• Tidak ada hasil yang ditemukan

pH. Hasil pengukuran pH air sungai berkisar 6.3-7.0. Gambar 7

menunjukkan bahwa nilai pH air sungai dari hulu ke hilir cenderung meningkat. Peningkatan pH dapat disebabkan oleh masuknya bahan-bahan yang bersifat basa, seperti limbah deterjen ke badan sungai. Menurut Sopiah (2004) deterjen memiliki pH sangat basa (9.5-12), bersifat korosif dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit.

Daerah hilir (Empang) memiliki pH 6.7-7.0, pH tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah hulu-tengah yang memiliki pH 6.3-6.7. Hal ini dapat terjadi karena daerah Empang merupakan daerah hilir yang mendapat masukan limbah domestik dari sekitar sungai maupun limbah yang berasal dari hulu. Limbah tersebut akan mengalami penguraian oleh mikroorganisme dan menghasilkan senyawa karbondioksida (CO2) dari proses respirasi. Semakin tinggi konsentrasi CO2 yang dihasilkan oleh proses respirasi, maka pH di perairan akan semakin rendah. Menurut Kordi (2000), fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas karbondioksida yang dihasilkannya. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH semakin tinggi. Berdasarkan waktu pengamatan, pH saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) tidak mengalami perbedaan yang signifikan yaitu berkisar 6.3-7.0 yang tergolong pH netral. Hal ini berarti perbedaan waktu pengamatan dalam penelitian ini cenderung tidak mempengaruhi pH. Menurut Siradz

28

(2008), pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu 6-7,5. Oleh karena itu, nilai pH di lokasi penelitian masih tergolong normal.

Gambar 7.Nilai pH pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor.

Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical oxygen demand). Hasil

pengukuran BOD disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan BOD dari arah hulu/Srogol (5.04-7.87 mg/l) menuju arah hilir/Empang (10.17-23.61 mg/l).

Pada pengukuran BOD saat tidak ada hujan (debit rendah) tampak bahwa kandungannya relatif lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan (debit tinggi). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh perbedaan kecepatan aliran sungai. Aliran sungai saat tidak ada hujan (debit rendah) relatif lambat, sehingga berpeluang memperbesar viskositas atau kekentalan bahan organik, sehingga konsentrasi BOD meningkat. Akibatnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air meningkat. Kadar oksigen terlarut diperairan memiliki jumlah yang terbatas, apabila oksigen digunakan secara terus menerus tanpa adanya suplai oksigen ke perairan maka proses penguraian bahan organik akan terhambat. Akibatnya perairan akan mengalami pencemaran karena proses penguraian terganggu. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan

6,5 6,5 6,7 6,6 6,7 6,3 6,5 6,6 6,7 7,0 0 3 6 9

Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan

pH

29

secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan.

Gambar 8. Nilai BOD pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor.

Hasil pengukuran BOD sesaat sesudah hujan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan BOD saat tidak ada hujan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari proses pengenceran karena terjadinya hujan. Dengan adanya hujan, oksigen yang berada di atmosfer akan terlarut dan terbawa oleh air hujan menuju ke permukaan bumi seperti sungai. Air hujan yang jatuh ke sungai akan menghasilkan suplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air akan meningkat. Akibatnya aktivitas mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik maupun anorganik yang tersuspensikan di badan sungai menjadi rendah, sehingga kandungan BOD sesaat sesudah hujan relatif rendah dibandingkan saat tidak ada hujan. Disamping itu, rendahnya kandungan BOD sesaat sesudah hujan dapat mengindikasikan kualitas air yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas air saat tidak ada hujan.

