh bahan-bahan organik dari organisme hidup. Batas maksimum kekeruhan bagi kehidupan biota air adalah 30 NTU (Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003). Menurut Retnowati (2003), kekeruhan Situ Rawa Besar berkisar antara 35-61 NTU.
2.5.5. Sedimen
Sedimen merupakan padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Sedimen yang terdapat di dalam air biasanya terbentuk sebagai akibat dari erosi dan termasuk padatan yang umum terdapat di dalam air permukaan. Sedimen biasanya terdiri dari pasir dan lumpur, berbeda dengan tanah liat yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya. Debu dan liat merupakan padatan yang dapat mengendap dengan sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang (Fardiaz, 1992).
2.5.5.1. Tekstur
Odum (1993) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan menentukan penyebaran makrozoobenthos, dimana masing-masing tipe tekstur menentukan komposisi jenis makrozoobenthos. Pengendapan partikel tergantung dari arus, apabila arusnya kuat maka partikel yang mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Perbedaan ukuran butiran partikel (grain size) berkolerasi terhadap sirkulasi air yang mengatur kelembaban dan mensuplai O2 serta nutrien. Nybakken (1992)
menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi benthos. Kemampuan menjebak bahan organik dalam sedimen semakin meningkat seiring dengan semakin halusnya substrat. Perbedaan karakteristik tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik tekstur tanah (Nybakken, 1992) Tekstur Tanah
Kapasitas Penahan
Nutrien Infiltrasi Air
Kapasitas Penahan
Air Aerasi
Tanah liat pekat
(clay) Baik Jelek Baik Jelek
Lumpur (silt) Sedang Sedang Sedang Sedang
Pasir (sand) Jelek Baik Jelek Baik
Tanah liat/gemuk
2.5.5.2. Bahan organik dalam sedimen
Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan substrat. Menurut Wetzel dan Likens (1979) dalam Yurika (2003), bahan organik dalam perairan terdiri dari senyawa-
senyawa organik dalam bentuk larutan (berukuran < 0,5 µm) sampai dalam bentuk
partikel-partikel besar (berukuran > 0,5 µm), dari organisme hidup sampai yang sudah mati. Wood (1987) dalam Yurika (2003) menjelaskan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme benthik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik biasanya didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposit feeder dan sebaliknya suspension feeder mendominasi sedimen dasar bertipe substrat pasir yang miskin akan bahan organik.
Bahan organik di dalam ekosistem perairan dapat berasal dari dalam perairan itu sendiri (autochtonous) maupun berasal dari luar (allochtonous). Bahan organik yang berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung memasukkan bahan organik ke dalam suatu perairan (Le Cren et al., 1980 dalam Suroya, 1997). Pencemaran bahan organik di perairan telah menjadi masalah di beberapa perairan di berbagai negara. Salah satu sumber pencemar organik adalah jaring apung.
Umumnya limbah organik yang berasal dari jaring apung adalah pellet yang tidak termakan dan feses dari ikan (Gowen dan Bradbury, 1987 ; Iwama, 1991 dalam Wardiatno dkk, 1997). Keduanya akan tenggelam karena memiliki densitas yang lebih besar daripada air di sekitar jaring apung (Gowen dan Bradbury, 1987 ; Johnsen et al. , 1993 dalam Wardiatno dkk, 1997). Input yang demikian dapat menyebabkan pengaruh yang signifikan terhadap kimiawi sedimen dan ekologi organisme benthik (Fenchel dan Riedl, 1970 ; Pearson dan Rosenberg, 1978 dalam Wardiatno dkk, 1997).
Menurut Hasan (1993) dalam Suroya (1997), adanya kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung dapat meningkatkan kandungan bahan organik secara nyata, tetapi penungkatan kepadatan jaring apung belum tentu memberikan
peningkatan kandungan bahan organik lebih lanjut secara nyata. Selanjutnya Basmi (1991) dalam Suroya (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan organik di sekitar kegiatan jaring apung ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan bahan organik di lokasi yang jauh dari kegiatan jaring apung.
Menurut Gieseking (1975) dalam Simamora (1992), jenis dan tipe kesuburan tanah antara lain dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik, terutama oleh kandungan C organik dan N organik. Selanjutnya Reddy dalam Overcash dan Davidson (1981) dalam Yurika (2003) menyatakan bahwa rasio C/N bahan organik dalam sedimen dan menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh diantaranya suhu, kelembaban dan pH sedimen dalam suatu model matematika. Dalam model tersebut ditemukan bahwa karbon organik adalah faktor penentu pertumbuhan dalam substrat. Komunitas makrozoobenthos yang hidup dalam substrat tersebut akan merombak karbon organik menjadi bahan makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival rate) dan pertumbuhannya. Di samping itu, Wood (1987) dalam Yurika (2003) juga menyatakan bahwa jumlah dan laju pertambahan kandungan bahan organik memiliki pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.
2.5.6. pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003). Menurut Wardhana (1994), air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air limbah dan bahan buangan dari berbagai kegiatan manusia yang dibuang ke suatu badan perairan akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Menurut Retnowati (2003), pH di perairan Situ Rawa Besar berkisar antara 7,4-9,3. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0-6,5 Keanekaragaman benthos sedikit menurun.
5,5-6,0 Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak. 5,0-5,5 Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos
besar.
4,5-5,0 Penurunan keanekaragaman dan komposisi benthos semakin besar yang diikuti dengan penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos.
2.5.7. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Menurut APHA (1989) dalamRetnowati (2003), oksigen terlarut di dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Konsentrasi O2 yang terlarut di dalam air
dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987
dalam Effendi, 2003).
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Retnowati (2003) menyatakan bahwa keberadaan O2 terlarut di dalam substrat sangat berkurang.
Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan O2 terlarut. Kadar O2 terlarutpada
perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Effendi, 2003). Menurut Retnowati (2003), O2 terlarut di Situ Rawa Besar berkisar 7,7-10,9 mg/l.
2.5.8. Kebutuhan oksigen kimia (COD)
Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi, 2003).
Selanjutnya Jenie (1993) menyatakan bahwa COD pada umumnya memberikan perkiraan kebutuhan O2 total dari pemecahan atau teroksidasinya limbah secara
relatif. Nilai COD dipengaruhi oleh banyak faktor seperti bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia (selulosa, tanin, lignin, fenol, polisakarida dan benzena) dimana bahan-bahan kimia tersebut dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia.
Menurut Effendi (2003), pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat dalam suasana asam. Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20mg/l.