• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi Perairan Danau

D. Membangun Model Pengendalian Pencemaran Perairan

5.1. Kondisi Eksisting Perairan Danau

5.1.1. Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi Perairan Danau

Pengetahuan mengenai kondisi kualitas perairan danau yang dicerminkan oleh nilai konsentrasi beberapa parameter kualitas air, baik secara fisika, kimia maupun secara biologi sangat diperlukan dalam merancang pengelolaan dan pengendalian pencemaran perairan tersebut. Penilaian ini pada dasarnya dilakukan dengan membandingkan nilai parameter kualitas air dari hasil pengukuran di lapangan dengan baku mutu perairan sesuai peruntukannya yang berlaku di Indonesia yakni mengacu pada PP RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Salah satu pemanfaatan perairan Danau Maninjau adalah digunakan sebagai sumber air baku air minum, maka berdasarkan peraturan tersebut dalam penelitian ini sebagai pembanding digunakan baku mutu air kelas 1, yaitu air yang peruntukannya digunakan sebagai air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Hasil analisis parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Suhu Perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses metabolisme organisme di perairan. Perubahan suhu yang mendadak atau kejadian suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari permukaan laut, letak tempat terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota perairan, terutama dalam proses metabolisme. Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya kelarutan oksigen dalam air. Oleh karena itu, maka pada kondisi tersebut organisme akuatik seringkali tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut untuk

keperluan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Adapun sebaran suhu di perairan Danau Maninjau selama penelitian disajikan pada Gambar 10.

28,15 28,2 28,13 28,31 28,47 28,25 27,83 27,96 27,94 27,66 28,07 28,06 27 27,5 28 28,5 29

Lm .Sundai Bt.Marans i Bd.Ligin Jb.Am pang Bt.Kalarian Tb.Asam

S uhu ( 0 C ) Sungai Danau

Gambar 10. Sebaran nilai rata-rata suhu di perairan Danau Maninjau. Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian secara keseluruhan tidak memperlihatkan variasi yang besar, bahkan relatif stabil yaitu berkisar antara 28,15–28,47 0C, dengan nilai rata-rata 28,25 0C. Melihat keadaan suhu di daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi suhu di perairan Danau Maninjau masih memenuhi baku mutu air kelas 1. Dengan demikian, perairan Danau Maninjau dapat digunakan sebagai sumber air baku air minum.

Total Padatan Tersuspensi (TSS), Kecerahan dan Kekeruhan

Padatan tersuspensi terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi koloid. Padatan tersuspensi mengandung bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik antara lain berupa liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik berupa sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi lainnya seperti sel alga, bakteri dan sebagainya (Peavy et al., 1986).

TSS, kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter-parameter yang saling terkait satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi sebanding dengan peningkatan konsentrasi kekeruhan dan berbanding terbalik dengan kecerahan. Ketiga parameter tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam produktivitas perairan. Hal ini berkaitan erat dengan proses fotosintesis dan respirasi organisme perairan. Keberadaan total padatan tersuspensi di perairan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air.

Hasil pengukuran total padatan tersuspensi di perairan Danau Maninjau berkisar antara 46,47–56,7 mg/l dengan rata-rata 51,59 mg/l (Gambar 11). Tingginya kadar padatan tersuspensi di perairan Danau Maninjau disebabkan oleh tinggingya pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian maupun permukiman. Menurut Sastrawijaya (1991), nilai TSS antara 50–100 mg/l merupakan perairan dalam kondisi mesotrof atau perairan danau dengan tingkat kesuburan sedang.

57,63 50,86 59,72 51,2 51,46 52,74 53,23 53,22 50,5 56,7 46,47 52,44 0 15 30 45 60 75

Lm .Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Am pang Bt.Kalarian Tb.Asam

T SS ( m g /L ) Sungai Danau

Gambar 11. Sebaran nilai rat-rata TSS di perairan Danau Maninjau.

Nilai TSS apabila diperbandingkan dengan baku mutu air kelas 1 yang mempersyaratkan konsentrasi total padatan tersuspensi maksimum 50 mg/l, maka perairan Danau Maninjau sudah melampaui baku mutu yang diperbolehkan, kecuali stasiun Muara Batang Maransi. Dengan demikian, perairan danau secara umum tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber baku air minum, namun masih layak dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan.

Nilai kecerahan suatu perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air. Cahaya matahari akan membantu proses terjadinya fotosintesis yang akan menghasilkan oksigen terlarut yang merupakan faktor penting dalam kehidupan akuatik. Nilai kecerahan di perairan Danau Maninjau berkisar antara 76–83 cm dengan nilai rata-rata 78,6 cm (Gambar 12).

