• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Modal Sosial

6. Parameter Modal Sosial

Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan

kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Bersandar pada norma- norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995). Merujuk pada Ridell, ada tiga parameter modal sosial, yaitu rasa percaya (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).

a. Rasa Percaya

Sebagaimana dijelaskan (Fukuyama, 1995), rasa percaya (trust) adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Dalam bisnis, trust mengurangi kebutuhan merumuskan kontrak yang berkepanjangan, menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses hukum seandainya terjadi pertikaian. Trust mengurangi biaya dan waktu yang sering

dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal, hal-hal yang sangat penting dalam organisasi yang mementingkan pengetahuan. Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama dengan lebih efektif, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi. Untuk mendukung hipotesanya, Fukuyama mengajukan kategori masyarakat yang dikotomis: masyarakat high-trust dan masyarakat low-trust. Jenis pertama menunjukkan tingkat trust yang tinggi dan terus berkelanjutan di bawah otoritas politik yang sudah didesentralisasi pada tahap pra-modern (Fukuyama, 1995). Organisasi kecil yang punya banyak koneksi bisa memanfaatkan ekonomi skala sambil menghindari biaya overhead dan birokrasi yang membebani organisasi besar. Ekonomi masyarakat yang demikian mempunyai keunggulan fleksibilitas yang tinggi, karena rakyatnya mempunyai tingkat kepercayaan tinggi bahwa sistem sosial mereka akan selalu adil. Contoh masyarakat high-trust adalah Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Masyarakat ini mempunyai solidaritas komunal sangat tinggi yang mengakibatkan rakyat mereka mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Sementara itu masyarakat jenis kedua, masyarakat low-trust, dianggap lebih

inferior dalam perilaku ekonomi kolektif.Cox kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan- hubungan juga bersifat kerjasama. MenurutnyaWe expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work co-operatively, to collaborate with others in collegial relationships` (Cox, 1995). Rasa percaya pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

b. Norma

Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai- nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untukmendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan pra- kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial. Fukuyama menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang

dimiliki bersama di anatara para anggota suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Lawang, 2004). Norma-norma akan berperan dalam mengontrol bentuk- bentuk hubungan antar individu. Norma yang tercipta diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh individu pada suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh setiap individu dalam konteks hubungan sosial-ekonomi. Aturan-aturan tersebut misalnya, bagaimana cara menghormati dan menghargai orang lain, norma untuk tidak mencurangi orang lain, norma untuk selalu bekerjasama dengan orang lain, merupakan contoh norma yang ada. Norma dan aturan yang terjaga dengan baik akan berdampak positif bagi kualitas hubungan yang terjalin serta merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial hidup yang kuat (Hasbullah, 2006)

c. Jaringan

Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan- jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan- jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Putnam

berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat dari partisipasinya itu. Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu, mungkin pula kelompok dan perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun di tingkat yang lebih mikroskopik (Ritzer&Goodman, 2007).

Untuk melihat bagaimana dan menjelaskan fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial, Granovetter mengajukan konsep keterlekatan. Konsep keterlekatan menurut Granovetter dalam (Damsar, 2002) merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Ini tidak hanya terbatas terhadap tindakan aktor individual sendiri, tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi, yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Artinya, tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah terlekat karena ia diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil

institusional. Begitu pula yang terjadi pada fenomena-fenomena ekonomi, sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan individu dalam hubungan sosial. Jaringan senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprosikal seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang guna memenuhi kebutuhan hidup serta mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Dokumen terkait