Nitrat (NO3). Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 9 tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu pada lokasi penelitian dari hulu ke hilir. Kandungan nitrat dari hulu ke hilir yang diperoleh dari hasil penelitian ini berfluktuasi (beragam). Berdasarkan pengaruh perbedaan waktu pengamatan terlihat bahwa kandungan nitrat sesaat sesudah hujan (debit tinggi) dari lokasi pengamatan Srogol

7,87 15,74 7,87 19,67 23,61 5,04 7,68 6,88 8,92 10,17 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan

B OD (m g /L ) Hulu Hilir

30

hingga Pamoyanan cenderung lebih tinggi daripada pengamatan pada saat tidak ada hujan (debit rendah). Daerah Srogol hingga Pamoyanan yang terletak di daerah hulu, memiliki daerah pertanian yang cenderung lebih besar dibandingkan daerah sekitar hilir (Mulyaharja, Empang). Hal tersebut disinyalir bahwa jatuhnya hujan di lokasi tersebut meningkatkan akumulasi limbah pertanian (nitrat dari aktifitas pertanian) melalui proses pencucian, sehingga konsentrasi nitrat yang terlarut dan terbawa oleh run-off masuk ke badan sungai menyebabkan tingginya konsentrasi nitrat di bagian hulu. Menurut Effendi (2003), sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan, maupun dari kegiatan domestik.

Gambar 9. Nilai nitrat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor.

Berbanding terbalik dengan ketiga lokasi pengamatan sebelumnya (Srogol, Cibalung, dan Pamoyanan), di lokasi Mulyaharja dan Empang pada saat tidak ada hujan menunjukkan kandungan nitrat yang lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan. Besarnya kandungan nitrat ini lebih dominan dipengaruhi oleh besarnya limbah dari kegiatan industri dan rumah tangga. Luas area pertanian dengan segala aktivitas pertaniannya (pupuk, pestisida) yang rendah tidak menjadi faktor utama sumber nitrat di badan sungai pada lokasi tersebut. Cemaran hasil industri dan kotoran manusia yang dominan menyebabkan akumulasi nitrat di lokasi tersebut

6,2 12,4 6,2 12,4 18,6 37,2 24,8 12,4 6,2 6,2 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0

Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan NO 3 ( m g /L ) Hulu Hilir

31

(Mulyaharja, Empang), disebabkan oleh pemukiman dan industri yang lebih luas dibandingkan area pertanian. Buangan pemukiman penduduk (limbah domestik) yang masuk ke badan air, melalui pembusukan oleh organisme, menghasilkan amoniak dan senyawa amonium. Amoniak dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Proses ini dimediasi oleh bakteri nitrosomonas dan nitrobakter yang secara essensial menghasilkan energi dari proses oksidasi tersebut. Nitrosomonas berfungsi sebagai mediator oksidasi amonia menjadi nitrit sedangkan nitrobakter berfungsi sebagai mediator oksidasi nitrit menjadi nitrat (Sasongko, 2006). Melalui proses tersebut, limbah domestik di Mulyaharja dan Empang yang banyak akan menyebabkan kandungan nitrat yang tinggi di sungai.

Fosfat (PO4). Hasil pengamatan kandungan fosfat yang ditunjukkan pada Gambar 10 berkisar 0.010-0.070 mg/l. Kandungan fosfat dari hulu ke hilir terlihat tidak memiliki pola peningkatan atau penurunan yang linear. Hal ini berarti pengaruh dari perbedaan lokasi pengamatan tidak signifikan terhadap kandungan fosfat. Namun terlihat bahwa sungai di daerah hulu (Srogol) memiliki kandungan fosfat lebih rendah (0.01-0.02 mg/l) dibandingkan di daerah hilir (Empang) yaitu 0.03-0.07 mg/l.

Gambar 10. Nilai fosfat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor.

Pengaruh waktu pengamatan yaitu saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) juga tidak menunjukkan adanya pola, tetapi

0,02 0,04 0,02 0,02 0,03 0,01 0,02 0,03 0,02 0,07 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08

Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan PO 4 ( m g /L ) Hulu Hilir

32

terlihat adanya kecenderungan peningkatan fosfat pada hasil interaksi waktu pengamatan dengan lokasi pengamatan.

