• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.2 Pariwisata bahar

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis yang mempunyai habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001).

Pariwisata bahari adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai, seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkling, berjalan-jalan atau berlari-lari di sekitar pantai, menikmati keindahan pesisir dan

lain sebagainya. Pariwisata ini sering disosialisasikan dengan istilah tiga “S” (Sun sea and sand), artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kontribusi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir (Dahuri 1993).

Moscardo dan Kim (1990) mengatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan :

1) Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal,

2) menjamin keindahaan antar generasi dan intergenerasi,

3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi yang ada, serta

4) menjamin integritas budaya.

Wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata potensial termasuk di dalam kegiatan “Clean industry” . Pelaksanaan wisata bahari yang berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkaitnya dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2001). Dengan memperhatikan komponen tersebut maka wisata bahari akan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian masyarakat.

Pembangunan pariwisata di arahkan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Wisata bahari dengan kesan penuh makna bukan semata- mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan tetapi juga diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk melestarikan wilayah pesisir dan dimasa kini dan masa yang akan datang. Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving, pancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai, piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah 2001).

Bagi negara berkembang yang memiliki daya tarik pariwisata berupa atraksi sumberdaya alam, umumnya mengandalkan kegiatan pariwisata ini sebagai sektor pendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu persaingan dalam memperoleh para wisata dunia menjadi sangat kompetitif. Strategi yang dapat diterapkan dalam memenangkan persaingan ini adalah dengan memanfaatkan keunggulan kompetitif daya tarik wisata yang dimiliki. Daya tarik tersebut dapat berupa nilai historis, nilai budaya atau tradisi, wisata petualangan dan keindahan alam (Dahuri 1993).

2.2 Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan

Pengelolahan sumberdaya pesisir sebagaimana bentuk-bentuk pengelolahan lainnya seperti pengembangan masyarakat tidak lepas dari kebijakan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam konteks makro. Kebijakan pemerintah memegang peranan penting setidaknya dalam kontribusinya sebagai pihak yang mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan yang relevan dengan obyek pengelolaan.

Pengelolaan wilayah pesisir khususnya untuk pariwisata tidak terlepas dari pemanfaatkan sumberdaya alam untuk pembangunan.dimana pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan haruslah memperhatikan: tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, dan memperhitungkan Generasi yang akan datang (Reksohadiprodjo

et al. 1992).

Dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk pariwisata bahari, kegiatan pembangunannya akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga prasyarat dan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan pariwisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Selain itu penempatan kegiatan pariwisata bahari sedapat mungkin dihindari dari lokasi-lokasi yang sudah intensif/padat tingkat industrilisasinya. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan pariwisata itu sendiri dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi – kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga , bahwa

tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993).

Pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diilakukan melalui pengelolahan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, yang didasarkan pada empat pokok alasan:

1) Terdapatnya keterkaitan ekologis baik antara ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.

2) Terdapatnya lebih dari dua macam sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.

3) Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki ketrampilan,keahlian,kesenangan, dan bidang pekerjaan secara berbeda. 4) Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur sangat rentan

terhadap pertumbuhan internal dan eksternal yang menjurus kegagalan usaha. Low Choy dan Heillbronn (1995), merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :

1) Lingkungan; ecotourism bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relative belum tercemar atau terganggu

2) Masyarakat; ekotourism harus memberikan manfaat ekologi, social dan ekonomi langsung kepada masyarakat.

3) Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki

4) Berkelanjutan; Ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengelolaan terpadu dimaksudkan untuk mengkordinasikan dan mengarahkan aktivitas dari dua atau lebih sektor. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi pengumpulan dan analis data, perencanaan, implementasi dan pengawasan ( Dahuri et al. 2001).

Hal yang paling penting dalam keberhasilan pembangunan wilayah pesisir untuk pariwisata bahari secara bekerlanjutan adalah jika pola intensitas (tingkat) pembangunnannya sesuai dengan daya dukung lingkungan yang ada dan adanya kemampuan untuk mengkonversi sumberdaya alam pesisir. Kondisi ini bisa terlaksana jika ada perhatian dan pengertian yang kuat terhadap kelestarian lingkungan. Lawrence (1998) menyebutkan, pengelola wilayah pesisir secara berkelanjutana tergantung pada perhatian kepada masalah pengelola dan perencanaan, yaitu:

1) Pengakuan terhadap pentingnya aspek ekonomi dan sosial dari wilayah pesisir.

