• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hematologi merupakan merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari mengenai darah dan jaringan pembentuk darah. Darah, disebut juga

haema atau hema adalah cairan yang beredar melalui jantung, arteri, kapilar, dan

vena yang membawa zat makanan dan oksigen ke sel-sel tubuh. Cairan ini mengandung plasma, cairan kuning pucat yang mengandung elemen-elemen yang secara mikroskopik terlihat eritrosit atau korpuskel darah merah, leukosit atau korpuskel darah putih, dan trombosit (Dorland, 2002). Darah merupakan jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah yang terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per

dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% dari darah merupakan plasma darah, sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah (Evelyn C. Pearce, 2006).

Parameter hematologi telah banyak digunakan secara luas untuk menetapkan keadaan fisiologis dan patologis tubuh secara sistemik, meliputi kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk., 2007). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai parameter hematologi, antara lain umur, jenis kelamin, nutrisi, faktor lingkungan, etnis, bentuk tubuh, dan faktor sosial (Evans dkk., 1999; Frerich dkk., 1977). Pemeriksaaan hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH, MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputi neutrofil, eusinofil, basofil, limfosit dan monosit (Ciesla, 2007).

a. Eritrosit

Eritrosit atau red blood cell (RBC) merupakan salah satu unsur dari darah tepi. Bentuk matur eritrosit normal pada manusia adalah cakram bikonkaf, bewarna kekuningan, tak berinti, dan sesuai untuk mengangkut oksigen berkat konfigurasi serta kandungan hemoglobin (Dorland, 2002). Sel darah merah normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7,8 mikrometer dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler dan perubahan bentuk tersebut tidak akan memecahkan sel karena sel normal ini memiliki membran yang sangat kuat untuk menampung banyak material di dalamnya (Guyton & Hall, 1997).

Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh Hb. Eritrosit yang berbentuk cakram bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb dapat lebih banyak (Anonim, 2011). Selain itu, fungsi lain dari eritrosit adalah transport glukosa, homeostasis kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T, dan aktivitas antimikrobial (Morera & Mac Kenzie, 2011).

Eritrosit dengan umur 120 hari pada manusia adalah sel utama yang dilepaskan dalam sirkulasi. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa akan dilepaskan ke dalam sirkulasi. Eritrosit yang lebih tua keluar dari sirkulasi melalui fagositosis di limfa, hati dan sumsum tulang (sistem retikuloendotelial) pada akhir masa hidupnya (Anonim, 2011). Jumlah rata-rata sel darah merah per milimeter kubik pada pria normal adalah 5.200.000 (± 300.000) dan pada wanita normal 4.700.000 (± 300.000) (Guyton & Hall, 1997). Jumlah eritrosit normal pada tikus galur Wistar adalah 6,5-7,0 x 106 /µL untuk tikus jantan dan 6,7-8,2 x 106 /µL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Jumlah eritrosit normal pada tikus galur Wistar adalah 7,27-9,65 x 106 /µL untuk tikus jantan dan 7,07-9,03 x 106 /µL untuk tikus betina (Weiss & Wardrop, 2010).

Abnormalitas dari jumlah sel eritrosit yang dapat terjadi antara lain anemia dan eritrositosis. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit (red cell mass), sehingga darah tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (Arifin dkk., 2012). Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah,

yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. Sedangkan eritrositosis atau polisitemia sekunder merupakan peningkatan jumlah sel darah merah akibat hipoksia karena terlalu sedikitnya oksigen dalam atmosfer, gagalnya pengiriman oksigen ke jaringan (Guyton & Hall, 1997). Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia, penurunan fungsi ginjal, talasemia, hemolisis dan lupus eritematosus sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia) seperti sitostatika dan antiretroviral. Sel darah merah meningkat pada polisitemia vera, polisitemia sekunder, diare/dehidrasi, olahraga berat, luka bakar, orang yang tinggal di dataran tinggi (Anonim, 2011).

b. Leukosit

Leukosit atau white blood cell (WBC) merupakan sel darah yang tidak berwarna dan mampu bergerak secara ameboid (Dorland, 2002). Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang yaitu granulosit dan monosit serta sedikit limfosit, dan sebagian lagi di jaringan limfe yaitu limfosit dan sel-sel plasma (Guyton & Hall, 1997). Leukosit merupakan komponen dari sel darah yang penting dalam sistem imun tubuh dan melindungi tubuh dari infeksi (Naushad & Wheeler, 2015).

Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit organisme asing dan memproduksi atau mengangkut/ mendistribusikan antibodi. Leukosit terbentuk di sumsum tulang (myelogenous), disimpan dalam jaringan limfatikus (limfa, timus, dan tonsil) dan diangkut oleh darah ke organ dan jaringan. Umur leukosit adalah 13-20 hari. Vitamin, asam

folat dan asam amino dibutuhkan dalam pembentukan leukosit. Sistem endokrin mengatur produksi, penyimpanan dan pelepasan leukosit (Anonim, 2011).

Leukosit diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu granulosit dan agranulosit. Semua leukosit dengan granular yang banyak di dalam sitoplasma dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu basofil, eosinofil dan neutrofil, sedangkan agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit (Dorland, 2002). Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara mencernakannya, yaitu melalui fagositosis, sedangkan fungsi utama limfosit berhubungan dengan sistem imun (Guyton & Hall, 1997).

Jumlah sel darah putih pada manusia normal berkisar antara 3200 – 10.000/mm3 (Anonim, 20111). Menurut Guyton & Hall (1997), pada manusia dewasa dapat dijumpai sekitar 7000 sel darah putih/ µL darah dengan presentasi sebanyak 62,0% netrofil; 2,3% eosinofil; 0,4% basofil; 5,3% monosit; dan 30,0% limfosit. Jumlah normal leukosit pada tikus galur Wistar adalah 8,3-12,7 x 103

/mm3 untuk tikus jantan dan 6,5-10,5 x 103 /mm3 untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) jumlah normal leukosit pada tikus galur Wistar adalah 1,96-8,25 x 103 /mm3 untuk tikus jantan dan 1,13-7,49 x 103 /mm3 untuk tikus betina

Pemeriksaan jumlah leukosit penting untuk melihat respon tubuh terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, alergi, imunodefisiensi dan kanker (leukimia dan limfoma). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memonitor respon terhadap kemoterapi, growth factors dan terapi immunosupresif. Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut

leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang lebih dari normal disebut leukositosis (Naushad & Wheeler, 2012).

Leukopenia merupakan keadaan dimana berkurangnya jumlah leukosit di dalam darah (Dorland, 2002). Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas pada sel punca seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik (Naushad & Wheeler, 2012). Leukositosis merupakan peningkatan jumlah leukosit dalam darah untuk sementara waktu, yang dapat timbul akibat olah raga berat dan pada keadaan patologis timbul menyertai perdarahan, demam, infeksi, atau peradangan atau produksi berlebihan karena leukemia (Dorland, 2002; Naushad & Wheeler, 2012). Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3 mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker post-operasi (setelah menjalani operasi) menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan infeksi (Anonim, 2011).

c. Platelet

Platelet atau trombosit merupakan suatu bangunan mirip cakram, berdiameter 2-4 µm, ditemukan dalam semua darah mamalia dan terutama dikenal karena peranannya dalam pembekuan darah, yang terbentuk dalam megakariosit dan lepas dari sitoplasmanya secara berkelompok, tidak mempunyai inti dan DNA, namun mengandung enzim aktif serta mitokondria (Dorland, 2002). Menurut Guyton dan Hall (1997), trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram

oval dengan diameter 2-4 µm, dibentuk di sumsum tulang belakang dari megakariosit.