Berdasarkan waktu pengamatan sesaat sesudah hujan kandungan fosfat cenderung meningkat dari hulu ke hilir. Peningkatan fosfat yang terkandung dalam badan air di lokasi pengamatan diduga berasal dari limbah air buangan penduduk seperti deterjen. Hal ini ditinjau berdasarkan hasil pengamatan di lapang yang menunjukkan adanya aktifitas penduduk seperti mandi dan mencuci pakaian dengan menggunakan deterjen. Deterjen merupakan bahan yang digunakan sebagai media pembersih karena dapat mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Penggunaan deterjen yang tidak diiringi oleh proses pendegradasian yang baik akan menimbulkan pendangkalan perairan atau munculnya eutrofikasi (pengkayaan hara), sehingga transfer oksigen menjadi terhambat dan mengakibatkan terganggunya proses penguraian limbah di perairan. Dampak pencemaran tersebut menyebabkan kualitas air di perairan menjadi menurun seperti munculnya bau yang tidak sedap di sekitar perairan.

Semakin ke hilir jumlah dan aktivitas penduduk semakin tinggi, sehingga memungkinkan akumulasi bahan-bahan dari limbah penduduk seperti deterjen semakin tinggi. Oleh karena itu, lokasi pengamatan yang semakin ke hilir dengan adanya hujan memiliki kandungan fosfat yang semakin besar. Sebagaimana hasil penelitian Lee dan Jones dalam Suyarso (2008), mendapatkan 50 - 60 % fosfat yang terdapat dalam air buangan rumah tangga di perairan Amerika berasal dari deterjen.

Timbal (Pb). Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan timbal Sungai Cisadane berkisar 0.0185-0.1343 mg/l (Gambar 11). Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan timbal dari arah hulu menuju ke hilir. Peningkatan kandungan timbal dapat diakibatkan oleh adanya akumulasi timbal secara alami maupun aktivitas manusia yang menjadi sumber pencemar timbal di perairan. Daerah hulu Srogol memiliki kandungan timbal yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir. Hal ini dapat terjadi karena daerah hulu memiliki sumber pencemar timbal seperti pemukiman maupun daerah industri yang tergolong rendah. Selain itu, keberadaan senyawa timbal di perairan hulu lebih

33

disebabkan oleh proses alamiah seperti timbal yang berasal dari batuan yang mengalami pengikisan. Batuan yang berada di lokasi hulu terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Menurut Aubert dan Pinta (1997), kandungan timbal batuan intermedier seperti andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yang memiliki kandungan timbal sebesar 20 ppm. Sumber pencemar timbal alami lainnya yaitu timbal di udara yang mengalami pengkristalan oleh air hujan dan masuk ke badan air.

Gambar 11. Nilai timbal pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor.

Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi), kandungan timbal di sungai tidak memiliki kecenderungan peningkatan atau penurunan. Namun, kandungan timbal di Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang saat tidak ada hujan cenderung lebih tinggi dibandingkan di Srogol dan Cibalung. Besarnya kandungan timbal di lokasi tersebut lebih didominasi oleh tingginya aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan peninjauan di lapang, lokasi penelitian Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang berada di dekat jalan raya yang sering dilalui kendaraan bermotor, sehingga asap kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar timbal cenderung tinggi. Asap kendaraan motor akan mengapung di udara dan terbawa angin, sehingga memungkinkan senyawa timbal masuk dan terbawa oleh arus air. Akibatnya kandungan timbal di sekitar pengamatan menjadi tinggi. Menurut

0,0317 0,0438 0,1108 0,1048 0,1108 0,0474 0,0648 0,0185 0,0532 0,1343 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16

Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan Hulu Hilir P b ( m g /L )

34

Sastrawijaya (1991), pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh polusi udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70 % dari total zat pencemar.

Hasil pengamatan timbal di Empang (seperti yang disajikan pada Gambar 11) menunjukkan kandungan yang paling tinggi dibandingkan dengan di Srogol, Cibalung, Pamoyanan dan Mulyaharja. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran timbal di Empang. Berdasarkan pengamatan di lapang (Empang), sumber utama pencemar timbal diduga berasal dari asap kendaraan bermotor, sampah yang ditemukan menumpuk di pinggir sungai, serta limbah cair yang mengandung timbal seperti cat, oli, dan tinta yang dibuang melalui saluran drainase kemudian masuk ke badan sungai. Akibatnya kandungan timbal menjadi tinggi karena adanya akumulasi senyawa timbal yang berasal dari berbagai sumber.