Nilai kecerahan antar stasiun penelitian mempunyai variasi yang relatif kecil dan hampir menyebar merata pada setiap stasiun. Adanya perbedaan nilai kecerahan ini diduga karena pengaruh dari kuantitas maupun kualitas air dari daerah aliran sungai yang membawa partikel-partikel bahan organik ke perairan danau.

68 72 77 58 68 69 81 73 76 80 83 80 0 20 40 60 80 100

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb. Asam

K ecer ah a n ( cm ) Sungai Danau

Gambar 12. Sebaran nilai rata-rata kecerahan di perairan Danau Maninjau. Kekeruhan digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan perairan, sehingga dapat menghalangi proses fotosintesis dan produksi primer perairan. Kekeruhan biasanya terdiri dari partikel anorganik yang berasal dari erosi dari DAS dan resuspensi sedimen di dasar danau (Wetzel, 2001). Kekeruhan memiliki korelasi positif dengan padatan tersuspensi, yaitu semakin tinggi nilai kekeruhan maka semakin tinggi pula nilai padatan tersuspensi. Dari hasil analisis kualitas air menunjukkan bahwa nilai kekeruhan di perairan Danau Maninjau berkisar antara 21,94–23,97 JTU dengan nilai rata-rata 23,26 JTU (Gambar 13). WHO (1992), mensyaratkan nilai kekeruhan untuk air minum maksimal 5 JTU, dengan demikian perairan Danau Maninjau tidak layak digunakan sebagai sumber air baku air minum.

13,29 13,09 14,37 14,01 13,5 13,44 21,94 23,13 23,86 23,97 23,34 23,31 0 5 10 15 20 25 30

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb. Asam

K e ker u h an ( JT U ) Sungai Danau

Total Dissolved Solid (TDS)

Hasil pengukuran total padatan terlarut (TDS) di perairan Danau Maninjau berkisar antara 113,97–117,73 mg/l, dengan nilai rata-rata 115,83 mg/l (Gambar 14). Baku mutu kualitas air kelas 1 berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 untuk total padatan terlarut maksimum 1000 mg/l. Nilai total padatan terlarut perairan danau masih di bawah ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan. Dengan demikian, perairan Danau Maninjau masih layak digunakan sebagai sumber air baku air minum. 112,37 117,17 113,97 114,79 117,73 115,47 115,76 105,94 112,35 111,93 113,56 109,6 90 100 110 120

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

TD S ( m g/ L) Sungai Danau

Gambar 14. Sebaran nilai rata-rata TDS di perairan Danau Maninjau. Nilai total padatan terlarut yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari nilai total padatan tersuspensi. Hal ini menggambarkan bahwa padatan yang masuk ke perairan Danau Maninjau lebih banyak yang berbentuk padatan yang ukurannya kecil (padatan terlarut), atau padatan yang terdapat di perairan Danau Maninjau lebih didominasi oleh padatan yang berasal dari limbah-limbah organik.

Warna Perairan

Hasil pengukuran nilai warna perairan di Danau Maninjau berkisar antara 12,99–14,73 unit PtCo, dengan nilai rata-rata 13,88 unit PtCo (Gambar 15). Nilai ini menggambarkan bahwa perairan Danau Maninjau sudah melebihi nilai perairan alami yang digunakan sebagai sumber air baku air minum, yaitu 10 unit PtCo. Berdasarkan WHO (1992), yang mensyaratkan nilai warna untuk air minum maksimal 15 unit PtCo, maka perairan Danau Maninjau masih layak digunakan sebagai sumber air baku air minum. Nilai warna perairan ini diduga ada kaitannya

dengan masuknya limbah organik dan anorganik yang berasal dari kegiatan KJA dan permukiman penduduk di sekitar perairan danau. Kondisi ini juga dapat meningkatkan blooming pertumbuhan fitoplankton dari filum Cyanophyta

(Effendi, 2003). 13,26 12,99 14,21 14,73 14,23 13,84 9,74 10,74 10,4 9,54 10,31 9,66 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

W a rn a (U n it PtC o ) Sungai Danau

Gambar 15. Sebaran nilai rata-rata warna air di perairan Danau Maninjau.

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan nilai yang menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam air. Nilai pH suatu perairan dapat mencerminkan keseimbangan antar asam dan basa dalam perairan tersebut. Nilai pH berkisar antara 1-14, pH 7 adalah batasan tengah antara asam dan basa (netral). Semakin tinggi pH suatu perairan maka makin besar sifat basanya, demikian juga sebaliknya, semakin rendah nilai pH maka semakin asam suatu perairan.

Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1978). Hasil pengukuran pH di perairan Danau Maninjau memperlihatkan bahwa nilai pH perairan danau lebih rendah dari perairan sungai, yaitu berkisar antara 7,32–7,46, dengan nilai rata-rata 7,38. Hal ini diduga akibat adanya pengaruh buangan limbah penduduk yang masuk ke perairan danau. Limbah atau sampah tersebut mengandung berbagai macam senyawa kimia yang bersifat basa seperti buangan deterjen, yang dapat meningkatkan nilai pH di perairan. Namun demikian, secara keseluruhan pH perairan danau masih berada pada kisaran yang

aman sebagai sumber air baku air minum berdasarkan ambang batas baku mutu kualitas air kelas 1 yang mensyaratkan nilai pH antara 6–9. Dengan demikian, pH perairan Danau Maninjau dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya dan dapat dipergunakan sebagai sumber air baku air minum.

7,32 7,37 7,43 7,46 7,37 7,36 7,45 7,47 7,44 7,48 7,4 7,39 7,2 7,25 7,3 7,35 7,4 7,45 7,5

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

pH

Sungai Danau

Gambar 16. Sebaran nilai rata-rata pH di perairan Danau Maninjau.

Karbondioksida (CO2) Bebas

Karbondioksida akan selalu bereaksi dengan air hingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan. Udara yang selalu bersentuhan dengan air akan mengakibatkan terjadinya proses difusi CO2 ke dalam air.

Kadar karbondioksida bebas di perairan Danau Maninjau berkisar antara 7,2–8,76 mg/l, dengan kadar rata-rata 7,96 mg/l (Gambar 17). Karbondioksida yang terdapat di dalam air merupakan hasil proses difusi CO2 dari udara dan hasil proses respirasi organisme akuatik. Selain itu, CO2 di perairan juga dihasilkan dari penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri (Saeni, 1989).

Kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan erat dengan bahan organik dan kadar oksigen terlarut (Sastrawijaya, 1991). Peningkatan kadar CO2

diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut. Karbondioksida akan mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan terutama pada kondisi DO < 2 mg/l. Pada kondisi demikian, maka akan terjadi keracunan CO2, sehingga daya serap oksigen oleh hemoglobin akan terganggu yang disebut dengan

methemoglobinemia. Keadaan ini dapat mengakibatkan organisme mati lemas karena sesak nafas.

7,7 7,91 7,79 7,51 7,6 7,6 8,76 8,33 7,56 7,2 7,97 7,97 0 2 4 6 8 10

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

C O 2 be ba s ( m g/ L) Sungai Danau

Gambar 17. Sebaran nilai rata-rata CO2 bebas di perairan Danau Maninjau.

Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu gas terlarut di perairan alami dengan kadar bervariasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Selain diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan, oksigen juga diperlukan dalam proses dekomposisi senyawa-senyawa organik menjadi senyawa anorganik. Sumber oksigen terlarut terutama berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer. Difusi oksigen ke dalam air terjadi secara langsung pada kondisi stagnant (diam) atau karena agitasi (pergolakan massa air) akibat adanya gelombang atau angin.

Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di perairan danau berkisar antara 5,1–6,7 mg/l, dengan nilai rata-rata 5,96 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan danau konsumsi oksigennya lebih tinggi sebagai akibat dari terjadinya peningkatan jumlah limbah organik yang berasal dari kegiatan di badan perairan danau, terutama kegiatan budidaya ikan pada KJA. Gambar 18 memperlihatkan bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan danau lebih rendah dari kandungan oksigen terlarut di perairan sungai.

Kandungan oksigen terlarut di perairan danau sudah melebihi baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum yang mensyaratkan kandungan oksigen terlarut > 6 mg/l. Kandungan oksigen terlarut ini memberikan gambaran bahwa secara umum perairan danau sudah tercemar oleh bahan organik yang mudah terurai. Hal ini menunjukkkan bahwa perairan danau tidak lagi layak

digunakan sebagai sumber air baku air minum, namun untuk kegiatan budidaya perikanan perairan Danau Maninjau masih layak untuk dimanfaatkan.

7,2 8,4 7,3 8,3 8,1 8,2 5,1 6,2 5,6 6,7 5,9 6,24 0 2 4 6 8 10

Lm . Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Am pang Bt.Kalarian Tb.Asam

DO ( m g /L) Sungai Danau

Gambar 18. Sebaran nilai rata-rata DO di perairan Danau Maninjau.

