• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TINJAUAN HUKUM MENGENAI EKSEKUSI ATAS HAK

B. Parate Eksekusi Hak Tanggungan

Dalam menjaring debitor yang nakal dan melakukan wanprestasi atau cidera janji, Bank kerap kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu dan biaya yang banyak, meskipun dalam proses beracara di

41

pengadilan menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Sesungguhnya sejarah perbankan Indonesia telah mewariskan senjata yang paling ampuh dan cepat dalam memberantas kredit macet yakni melalui Parate Eksekusi atau mengeksekusi sendiri (melelang) agunan tanpa campur tangan pengadilan.42

“Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai title eksekutorial (Grosse Akta Notaris atau Keputusan Hakim) melalui parate eksekusi (eksekusi langsung) yaitu pemegang Hak Tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris.

Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Parate Eksekusi adalah:

43

Pengertian parate eksekusi menurut Bachtiar Sibarani adalah “melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim.”

44

Subekti juga berpendapat bahwa Parate Eksekusi adalah “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya (dalam arti tanpa perantaraan hakim)”.

Hal ini sejalan dengan pengertian parate eksekusi yang di definisikan oleh Rachmadi Usman yakni “ pelaksanaan eksekusi tanpa melalui pengadilan”.

45

Menurut kamus hukum, pengertian parate eksekusi adalah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.

46

42

Bachtiar Sibarani, Op Cit, hal. 22

43

Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Op Cit, hal.32

44

Bachtiar Sibarani, Op Cit, hal. 5

45

R.Surbekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung:Bina Cipta, 1989), hal. 42

` 46Sudarsono, Op Cit, hal. 39

Dari beberapa definisi mengenai Parate Eksekusi di atas, dapat diketahui bahwa tidak hanya keputusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat ketentuan yang memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan sendiri eksekusi tanpa perantara pengadilan yang disebut dengan Parate Eksekusi. Hal ini berarti jika debitor wanprestasi, kreditor dapat melaksanakan secara langsung penjualan barang milik Debitor yang dijadikan barang jaminan atau agunan dengan perantara kantor pelayanan pihutang dan lelang negara, penjualan ini dapat dilakukan tanpa perantara pengadilan. Lebih lanjut dapat dilihat apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Beliau berpendapat bahwa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri menguntungkan dalam dua hal yaitu:47

1. Tidak membutuhkan Title Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi;

2. Dapat melaksanakan Eksekusi sendiri secara langsung (Mandiri) tidak peduli adanya kepailitan dari Debitor (di luar pengadilan) karena dia tergolong separatis.

Dalam ilmu hukum pemberian kewenangan mengenai Parate Eksekusi ini didasarkan atas doktrin yang antara lain menyatakan bahwa suatu perjanjian yang pasti atau tidak telah mengandung sengketa seperti pihutang yang telah pasti (fixed loan). Hal seperti ini sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak yang berkepentingan tanpa campur tangan pengadilan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pengertian Parate Eksekusi ini menjadi kabur sebagai akibat dari adanya putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan eksekusi Grosse Akta dalam sengketa parate eksekusi. Hal ini mengakibatkan adanya kerancuan antara parate eksekusi dengan eksekusi. Menurut doktrin Parate

47

Eksekusi ini adalah penjualan yang berada di luar hukum acara dan tidak diperlukan adanya penyitaan, tidak melibatkan juru sita, kesemuanya diselesaikan seperti orang yang menjual sendiri barangnya di depan umum.