4.3. Baku Mutu Air

Apabila kualitas air dibandingkan terhadap baku mutu air berdasarkan PP No.82 tahun 2001 yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh bahwa kualitas air Sungai Cisadane saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sudah hujan (debit tinggi) di semua lokasi pengamatan termasuk ke dalam baku mutu air kelas I hingga kelas IV untuk parameter suhu, pH, dan fosfat. Hal ini karena pencemaran akibat limbah domestik dari hulu ke hilir cenderung masih tergolong rendah sehingga pengaruh senyawa-senyawa organik maupun anorganik terhadap masing-masing parameter tersebut tidak signifikan. Oleh karena itu, kualitas air pada parameter suhu, pH dan fosfat di lokasi pengamatan masih tergolong aman untuk penggunaan tertentu. Menurut Srivastava et al., (2003), masuknya bahan pencemar ke badan air dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan.

Berdasarkan hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi (TSS) ketika debit rendah dan tinggi berkisar 160-340 mg/l dan hanya memenuhi baku mutu air kelas III dan IV di semua lokasi pengamatan.

35 Tabel 6. Hasil analisis parameter kualitas air terhadap baku mutu air PP No.82 tahun

2001. Lokasi Parameter Suhu TSS pH BOD NO3 PO4 Pb * ** * ** * ** * ** * ** * ** * ** Baku I Srogol O O X X O O X X O X O O X X Cibalung O O X X O O X X X X O O X X Pamoyanan O O X X O O X X O X O O X O Mulyaharja O O X X O O X X X O O O X X Empang O O X X O O X X X O O O X X Baku II Srogol O O X X O O X X O X O O X X Cibalung O O X X O O X X X X O O X X Pamoyanan O O X X O O X X O X O O X O Mulyaharja O O X X O O X X X O O O X X Empang O O X X O O X X X O O O X X Baku III Srogol O O O O O O X O O X O O X X Cibalung O O O O O O X X O X O O X X Pamoyanan O O O O O O X X O O O O X O Mulyaharja O O O O O O X X O O O O X X Empang O O O O O O X X O O O O X X Baku IV Srogol O O O O O O O O O X O O O O Cibalung O O O O O O X O O X O O O O Pamoyanan O O O O O O O O O O O O O O Mulyaharja O O O O O O X O O O O O O O Empang O O O O O O X O O O O O O O

Keterangan : Satuan masing-masing parameter Suhu (0C), TSS,BOD,NO3, PO4, dan Pb (mg/l).

O = di bawah batas ambang * = pengamatan debit rendah X = di atas batas ambang ** = pengamatan debit tinggi

Nilai tersebut masih berada di bawah batas ambang kelas III dan IV yang dipersyaratkan menurut baku mutu air nomor 82 tahun 2001 yaitu 400 mg/l. Selain itu, nilai ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan padatan tersuspensi di sungai

36

menggambarkan besarnya bahan terlarut yang dihasilkan oleh proses alami maupun limbah buangan dari aktivitas manusia.

Hasil analisis parameter nitrat saat tidak ada hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan, tetapi hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV di lokasi Cibalung, Mulyaharja dan Empang. Kandungan nitrat hasil penelitian sesaat sesudah hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV untuk lokasi Mulyaharja dan Empang, sedangkan Pamoyanan hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV. Lokasi Srogol dan Cibalung tidak memenuhi semua baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena luas penggunaan lahan sawah tadah hujan maupun sawah irigasi daerah hulu cenderung tinggi dibandingkan dengan daerah hilir, sehingga sumber utama nitrat yang berasal dari sawah tadah hujan maupun irigasi dapat meningkatkan konsentrasi nitrat di daerah hulu.