2) Kemampuan mengambil keputusan untuk menrencanakan dan mengelola pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

3) Intergrasi pengelolaan pemanfaatan wilayah ppesisir yang beragam kedalam struktur sosial, budaya, hukum dan administratif dari wilayah.

4) Pemeliharaan komponen keutuhan fungsional dari wilayah pesisir serta ekosistem komponennya

Menurut Moscardo dan Kim (1990), manyatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan:

1) Peningkatan kesejahteraan masyarakat,

2) Mempertahankan keadilan antara generasi dan intergenerasi,

3) Melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi, dan 4) Menjamin integritas budaya.

Berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap berbagai sektor lainnya, seperti sektor pertanian, peternakan, industri kerajinan rakyat, dan kegiatan lainnya yang bersifat temporer (Spillane 1994).

Melihat begitu banyaknya unsur yang berinteraksi dalam satu kagiatan pariwisata, maka dalam kegiatan pengembangan pariwisata diperlukan campurtangan (kebijakan) pemerintan untuk mengantisipasi pelbagai dampak negatif dari mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir. Selain campurtangan pemerintah,

keikutsertaan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan perlu diperhatikan.

2.3 Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari

Subsektor pariwisata bahari merupakan sektor yang memiliki masa depan yang menjanjikan untuk menunjang pembangunan kelautan (Kusumastanto 2000). Objek-objek utama yang menjadi potensi pariwisata bahari adalah wisata pantai (seaside tourism), wisata alam (pantai), wisata budaya (cultural tourism), wisata pesiar (cruise tourism), dan wisata bisnis (bussinnes tourism).

Menurut Kusumastanto (2003), fokus utama dalam kebijakan pengembangan wisata bahari terutama diarahkan untuk:

1) Meningkatkan ketersediaan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara maupun domestik yang akan memanfaatkan sumber daya wisata bahari.

2) Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia yang berkiprah dalam mengelola wisata bahari.

3) Mengembangkan sistem pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses cepat, murah serta mudah. Pengembangan sistem pendataan dan informasi ini sekaligus melayani dan mendukung kegiatan promosi dan investasi di bidang wisata bahari.

4) Mengembangkan aktivitas ekonomi non pariwisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan wisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran, misal sea food dan jasa angkutan laut.

5) Meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan yang memanfaatkan potensi wisata bahari.

6) Menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor untuk mengembangkan wisata bahari seperti insentif maupun desinsentif.

7) Mengembangkan model pengelolaan wisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal.

Dalam UU No. 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025), pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia; meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan dilakukan dengan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan mengembangkan budaya bangsa. Dengan mengacu pada arahan RPJPN tersebut, maka sasaran pembangunan kepariwisataan di tahun 2008 akan dilakukan secara bersama, adalah meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia menjadi 7 juta orang dengan penerimaan devisa sebesar USD 6,7 milyar; dan meningkatkan jumlah perjalanan wisatawan nusantara menjadi 223 juta perjalanan (Nirwandar 2008).

Selanjutnya dikatakan bahwa, sasaran-sasaran pembangunan kepariwisataan tahun 2008 tersebut akan dilakukan bersama melalui :

1) Penyelenggaraan “Visit Indonesia Year 2008”.

2) Pemasangan iklan pariwisata di media cetak, elektronik, dan billboard. 3) Dukungan promosi dan pemasangan iklan bagi 10 destinasi pariwisata

unggulan.

4) Pendukungan kegiatan MICE.

5) Pelaksanaan kampanye nasional sadar wisata.

6) Fasilitas pengembangan di 10 destinasi pariwisata unggulan. 7) Dukungan pengembangan pariwisata bagi 23 provinsi.

8) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia penyelenggara pariwisata di daerah unggulan.

9) Meningkatkan daya saing sumberdaya manusia diklat pariwisata.

2.4 Analisis Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Kebijakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan, adalah suatu pilihan terhadap pelbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial. Terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argumen untuk

menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 1998).