Penyebab kandungan oksigen terlarut di stasiun muara Sungai Limau Sundai dan Bandar Ligin di atas ambang batas baku mutu diduga karena padatnya pemanfaatan lahan pada ekosistem perairan danau terutama untuk KJA, sehingga dekomposisi bahan organik menjadi bahan anorganik oleh mikroorganisme pengurai juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Beveridge (1987) yang menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen pada budidaya KJA dua kali lebih tinggi dari pada laju konsumsi oksigen di perairan yang tidak ada KJA-nya. Selain itu, menurunnya kandungan oksigen terlarut ini juga disebabkan oleh banyaknya limbah organik yang berasal dari limbah domestik dari daerah sempadan danau.

Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

BOD5 merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan bahan organik di perairan. Hal ini disebabkan BOD5 dapat menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis, yaitu jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecahkan atau mengoksidasi bahan-bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Nilai BOD5 yang tinggi menunjukkan semakin besarnya bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Adapun sebaran nilai rata-rata BOD5 di perairan Danau Maninjau diperlihatkan pada Gambar 19.

Gambar 19 mempresentasikan bahwa nilai BOD5 di perairan danau berkisar antara 2,89–6,42 mg/l, dengan rata-rata 4,52 mg/l. Berdasarkan baku mutu air kelas 1, nilai BOD5 yang dipersyaratkan < 2 mg/l. Dengan demikian, disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau sudah tercemar oleh bahan organik mudah urai (BOD5) dan tidak layak dipergunakan sebagai sumber air baku air minum, namun masih dapat dipergunakan untuk kegiatan budidaya KJA. Tingginya kadar BOD5 tersebut terutama disebabkan oleh padatnya pemanfaatan areal di sekitar sungai untuk permukiman penduduk. Hal ini akan mengintroduksi limbah domestik masuk ke perairan danau.

6,42 2,89 5,54 3,15 4,86 4,25 4,4 3,38 3,78 3,63 4,13 3,18 0 1 2 3 4 5 6 7

Lm .Sundai Bt.Marans i Bd.Ligin Jb.Am pang Bt.Kalarian Tb.As am

BO D5 (m g/ L ) Sungai Danau

Gambar 19. Sebaran nilai rata-rata BOD5 di perairan Danau Maninjau. Pada perairan yang relatif tenang (stagnant) seperti Danau Maninjau, limbah organik yang masuk dimungkinkan akan mengendap dan terakumulasi pada subtrat dasar perairan, sehingga proses dekomposisi meningkat dan menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggoro (1996) yang menyatakan bahwa menumpuknya bahan pencemar organik di perairan akan menyebabkan proses dekomposisi oleh organisme pengurai juga semakin meningkat, sehingga konsentrasi BOD5 juga meningkat. Di samping itu menurut Canter and Hill (1979), peningkatan nilai BOD5 merupakan indikasi menurunnya kandungan oksigen terlarut di perairan karena adanya aktivitas organisme pengurai.

Chemical Oxygen Demand (COD)

Parameter lain yang juga dapat digunakan sebagai penduga pencemaran limbah organik adalah COD. Nilai COD menggambarkan total oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O.

Dari hasil analisis kualitas air perairan Danau Maninjau menunjukkan bahwa nilai COD perairan berkisar antara 9,8–12,4 mg/l, dengan nilai rata-rata 10,96 mg/l. Gambar 20 memperlihatkan bahwa nilai COD perairan danau lebih tinggi dari nilai COD sungai. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan danau terjadi penumpukan bahan organik yang berasal dari kegiatan di badan perairan danau (KJA). Nilai COD yang tinggi ditemukan pada perairan sekitar Sungai Limau Sundai, Jembatan Ampang dan Batang Kalarian.

Berdasarkan baku mutu air kelas 1 yang mempersyaratkan nilai COD untuk air baku air minum adalah < 10 mg/l, maka perairan Danau Maninjau telah mengalami pencemaran oleh bahan organik sulit terurai. Dengan demikian perairan Danau Maninjau secara umum tidak lagi memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber air baku air minum.

8,7 7,9 7,6 8,5 8,1 7,34 12,4 9,8 9,8 11,6 11,2 11 0 2 4 6 8 10 12 14

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

CO D ( m g/ L) Sungai Danau

Gambar 20. Sebaran nilai rata-rata COD di perairan Danau Maninjau. Nilai COD yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih besar (mendekati 2,5 kali lebih besar) dibandingkan BOD5. Menurut Metcalf and Eddy (1979), perbedaan nilai COD dengan BOD5 biasanya terjadi pada perairan tercemar karena bahan organik yang mampu diuraikan secara kimia lebih besar dibandingkan penguraian secara biologi.