Pada Tabel 6, kandungan BOD saat tidak ada hujan hanya memenuhi baku mutu air kelas IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan. Hasil analisis kandungan BOD sesaat sesudah hujan hanya di Srogol yang memenuhi baku mutu air kelas III dan IV, sedangkan lokasi penelitian Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV. Meskipun BOD air sungai pada lokasi tersebut hanya memenuhi baku mutu air kelas IV, hasil tersebut merupakan indikator yang menunjukkan kualitas air di daerah hulu-tengah sungai lebih baik dibandingkan hilir. Daerah hulu cenderung lebih sedikit cemaran akibat masih rendahnya penggunaan lahan untuk pemukiman sehingga meminimalkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan hara). Eutrofikasi melibatkan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Terhambatnya eutrofikasi karena kandungan oksigen yang sedikit menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan dalam badan air diduga juga lebih sedikit, sehingga BOD menjadi rendah. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan.

37

Hasil analisis timbal saat tidak ada hujan di lokasi Srogol, Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang menunjukkan hanya memenuhi kelas IV baku mutu air. Nilai ini mengindikasikan besarnya cemaran timbal di sungai karena tidak memenuhi baku mutu air di kelas I, II dan III. Beberapa sumber pencemar timbal yang mungkin berpotensi mencemari air sungai di lokasi pengamatan adalah tingginya penggunaan aktivitas kendaraan bermotor yang menghasilkan asap bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan kendaraan bermotor mengandung bahan aditif yang berfungsi untuk memperbaiki mutu mesin, salah satunya adalah timbal. Logam timbal terdapat di alam dalam bentuk mineral, sehingga harganya lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan bahan aditif lain. Hasil penelitian Tsalev dan Zaprianov (1985) menyebutkan, 52 % pencemaran timbal berasal dari bahan aditif, sedangkan 48 % berupa bahan pembungkus kabel, zat pewarna pada cat, campuran logam, dan sebagai bahan stabilisator pada plastik dan karet.

Hasil pengamatan sesaat sesudah hujan menunjukkan bahwa kandungan timbal di lokasi Pamoyanan telah memenuhi baku mutu air kelas I, II, III dan IV. Hal ini merupakan indikator dari rendahnya cemaran kandungan timbal di lokasi Pamoyanan. Selain itu, lokasi pengamatan Srogol, Cibalung, Mulyaharja dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV berdasarkan kadar timbalnya.

Selain parameter fisik dan kimia, untuk menilai kualitas air, maka kualitas biologi air juga perlu diperhatikan mengingat parameter tersebut juga mempengaruhi persyaratan baku mutu air berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001. Oleh karena itu, penelitian sejenis perlu dilakukan dengan menambahkan pengamatan parameter biologi air.

38

V. KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Cisadane di sekitar hulu cenderung lebih baik dibandingkan di tengah-hilir. Aliran sungai di hulu memiliki kandungan BOD (5.04-7.87 mg/l) dan fosfat (0.01-0.02 mg/l) lebih rendah dibandingkan daerah hilir dengan kandungan BOD (10.17-23.61 mg/l) dan fosfat (0.03-0.07 mg/l). Selain itu, kualitas air sesaat sesudah hujan (debit tinggi) lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai suhu dan BOD lebih rendah dibandingkan dengan saat tidak ada hujan (debit rendah). Parameter kualitas air yang memenuhi baku mutu air menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 disemua kelas diantaranya parameter suhu, pH dan fosfat. Parameter TSS dan BOD hanya memenuhi baku mutu air kelas tiga dan empat, sedangkan nitrat dan timbal memenuhi semua kelas baku mutu air hanya di beberapa lokasi penelitian.

5.2. Saran

Pada penelitian sejenis perlu dilakukan analisis parameter kualitas biologi air agar memperkuat hasil penelitian analisis kualitas air.

39 DAFTAR PUSTAKA

APHA (American Public Health Association). 1989. Standard methods for the examination of water and waste water. American Public Health Association (APHA). American Water Works Association (AWWA) and Water Pollution Control Federation (WPCF). 17th ed. Washington. 1193 hal.