Pengaturan tentang parate eksekusi khususnya yang diberikan kepada pemegang hipotek diatur didalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi :

“ Namun diperkenankanlah kepada si berpihutang hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terhutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu ”

Dari Pasal tersebut diketahui bahwa Undang-undang memberikan kepada pemegang hipotek pertama untuk menjual langsung atas kekuasaan sendiri barang objek hipotek tanpa melalui pengadilan. Agar hak tersebut melekat pada diri pemegang hipotek serta pelaksanannya sah menurut hukum, harus dicantumkan klausul Eigenmachtige Verkoop (the Right to Sale), yaitu klausul yang secara mutlak memberi kuasa kepada pemegang hipotek menjual objek hipotek. Jadi berdasarkan kesepakatan, debitor memberi hak kepada kreditor untuk menjual sendiri objek hipotek tanpa melalui pengadilan, apabila debitor wanprestasi dalam bentuk :

1. Debitor tidak melunasi hutang pokok sebagaimana mestinya; 2. Tidak membayar bunga yang terhutang.

Disamping Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Parate Eksekusi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang diatur pada Pasal 6 yang berbunyi : “apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Dari Pasal 6 UUHT tersebut memberikan hak bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan saja dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat dimana objek hak tanggungan berada, apabila akan melakukan eksekusi atas objek hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang debitor dalam hal debitor cidera janji atau wanprestasi.

Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (kewenangan tersebut dimiliki demi hukum), maka kepala kantor lelang negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.48

Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dimiliki oleh

48

pemegang hak tanggungan, atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 6 yang berbunyi :

“ Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan.”

Ketentuan ini memberikan kepastian bagi Perbankan apabila debitor cidera janji dengan memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg.49

Berdasarkan ketentuan ini juga sekaligus terkandung karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri, namun penerapannya mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Dimana apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri, penjualan lelang harus diminta kepada Ketua Pengadilan Negeri dan permintaan tersebut harus berdasarkan alasan bahwa pihak debitor telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Akan tetapi karena Pasal 6 UUHT tidak mengatur tentang cidera janji, maka dengan demikian untuk menentukan adanya cidera janji merujuk pada ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai

49

Bambang Setijoprodjo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Medan: Lembaga Kajian Hukum Bisnis USU Medan, 1996), hal. 63

dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau bisa juga merujuk secara analog pada ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, dimana yang dikategorikan cidera janji yaitu apabila debitor tidak melunasi hutang pokok, atau tidak membayar bunga yang terhutang sebagaimana mestinya.50

Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses ligitimasi) apabila debitor telah melakukan cidera janji. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:

Sertifikat Hak Tanggungan, yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai ptidak dapatti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

51

1) Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorialyang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai ptidak dapatti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.”

50

M. Yahya Harahap, Op Cit, hal. 197 51

Pada prinsipnya penjualan objek hak tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum, hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair). Dan dengan cara seperti ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk penjualan dari objek hak tanggungan yang menjadi agunan, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 20 ayat (1) yaitu:

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Title Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).

Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan untuk pelunasan pihutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya”. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dalam hal melakukan eksekusi.

Berdasarkan dari ketentuan tersebut maka apabila debitor cidera janji, kreditor berhak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum menurut tata cara yang telah ditentukan guna pelunasan pihutangnya yang bersumber dari hasil penjualan tersebut. Karena dengan cara pelelangan umum ini diharapkan dapat memperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan. Kemudian dari hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut, kreditor berhak mengambil pelunasan pihutangnya. Dalam hal hasil penjualan yang mana harga penjualan lebih besar dari pada pihutangnya

tersebut, maka harga yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak tanggungan.

Mengenai eksekusi riil atas objek hak tanggungan yang dijual, baik dalam hal melalui Pengadilan berdasarkan Pasal 224 HIR ataupun melalui kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6 UUHT. Karena tidak diatur dalam UUHT, maka pelaksanaan eksekusi riilnya tunduk kepada ketentuan umum yang digariskan dalam Pasal 200 ayat (11) HIR yaitu jika pemberi hak tanggungan tidak mau atau tidak dapat mengosongkan/meninggalkan objek hak tanggungan yang telah dijual (lelang) kepada pembeli lelang, pemegang hak tanggungan semula atau pembeli lelang, dapat meminta kepada Ketua Pengadilan untuk mengeluarkan atau menerbitkan surat penetapan yang berisi perintah kepada juru sita supaya melakukan eksekusi riil berupa pengosongan objek hak tanggungan tersebut, jika diperlukan dengan bantuan polisi.