Analisis kebijakan merupakan salah satu faktor lainnya di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan , dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalaj produk manusia yang subyektif yang diciptakan melalui pilihan- pilihan yang sadar oleh pelaku kebijakan (Dve yang diacu dalam Dunn 1998)

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup untuk disimpulkan. Pengambilan suatu keputusan atau perumusan suatu kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan merupakan sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan khusus, seperti model deskriptif, medel normatif, model verbal, model perspektif. Setiap model kebijakan tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Dalam artian bukan masalah penggunaan atau membuang model tetapi pemilihan diantara berbagai alternatif yang menjadi fokus. Pemilihan alternatif strategi kebjiakan tersebut dapat dibangun dengan melakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif adalah dengan memaksimalkan kekuatan (strenght), dan peluang (opportunities), serta meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treaths). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan faktor internal (Rangkuti 2001).

3

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitan ini dilaksanakan pada kawasan wisata bahari Pulau Tagalaya dan Pulau Kumo di Kabupaten Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tahapan penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, penyusunan proposal dan kuesioner (dua bulan), tahap pengumpulan data (satu bulan) dan tahap penyusunan dan konsultasi laporan thesis (enam bulan). Untuk ketiga tahap tersebut dibutuhkan waktu selama sembilan bulan mulai dari Juni 2009 – Februari 2010.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan objek kasus adalah kegiatan pariwisata oleh masyarakat yang berada pada daerah objek wisata Pulau Tagalaya dan Pulau Kumo di Kabupaten Halmahera.

Data yang diperoleh meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari contoh/responden dengan metode purposive sampling melalui teknik wawancara dan dibantu dengan instrumen survei berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis dan alternatif jawabannya yang telah disediakan dalam bentuk kuisioner (Sugiyono 2006). Wawancara dilakukan terhadap masyarakat kawasan (pelaku usaha, nelayan dan tokoh masayarakat), wisatawan, Dinas Perikanan Kabupaten Halut, Dinas Pariwisata Kabupaten Halut, serta lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kegiatan penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai adalah sebanyak 27 orang.

Data sekunder diperoleh dengan metode studi literatur dan sumber data berasal dari kantor Dinas Perikanan Kabupaten Halut, Dinas Pariwisata Kabupaten Halut, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten dan Kantor Statistik Kabupaten serta sumber pustaka yang berhubungan dengan kegiatan penelitian.

Tabel 1 Data primer dan sekunder yang diambil dalam penelitian.

No. Data Responden Jumlah Metode

1 Persepsi responden tentang wisata bahari Kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Masyarakat, Wisatawan 20 (orang) Wawancara (Kuesioner)

2 Peta potensi dan daya dukung wisata baharí

DKP Kab. Halut, Dinas Pariwisata Kab. Halut, 7 (orang) Wawancara (Kuesioner) 3 Inventaris ekosistem,

sumberdaya pesisir dan oceanografi, serta strategi kebijakan pengembangan wisata bahari DKP Kab. Halut, Dinas Pariwisata Kab. Halut, BAPPEDA Kab. Halut, BPS Kab. Halut, Studi literatur (data sekunder)

3.3 Pengolahan dan Analisis Data

3.3.1 Analisis Persepsi Masyarakat

Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasi, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode dan hasilnya disajikan dalam bentuk tematik berupa gambar dan tabel. Untuk menggambarkan persepsi masyarakat terhadap faktor- faktor pengembangan wisata bahari, dilakukan analisis persepsi dengan pendekatan deskriktif. Faktor yang dipertimbangkan dalam menganalisis persepsi ini adalah :

1) Sarana dan Prasarana wisata bahari 2) Akses transfortasi wisata bahari

3) Kesan wisatawan terhadap objek wisata bahari 4) Keterlibatan masyarakat terhadap wisata bahari

Analisis dilakukan terhadap dua lokasi ( Pulau Tagalaya dan Pulau Kumo) yang dijadikan objek penelitian ini.

3.3.2 Analisis potensi wisata bahari

Sebelum melakukan pengembangan suatu kawasan wisata bahari, terlebih dahulu perlu mengkaji potensi sumberdaya alam di kawasan tersebut. Apakah

kawasan tersebut masih alami dan memiliki daya dukung ekosistem dan fisik sesuai dengan standar kriteria kesesuaian sebagai wisata bahari. Penentuan daya dukung dan potensi kawasan bahari dapat diketahui dengan penilaian kesesuaian sebagai kawasan wisata bahari dan penilaian potensi wisata bahari berdasarkan faktor-faktor pendukungnya, seperti disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Standar penilaian kesesuaian sebagai wisata bahari.