Nitrat (N-NO3-), Nitrit (N-NO2-) dan Ammonia (N-NH3)

Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton.

Hasil pengukuran kadar nitrat di perairan Danau Maninjau berkisar antara 0,21–0,38 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,26 mg/l (Gambar 21). Secara umum, kandungan nitrat perairan danau masih berada di bawah baku mutu air kelas 1, yang mensyaratkan kandungan nitrat untuk air baku air minum maksimal 10 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan danau tergolong tidak tercemar oleh senyawa nitrat dan masih layak sebagai sumber air baku air minum.

0,21 0,21 0,2 0,38 0,22 0,22 0,18 0,2 0,24 0,18 0,21 0,23 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

NO 3 (m g/ L) Sungai Danau

Gambar 21. Sebaran nilai rata-rata nitrat di perairan Danau Maninjau. Hasil pengukuran kandungan nitrit di perairan Danau Maninjau berkisar antara 0,07–0,08 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,072 mg/l. Gambar 22 memperlihatkan semua stasiun penelitian mengandung nitrit yang tinggi, kecuali perairan danau sekitar Batang Maransi. Tingginya kandungan nitrit di perairan danau diduga berasal dari masukan limbah rumah tangga dan limbah KJA. Secara umum nilai nitrit di perairan danau sudah melampaui ambang batas baku mutu air kelas 1 yang mensyaratkan kandungan nitrit < 0,06 mg/l. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau tidak layak lagi untuk digunakan sebagai sumber air baku air minum.

0,07 0,06 0,07 0,08 0,07 0,07 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,05 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

NO

2

(mg/

L)

Sungai Danau

Gambar 22. Sebaran nilai rata-rata nitrit di perairan Danau Maninjau. Nitrit merupakan senyawa nitrogen beracun yang biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada manusia, keracunan nitrit dapat menyebabkan penyakit yang disebut methemoglobinemia (penyakit bayi biru). Hal ini disebabkan karena senyawa nitrit dapat mengikat haemoglobin dalam darah, sehingga dapat mengurangi kemampuan haemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah, yang pada akhirnya akan menimbulkan sindrom berupa kebiruan, lemah dan pusing (Amdur et al., 1991; Darmono, 2001). Lebih lanjut Darmono (2001) menyatakan bahwa tingginya kandungan nitrit dalam air minum juga dapat mengakibatkan kanker pada lambung dan saluran pernafasan pada orang dewasa. Oleh karena itu kandungan nitrit dalam air minum tidak boleh lebih dari 10 mg/l (UNEP-IETC/ILEC, 2001).

Ammonia di perairan danau dapat berasal dari nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Selain itu, ammonia juga berasal dari denitrifikasi pada dekomposisi limbah oleh mikroba pada kondisi anaerob. Ammonia juga dapat berasal dari limbah domestik dan limbah industri.

Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar ammonia di perairan danau berkisar antara 0,22–0,26 mg/l, dengan nilai rata-rata adalah 0,255 mg/l. Berdasarkan baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum mensyaratkan kandungan ammonia maksimal 0,5 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau masih layak dipergunakan sebagai

sumber air baku air minum. Adapun sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan Danau Maninjau diperlihatkan pada Gambar 23.

0,25 0,26 0,25 0,26 0,24 0,24 0,23 0,23 0,23 0,23 0,24 0,25 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27

Lm.Sundai Bt.Maransi Bd.Ligin Jb.Ampang Bt.Kalarian Tb.Asam

NH 3 (m g/ L ) Sungai Danau

Gambar 23. Sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan Danau Maninjau.

Ortofosfat

Di perairan, fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik berupa partikulat. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan, sehingga menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi produktivitas perairan.

Fosfat yang terdapat di perairan bersumber dari air buangan penduduk (limbah rumah tangga) berupa deterjen, residu hasil pertanian (pupuk), limbah industri, hancuran bahan organik dan mineral fosfat (Saeni, 1989). Umumnya kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui 0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan dari luar oleh faktor antropogenik seperti dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian (Kevern, 1982).

Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar fosfat di perairan Danau Maninjau berkisar antara 0,41–0,46 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,43 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan danau terjadi akumulasi fosfat yang bersumber dari kegiatan KJA. Selain berasal dari sisa pakan ikan, menurut Percella (1985)