Dengan demikian maka berdasarkan ketentuan Pasal 200 ayat (1) HIR, eksekusi riil untuk mengosongkan objek hak tanggungan yang dijual melalui lelang cukup dalam bentuk permintaan penetapan kepada Ketua Pengadilan dan tidak perlu dalam bentuk gugatan perdata.

Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi apabila dimungkinkan penjualan objek hak tanggungan dilakukan dengan cara di bawah tangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) UUHT. Pelaksanaan penjualan sendiri objek hak

tanggungan secara di bawah tangan hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 52

1. Apabila disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan;

2. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

3. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat yang jangkauannya meliputi tempat letak objek hak tanggungan yang bersangkutan;

4. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya.

Kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan merupakan unsur atau kunci dalam penjualan objek hak tanggungan yang dilaksanakan di bawah tangan, yaitu jika dengan cara itu dilakukan, maka akan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain untuk memberikan kewenangan atas penjualan di bawah tangan tersebut yaitu agar tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena penjualan di bawah tangan dari objek hak tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan.

Maka Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan atau agunan kredit apabila debitor tidak menyetujuinya. Kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak

52

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 131

tanggungan merupakan bentuk dari kebebasan yang diberikan kepada pemberi dan pemegang hak tanggungan dengan tujuan untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi beban biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitor. Namun demikian kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan hanya boleh dibuat apabila telah terjadi cidera janji atau wanprestasi oleh debitor, sehingga dengan demikian kesepakatan tersebut tidak boleh dibuat dan dituangkan dalam APHT terlebih dahulu.

C.Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Title Eksekutorial

Pengertian Title Eksekutorial adalah kekuatan yang dilaksanakan secara paksa dengan bantuan dan oleh alat-alat negara. Sedangkan yang dapat mempunyai kekuatan eksekutorial adalah Grosse akta keputusan hakim, Grosse Akta Hipotek dan Grosse Akta pengakuan hutang dibuat oleh seorang notaris. Jadi pada dasarnya yang dapat dieksekusi adalah keputusan pengadilan dan akta otentik tertentu.53

Grosse adalah suatu salinan yang di atasnya ditulis irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pelaksanaan isi surat-surat seperti tersebut di atas, dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada Pengadilan dan oleh karenanya dengan seizin Ketua Pengadilan (Pasal 225 HIR) termasuk Grosse Akta, semuanya dilakukan dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.

54

53

J. Satrio, Hukum jaminan, Hak jaminan kebendaan, Hak Tanggungan , (vol.2, pp.ix-xiii), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 43

54

Ibid, hal. 44

Dalam kaitannya dengan jaminan hak atas tanah dengan hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan ini dilakukan dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan ini memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian, sertifikat hak tanggungan mempunyai Kekuatan Eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebagai Grosse Akta Hypotek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Sebagaimana diketahui bahwa peraturan pelaksanaan eksekusi dalam UUHT belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya khususnya tentang eksekusi masih mengacu pada ketentuan pelaksanaan eksekusi Hipotek. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 26 UUHT bahwa: “Selama belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14, peraturan mengenai hipotek yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.”

Ketentuan mengenai Eksekusi Hipotek berdasarkan title eksekutorial diatur dalam Pasal 224 HIR dan/atau 258 Rbg, yaitu: 55

“ Surat asli daripada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan Notaris di Indonesia dan di kepalanya memakai perkataan ‘Atas Nama Undang-Undang.” berkekuatan sama dengan putusan hakim, jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan

55

jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian diluar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada Pasal 195 ayat 2 dituruti’.

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, kreditor dapat mengeksekusi objek hak tanggungan atas perintah ketua pengadilan negeri. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR atau 258 Rbg, untuk dapat dikatakan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka diperlukan title eksekutorial sehingga sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Selain itu sertifikat hak tanggungan dinyatakan sebagai Grosse Akta Hipotek sepanjang mengenai hak atas tanah dan eksekusi menggunakan eksekusi hipotek yang diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg (Pasal 14 dan Pasal 26 UUHT). Dengan demikian eksekusi Hak Tanggungan dilakukan dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.

Dokumen terkait