Parameter Bobot S1 Skor S2

Sk or S3 Skor N Skor Kecerahan perairan (%) 10 > 75 20 > 50 - 75 18 > 25 – 50 16 ≤ 25 2 Tutupan karang hidup (%) 8 > 75 16 > 50 – 75 14 > 25 – 50 12 ≤ 25 4 Jenis terumbu karang (Sp) 8 > 100 16 > 75 -100 14 > 20 -75 12 ≤20 4 Jenis ikan karang (sp) 8 > 70 16 > 35 - 70 14 > 20 – 50 12 ≤ 20 4 Kecepatan Arus (m/det) 6 0 -0,17 14 > 0,17 -0,34 12 > 0,34 -0,51 10 > 0,51 2 Kedalaman dasar (m) 6 > 10-25 14 > 10 -25 12 > 2 -5 2 ≤ 2 1 Total 94 84 54 18 Sumber : DKP (2003)

Keterangan : S1 (sangat sesuai) = 700 – 740 S2 (sesuai) = 620 – 699 S3 (cukup sesuai) = 360 – 619 S4 (tidak sesuai) ≤ 360

Tabel 3 Penilaian potensi wisata bahari berdasarkan faktor-faktor pendukung kegiatan wisata

No. Parameter Nilai

1 Jenis pantai 0 = pasir 1 = pasir karang 2 = pasir putih

2 Kejernihan air 0 = 1 - 3 m 1 = 1 - 4 m 2 ≥ 10

3 Bentuk tubir (morfologi

dasar) 0 = landai 1 = 40

o

- 60 o 2 = 90 o

4 Keanekaragaman ekosistem 0 = rata 1 = naik turun 2 = goa-goa kecil

5 Keaslian ekosistem 0 = rusak ≥15% 1 = rusak < 15 % 2 = utuh

6 Kenaekaragaman ikan 0 = rendah 1 = sedang 2 = tinggi

7 Keanekaragaman karang 0 = rendah 1 = sedang 2 = tinggi

8 Estetika 0 = rendah 1 = sedang 2 = tinggi

mudah

10 Keamanan dan keselamatan 0 = rendah 1 = sedang 2 = tinggi

11 Rekreasi bawah air 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

12 Berlayar (perahu, kanoing) 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

13 Rekreasi pantai 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

14 Memancing 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

15 Transportasi 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

16 Air bersih 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

17 Listrik 0 = kurang 1 = cukup 2 = sangat berpotensi

18 Ketersediaan fasilitas

pendukung 0 = kurang 1 = cukup 2 = baik

Total

Sumber : DKP (2003)

Keterangan :

1. Potensi tinggi : jika total nilai berkisar antara 26 – 38 2. Potensi sedang : jika total nilai berkisar antara 13 – 25 3. Potensi rendah : jika total nilai berkisar antara 0 – 12

3.3.3 Analisis strategi kebijakan pengembangan wisata bahari

Untuk menentukan alternatif strategi kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Tagalaya dan Pulau Kumo menggunakan analisis SWOT atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan Ke-Ke-P-An. Analisis ini merupakan singkatan dari kekuatan (strength), kelemahan (weaknes), peluang (opportunity), dan ancaman (threat). SWOT adalah merupakan alat analisis yang mendasarkan kepada kemampuan melihat kekuatan baik internal maupun eksternal yang dimiliki pelaku usaha/organisasi dibanding pelaku usaha/organisasi pesaing. Tujuannya adalah untuk melakukan analisis situasi atau kondisi, sehingga dapat merumuskan strategi kebijakan yang mendukung pelaku usaha/organisasi dalam menghadapi persaingannya di pasaran.

Analisis SWOT ini dilakukan dengan : 1) Menganalisis Faktor Strategis Internal dan Eksternal, 2) Membuat Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS =

Internal Strategic Faktors Analysis Summary) dan Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS = External Strategic Faktors Analysis Summary), 3) Menyusun keputusan alternatif kebijakan strategis.

Langkah menganalisis faktor strategis internal dan eksternal adalah sebagai berikut :

(1) Menginventarisir faktor internal yang mempengaruhi pencapaian

goals/sasaran, visi, dan misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail) dengan teknik brainstorming dan atau NGT/Non Group Tecnique.