Trombosit merupakan struktur yang aktif, waktu paruh hidupnya dalam darah ialah 8-12 hari (Guyton & Hall, 1997). Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Sebesar dua per tiga dari seluruh trombosit terdapat di sirkulasi dan sepertiganya terdapat di limfa (Anonim, 2011). Platelet merupakan sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak proses fisiologi tubuh seperti hemostasis (pembekuan darah), trombosis, pertahanan, konstriksi dan perbaikan pembuluh darah, inflamasi termasuk pada pembetukan atherosklerosis, dan juga perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Dari bentuk dan ukurannya yang kecil menyebabkan platelet dapat dengan mudah menuju ujung dari pembuluh darah sasaran dan menempatkan diri pada tempat yang optimal dalam pembuluh darah (Harrison, 2005).

Konsentrasi normal trombosit dalam darah ialah antara 150.000-350.000 /µL (Guyton & Hall, 1997). Menurut Nurrochmad dan Airin (2013), jumlah normal platelet pada tikus galur Wistar adalah 886-1239 x 103 /µL untuk tikus jantan dan 865-1082 x 103 /µL untuk tikus betina. Jumlah normal platelet pada tikus galur Wistar adalah 638-1177 x 103 /µL untuk tikus jantan dan 680-1200 x 103 /µL untuk tikus betina (Weiss & Wardrop, 2010). Fungsi utama dari tes jumlah platelet adalah untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari perdarahan yang abnormal, untuk memonitor hemostatis pada pasien dengan resiko tinggi mengalami perdarahan, dan memastikan fungsi normal platelet pada pembedahan. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memonitor efikasi dari pemberian terapi

antiplatelet dan potensial untuk mengidentifikasi hiperfungsi dari platelet untuk memprediksi trombosis (Harrison, 2005).

Abnormalitas jumlah platelet dalam darah dapat menyebabkan dua kondisi, yaitu trombositopenia dan trombositosis. Trombositopenia didefnisikan sebagai penurunan kadar platelet di bawah normal. Apabila jumlah platelet 75.000-150.000 /L termasuk dalam trombositopenia tingkat 1, termasuk trombositopenia tingkat 2 untuk jumlah platelet 50.000-75.000 /L, trombositopenia tingkat 3 untuk jumlah platelet 25.000-50.000 /L, dan trombositopenia tingkat 4 untuk jumlah platelet kurang dari 25.000 /L (Sekhon & Roy, 2006). Penderita trombositopenia cenderung mengalami perdarahan (Guyton & Hall, 1997). Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura (ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa, leukimia, multiple myeloma dan multipledysplasia syndrome. Obat seperti heparin, kinin, antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat menyebabkan trombositopenia. Penurunan trombosit di bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan spontan dalam jangka waktu yang lama, peningkatan waktu perdarahan petekia/ekimosis (Anonim, 2011). Trombositosis merupakan peningkatan jumlah trombosit dalam sirkulasi (Guyton & Hall, 1997). Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera, trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid (Anonim, 2011).

d. Hemoglobin

Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh eritrosit yang berkembang dalam sumsum tulang. Hemoglobin merupakan hemoprotein yang mengandung empat gugus hem dan globin, dan mempunyai kemampuan oksigenasi reversibel. Satu molekul hemoglobin mengandung empat rantai polipeptida globin, terbentuk dari antara 141 dan 146 asam amino (Dorland, 2002).

Sel-sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34gm/dl sel, yaitu batas metabolik dari mekanisme pembentukan hemoglobil sel. Presentase hemoglobin pada orang normal hampir selalu mendekati maksimum dalam setiap sel, namun apabila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang maka presentase hemoglobin dapat turun dan volume sel darah merah juga menurun karena hemoglobin yang mengisi sel berkurang (Guyton & Hall, 1997).

Nilai normal hemoglobin pada pria dewasa ialah 13 - 18 g/dL dan 12 - 16 g/dL pada wanita dewasa (Anonim, 2011). Setiap gram hemoglobin murni mampu berikatan dengan ± 1,39 ml oksigen sehingga pada orang normal lebih dari 19-21 ml oksigen dapat dibawa dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin pada setiap desiliter darah (Guyton & Hall, 1997). Kadar hemoglobin normal pada tikus galur

Wistar adalah 13,4-14,5 g/dL untuk tikus jantan dan 13,7-15,0 g/dL untuk tikus

betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) kadar hemoglobin normal pada tikus galur Wistar adalah 13,7-17,6 g/dL untuk tikus jantan dan 13,7-16,8 g/dL untuk tikus betina.