APHA (American Public Health Association). 1998. Standard methods for the examination of water and waste water. 20th ed. APHA, AWWA, WPCF. Washington. 4:114 P.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.

Arwindastri, B. K. 1997. Kajian karakteristik hidrologi DAS Cisadane. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan).

As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W.S. Adnyana, I.W. Rusna, I.A.A. Laksmiwati, dan I.W. Diara. 2010. “Studi Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Bandung”. Jurnal Bumi Lestari, 10(2). pp. 200-207.

Aubert, H. Dan M. Pinta. 1997. Trace Element in Soils. Elseiver Scientific Publ. Co., New York.

Barus, I. T. A. 2001. Pengantar limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta. 164 hal.

Ben, A., M. Yani., dan W. Tjiptadi. 1994. Kajian kualitas air DAS Sungai Cisadane dan Ciliwung. Laporan penelitian. Pusat penelitian lingkungan hidup lembaga penelitian. IPB. 132 hal.

Brown, A. L. 1987. Fresh water ecology. Heinemann Educational Books. London.163 p.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.190 hal.

Garno, Y.S. 1994. Dampak limbah deterjen terhadap kualitas dan organisme air. Dalam : Pranoto (eds.). Prosiding seminar sehari Teknologi Pengolahan Limbah Bahan Berracun dan Berbahaya (B3) Industri. BPPT, Jakarta : 103 - 1 10.

40

Garno, Y.S dan I. Mawardi. 2006. Status kualitas perairan waduk sei baloi- batam dan kelayakannya untuk bahan baku air minum. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Vol. 7 (2) : 133-139.

Goldman, C. R and A. J. Horne. 1983. Limnology. Mc.Graw-Hill International Book Company. Tokyo. 464 hal.

Hynes, H. B. N. 1972. The Ecology of Running Waters. University of Toronto Press. Canada. 555p.

Jeffries, M and Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applicstions. John Willey & Sons. Chichester. U.K: 285 pp.

Kaunang, D. 2008. Tanah Andisols. Soil Environment 6 (2):109 - 113

Kohler, J. 2006. Detergent phosphates :An EU Policy Assesment. Journal of Business Chemistry. 3 (2) : 18 - 24.

Kordi, K. M.G.H. 2000. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Penerbit Dahara Prize. Semarang

Manan, S. 1997. Dampak Pembangunan terhadap Hidrologi. Kumpulan Materi Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PPLH. IPB.

Meidiana, D. 2003. Kondisi kualitas air Sungai Cimanuk Jawa Barat selama periode tahun 1998-2002. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 113 hal (tidak dipublikasikan).

Moriber, G. 1974. Enviromental sciences. Allyn-Bacon. New York. 549 p.

Novotny,V dan H. Olem. 1994. Water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrand Reinhold. New York. 1054 hal.

Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.

Paytan , A and K. McLaughlin 2007. Phosphorus in Our Waters. Oceanography (20) 2 : 200 - 208.

[PPT] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1992. Peta Penggunaan Lahan 1992 DAS Cisadane. Bogor.

41

Reid, G. K. 1961. Ecology of inland waters and estuaries. Reinhold. Book Corporation. New York. xvi ; 375 hal.

Rushayati, SB. 1999. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kandungan Bahan Organik dan Sedimen Tersuspensi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu-Tengah. (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Bogor.

Saeni, M. S. 1989. Kimia lingkungan. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 151 hal.

Sasongko, L.A. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di Sekitar Sungai Tuk Terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang Serta Upaya Penanganannya. [tesis] Universitas Dipenogoro, Program Magister Ilmu Lingkungan. Semarang.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Viii ; 274 hal.

Siradz,S.A. Harsono, E. S. dan Purba,I. 2008. Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM.

Sopiah,R.N. 2004. Pengelolaan Limbah Deterjen sebagai Upaya Minimalisasi Polutan Di Badan Air dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Balai Teknologi Lingkungan. Serpong

Sudarwin. 2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) Pada Sedimen Aliran Sungai Dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang.Universitas Dipenogoro, Program Pasca Sarjana. Semarang.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Dokumen terkait