Kemudian mendiskusikan setiap faktor internal apakah termasuk kekuatan atau kelemahan dibandingkan dengan perusahaan lain, dengan cara poling

pendapat.

(i) Kekuatan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya sudah baik. (ii) Kelemahan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya belum baik. (2) Menginventarisir faktor eksternal yang mempengaruhi pencapaian

goals/sasaran, visi dan misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail) dengan teknik brainstorming dan NGT/NonGroup Tecnique. Kemudian mendiskusikan setiap faktor eksternal apakah termasuk peluang atau ancaman dibanding perusahaan lain, dengan cara poling pendapat.

(i) Peluang adalah faktor eksternal yang positif (ii) Ancaman adalah faktor eksternal yang negatif

2) Membuat matriks faktor strategi internal (IFAS) dan matriks faktor strategis eksternal (EFAS)

Tujuannya adalah melihat berapa posisi tiap faktor yang telah termasuk kedalam kekuatan, kelemahan, peluang ataupun ancaman setelah dilakukan pembobotan, peratingan, dan penilaian. Penyusunan matriks IFAS dan EFAS dilakukan sebagai berikut:

1) melakukan identifikasi atas faktor-faktor: (1) IFAS: kekuatan dan kelemahan (2) EFAS: peluang dan ancaman

2) pembobotan terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00.

3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap permasalahan berdasarkan nilai median hasil responden. Nilai rating mulai dari 4 sampai dengan 1. Pemberian nilai rating:

(1) IFAS: kekuatan bersifat positif (semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya (semakin besar kelemahan semakin kecil nilai rating yang diberikan).

(2) EFAS: peluang bersifat positif (semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating yang diberikan).

4) Dilakukan perkalian bobot dengan rating untuk menentukan skor terbobot dari masing-masing faktor.

5) Jumlah dari skor terbobot menentukan kondisi sistem atau organisasi:

(1) IFAS: Jika nilai total skor terbobot ≥ 2,5 berarti kondisi internal memiliki kekuatan untuk mengatasi kelemahan.

(2) EFAS: Jika nilai total skor terbobot ≥ 2,5 berarti kondisi eksternal memiliki peluang untuk mengatasi ancaman.

3) Merumuskan strategi umum (grand strategy)

Tujuannya merumuskan strategi umum (grand strategy), adalah mengembangkan perusahaan dengan memanfaatkan hasil Analisis SWOT kedalam suatu format dengan memilih 5-10 faktor utama tiap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.

4) Membuat keputusan strategis

Merumuskan keputusan strategi dengan menghubungkan antara baris faktor internal (S dan W) dan kolom faktor eksternal (O dan T). Pada pertemuan keduanya, melakukan analisis strategi yang mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan keterkaitan keduanya. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

(1) Strategi yang menghubungkan antara S dan O, strategi dibuat berdasarkan jalan pikiran yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaat peluang yang sebesar-besarnya.

(2) Strategi yang menghubungkan antara S dan T, strategi yang dipilih adalah menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.

(3) Strategi yang menghubungkan antara W dan O, strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

(4) Strategi yang menghubungkan antara W dan T, strategi ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

3.3.4 Analisis hirarki proses (AHP)

Setelah dilakukan analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam rangka pengembangan wisata bahari Pulau Tagalaya dan Kumo di Kabupaten Halmahera Utara, dimana variabel-variabel dimasukkan kedalam suatu susunan hirarki, yang memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang tertinggi. Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hirarki adalah merinci permasalahan kedalam elemen- elemennya dan mengatur bagian dari elemen-elemen kedalam bentuk hirarki (Nurani 2008).

Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses PHA yang disarankan oleh Saaty (1993) seperti pada Tabel 4. Dalam kondisi pembangunan yang makin kompleks analisis sistematis sangat diperlukan, bahkan sedapat mungkin faktor lain, seperti faktor politis harus dapat dijadikan bagian internal keseluruhan analisis. Dengan menggunakan metode PHA permasalahan yang kompleks tersebut akan dapat dirangkum sepenuhnya.

Wisata bahari di suatu daerah membutuhkan beberapa komponen penting untuk pengembangannya. Komponen-komponen tersebut menjadi kriteria dalam pengambilan keputusan kebijakan pengembangan wisata bahari di Pulau Tagalaya dan Pulau Kumo. Komponen penting dalam sistem pariwisata bahari adalah 1)

Dokumen terkait