Abnormalitas jumlah hemoglobin dapat menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah hemoglobin. Penurunan nilai hemoglobin dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan. Peningkatan nilai hemoglobin dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah dataran tinggi. Konsentrasi hemoglobin juga dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia, respons terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia (Anonim, 2011).

e. Hematokrit

Hematokrit menunjukkan persentase eritrosit di dalam 100 ml darah (Astawan dkk., 2011). Menurut Dorland (2002), hematokrit atau Hct merupakan proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah (sel darah merah yang padat) diukur dalam mL/dL dari darah keseluruhan atau dalam persen. Nilai hematokrit normal pada pria adalah 40-50%, sedangkan pada wanita 35-45% (Anonim, 2011). Nilai hematokrit normal pada tikus galur Wistar adalah 36,7-42,4% pada tikus jantan dan 38,2-42,1% pada tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) nilai hematokrit normal pada tikus galur

Wistar adalah 39,6-52,5 % pada tikus jantan dan 37,9-49,9 % pada tikus betina.

Nilai Hct merupakan parameter yang dinamis dan dapat berubah dengan cepat dan signifikan berdasarkan pengaruh psikologis, patofisiologis dan psikosomatik (Isbister, 1987). Penurunan nilai hematokrit merupakan

indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah. Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok (Anonim, 2011).

f. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin & Mean

Corpuscular Hemoglobin Consentration

Mean corpuscular volume atau MCV merupakan suatu nilai yang

menunjukkan volume rata-rata dari eritrosit (Curry & Staros, 2012). MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV dapat diukur menggunakan alat atau dengan perhitungan melalui persamaan MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL). MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal), Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL) (Anonim, 2011). Nilai normal MCV pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson & Pincus, 2011). Nilai normal MCV pada tikus galur Wistar adalah 51,7-58,0 fL untuk tikus jantan dan 51,1-57,1 fL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) nilai normal MCV pada tikus galur Wistar adalah 48,9-57,9 fL untuk tikus jantan dan 49,9-58,3 fL untuk tikus betina. Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik. Sedangkan peningkatan nilai MCV

terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/ vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik (Anonim, 2011).

Mean corpuscular hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang

menunjukkan bobot rata-rata atau massa dari hemoglobin dalam eritrosit (Walker et.al., 1990). Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia. MCH diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah. Nilai normal MCH adalah 28– 34 pg/ sel (Anonim, 2011). Nilai normal MCH pada tikus galur

Wistar adalah 18,2-21,0 pg untuk tikus jantan dan 18,2-21,1 pg untuk tikus betina

(Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) nilai normal MCH pada tikus galur Wistar adalah 17,1-20,4 pg untuk tikus jantan dan 17,8-20,9 pg untuk tikus betina. Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik, sedangkan penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik (Anonim, 2011).

Mean corpuscular hemoglobin concentration atau MCHC merupakan

suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu volume eritrosit (Walker et.al., 1990). MCHC diperoleh dari persamaan MCHC = hemoglobin/hematokrit. Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku

pada MCH. Nilai normal MCHC pada manusia adalah 32 – 36 g/dL (Anonim, 2011). Nilai normal MCHC pada tikus galur Wistar adalah 34,2-37,3 g/dL untuk tikus jantan dan 35,6-37,7 g/dL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menururt Weiss & Wardrop (2010) nilai normal MCHC pada tikus galur Wistar adalah 32,9-37,5 g/dL untuk tikus jantan dan 33,2-37,9 g/dL untuk tikus betina. MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik, dan meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa (Anonim, 2011).

Dokumen terkait